Anda di halaman 1dari 33

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komponen Dasar Konsep Diri

2.1.1 Pengertian

Konsep diri adalah semua ide, pikiran, perasaan, kepercayaan, serta pendirian yang

diketahui individu tentang dirinya dan memengaruhi individu dalam berhubungan dengan

orang lain. Konsep diri belum muncul saat bayi, tetapi mulai berkembang secara bertahap.

Bayi mampu mengenal dan memmbedakan dirinya dengan orang lain serta mempunyai

pengalaman dalm berhubungan dengan orang lain. Konsep diri dipelajari melalui

pengalaman pribadi setiap individu, hubungan dengan orang lain, dan interaksi dengan

dunia di luar dirinya. Memahami konsep diri penting bagi perawat karena asuhan

keperawatan diberikan secara utuh bukan hanya penyakit melainkan menghadapi individu

yang mempunyai pandangan, nilai, dan pendapat tertentu tentang dirinya (Yusuf, dkk,

2015)

Konsep diri adalah merefleksikan pengalaman interaksi sosial sensasinya juga

didasarkan bagaimana orang lain memandangnya. Konsep diri sebagai cara memandang

individu terhadap diri secara utuh, baik fisik, emosi, intelektual, sosial & spiritual. Terdapat

dua aspek besar dalam menjelaskan konsep diri, yaitu identitas dan evaluasi diri.

Dari pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep diri adalah semua ide,

pikiran, perasaan, kepercayaan serta pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan

memengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain. Secara umum, konsep diri

dapat didefinisikan sebagai cara kita memandang diri kita secara utuh, meliputi: fisik,
intelektual, kepercayaan, sosial, perilaku, emosi, spiritual, dan pendirian dalam percakapan

sehari-hari.

2.1.2 Komponen Konsep Diri

a. Citra Tubuh

Citra tubuh adalah kumpulan sikap individu baik yang disadari mauoun tidak

terhadap tubuhnya, termasuk persepsi masa lalu atau sekarang mengenai ukuran,

fungsi, keterbatasan, makna, dan objek yang kontak secara terus-menerus (anting, make

up, pakaian, kursi roda, dan sebagainya) baik masa lalu maupun sekarang. Citra tubuh

merupakan hal pokok dalam konsep diri. Citra tubuh harus realistis karena semakin

seseorang dapat menerima dan menyukai tubuhnya ia akan lebih bebas dan merasa aan

dari kecemasan sehingga haega dirinya akan meningkat. Sikap individu terhadap

tubuhnya mencerminkan aspek penting dalam dirinya misalnya perasaan menarik atau

tidak, gemuk atau tidak, dan sebagainya (Yusuf, dkk, 2015).

b. Ideal Diri

Persepsi individu tentang seharusnya berperilaku berdasarkan standar, aspirasi,

tujuan, atau nilai yang diyakininya. Penetapan ideal diri dipengaruhi oleh kebudayaan,

keluarga, ambisi, keinginan, dan kemampuan individu dalam menyesuaikan diri

dengan norma serta prestasi masyarakat setempat. Individu cenderung menyusun

tujuan yang sesuai dengan kemampuannya, kultur, realita, menghindari kegagalan dan

rasa cemas, serta inferiority. Ideal diri harus cukup tinggi supaya mendukung respek

terhadap diri tetapi tidak terlalu tinggi, terlalu menuntut, serta samar-samar atau kabur.

Ideal diri akan melahirkan harapan individu terhadap dirinya saat berada di tengah

masyarakat dengan norma tertentu. Ideal diri berperan sebagai pengatur internal dan
membantu individu mempertahankan kemampuannya menghadapi konflik atau kondisi

yang membuat bingung. Ideal diri penting untuk mempertahankan kesehatan dan

keseimbangan mental (Yusuf, dkk, 2015).

c. Harga Diri

Penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dan menganalisis seberapa jauh

perilaku memenuhi ideal diri. Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain.

Individu akan merasa harga dirinya tinggi bila sering mengalami keberhasilan.

Sebaliknya, individu akan merasa harga dirinya rendah bila sering mengalami

kegagalan, tidak dicintai, atau tidak diterima lingkungan. Harga diri dibentuk sejak

kecil dari adanya penerimaan dan perhatian. Harga diri akan meningkat sesuai

meningkatnya usia dan sangat terancam pada masa pubertas. Ada empat hal yang dapat

meningkatkan harga diri anak, yaitu (Yusuf, dkk, 2015)

1) memberi kesempatan untuk berhasil

2) menanamkan idealism

3) mendukung aspirasi/ide

4) membantu membentuk koping

d. Peran

Serangkaian pola sikap, perilaku, nilai, dan tujuan yang diharapkan oleh

masyarakat sesuai posisinya di masyarakat/kelompok sosialnya. Peran memberikan

sarana untuk berperan serta dalam kehidupan sosial dan merupakan cara untuk menguji

identitas dengan memvalidasi pada orang yang berarti. Hal-hal yang memengaruhi

penyesuaian individu terhadap peran antara lain sebagai berikut (Yusuf, dkk, 2015) :
1) Kejelasan perilaku yang sesuai dengan peran dan pengetahuannya tentang peran

yang diharapkan.

