Anda di halaman 1dari 15

RESUME BUKU

PSIKOLOGI SOSISAL

DISUSUN OLEH
DIKI RIANDY
2105032045
EL-5A

PRODI TEKNIK LISTRIK


JURUSAN TEKNIK ELEKTRO
POLITEKNIK NEGERI MEDAN
TAHUN AJARAN 2022/2023
Identitas Buku:

Judul : Psikologi sosial


Penulis : Dr. faturochman ,MA
Penerbit : Pustaka yogyakarta
Kota terbit : Yogyakarta
Tahun terbit : 2006

BAB I

PENGERTIAN PSIKOLOGI SOSIAL


Begitu banyak definisi yang dikemukakan untuk merumuskan Psikologi Sosial.
Dari berbagai definisi tersebut, secara umum dapat disimpulkan bahwa
Psikologi Sosial adalah ilmu pengetahuan yang membahas perilaku individu
dalam konteks sosial. Definisi ini mengandung dua unsur pokok, yaitu perilaku
individu dan konteks sosial. Pembahasan tentang perilaku individu telah banyak
disampaikan dalam psikologi yang lain, Psikologi Umum khususnya. Karenanya
tidak akan dibahas secara rinci tentang perilaku individu. Meskipun demikian
perlu diingat bahwa perilaku manusia, termasuk sebagai individu, juga menjadi
bahasan dalam ilmu-ilmu sosial lain seperti sosiologi, antropologi, ekonomi,
dan sejarah. Ciri khas Psikologi sebagai ilmu adalah penekanannya yang
mendalam pada aspek-aspek psikologis seperti kognisi, emosi, dan motivasi
dalam membahas perilaku manusia.

SEJARAH SINGKAT
Perkembangan Psikologi Sosial dapat dilihat sedikitnya dari tiga indikator, yaitu
tokoh, lembaga, dan publikasi. Sesungguhnya satu indikator berkaitan erat
dengan yang lainnya oleh karena itu dalam pembahasan selanjutnya akan
dijelaskan secara bersamaan bila memang saling terkait. 11 Begitu banyak
tokoh dalam Psikologi Sosial yang dapat ditempatkan sebagai pemberi
kontribusi yang besar dalam perkembangan Psikologi Sosial. Tokoh dalam
Psikologi Sosial memang lebih banyak yang berasal dari Psikologi dibanding
Sosiologi. Wundt, misalnya, pada awalnya dikenal sebagai ahli Psikologi dengan
penelitiannya yang terkait dengan proses fisiologi. Dalam sejarah Psikologi,
Wundt dikenal sebagai orang pertama yang menerbitkan buku Psikologi dengan
judul Grundzuge der Physiologschen Psycholologie pada tahun 1874. Ternyata
Wundt pula yang menerbitkan buku Psikologi Sosial untuk pertama kalinya
dengan judul Volkerpsychology yang terdiri dari 10 jilid antara tahun 1900-
1920.
RELEVANSI PSIKOLOGI SOSIAL SAAT INI

Pada bagian awal dari bab ini telah disebutkan bahwa konteks sosial dari
perilaku manusia tidak terbatas pada hubungan dengan orang lain. Faktor
kebudayaan dan lingkungan fisik tidak dapat diabaikan peranannya. Konteks
yang luas cakupannya ini membawa konsekuensi bahwa peran Psikologi Sosial
dalam kehidupan manusia cukup besar. Satu hal lagi yang menambah arti
penting Psikologi Sosial adalah perubahan sosial yang terus berjalan. Manusia
sebagai pelaku sekaligus objek perubahan harus berinteraksi dengan
perubahan tersebut. Tiga contoh di bawah ini akan menjelaskan peran Psikologi
Sosial bagi masyarakat Indonesia dewasa ini. Dalam khasanah psikologi sosial
penjelasan tersebut merupakan bagian dari terapan psikologi sosial.

Tanggung Jawab Sosial

Akhir-akhir ini sering disinyalir bahwa solidaritas sosial telah terkikis.