2) Respons/tanggapan yang konsisten dari orang yang berarti terhadap perannya.

3) Kesesuaian norma budaya dan harapannya dengan perannya.

4) Perbedaan situasi yang dapat menimbulkan penampilan peran yang tidak sesuai.

e. Identitas Diri

Identitas adalah kesadaran tentang "diri sendiri" yang dapat diperoleh individu dari

observasi dan penilaian terhadap dirinya, serta menyadari individu bahwa dirinya

berbeda dengan orang lain. Pengertian identitas adalah organisasi, sintesis dari semua

gambaran utuh dirinya serta tidak dipengaruhi oleh pencapaian tujuan, atribut/jabatan,

dan peran. Dalam identitas diri ada otonomi yaitu mengerti dan percaya diri, hormat

terhadap diri, mampu menguasai diri, mengatur diri, dan menerima diri (Yusuf, dkk,

2015).

Ciri individu dengan identitas diri yang positif adalah sebagai berikut.

1) Mengenal diri sebagai individu yang utuh terpisah dari orang lain.

2) Mengakui jenis kelamin sendiri.

3) Memandang berbagai aspek diri sebagai suatu keselarasan.

4) Menilai diri sesuai penilaian masyarakat.

5) Menyadari hubungan masa lalu, sekarang, dan yang akan datang.

6) Mempunyai tujuan dan nilai yang disadari.


Ciri individu yang berkepribadian sehat antara lain sebagai berikut

1) Citra tubuh positif dan sesuai.

2) Ideal diri realistis.

3) Harga diri tinggi.

4) Penampilan peran memuaskan.

5) Identitas jelas.

2.1.3 Rentang Respon

Konsep diri seseorang terletak pada suatu rentang respons antara ujung adaptif dan

ujung maladaptive, yaitu aktualisasi diri, konsep diri positif, hrga diri rendah, kekacauan

identitas, dan depersonalisasi.

Gambar 2.1
Rentang Respon
Adaptif Maladaptif

Aktualisasi Diri Konsep Diri Positif Harga Diri Rendah Difusi Identitas Depersonalisasi

Rentang respon mulai dari respon adaptif sampai dengan respon yang maladaptif,

terdiri antara lain (Stuart, 2016):


a. Aktualisasi Diri

Merupakan pernyataan diri tentang konsep diri yang positif dengan latar belakang

pengalaman nyata yang sukses dan diterima.

b. Konsep Diri Positif

Terjadi apabila individu mempunyai pengalaman yang positif dan beraktualisasi

diri.

c. Harga Diri Rendah

Adanya transisi antara respon konsep diri yang adaptif dengan konsep diri yang

mal-adaptif.

d. Difusi Identitas

Difusi identitas merupakan kegagalan aspek individu dalam mengintegrasikan

aspek-aspek identitas pada masa kanak-kanak ke dalam ruang aspek psikososial,

keperibadian pada masa dewasa yang harmonis.

e. Disosiasi Dipersonalisasi

Disosiasi dipersonalisasi adalah perasaan yang tidak realistis dan asing terhadap

dirinya sendiri yang berhubungan dengan kecemasannya, kepanikannya serta tidak

dapat membedakan amtara dirinya dengan orang lain (Stuart, 2016)

Rentang respons konsep diri yang paling adaptif adalah aktualisasi diri. Menurut

Maslow karakteristik aktualisasi diri meliputi:

1) Realistik

2) Cepat menyesuaikan diri dengan orang lain

3) Persepsi yang akurat dan tegas

4) Dugaan yang berat terhadap kebenaran/kesalahan


5) Akurat dalam memperbaiki masa yang akan datang

6) Menegrti seni, music, politik, filosofi

7) Rendah hati

8) Mempunyai dedikasi untuk bekerja

9) Kreatif, fleksibel, spontan, dan mengakui kesalahan

10) Terbuka dengan ide-ide baru

11) Percaya diri dan menghargai diri

12) Kepribadian yag dewasa

13) Dapat mengambil keputusan

14) Berfokus pada masalah

15) Menerima diri seperti apa adanya

16) Memiliki etika yang kuat

17) Mampu memperbaiki kegagalan

2.1.4 Mekanisme Koping

a. Pertahanan Jangka Pendek

1) Aktivitas yang dapat memberikan pelarian sementara dari krisis, seperti kerja keras,

nonton, dan lain-lain.

2) Aktivitas yang dapat memberikan identitas pengganti sementara, seperti ikut

kegiatan sosial, politik, agama, dan lain-lain.

3) Aktivitas yang sementara dapat menguatkan perasaan diri, seperti kompetisi

pencapaian akademik.