Keengganan untuk menolong orang lain dapat terjadi karena dorongan untuk
menolong berkurang, proses menolong yang semakin sulit, dan akibat dari
menolong tidak selamanya positif. Situasi dunia yang makin kompetitif
melemahkan dorongan untuk menolong. Jalan raya yang padat makin
menyusahkan orang memberi pertolongan terhadap korban kecelakaan. Orang
yang menolong korban penganiayaan bisa menanggung risiko yang besar
seperti disakiti dan diancam.

Masalah keluarga

Di beberapa negara maju ada perubahan yang cukup drastis dalam keluarga
sebagai institusi. Pernikahan tidak lagi dianggap satu-satunya yang cara untuk
membentuk sebuah keluarga. Rasionalitas telah menjadi dasar dalam menjalin
hubungan antar anggota keluarga. Karenanya, seolah-olah kehangatan dalam
keluarga tidak cukup kuat. Di Indonesia masalahnya tidak seperti di negara
maju. Meskipun demikian perubahan yang terjadi cenderung searah dengan
yang sekarang terjadi di negara maju. Gejala yang muncul sekarang adalah
makin berkurangnya peran keluarga luas (extended family) dan pola hubungan
menyempit sebatas pada keluarga inti (Faturochman, 1996).
BAB II

PERSEPSI DIRI
Secara prinsip, proses persepsi sosial dan persepsi diri tidak ada perbedaan.
Terutama dalam hubungannya dengan proses fisiologis dalam otak. Perbedaan
yang mendasar antara keduanya adalah karena pada persepsi diri subyek dan
obyeknya sama. Menurut Darley Bem (dalam Manstead dan Hewstone, 1996;
Shaw dan Costanzo, 1982), perbedaan mendasar antara persepsi diri dengan
persepsi sosial disebabkan oleh beberapa faktor. Di antaranya disebutkan di
bawah ini.
1. Perbedaan dalam diri dengan luar diri seseorang.
2. Perbedaan karena kenal dengan tidak kenal.
3. Perbedaan antara diri dengan orang lain.
4. Perbedaan sebagai pelaku dan pengamat.

EVALUASI DIRI
Tujuan yang lebih mendasar dari persepsi diri adalah dalam rangka menilai diri
sendiri. Evaluasi diri akan menjadi sulit tanpa adanya pembanding, dalam hal
ini orang lain. Oleh karenanya cara yang paling sering digunakan dalam evaluasi
diri adalah dengan jalan melakukan perbandingan sosial. Teori Perbandingan
Sosial yang banyak dikenal mengacu pada pendapat Leon Festinger (1954),
yang menyatakan bahwa seseorang menggunakan orang lain sebagai dasar
perbandingan untuk mengevaluasi diri sendiri baik dalam hal pendapat
maupun dalam hal kemampuan. Teori ini kemudian berkembang karena pada
dasarnya tiap-tiap individu memiliki kebutuhan untuk menilai diri sendiri.
Namun demikian, tidak setiap saat kebutuhan itu muncul. Pada saat seseorang
merasa ragu atau tidak yakin dengan kemampuan maupun opininya, maka ia
butuh tahu kondisi yang sesungguhnya. Untuk mengetahui hal tersebut, maka
cara yang digunakan adalah dengan jalan menilai diri sendiri. Di samping itu,
pada saat menghadapi persaingan orang juga membutuhkan evaluasi diri.
Tujuannya agar dapat mengungguli saingan atau setidaknya menyamainya.
Apabila kemudian dia sadar bahwa kemampuannya terlalu jauh di bawah
dirinya, maka akan dilakukan usaha untuk menghindari persaingan itu.
Penonjolan keunikan.

Salah satu kesulitan dalam menilai diri adalah kecenderungan untuk


menggunakan halhal yang justru kurang biasa pada dirinya atau hal-hal yang
menonjol saja (dalam arti negatif maupun positif). Gejala seperti ini biasa
disebut sebagai distinctiveness postulate. Apabila hal ini terjadi, maka
obyektivitas penilaian menjadi berkurang.

Skemata diri.
Untuk sampai pada atribusi dalam proses persepsi, terjadi suatu proses dalam
self yang merupakan mental framework (jaringan kerangka kerja mental) yang
terbentuk melalui pengalaman-pengalaman untuk memproses informasi yang
masuk, yang biasa disebut schema.

Vefikasi diri.
Dengan mengetahui skema dirinya, orang tidak hanya akan mempermudah
memprediksi diri sendiri,tetapi juga kemudian berusaha untuk memperhatikan
dan mencari informasi yang sesuai dengan skema diri tersebut. Keadaan
seperti ini disebut sebagai verifikasi diri

ATRIBUSI DIRI
Daryl Bem menyatakan bahwa seseorang mencoba memahami sikap dan
karakteristik dirinya sendiri dengan jalan melihat pada perilaku dirinya dan
situasi yang ada pada saat itu. Orang dapat melihat dirinya sebagaimana ia
melihat orang lain, dan juga memperhatikan penyebab-penyebab dari
perilakunya. Contoh dari konsep tersebut adalah pada petinju Mohammad Ali.
Dia selalu mengatakan bahwa "Sayalah yang terbesar". Kemudian dia
mencocokkan dengan keadaan sesungguhnya. Ternyata dia memang mampu
merobohkan lawan-lawannya. Dengan melihat kenyataan ini, ia merasa yakin
bahwa dia memang yang terbesar. Sebaliknya, apabila ternyata dia beberapa
kali dikalahkan, maka dia akan menyatakan bahwa hal itu disebabkan karena
faktor situasi. Demikian juga sebaliknya, apabila dia ternyata memang bukan
yang terbesar, tetapi hal itu lebih bertujuan untuk menarik penonton
menyaksikan pertandingannya, maka dia sebetulnya sadar, bahwa
perkataannya itu lebih berperan sebagai pemnarik perhatian, bukan gambaran
tentang dirinya.
BAB III

PERSEPSI SOSIAL
Ada kecenderungan umum pada seseorang ketika bertemu dengan orang lain
yang belum dikenalnya untuk memberi penilaian atau untuk mengetahui
seperti apa orang yang dijumpainya itu. Kecenderungan untuk memberi suatu
cap tertentu pada seseorang masih juga terlihat pada masamasa seperti
sekarang, di mana hubungan antar individu terasa semakin merenggang.
Fenomena seperti ini menarik perhatian para ahli untuk mempelajari lebih
lanjut sehingga muncul teori-teori persepsi sosial. Salah satu konsep yang
dapat menerangkan timbulnya kecenderungan seperti di atas adalah konsep
tentang.

sering digunakan orang untuk menginterpretasi perilaku orang lain. Keenam


dimensi tersebut adalah:
1. Dapat dipercaya - tidak dapat dipercaya
2. Rasional - irrasional
3. Altruis - orientasi diri
4. Independen - konform dengan kelompok
5. Variatif - kesamaan 6. Kompleksitas – kesederhanaan

PEMBENTUKAN KESAN
Untuk menjadi terkesan dengan sesuatu tentunya melalui proses tertentu yang
terkadang amat rumit. Banyak faktor yang mempengaruhi munculnya kesan
tertentu. Di sisi lain pemunculan kesan bukan tahap terakhir dari persepsi.
Pemberian atribusi dan konsekuensi dari atribusi tersebut merupakan aspek
yang sulit dipisahkan dari persepsi.

Isyarat Nonverbal
Sama pentingnya dengan isi suatu perkataan, isyarat nonverbal sering justru
menghapuskan arti dari semua yang telah disampaikan melalui perkataan.
Apabila lawan bicara memandang ke arah lain, bukan ke arah lawan bicaranya,
orang akan berpendapat bahwa ia kurang memperhatikan, sehingga apa yang
dikatakannya memiliki arti lebih rendah daripada bila dia melakukan
pembicaraan dengan disertai kontak mata. Contoh lain yang menunjukkan arti
penting isyarat non-verbal adalah wajah yang murung. Tanpa berbicara
sepatahpun orang lain akan menduga bahwa orang tersebut sedang sedih.
Prototipe dan Stereotipe.
Pengetahuan tentang orang-orang tertentu dan kaitannya dengan atribut
tertentu sering diistilahkan sebagai prototipe. Hasil prototipe memunculkan
adanya stereotipe, yaitu pemberian atribut tertentu pada sekelompok orang
tertentu. Contoh dari stereotipe adalah anggapan bahwa orang Indonesia pada
umumnya ramah, orang Amerika individualistis dan sebagainya. Meskipun
proses pemberian atribut ini didasarkan fakta-fakta tertentu, namun
generalisasinya belum tentu benar. Salah satu penyebab kurang akuratnya
adalah karena kurang memperhatikan faktor waktu dan situasi. Oleh karena itu
bisa dipertanyakan, apakah orang Jawa ramah? Apakah pada semua kondisi
mereka juga ramah? Kelemahan lainnya adalah karena kurang diperhatikan
adanya faktor perbedaan individu (individual differences) dan karakteristik
personal (personal characteristics).