4) Aktivitas yang mewakili upaya jarak pendek untuk membuat masalah identitas

menjadi kurang berarti dalam kehidupan, seperti penyalahgunaan obat.


b. Pertahanan Jangka Panjang

1) Penutupan identitas

Adopsi identitas prematur yang diinginkan oleh orang yang penting bagi individu

tanpa memperhatikan keinginan, aspirasi, dan potensi diri individu.

2) Identitas negatif.

Asumsi identitas yang tidak wajar untuk dapat diterima oleh nilai-nilai harapan

masyarakat.

3) Mekanisme pertahanan ego

a) Fantasi

b) Disosiasi

c) Isolasi

d) Proyeksi

e) Displacement

f) Marah/amuk pada diri sendiri

2.2 Konsep Dasar Harga Diri Rendah

2.2.1 Pengertian

Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang

berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif terhadap diri sendiri atau kemampuandiri.

Adanya perasaan hilang kepercayaan diri, merasa gagal karena tidak mampu mencapai

keinginan sesuai ideal diri (Yosep, 2009). Harga diri rendah melibatkan evaluasi diti yang

negatif dan herhubungan dengan perasasn yang lemah, tak berdaya, putus asa, ketakutan,

rentan, rapuh, tidak berharga, dan tidak memadai (Stuart, 2016:217). Harga diri rendah

merupakan perasaan negatif terhadap diri sendiri termasuk kehilangan rasa percaya diri,
tidak berharga, tidak berguna, tidak berdaya, pesimis, tidak ada harapan dan putus asa

(Kemenkes RI, 2000 dalam Nurarif dan Hardi, 2016).

Keliat, dkk (2013:118) menuliskan bahwa harga dini rendah adalah perasaan tidak

berharga, tidak berarti dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif

terhadap diri sendiri dan kemampuan diri.

Berdasarkan beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa harga diri

rendah adalah perasaan yang negatif terhadap diri sendiri, merasa rendah diri, minder,

merasa tidak berguna, dan tidak mampu melakukan apa-apa. Pangaruh yang dapat

menimbulkan harga diri rendah terjadi ketika terjadi penolakan dalam keluarga, gagal yang

berulang dan mengakibatkan evaluasi diri yang negatif.

2.2.2 Klasifikasi

Gangguan harga diri rendah merupakan masalah bagi banyak orang dan dapat

diekspresikan melalui tingkat kecemasan yang sedang sampai dengan berat. Umumnya

dapat disertai oleh evaluasi diri yang negatif dan membenci diri sendiri dan menolak diri

sendiri. Gangguan diri atau harga diri rendah dapat terjadi secara situasional maupun

kronik (Mukhripah, D & Iskandar, 2012).

a. Situasional

Harga diri rendah situasional yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, misalnya harus

dioperasi, kecelakaan, dicerai (suami/istri), putus sekolah, putus hubungan kerja. Pada

klien yang dirawat dapat terjadi harga diri rendah karena privasi yang kurang di

perhatikan. Pemeriksaan fisik yang sembarangan, pemasangan alat yang tidak sopan

(etika), harapan akan struktur, bentuk dan fungsi tubuh yang tidak tercapai karena
dirawat/penyakit, perlakuan petugas yang tidak menghargai (Mukhripah, D &

Iskandar, 2012).

b. Kronik

Harga diri rendah kronik yaitu perasaan negatif terhadap diri berlangsung lama,

yaitu sebelum sakit/dirawat. Klien ini mempunyai cara berpikir yang negatif. Kejadian

sakit dan dirawat akan menambah persepsi negatif terhadap dirinya. Kondisi ini

mengakibatkan respon mal yang adaptif. Kondisi ini dapat ditemukan pada klien

gangguan fisik yang kronik atau pada klien gangguan jiwa (Mukhripah, D & Iskandar,

2012).

2.2.3 Etiologi

Berbagai faktor menunjang terjadinya perubahan dalam konsep-diri seseorang.

Dalam tinjauan life span history klien, penyebab terjadinya harga diri rendah adalah pada

masa kecil sering disalahkan jarang diberi pujian atas keberhasilannya. Saat individu

mencapai masa remaja keberadaannya kurang dihargai, tidak diberi kesempatan dan tidak

diterima. Menjelang dewasa awal sering gagal di sekolah, pekerjaan atau pergaulan. Harga

diri rendah muncul saat lingkungan cenderung mengucilkan dan menuntut lebih Dri

kemampuannya (Yosep, 2009). Faktor yang mempengaruhi perubahan konsep diri

seseorang yaitu:

a. Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi yang dapat mempengaruhi harga diri rendah yaitu : penolakan

dari orang terdekat (orang tua), harapan orang tua yang tidak realistis, kegagalan yang

berulang dari individu, kurang mempunyai tanggung jawab, kurang mendapat pujian
dari orang tua atau orang yang dianggap dekat, ketergantungan pada orang lain,

ketidakpercayaan terhadap orang tua dan orang lain.

b. Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah biasanya terjadi karena kehilangan

bagian tubuh (perrmanen), perubalan penampilan/bentuk tubuh, kegagalan atau

produktivitas yang menurun. Secara umum, biasanya gangguan konsep diri atau harga

din rendah ini dapat terjadi secara emosional/situasional atau kronik.