Kategorisasi Sosial
Sesaat setelah bertemu dengan orang lain, ada kecenderungan untuk
secepatnya mengategorisasikan orang tersebut ke dalam suatu ciri tertentu.
Penilaian yang cepat ini memiliki arti yang penting pula dalam proses
pembentukan impresi selanjutnya. Contoh yang sering ditemui dari pentingnya
penilaian awal ini adalah munculnya hallo effect, yaitu tendensi untuk berpikir
dan menilai bahwa orang yang kualitas baik pada satu hal juga memiliki kualitas
yang baik di berbagai hal.

Informasi Awal
Pada waktu akan mengadakan suatu pertemuan pertama dengan orang yang
tidak dikenal sebelumnya, seseorang 34 biasanya mempersiapkan diri sebaik
mungkin. Tujuannya agar timbul kesan yang positif pada kenalan barunya itu.
Hal seperti ini dilakukan karena ada keyakinan bahwa kesan pertama memiliki
arti yang penting untuk hubungan selanjutnya. Satu bukti kekuatan kesan
pertama yaitu adanya konsep primacy effect. Ada gejala bahwa informasi yang
didapat pertama kali lebih berpengaruh terhadap pembentukan kesan
daripada informasi yang didapatkan berikutnya. Inilah yang dimaksud primacy
effect.

Informasi Terakhir
Sering juga terjadi bahwa bukan informasi yang pertama yang lebih
berpengaruh terhadap pembentukan impresi, tetapi justru informasi
terakhirlah yang berpengaruh. Keadaan seperti ini dikenal sebagai recency
effect. Menurut Luchins (dalam Worchel dan Cooper, 1983), informasi terakhir
lebih berpengaruh antara lain karena selang waktu informasi awal dengan
informasi terakhir yang panjang. Dengan demikian informasi pertama
terasimilasi oleh informasi yang berikutnya. Kemungkinan lain penyebab
efektivitas dari informasi terakhir yang lebih berpengaruh adalah karena
informasi tersebut memiliki intensitas yang tinggi sehingga menimbulkan kesan
yang mendalam. Di samping intensitas informasi (isi), situasi (konteks) di saat
informasi terakhir terjadi yang mengesankan juga akan sangat berpengaruh
terhadap efektivitas pembentukan kesan. Isi dan konteks juga ikut berpengaruh
terhadap terjadinya primacy effect.

ATRIBUSI
Atribusi adalah kesimpulan yang dibuat oleh seseorang untuk menerangkan
mengapa orang lain melakukan suatu perbuatan. Penyebab yang dimaksud
biasanya adalah disposisi pada orang yang bersangkutan. Dengan demikian
teori-teori atribusi adalah usaha untuk menerangkan bagaimana suatu sebab
menimbulkan perilaku tertentu Sejauh ini di dalam Psikologi Sosial dikenal
beberapa teori atribusi, di antaranya dikemukakan oleh (a) Jones dan Davis
(1965), (b) Kelley (1972), dan (c) Weiner dkk. (1972).