2.2.4 Tanda dan Gejala

Stuart (2016:219) menyebutkan bahwa tanda perilaku yang terkait dengan harga

diri rendah adalah mengkritik diri atau orang lain, produktivitas menurun, merusak,

gangguan dalam hubungan, merasa diri sendiri penting secara berlebihan, perasaan tidak

mampu, perasaan bersalah, lekas marah atau marah yang berlebihan, perasaan negatif

tentang tubuh sendiri, merasa ketegangan peran, pandangan hidup pesimistis, keluhan fisik,

pandangan polarisasi hidup, penolakan kemampuan pribadi, merusak diri, pengecilan diri,

penarikan sosial, penyalahgunaan zat, penarikan dari realitas, khawatir.

2.2.5 Terapi Medis Klien Harga Diri Rendah

Pemberian terapi psikofarmaka pada klien gangguan jiwa menggunakan obat yang

digolongkan kedalam psikotropik yaitu obat anti psikotikm anti depresan, penstabil mood,

anti ansietas dan stimulant. Jenis anti psikoiik golongan atipikal (golongan generasi kedua)

adalah Risperidone, Clozapine, Quetiapine, Olanzapine, Ziprasidone, dan Aripiprazole.

Obat atipikal mempunyai kelebihan menghilangkan gejala positif dan negatif, efek

samping Extra Pyramidal Syndrome (EPS) sangat minimal bahkan tidak ada, keuntungan

menggunakan obat atipilal adalah mengurangi gejala negatif dari skizofrenia dan tidak
memperbutuk seperti obat tipikal, merurunkan gejala afektif deri skizofrenia dan

menurunkan gejala kognitif pada skizofrenia. Pemberian obat atipikal lebih efektif untuk

membantu pemulihan kognitif klien sehingga diharapkan dapat meningkatkan kemampuan

klien dalam mengatasi masalah harga diri rendah efek samping dari penggunaan obut

atipikal biasanya terjadi tardive dyskinesia, karena penggunaan obat yang jangka panjang.

Harga diri rendah dapat diobati dengan obat jenis ini, antara lain (Videback, 2011), (Stuart,

2016).

a. Aripiprazole

Dosis' untuk obat ini berbeda tergantung dari umur klien. Dewasa 10-15mg/hari,

sedangkan anak <15 tahun 10mg/hari. Maksimal dari penggunaan obat ini 30mg.

b. Clozapine

Dosis dari obat ini 12,5mg 2xsehari. Dosis maksimal dari obat ini adalah

900mg/hari.

c. Quetipine

Dosis obat ini diberikan 50mg/hari selama 4 hari, kemudian ditingkatkan menjadi

100mg/hari selama 4 hari, dan selanjutnya ditingkatkan menjadi 300mg/hari, setelah

itu diberikan dosis efektif antara 300-450mg/hari. Dosis maksimal 800mg/hari.

d. Olanzapine

Dosis obat ini mencapai 10-15mg/hari, dosis maksimal 20mg/hari.

e. Risperidone

Dosis dari obat ini 2mg/hari, ditingkatkan 1-2mg setiap minggu hingga mencapai

4-6mg/hari Dosis maksimal 16mg/hari.


2.3 Konsep Asuhan Keperawatan Harga Diri Rendah

2.4.1 Pengkajian

Pengkajian merupakan pengumpulan, pengaturan, validasi dan dokumentasi data

yang berkesinambungan dalam proses keperawatan. Data didapatkan dari hasil wawancara,

pemeriksaan fisik (observasi, auskultasi, palpasi dan perkusi) Data dapat berasal dari klien,

keluarga, tenaga kesehatan, data objektif maupun subjektif (Kozier, 2011).

a. Data Objektif

Klien mudah tersinggung, produktivitas menurun, tidak berani menatap lawan

bicara, bicara lambat dan nada suara yang lirih atau lemah, lebih banyak menundukan

kepala dan berinteraksi, perilaku yang non asertif (Yusuf, dkk, 2015).

b. Data Subjektif

Klien mengungkapkan merasa bersalah, mengungkapkan tentang hal negatif diri

sendiri atau orang lain, perasaan tidak mampu, pesimis menghadapi hidup, penolakan

kemampuan diri, mengevaluasi diri tidak mampu mengatasi situasi (Stuart, 2016).

1) Identitas Klien

Tanyakan nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, pendidikan, status,

alamat, tanggal pengkajian, nomor rekam medis, dan diagnosa medis.

2) Faktor Predisposisi

Berbagai faktor menunjang terjadinya gangguan jiwa perubahan dalam konsep

diri seseorang antara lain riwayat gangguan jiwa, pengobatan, aniaya, anggota

keluarga yang mengalami gangguan jiwa, pengalaman masa lalu yang kurang

menyenangkan.
a) Citra tubuh, kehilangan atau kerusakan bagian tubuh, perubahan ukuran,

berntuk dan penampilan tubuh, proses penyakit dan dampaknya terhadap

struktur dan fungsi tubuh.

b) Harga diri, penolakan dari orang terdekat, kurang penghargaan, pola asuh

overprotektif, otoriter, tidak konsisten, terlalu dituruti, terlalu dituntut,

persaingan keluarga, kesalahan dan kegagalan berulang. tidak mampu

mencapai standar

c) Ideal diri, cita-cita yang terlalu tinggi, harapan yang tidak sesuai dengan

kenyatan, ideal diri samar atau tidak jelas

d) Peran, harapan peran kultural, tututan peran kerja, perasaan tidak mampu

dalam melaksanakan tugas

e) Identitas diri, ketidekpercavaan orang tua, tekanan dari teman sebaya,

perubahan struktur sosial.

3) Psikososial

Masalah psikososial yang dapat terjadi pada klien adalah pengalaman masa

lalu yang tidak menyenangkan, penolakan dari lingkungan, adanya penilaian

negatif dari lingkungan terhadap klien, sosial ekonomi rendah, pendidikan yang

rendah.

4) Status Mental

Pemeriksaan pada status mental dapat dilakukan dengan cara observasi

sebagai berikut:
a) Penampilan klien

Misalnya penampilan usia, cara berpakaian kurang rapi, kebersihan,

sikap tubuh lemah, langkah, ekspresi wajah datar/sedih, kontak mata

kurang, dilatasi atau kontraksi pupil, status kesahatan umum dan nutrisi.

b) Aktivitas motorik

Kegiatan motorik lesu, dan terjadi penurunan aktivitas interaksi.

c) Alam perasaan

Alam perasaan adalah laporan diri dari klien tentang keadaan emosional

seorang dan merefleksikan situasi kehidupan klien. Klien biasanyan

merasa tidak mampu dan pandangan hidup yang pesimis.

d) Afek

Afek adalah nada emosional yang tampak pada klien. Afek pada klien

biasanya tumpul yaitu tidak mau berespon bila ada stimulus emosi yang

bereaksi.

e) Interaksi selama wawancara

Pemeriksaan ini sangat mengandalkan pada subjektifitas emosi perawat

oleh karena itu perawat harus secara berhati-hati memeriksa responya

agar tidak terjadi bias personal dan sosiokultural. Klien tampak

bermusuhan, tidak kooperatif, mudah tersinggung. berhati-hati, apatis,

defensif, curiga, seduktif adalah cara mengobservasi interaksi

wawancara. Klien biasanya mudah tersinggung dan kurang kooperatif.


f) Proses pikir

Proses pikir adalah tentang bagaimana klien mengekspresikan diri.

Pikiran yang sirkumtansial bisa merupakan tanda defensif atau

paranoid.

g) Isi pikiran

Isi pikiran adalah pengertian spesifik yang diekspresikan dalam

komunikasi klien. Klien biasanva merasa bersalah dan khawatir,

menghukum atau menolak diri sendiri, mengejek dan mengkritik diri

sendiri.

h) Tingkat kesadaran

Pemeriksaan status kesehatan jiwa secara rutin mengkaji orientasi

situasi terkini klien. Klien dengan gangguan jiwa organik bisa

memberikan jawaban yang sangat tidak tepat, dengan orientasi orang

lebih baik daripada orientasi waktu atau tempat.

i) Daya ingat

Pengkajian neuropsikologis diperlukan untuk menspesifikan sifat dan

luas dari gangguan daya ingat. Daya ingat secara luas didefinisikan

sebagai suatu kemampuan untak mengingat pengalaman yang lalu.

Klien biasanya tidak mengalami gangguan daya ingat, baik jangka

pendek maupun jangka panjang.

j) Konsentrasi dan kalkulasi

Konsentrasi dan kalkulasi adalah kemampuan klien dalam memberikan

perhatian dan berhitung selama wawancara. Hal ini dapat dijadikan


untuk membedakan antara gangguan jiwa organik, ansietas, dan depresi.

Konsentrasi dan kalkulasi terganggu dan mudah beralih/tidak mampu

mempertahankan konsentrasi dalam waktu lama karena perasaan cemas.

k) Penetapan keputusan

Penetapan keputusan melibatkan pembuatan keputusan yang bersifat

konstruktif dan adaptif. Hal ini melibatkan kemampuan untuk

memahami fakta dan membuat kesimpulan dari hubungan fakta

tersebut. Penetapan keputusan terganggu pada gangguan jiwa organik,

mania, skizofrenia, gangguan kepribadian, gangguan psikotiki,

intoksikasi, dan 1Q rendah.

l) Penghayatan

Penghayatan adalah pemahaman klien tentang sifat dari suatu masalah

atau penyakit seseorang. Perawat perlu menanyakan apakah klien

menyalahkan dirinya atas masalah yang terjadi padanya atau orang lain

atau faktor eksternal. Penghayatan terganggu pada klien dengan

gangguan jiwa organik, psikosis, penyalah gunaan zat, gangguan

kepribadian, dan 10 rendah.

m) Daya tilik diri

Klien tidak tahu alasan dibawa ke rumah sakit dan tidak menyadari

mempunyai masalah gangguan jiwa.