Theory of Correspondent Inference dari Edward Jones dan Keith Davis


Apabila perilaku berhubungan dengan sikap atau karakteristik personal berarti
dengan melihat perilakunya dapat diketahui dengan pasti sikap atau
karakteristik orang tersebut. Hubungan yang demikian adalah hubungan yang
dapat disimpulkan (correspondent inference). Ini berbeda dengan keadaan, di
mana banyak orang melakukan hal yang sama. Misalnya, seorang yang
menyampaikan rasa simpati terhadap suatu musibah belum bisa dikatakan
sebagai orang yang simpatik, sebab sebagian orang memang melakukan hal
yang serupa. Bagaimana mengetahui bahwa perilaku berhubungan dengan
karakteristik? Ada beberapa cara untuk melihat ada atau tidak adanya
hubungan antara keduanya. Pertama dengan melihat kewajaran perbuatan
atau perilaku. Orang yang bertindak wajar (sesuai dengan keinginan
masyarakat (social desirability) sulit untuk dikatakan bahwa tindakannya itu
cerminan dari karakternya. Sebaliknya, akan lebih mudah untuk menebak
bahwa perilakunya merupakan cerminan dari karakter dia bila dia melakukan
sesuatu yang kurang wajar. Contohnya orang yang berjalan sesuai dengan jalur
sulit untuk ditebak bahwa perilaku itu mencerminkan karaktemya. Namun bila
dijumpai ada seseorang yang berjalan menerabas, dapat disimpulkan bahwa
perbuatan itu adalah cerminan dari karakternya, tidak patuh aturan.
Model of Scientific Reasoner Harold Kelley (1972)
mengajukan konsep untuk memahami penyebab perilaku seseorang dengan
memandang pengamat seperti ilmuwan, disebut ilmuwan naif. Untuk sampai
pada suatu kesimpulan atribusi seseorang, diperlukan tiga informasi penting.
Masing-masing informasi juga harus menggambarkan tinggi-rendahnya.

Kekhasan (Distinctiveness)
Konsep ini merujuk pada bagaimana seseorang berperilaku dalam kondisi yang
berbeda-beda. Distinctiveness yang tinggi terjadi bila orang yang bersangkutan
mereaksi secara khusus pada suatu peristiwa. Misalnya ia hanya ketawa ketika
nonton film komedi X, sedangkan ketika nonton film komedi lainnya ia tidak
pernah ketawa. Dikatakan distinctiveness rendah bila ia merespon sama
terhadap stimulus yang berbeda. Misalnya seseorang yang selalu tertawa bila
melihat film komedi.

Konsistensi.
Konsistensi menunjuk pada pentingnya waktu sehubungan dengan suatu
peristiwa. Konsistensinya dikatakan tinggi apabila seseorang merespon sama
untuk stimulus yang sama pada waktu yang berbeda. Misalnya, orang yang
selalu tertawa bila melihat lelucon dari pelawak Bagio, baik dulu maupun
sekarang, disebut konsistensinya tinggi.

Konsensus.
Konsep tentang konsensus melibatkan orang lain sehubungan dengan stimulus
yang sama. Apabila orang lain tidak bereaksi sama dengan seseorang berarti
konsensusnya rendah. Sedangkan bila orang lain juga melakukan hal sama
dengan dirinya berarti konsensusnya tinggi.
Dari ketiga informasi tersebut di atas, bisa di tentukan atribusi pada seseorang.
Menurut Kelley ada tiga atribusi, yaitu:
1. Atribusi internal. Dikatakan perilaku seseorang merupakan gambaran dari
karakternya bila distinctivenessnya rendah, konsensusnya rendah, dan
konsistensinya tinggi.
2. Atribusi eksternal. Ditandai dengan distinctiveness yang tinggi, konsensus
tinggi, dan konsistensinya juga tinggi.
3. Atribusi internal-eksternal yaitu yang disebabkan karena dorongan dari
dalam diri orang tersebut dan juga dari luar dirinya. Tandanya adalah
distinctiveness yang tinggi, konsensus yang rendah, dan konsistensi yang
tinggi.
BAB IV

SIKAP PENGERTIAN
Pembahasan tentang sikap seringkali menjadi dominan dalam Psikologi
Sosial. Hal ini terlihat dengan banyaknya tulisan dan penelitian tentang
sikap. Meskipun tidak bisa menunjukkan jumlah kongkrit dari fakta yang
ada, dari pengamatan penilaian di atas bisa dibenarkan. Keadaan ini
menunjukkan pentingnya sikap dalam kehidupan sosial, terutama dalam
perspektif Psikologi. Sikap adalah organisasi yang relatif menetap dari
perasaan-perasaan, keyakinan-keyakinan dan kecenderungan perilaku
terhadap orang lain, kelompok, ide-ide atau obyek-obyek tertentu
(Fishbein & Ajzen, 1975). Dari pengertian ini, ada tiga hal penting yang
terkandung di dalam sikap, yaitu aspek afeksi (perasaan), aspek kognisi
(keyakinan), dan aspek perilaku (dalam bentuk nyata ataupun
kecenderungan). Aspek afeksi dari sikap terlihat dengan adanya penilaian
dan perasaan terhadap suatu obyek bila seseorang bersikap. Perasaan
yang ditujukan kepada obyek tertentu bisa positif, bisa juga negatif.
Perkataan yang berhubungan dengan kekaguman, pujian atau
penghargaan adalah sebagian contoh perasaan positif yang ditujukan
secara verbal. Sedangkan senyuman, pupil yang melebar, rona yang cerah,
adalah contoh dari ekspresi.

PEMBENTUKAN SIKAP
Sikap-sikap tertentu dapat dibentuk sejak usia dini. Sikap yang lain
terbentuk dalam waktu singkat untuk menanggapi suatu kejadian.
Kapanpun terbentuknya, beberapa konsep di bawah ini dapat
menerangkan sebagian di antaranya.

Teori Belajar
 Classical Conditioning Theory
 Instrumental Conditioning.
 Belajar Melalui Observasi (modeling).

PERUBAHAN SIKAP
Ada beberapa metode untuk mengubah sikap. Di bawah ini ada beberapa cara
yang sering dilakukan oleh ahli Psikologi untuk mengubah sikap. Namun
demikian harus dicatat bahwa banyak perubahan sikap yang terjadi tanpa ada
intervensi langsung dari atau oleh seseorang. Dinamikanya barangkali tidak
berbeda jauh dengan perubahan yang disengaja. Komunikasi Persuasif,
Komunikator, Isi komunikasi dan Situasi, Penerima Pesan, Teori Disonansi
Kognitif, Congruity Theory.

SIKAP DAN PERILAKU


Apakah sikap dan perilaku selalu konsisten? Pertanyaan ini sangat sering
muncul pada pembahasan tetang sikap, sebab dengan pengamatan sepintas
sering terlihat adanya ketidak konsistenan antara keduanya. Contohnya, orang
yang bersikap positif terhadap Program Keluarga Berencana belum tentu dia
mau berpartisipasi atau ikut menjadi akseptor KB. Dokter yang tahu dengan
pasti tentang efek negatif dari merokok dan bersikap positif terhadap
pemberantasan kanker, yang antara lain disebabkan oleh rokok, ternyata
banyak yang menghisap rokok. Salah satu teori yang bisa menerangkan
hubungan antara sikap dan perilaku adalah teori yang dikemukakan oleh
Fishbein dan Ajzen (Ajzen, 1988; Fishbein dan Ajzen, 1975). Menurut mereka,
antara sikap dan perbuatan terdapat satu faktor psikologis lain yang harus ada
agar keduanya konsisten, yaitu niat (intention). Tanpa ada niat suatu perbuatan
tidak akan muncul, meskipun sikap tersebut sangat kuat (positif) terhadap
suatu obyek. Namun demikian, bukan berarti apabila ada ketiga faktor tersebut
akan otomatis terjadi konsistensi antara sikap dengan perbuatan. Secara
teoritis dapat diprediksikan akan terjadi konsistensi antara sikap dengan
perbuatan apabila antara sikap dengan niat, dan antara niat dengan perbuatan
tidak terjadi hambatan atau pengaruh.

PENGUKURAN SIKAP
Sikap, sebagaimana aspek-aspek psikologis lainnya, juga bisa diukur. Asumsi
pengukuran sikap yang paling mendasar antara lain dikemukakan oleh
Thurstone yang menyatakan bahwa sesuatu yang ada tentu akan eksis, sesuatu
yang eksis bisa diukur. Mengingat bahwa pengukuran sikap memerlukan
pembahasan tersendiri, dan pada kenyataannya sudah cukup banyak
penerbitan yang membahasnya, maka pada kesempatan ini hanya akan diberi
gambaran yang tidak terlalu mendalam, dengan harapan bagi yang berminat
lebih jauh bisa melihat pada sumber-sumber yang membahas dengan lebih
mendalam.

Observasi
Seperti dikemukakan pada pembahasan terdahulu, bahwa sikap berhubungan
baik secara langsung maupun tidak langsung dengan perilaku, maka mengukur
sikap juga bisa dengan melalui observasi. Seseorang yang mencemooh orang
lain, memaki atau memarahi dapat dinilai memiliki sikap yang negatif.
BAB V

DAYA TARIK SOSIAL.

Salah satu hal yang mendasari terjadi hubungan sosial adalah seberapa jauh
seseorang tertarik dengan orang lain. Apabila ada daya tarik di antara mereka,
maka kemungkinan terjadinya hubungan lebih besar. Kenyataan seperti ini bisa
dilihat di tempat-tempat umum. Karena tidak ada perhatian dan ketertarikan
dengan wanita yang duduk di salah satu bangku, seorang pria tidak akan
menjalin hubungan sosial dengan wanita tersebut. Sebaliknya, meskipun
kondisi yang ada sebenarnya sulit untuk mengadakan kontak sosial, tetapi
karena seseorang tertarik sangat kuat pada orang lain, maka akan diusahakan
oleh orang pertama tersebut untuk menjalin hubungan.
PENGERTIAN
Pengertian daya tarik sering terlalu sempit, sekali lagi, terbatas pada daya tarik
fisik. Padahal daya tarik fisik hanya merupakan salah satu bagian daya tarik.
Namun ada baiknya bila hal ini dijadikan contoh untuk mengembangkan
pemahaman tentang daya tarik. Seseorang yang menarik wajahnya biasanya
akan diberi penilaian yang baik. Orang yang memberi penilaian baik ini berarti
mempunyai sikap yang positif. Oleh karena itu ketertarikan didefinisikan
sebagai sikap positif terhadap orang lain.
FAKTOR PENGARUH
Secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi ketertarikan ada empat,
yaitu:
1. karakteristik actor
2. faktor penerima
3. variable-variabel interpersonal dan
4. faktor kondisi yang ada atau yang menyertai
DAFTAR PUSTAKA

Ajzen, I. 1988. Attitudes, Personality and Behavior. Open University


Press, Milton Keynes.
Allport, F. 1924. Social Psychology. Houghton-Mifflin, Boston.
Azwar, S. 1988. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya.
Liberty, Yogyakarta.
Barash, D. 1979. The Wishperings Within. Harper & Row, New York.
Baron, R.A & Byrne, D. 1994. Social Psychology: Understanding Human
Interaction. Allyn & Bacon, Boston.
Farr, R.M. 1996. The Roots of Modern Social Psychology.
Blackwell Publisher Ltd., Oxford. Berkowitz, L. 1978.
Whatever Happened to the FrustrationAggression Hypothesis?
American Behavioral Scientists, 21, 691-708. Berkowitz, L. 1983.
Aversively Stimulated Aggression: Some Parallels and Differences in
Research with Animals and Humans. American Psychologist, 38, 1135-
1144. Dollard, J., Doob, L., Miller, N., Mowrer, O.H., & Sears, R.R. 1939.
Frustration and Aggression. Yale University Press, New Haven.
Faturochman. 1993. Prejudice and Hostility: Some Perspectives. Buletin
Psikologi, No.1, 17-23. Faturochman. 1996. Dampak Penurunan
Fertilitas. Dalam Dwiyanto, A. dkk. (eds.) penduduk dan Pembangunan.
Aditya Media, Yogyakarta. Faturochman. 2002. Keadilan: Perpektif
Psikologi. UPF Psikologi UGM & Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Festinger, L.
1954. Theories of Social Comparison Processes. Human Relations, 7,
117-140. Fiedler, F.E. 1967. A Theory of Leadership Effectiveness.
McGraw-Hill, New York. Fishbein, M. & Ajzen, 1. 1975. Belief, Attitude,
Intention & Behavior: An Introduction Theory and Research. Addison
Wesley, London. Hogg, M.A. dan Abrams, D. 1988. Social Identifications:
A Social Psychology of Intergroup Relations and Group Processes.
Routledge, London.

Anda mungkin juga menyukai