2.4.1 Pohon Masalah

Pohon masalah harga diri rendah, yaitu sebagai berikut:

Gambar 2.2
Pohon Masalah

Risiko tinggi perilaku kekerasan

Perubahan persepsi sensori :halusinasi

Isolasi sosial

3
Harga Diri Rendah Kronik

Koping individu tidak efektif

Sumber: pohon masalah diambil dari yosep (2016)

2.4.3 Diagnosa Keperawatan

Masalah konsep diri sering menimbulkan proses penyebaran diri dan sirkular bagi

individu yang dapat menyebabkan respon koping maladaptif. Masalah keperawatan yang

lazim muncul berdasarkan pohon masalah diatas yaitu:

a. Harga Diri Rendah

Wilkinson (2016) mendefinisikan harga diri rendah adalah evaluasi negative

terhadap dirinya sendiri atau kemampuan diri.


1) Karakteristik

a) Data Mayor

Subjektif, klien mengeluh hidup tidak bermakna, tidak memiliki kelebihan

apapun, mengeluh tidak berguna, mengeluh idak bisa berbuat apa-apa, merasa

jelek, merasa orang lain tidak selevel.

Objektif, klien dengan kontak mata kurang, tidak berinisiatif berinteraksi

dengan orang lain.

b) Data Minor

Subjektif, klien mengatakan malas, putus asa, ingin mati, mengatakan tidak

bisa ketika diminta untuk melakukan suatu kegiatan.

Objektif, tampak malas-malasan, produktifitas menurun.

b. Isolasi Sosial

Yosep (2016) mendefinisikan isolasi sosial adalah suatu keadaan dimana individu

mengalami penurunan atau bahkan tidak bisa sama sekali membina hubungan yang

intim, hangat, terbuka dan interdependen dengan orang di sekitanya.

1) Karakteristik

a) Data Mayor

Subjektif, klien mengatakan malas berinteraksi, mengatakan orang lain

tidak mau menerima dirinya.

Objektif, klien menyendiri dalam ruangan, tidak bisa memulai

pembicaraan, tidak mau berkomunikasi dengan orang lain (autis/mutisme),

tidak melakukan kontak mata.


b) Data Minor

Subjektif, klien curiga dengan orang lain, mendengar suara-suara atau

melihat bayangan, merasa malu untak berbicara dengan orang lain, mengatakan

sedih takut berbicara dengan orang lain.

Objektif, klien mematung, mondar-mandir tanpa arah, tidak berinisiatif,

tidak berinisiatif berhubungan dengan orang lain, banyak menunduk, saat

diajak bicara, afek dapat tumpul atau datar, tampak meringkik di tempat tidur

dengan punggung menghadap ke pintu

c. Gangguan Persepsi Halusinasi

Varcarolis (Yosep, 2016) mendefinisikan halusinasi adalah gangguan sensori

persepsi pada individu dimana ia merasakan adanya stimulus yang sebenarmya tidak

ada/adanya stimulus melalui panca indera tanpa ada rangsang nyata. Tipe halusinasi:

terdiri dari pendengaran, penciuman, perabaan, penglihatan, pengecapan.

1) Karakteristik

a) Data Mayor

Subjektif, klien mengatakan mendengar suara bisikan, mengatakan melihat

bayangan, mengatakan mencium bau-bauan, mengatakan mengecap suatu rasa

pada mulut, bibir dan lidah, mengatakan ada sesuatu yang menyentuh atau

meraba.

Objektif, klien bicara sendiri, tertawa sendiri, marah tanpa sebab (pada

halusinasi yang isinya mengganggu), mondar-mandir, tampak menyendiri.


b) Data Minor

Subjektif, klien menyatakan kesal dengan isi halusinasinya, menyatakan

senang dengan suara-suara.

Objektif, klien tampak menyendiri, melamun, tampak tidak dapat

melakukan ADLS (halusinasi fase 4), kontak mata mudah beralih saat diajak

bicara, tidak bisa berkonsentrasi saat bicara.

d. Risiko Perilaku Kekerasan

Wilkinson (2016) mendefinisikan risiko perilaku kekerasan merupakan suatu

kondisi dimana klien dapat melakukan tindakan yang membahayakan baik pada

dirinya, orang lain, maupu merusak lingkungan sekitarnya.

1) Karakteristik

a) Data Mayor

Subjektif, klien mengancam, mengumpat, berbicara keras dan kasar.

Objektif, klien agitasi, meninju, menusuk, melukai dengan senjata

tajam, memukul kepala sendiri, membentur-benturkan kepala sendiri ke

dinding, membanting, melempar, mendobrak pintu, merusak alat, berteriak

teriak.

b) Data Minor

Subjektif, klien mengatakan ada yang mengejek, mendengar suara

yang menjelekkan atau merendahkan, merasa orang lain mengancam

dirinya, mengeluh kesal dan marah dengan orang lain.

Objektif, klien mengeluh dari orang lain, katatonia, muka tegang,

mata yang melotot, mondar-mandir.


2.4.4 Intervensi Keperawatan

Table 2.1
Rencana Tindakan Keperawatan
Klien Dengan Harga Diri Rendah

No Diagnosa Perencanaan
Tgl Dx Keperawatan Intervensi
Tujuan Kriteria Hasil
Gangguan 1. Klien dapat 1.1 Ekspresi wajah 1.1.1 Bina hubungn saling percaya
konsep diri : membina bersahabat, menggunakan prinsip komunikasi
Harga diri hubungan saling menunjukan rasa terapeutik:
rendah percaya senang, ada kontak a. Sapa klien dengan ramah
mata, mau baik verbal maupun
menyebutkan nonverbal
nama, mau b. Perkenalkan diri dengan
menjawab salam, sopan
klien mau duduk c. Tanyakan nama lengkap
berdampingan dan nama, panggilan yang
dengan perawat, disukai
mau mengutarakan d. Jelaskan tujuan pertemuan
masalah yang e. Jujur dan menepati janji
dihadapi. f. Tunjukkan sikap empati
dan menerima klien apa
adanya.
g. Beri perhatian kepada klien
dan perhatikan kebutuhan
dasar klien.

2. Klien dapat 2.1 Klien 2.1.1 Diskusikan kemampuan dan aspek


mengidentifikasi mengidentifikasi positif yang dimiliki klien dan buat
kemampuan dan kemampuan dan daftarnya jika klien tidak mampu
aspek positif yang aspek positif yang mengidentifikasi maka dimulai
dimiliki dimiliki oleh perawat untuk memberi
a. kemampuan pujian pada aspek positif yang
yang dimiliki klien.
dimiliki 2.1.2 setiap bertemu klien hindarkan
klien memberi penilaian negative
b. Aspek 2.1.3 Utamakan memberi pujian yang
positif realistis
keluarga
c. Aspek
positif
lingkungan
yang
dimiliki
klien

3. Klien dapat 3.1 Klien menilai 3.1.1 Diskusikan dengan klien


menilai kemampuan yang kemampuan
kemampuan yang dimiliki untuk yang masih dapat dilaksanakan
dimiliki untuk dilaksanakan selama sakit
dilaksanakan 3.1.2 Diskusikan kemampuan yang dapat
dilanjutan pelaksanaannya.

4. Klien dapat b. Klien membuat i. Rencanakan bersama klien


(menetapkan) rencana kegiatan aktivitas yang dapat dilakukan
merencanakan harian setiap hari sesuai dengan
kegiatan sesuai kemampuan:
dengan a. Kegiatan mandiri
kemampuan yang b. Kegiatan dengan bantuan
dimiliki sebagian
c. Kegiatan yang
membutuhkan bantuan
total
ii. Tingkatkan jefiatan sesuai dengan
toleransi kondisi klien
iii. Beri contoh pelaksanaan kegiatan
yang boleh klien lakukan

1. Klien dapat 5.1 Klien melakukan 5.1.1 Beri kesempatan kepada klien untuk
melakukan kegiatan sesuai mencoba kegiatan yang telah
kegiatan sesuai kondisi dan direncanakan
kondisi dan kemampuanya 5.1.2 Beri pujian atas keberhasilan klien
kemampuannya 5.1.3 Diskusikan kemungkina
pelaksanaan kegiatan setelah pulang
2. Klien dapat 6.1 Klien 6.1.1 Beri pendidikan kesehatan kepada
memanfaatkan memanfaatkan keluarga tentang cara merawat
system pendukung system pendukung klien dengan harga diri rendah
yang ada yang ada di 6.1.2 Bantu keluarga memberikan
keluarga dukungan selama klen dirawat
6.1.3 Bantu keluarga menyiapkan
lingkungan di rumah
2.4.5 Implementasi Keperawatan

Strategi pelaksanaan tindakan dan komunikasi (SP/SK) merupakan suatu metode

bimbingan dalam pelaksanaan tindakan berdasarkan kebutuhan klien dengan

mengimplementasikan komunikasi secara efektif (suhron, 2017). Proses pelaksanaan

tindakan, meliputi:

a. Fase Orientasi

Dalam fase orientasi terdapat beberapa bagian, yaitu salam terapeutik, evaluasi,

validasi kemampuan yang dapat atau telah dilalui, membuat atau mengingatkan

kontrak meliputi waktu, tempat dan topik yang akan dibincangkan dengan klien.

b. Fase Keja

Fase kerja merupakan langkah-langkah tindakan keperawatan yang mana dilakukan

oleh perawat pada saat berhadapan dengan klien/keluarga klien.

c. Harga Diri Rendah

1) SP 1 Harga Diri Rendah

SP 1 harga diri rendah dimulai dari mengidentifikasi kemampuan dan aspek

positif yang dimiliki klien, membantu klien menilai kemampuan yang masih bisa

digunakan, membantu klien memilih kegiatan yang akan dilatih bersama perawat,

melatih kemampuan yang sesuai dengan pilihan klien, memberikan pujian kepada

klien terhadap keberhasilannya dalam melakukan kegiatan, menganjurkan klien

untuk memasukan ke dalam jadwal kegiatan harian.


2) SP 2 Harga Diri Rendah

SP 2 harga diri rendah dimulai dari mengevaluasi jadwal kegiatan harian

klien, melatih klien melakukan kegiatan lain yang sesuai dengan kemampuan klien,

menganjurkan klien memasukan dalam jadwal kegiatan harian.

d. Fase Terminasi

1) Mengevaluasi respon/kemampuan klien terhadap tindakan keperawatan secara

obyektif dan subyektif.

2) Rencana tindak lanjut klien, latihan apa yang harus dilakukan klien, berapa kali

sehari, jam berapa saja.

3) Melakukan kontrak yang akan datang dengan klien (waktu, tempat, topik).

4) Melakukan pendokumentasian tindakan yang telah dilakukan.

2.4.6 Evaluasi

Evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan terencana tentarg kesehatan

klien dengan tujuan yang ditetapkan, dilakukan secara continue dengan melibatkan klien,

keluarga, dan tenaga kesehatan lainnya. Evaluasi merupakan fase akhir dalam proses

keperawatan yang menentukan apakah intervensi berhasil atau tidak, apakah harus

dihentikan, dilanjutkan atau diubah. Evaluasi dapat dibagi menjadi 2 jenis, antara lain

(Setiadi, 2012) :

a. Evaluasi Formatif

Evaluasi formatif dikerjakan dalam bentuk pengisian format perkembangan dengan

berorientasi pada masalah yang dialami oleh klien. Format yang dipakai udalah SOAP.
1) S atau Subjektif

Perkembangan keadaan yang didasarkan pada apa yang dirasakan,

dikeluhkan dan dikemukakan.

2) O atau Objektif

Perkembangan yang diamati dan diukur oleh perawat.

3) A atau Analisa

Penilaian dan kedua jenis data (Subjektif ataupun Objektif) apakah

perkembangan kearah perbaikan atau kearah kemunduran.

4) P atau Perencanaan

Rencana penanganan klien yang didasarkan pada hasil analisis. Keadaan

yang belum teratasi maka pada bagian perencanaan dituliskan melanjutkan

perencanaan selanjutnya.

b. Evaluasi Sumatif

Evaluasi jenis ini dikerjakan dengan cara membandingkan antara tujuan yang

dicapai, apabila terdapat kesenjangan mungkin semua tahap proses keperawatan perlu

dimodifikasi. Format yang dipakai yaitu SOAPIER.

Evaluasi dilakukan terhadap kemampuan klien serta kemampuan perawat dalam

merawatkan klien harga diri rendah. Evaluasi yang diharapkan terhadap klien dengan

harga diri rendah, sebagai berikut (Keliat, 2013).

1) Klien mampu menyebutkan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.

2) Klien mampu menilai kemampuan yang masih bisa digunakan.

3) Klien mampu memilih kegiatan yang akan dilatih sesuai dengan kemampuan yang

dimiliki.
4) Klien mampu melatih kegiatan yang telah ditentukan.

5) Klien mampu melaksanakan kemampuan yang telah dilatih.


DAFTAR PUSTAKA

Damayanti, M & Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama

Keliat, Budi a., dkk. (2013). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas CMNH (Basic Course).

Jakarta: EGC

Kozier, Barbara. (2011). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, & Praktik. (edisi

ketujuh). (Karyuni, Penerjemah). Jakarta: EGC

Nuratif, Amin Huda., & Kusuma, Hadi. (2016). Asuhan keperawatan Jiwa Praktis Jilid 1.

Jogjakarta: Mediaction.

Stuart, Gail W. (2016). Prinsip Dan Praktik Kesehatan Jiwa. (Keliat, Penerjemah). Singapore:

Elsevier Pte Ltd.

Wilkinson. (2016). Diagnosa Keperawatn (Edisi 10). (Wahyuningsih, Penerjemah). Jakarta: EGC.

Yosep, Iyus. (2009). Keperawatn Jiwa Edisi Revisi. Bandung: PT Refika Aditama

Yosep, Iyus, & Sutini, Titin. (2016). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. (Edisi ketujuh). Bandung: PT

Refika Aditama

Yusuf, dkk. (2015). Buku Ajar Keperawatn Jiwa. Jakarta selatan: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai