Anda di halaman 1dari 32

PSIKOLOGI SOSIAL dan PSIKOLOGI MASSA

Sovie Dina Kumala (F02718298)

Mata Kuliah Psikologi Komunikasi dan Media


Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

A. PENDAHULUAN

Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, kita tidak bisa lepas dari masalah
kejiwaan. Kejiwaan seseorang mempengaruhi cara seseorang bergaul, bersikap serta
mengambil keputusan. Maka dari itu kita harus mengetahui apa itu psikologi secara mendalam
agar kita dapat mengatur dan mengontrol diri kita sendiri agar bisa menjadi manusia ideal.

Psikologi memiliki beberapa cabang ilmu, seperti psikologi sosial dan psikologi massa.
Psikologi sosial merupakan perkembangan ilmu pengetahuan yang baru dari ilmu pengetahuan
psikologi pada umumnya. Ilmu tersebut menguraikan tentang kegiatan-kegiatan manusia
dalam hubungannya dengan situasi-situasi sosial. Dari berbagai pendapat tokoh-tokoh tentang
pengertian psikologi sosial dapat disimpulkan bahwa psikologi sosial adalah suatu studi ilmiah
tentang pengalaman dan tingkah laku individu-individu dalam hubungannya dengan situasi
sosial.

Perkumpulan antar manusia yang menghasilkan perubahan sosial menjadikan sebab-


musabab perubahan sikap yang dialami setiap individu dalam perkumpulan tersebut.
Perkumpulan oleh setiap manusia juga disebut sebagai massa di mana adanya sekumpulan
manusia berbentuk kelompok atau lainnya yang teratur (konkret) maupun bebas (abstrak).

Perbuatan massa juga berdasarkan atas faktor psikologis yang mendasarinya. Yaitu orang
bertindak dalam massa adalah berdasarkan atas dorongan-dorongan atau keinginan-keinginan
dan sebagainya yang muncul dari bawah sadar yang semula ditekannya. Karena itu, bila
banyak hal yang ditekan merupakan suatu pertanda yang kurang baik, sebab pada suatu waktu
dapat muncul di permukaan bila keadaan memungkinkan.

Sehubungan dengan penjelasan tersebut, maka penting kiranya bagi penulis untuk
menjelaskan mengenai psikologi sosial dan psikologi massa, sehingga dapat menambah
wawasan bagi pembaca dan penulis.

1
2
B. PEMBAHASAN

1. PSIKOLOGI SOSIAL

a. Pengertian Psikologi Sosial

Psikologi sosial (social phycology) merupakan suatu ilmu pengetahuan yang


berusaha memahami asal-usul dan sebab-sebab terjadinya perilaku dan pemikiran
individu dalam konteks situasi sosial.1 Psikologi sosial menggunakan metode ilmiah
untuk mempelajari bagaimana seseorang memandang orang lain dan peristiwa sosial,
bagaimana seseorang mempengaruhi orang lain, dan untuk mempelajari sifat dari
hubungan sosial seseorang.

Menurut Brehm dan Kassin "social psychology is the scientific study of the way
individuals think, feel, desire, and act in social situations"2. Psikologi sosial merupakan
suatu studi ilmiah mengenai cara individu berfikir (think), merasa (feel), berkeinginan
(desire) dan bertindak (act) dalam situasi sosial. Dari definisi tersebut, Brehm dan
Kassin menjelaskan secara terperinci sebagai berikut:

• Studi Ilmiah

Psikologi sosial menggunakan metode ilmiah seperti observasi yang sistematis,


deskripsi objek atau subjek, dan pengukuran untuk mempelajari kondisi-kondisi
manusia.3

• Cara individu berfikir, merasa, berkeinginan dan bertindak

Psikologi sosial memandang perilaku lebih luas. Untuk memahami individu,


psikologi sosial umumnya menggunakan metode eksperimen. Krakteristik yang
terpenting dari psikologi sosial sebagai ilmu meliputi tiga hal, yaitu; perspektif luas,
fokus lebih pada individu, dan seringkali menggunakan metode eksperimen.

• Dalam situasi sosial

1
Roberth A Baron & Donn Byrne, Psikologi Sosial, Jilid I, Edisi 10, (Jakarta: Erlangga, 2004), 5
2
Brehm, S.S., & Kassin, S.M., Social Psychology. Third Edition, (London, Prentice-hall: 1996), 6
3
Ibid

3
Situasi sosial mencerminkan tempat perilaku. Maka, seberapa "sosialkah" psikologi
sosial itu? Dalam usahanya menyusun prinsip teori yang umum, maka psikologi
sosial seringkali menguji pengaruh faktor-faktor non sosial (berfikir, emosi, motif
dan tindakan) dan juga faktor sosial (pengaruh sosial dan interaksi sosial).4

Kenrick menyatakan bahwa "social psychology is the scientific study of how


people's toughts, feelings, and behaviors are influenced by other people"5 Psikologi
sosial merupakan studi ilmiah bagaimana sesorang berfikir, berperasaan dan bertindak
yang dipengaruhi oleh orang lain.

Perbedaan utama dari kedua definisi tersebut terletak pada akhir definisi. Jika
Brehm dan Kassin lebih menekankan pada situasi sosial sebagai setting perilaku terjadi,
sedangkan Kenrick lebih menyatakan orang lain (other people) sebagai faktor yang
mempengaruhi individu.

Sebagai studi ilmiah, psikologi sosial memiliki dua kategori tugas utama, yaitu
deskripsi (descriptions) dan penjelasan (explanations).

1. Deskripsi (descriptions)

Dalam mendeskripsikan suatu fenomena, seorang psikologi tidak boleh menambah


atau mengurangi apa yang terjadi dalam realitas sosial. Ibarat rekaman video, ahli
psikologi sosial harus mampu menggambarkan peristiwa seolah-olah memutar-
ulang peristiwa yang terjadi di lapangan seperti aslinya.

2. Penjelasan (explanations)

Dalam menjelaskan, seorang ahli psikologi harus menggunakan teori dan


menghubungkan sejumlah teori psikologi sosial dengan realitas yang telah di
deskripsikan dengan selalu memperhatikan aspek objektivitasnya.

Objek kajian psikologi sosial adalah fikiran, perasaan, dan tindakan sosial
seseorang dalam konteks sosial dengan menekankan pada perilaku sosial dan
memperhatikan setting sosial dan kehadiran orang lain.

4
Suryanto, Pengantar Psikologi Sosial, (Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan UNAIR, 2012), 4
5
Kenrick, D.T., Neuberg, S.L., & Cialdini, R.B., Social Psychology: Unraveling The Mystery. Second Edition, (Boston:
Allyn and Bacon Inc, 2002), 2

4
Menurut Gordon Allport, psikologi sosial adalah ilmu pengetahuan yang
berusaha memahami dan menjelaskan bagaimana pikiran, perasaan, dan tingkah laku
seseorang dipengaruhi oleh kehadiran orang lain, baik secara nyata atau actual, dalam
bayangan atau imajinasi, dalam kehadiran yang tidak langsung (implied).

Menurut David O Sears, psikologi sosial adalah ilmu yang berusaha secara
sistematis untuk memahami perilaku sosial, mengenai bagaimana kita mengamati
orang lain dan situasi sosial, bagaimana orang lain bereaksi terhadap kita, serta
bagaimana kita dipengaruhi oleh situasi sosial.

Shaw dan Costanzo menjelaskan bahwa psikologi sosial merupakan ilmu


pengetahuan yang mempelajari tingkah laku individu sebagai fungsi dari rangsang-
rangsang sosial.6 Individu dalam difinisi tersebut menunjukkkan bahwa unit analisis
dari psikologi sosial adalah individu, bukan masyarakat (seperti dalam sosiologi)
maupun kebudayaan (seperti dalam antropologi budaya).

Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa psikologi sosial


memfokuskan diri terutama pada pemahaman sebab-sebab perilaku dan pemikiran
sosial, yaitu faktor-faktor yang membentuk perasaan perilaku, dan pikiran kita dalam
berbagai situasi sosial. Psikologi sosial mencapai tujuan ini melalui metode-metode
ilmiah, dengan menyadari bahwa perilaku dan pemikiran sosial dipengaruhi oleh
faktor-faktor sosial, kognitif, lingkungan, budaya, dan biologis.

Mengenai psikologi sosial terdapat pertentangan faham antara beberapa tokoh


ilmu jiwa sosial yang dalam garis besarnya dapat dikelompokkan menjadi dua aliran
yakni, aliran subyektifisme yang menyatakan bahwa individulah yang membentuk
masyrakat dalam segala tingkah lakunya. Dan aliran obyektivisme yang merupakan
kebalikan dari aliran subyektivisme, bahwa masyarakatlah yang menentukan individu.

b. Sejarah Psikologi Sosial

Berikut adalah periodesasi terpenting dalam psikologi sosial:

1. Era pengumpulan kekuatan (gathering force) (1880-1935)

6
Shaw, M.E., & Costanzo, P. R. Theories of Social Psychology (New York: Mc. Graw Hill Co, 1970), 3

5
Bhrem dan Kassin mengenal era ini sebagai era pengumpulan kekuatan.
Studi terawal psikologi sosial dilakukan oleh Norman Triplett dan Max
Ringelmann. Topik penelitian kedua ahli tersebut mempertanyakan “apakah
performa seseorang akan meningkat ketika apabila ada orang lain hadir
didekatnya? apakah performa individu akan mengalami penyimpangan (decline)
apabila berada pada setting kelompok?”

Selain kedua tokoh tersebut, kontribusi lain yang cukup berpengaruh adalah
terbitnya tiga buku teks yang ditulis oleh psikologis Inggris, William McDougall
(1908), Ross (1908) dan Allport (1924). Ketiga tulisan ini kemudian menjadi rival
adanya pendekatan baru dalam psikologi sosial yang melihat adanya aspek sosial
yang berpengaruh terhadap perilaku manusia.7

2. Era kemajuan yang besar (great advance) (1936-1945)

Pada masa infacy, psikologi sosial didukung oleh lahirnya tokoh-tokoh


besar. Salah satunya adalah Muzafer Sherif. Ia mempublikasikan studi besar
tentang pengaruh sosial. Dalam studinya tentang konformitas, ia melaksanakan
eksperimen tentang ilusi visual yang berupa sebuah titik sinar yang sebenarnya
berhenti tapi tampak bergerak. Dari riset tersebut menginspirasi munculnya studi
yang lebih kompleks tentang perilaku manusia sebagai akibat pengaruh sosial
dalam situasi ilmiah.

Kontributor lainnya yaitu, Kurt Lewin. Konsepnya tentang life-space (ruang


kehidupan) ditetapkannya sebagai prinsip dasar dalam psikologi sosial terutama
ketika kita mempersepsi dan menginterpretasi dunia sekitar kita. Orang yang
berbeda dapat mempersepsi situasi secara berbeda pula, dan perilakunya pun akan
bervariasi. Ia merumuskan field theory (teori medan) bahwa perilaku merupakan
fungsi interaksi antara individu dengan lingkungannya. Teori ini dikenal sebagai
teori yang interaksionis karena teorinya melihat perilaku manusia merupakan hasil
faktor pribadi (person) dan faktor lingkungan (environment).

7
Suryanto, Pengantar Psikologi Sosial, (Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan UNAIR, 2012), 7

6
Blass (1984) menyatakan pendekatan ini menggabungkan unsur dalam
psikologi kepribadian dan aspek psikologi sosial. Psikologi sosial kemudian banyak
memberikan penjelasan tentang terjadinya perilaku dan juga memberikan solusi
atas problem perilaku yang ditimbulkannya.8

3. Era Klasik (1946-1960)

Pada saat terjadi Perang Dunia II banyak para ahli psikologi di Amerika
Serikat dan Eropa termasuk ahli psikologi sosial yang terlibat dalam perang dan
memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan psikologi mereka untuk upaya-upaya
memenangkan perang. Setelah mengalami kemandekan yang cukup signifikan
akibat terjadinya Perang Dunia II, perkembangan psikologi sosial menunjukkan
perkembangan lebih lanjut pada periode pertengahan 1940-an yang ditunjukkan
mulai dilakukan penelitian terhadap pengaruh kelompok pada perilaku individu,
hubungan ciri-ciri kepribadian, perilaku sosial, pengembangan teori disonansi
kognitif oleh Leon Festinger tahun 1957.

Setelah Perang Dunia berakhir, seorang pakar psikologi sosial yang jenius,
Kurt Levin mempelopori pengembangan ilmu psikologi sosial ke arah bidang-
bidang yang lebih terapan. Berdasarkan ide Kurt Lewin untuk mengembangkan
ilmu sosiologi sosial ke arah yang lebih bermanfaat secara langsung bagi
kesejahteraan manusia, maka kemudian didirikan organisasi yang disebut dengan
Society for the Psychological Study of Social Issues (Masyarakat untuk Studi
Psikologis tentang Isu-Isu Sosial).

4. Era kepercayaan dan krisis (confidence and crisis) (1961-1975)

Pada periode 1960-an, para pakar psikologi sosial mulai mengarah


perhatiannya pada topik persepsi sosial, agresi, kemenarikan dan cinta,
pengambilan keputusan dalam kelompok, dan membantu orang lain yang
membutuhkan.

Psikologi sosial era ini melakukan ekspansi luar biasa, mulai mempelajari
bagaimana orang berfikir (Kelley,1967), dan merasakan (Schachter,1964) tentang

8
Ibid, 7-8

7
dirinya dan orang lain. Psikologi sosial telah mempelajari interaksi individu dalam
kelompok (Moscovici dan Zavalloni, 1969) dan problem-problem sosial mengapa
orang gagal membantu orang lain dalam kondisi distess (Latane dan Darley, 1970).
dan mulai mempelajari tentang agresi (Bandura,1973), ketertarikan fisik
(Berscheid dan Waltser, 1974) dan juga stress (Glass dan Singer, 1972). Oleh
karena itu, masa ini dapat dikatakan sebagai masa yang produktif (Brehm dan
Kassin, 1996).9

Pada masa ini juga muncul krisis dan perdebatan yang meningkat, dimulai
dari munculnya perbedaan pemahaman terhadap penggunaan metode eksperimen
di labolatorium dalam psikologi sosial. Dengan perbedaan pandangan ini
mengakibatkan psikologi sosial terpecah menjadi dua kelompok, yaitu yang pro
dan yang kontra dalam metodologi.

5. Era Pluralisme (1976-sekarang)

Pluralisme metode penelitian psikologi berkembang karena semakin


bervariasinya aspek perilaku manusia yang akan di kaji. Psikologi sosial tidak
cukup hanya mengkaji tentang berfikir,merasa, berkeinginan, dan tindakan semata
sebagai objeknya, melainkan juga mencoba dengan mengaitkannya dengan emosi
dan motivasi seseorang sebagai faktor determinan (penentu) aspek fikiran dan
tindakan.10 Penyebab pluralisme lain dalam psikologi sosial pada masa ini yaitu
ditandainya dengan perspektif psikologi sosial yang lebih internasional dan
multikultural. Pada periode 1970-an pakar psikologi sosial mengembangkan topik-
topik baru berhubungan dengan perilaku diskriminasi jenis kelamin, proses
atribusi, dan perilaku lingkungan. Pada periode 1990-an para pakar psikologi sosial
mulai mengembangkan secara lebih nyata aspek terapan teori-teori psikologi sosial
seperti bidang kesehatan, bidang media, proses hukum dan perilaku organisasi.11

9
Ibid, 10
10
Ibid, 11
11
Ibid, 8

8
c. Faktor yang Melatarbelakangi Psikologi Sosial

McDougall menekankan pentingnya faktor personal dalam menentukan interaksi


sosial dalam membentuk perilaku individu. Menurutnya, faktor-faktor personal-lah
yang menentukan perilaku manusia. Psikologi sosial fokus pada perilaku individu.
Masyarakat boleh saja memiliki pandangan yang berbeda tentang hubungan dan
pernikahan, namun tetap saja individulah yang mengalami jatuh cinta. Contoh lain,
beberapa kelompok masyarakat mempunyai tingkat kekerasan yang berbeda, namun
tetap saja individulah yang melakukan perilaku agresif tersebut, atau menolak
melakukannya.12

Fokus psikologi sosial dibatasi pada individu. Psikologi sosial menyadari bahwa
kami tidak berada dalam keterasingan dari pengaruh sosial dan budaya, namun minat
utama bidang ini yakni pada pemahaman faktor-faktor yang membentuk perilaku sosial
dan pemikiran individu dalam konteks sosial.13

Psikologi sosial juga mencoba memahami penyebab dari perilaku sosial dan
pemikiran sosial. Artinya bahwa seorang psikolog sosial terutama tertarik untuk
memahami berbagai faktor dan kondisi yeng membentuk perilaku sosial dan pemikiran
sosial pada individu yaitu perilaku, perasaan, keyakinan, ingatan dan penyimpulan
mereka tentang orang lain.14

Menurut Edward E. Sampson, terdapat perspektif yang berpusat pada persona dan
perspektif yang berpusat pada situasi. Perspektif yang berpusat pada persona
mempertanyakan faktor-faktor internal apakah, baik berupa instik, motif, kepribadian,
sistem kognitif yang menjelaskan perilaku manusia. Secara garis besar terdapat dua
faktor:

12
Roberth A Baron & Donn Byrne, Psikologi Sosial, Jilid I, Edisi 10, (Jakarta: Erlangga, 2004), 8
13
Ibid
14
Ibid, 9

9
1. Faktor Biologis

Faktor biologis terlibat dalam seluruh kegiatan manusia, bahkan berpadu


dengan faktor-faktor sosiopsikologis. Menurut Wilson, perilaku sosial dibimbing
oleh aturan-aturan yang sudah diprogram secara genetis dalam jiwa manusia.

Telah diakui secara meluas adanya perilaku tertentu yang merupakan bawaan
manusia, dan bukan perngaruh lingkungan atau situasi. Diakui pula adanya faktor-
faktor biologis yang mendorong perilaku manusia, yang lazim disebut sebagai
motif biologis. Yang paling penting dari motif biologis adalah kebutuhan makan-
minum dan istirahat, kebutuhan seksual, dan kebutuhan untuk melindungi diri dari
bahaya.15

2. Faktor Sosiopsikologis

• Komponen afektif, merupakan aspek emosional dari faktor sosiopsikologis,


didahulukan karena erat kaitannya dengan pembicaraan sebelumnya. Misal
senang, marah, benci, setuju, kecewa.

• Komponen kognitif, merupakan aspek intelektual yang berkaitan dengan apa


yang diketahui, dipikirkan, dan dipahami oleh manusia.

• Komponen konatif, merupakan aspek volisional, yang berhubungan dengan


kebiasaan dan kemauan bertindak.

d. Batasan dan Ruang Lingkup Psikologi Sosial

Batasan dan ruang lingkup psikologi sosial adalah sebagai berikut:

1. Psikologi sosial mempelajari perilaku manusia, bukan perilaku hewan karena


hewan tidak mempunyai interaksi seperti yang ada pada manusia (misalnya bahasa,
norma dan sebagainya)

2. Perilaku itu haruslah yang teramati dan terukur, bisa berupa aktivitas motorik yang
besar (misalnya meloncat), bisa juga kecil (misalnya gerakan mengangkat alis),
bicara atau menulis.

15
Daryanto, Teori Komunikasi, (Malang: Gunung Samudera, 2014), 336

10
3. Sebagai konsekuensi dari objek studi yang teramati dan terukur, psikologi sosial
harus bisa diverifikasi oleh siapa saja (publicly verifiable), walaupun tentu saja
maknanya sangat bergantung pada perspektif teori, latar belakang budaya dan
intepretasi pribadi.

4. Psikologi sosial tidak mempelajari perilaku yang tidak kasat mata dan tidak terukur-
beriman, kejujuran, berjiwa besar, berideologi Pancasila dan sebagainya, harus
tetap terukur dan disimpulkan (inferred) dari perilaku yang kasat mata.

Dengan demikian, psikologi sosial menghubungkan aspek-aspek psikologi sosial dari


perilaku sosial dengan proses dan struktur kognitif yang lebih mendasar. Ilmu ini juga
terkait dengan sosiologi, antropologi, budaya, lunguistik, psikologi kognitif dan
neurosains (ilmu syaraf).

e. Gejala Psikologi Sosial

Gejala-gejala perilaku sosial merupakan hasil dari proses belajar berdasar pada sistem
stimulus dan respons. Untuk sekadar memperoleh bayangan mengenai hal-hal yang
dipelajari dalam ilmu jiwa sosial, berikut adalah beberapa pokok yang akan dibahas, di
antaranya:

1. Hubungan antar manusia

2. Kehidupan manusia dalam kelompok

3. Sifat-sifat dan struktur dalam kelompok

4. Pembentukan norma sosial

5. Peranan kelompok dalam perkembangan individu

6. Kepemimpinan (leadrship)

7. Dinamika sosial

8. Sikap (attitude) sosial

9. Perubahan sikap (attitude) sosial

10. Psikologi anak-anak dan lain-lain

11
f. Teori-teori Psikologi Sosial

Dalam disiplin psikologi sosial, fungsi teori adalah untuk menjelaskan gejala-
gejala psikolgis dan perilaku individu dalam konteks saling berpengaruh dengan dunia
sosial. Berikut ada

1. Teori Behavioristik

Perspektif teori behavioristik sangat menekankan pada cara individu


sebagai organisme membuat respons terhadap stimulus lingkungan melalui
proses belajar.16 Dalam teori ini hubungan yang terjadi antara stimulus dan
respons merupakan paradigma yang utama. Menurut John B. Watson, seorang
tokoh pendiri aliran psikologi behavioristik bahwa status ilmiah ilmu
psikologi manusia menjadi lebih terjamin apabila aktivitas-aktivitas
ilmiahnya dilakukan oleh prosedur eksperimen seperti pada penelitian
psikologi binatang.17

Para kritikus perspektif behavioristik menyebut perspektif ini sebagai


pendekatan “kotak hitam dalam psikologi”. Dalam hal ini stimulus masuk ke
dalam “kotak hitam” hanya sekedar untuk mengeluarkan respons tertentu
yang sudah dipastikan wujudnya. Para behavioristik tradisional memiliki
pendapat bahwa proses psikologis internal.18

2. Teori Belajar Sosial

Akar perspektif teori belajar sosial (Social Learning Theory) adalah


teori-teori yang telah dikembangkan oleh para penganut psikologi
behavioristik. Para pakar teori belajar sosial seperti Albert Bandura
mengemukakan bahwa perilaku sosial individu dipelajari dengan
melakukannya dan secara langsung mengalami konsekuensi-konsekuensi dari
perilaku sosial itu. Proses belajar sosial terhadap suatu perilaku sosial akan

16
Fattah Hanurawan, Psikologi Sosial, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), 6
17
Ibid
18
Ibid

12
semakin dikuatkan apabila kita secara sadar memahami konsekuensi-
konsekuensi dari suatu perilaku.19

Selain itu, individu juga mempelajari perilaku baru melalui pengamatan


terhadap perilaku orang lain (observational learning). Perilaku ‘model’ yang
akan ditiru akan disimpan secara simbolik dalam ingatan peniru. Pada teori
belajar sosial, setiap proses belajar terjadi dalam urutan tahapan peristiwa,
yaitu:

a) Fase Perhatian (attention), Memberikan perhatian pada orang yang


ditiru. Dalam fase ini mencakup peristiwa peniruan (adanya kejelasan,
keterlibatan perasaan, tingkat kerumitan, kelaziman, nilai fungsi) dan
karakteristik pengamatan (kemampuan indera, minat, persepsi, penguatan
sebelumnya).

b) Fase Pengingat (retention), Seorang pengamat harus dapat mengingat


apa yang yang telah dilihatnya. Dia harus mengubah informasi yang
diamatinya menjadi bentuk gambaran mental, atau mengubah simbol-
simbol verbal, dan kemudian menyimpan dalam ingatannya. Mencakup
kode pengkodean simbolik, pengorganisasian pikiran, pengulangan
simbol, pengulangan motorik.

c) Reproduksi motorik (reproduction), mengubah ide gambaran, atau


ingatan menjadi tindakan. Mencakup kemampuan fisik, kemampuan
meniru, keakuratan umpan balik.

d) Peneguhan/Motivasi (reinforcement/motivation), mencakup dorongan


dari luar dan penghargaan terhadap diri sendiri.20

3. Teori Kognitif

Pendekatan kognitif menyatakan bahwa perilaku seseorang akan


tergantung pada cara dia memahami situasi sosial.21 Para ahli psikologi

19
Shelley E Taylor, Letitia Anne Peplau, David O Sears, Psikologi Sosial, Edisi Kedua Belas, (Jakarta: Kencana, 2012),
8
20
Ibid
21
Ibid

13
Gestalt dan kognitif memandang bahwa manusia aktif dalam menerima,
memanfaatkan, memanipulasi, dan menstranformasi informasi yang
diperolehnya. Menurut mereka, manusia adalah organisme yang memiliki
kemampuan berpikir, merencanakan, memecahkan masalah, dan membuat
keputusan. Dalam perspektif Gestalt dan kognitif, kognisi adalah istilah yang
mengacu pada proses mental yang memiliki fungsi menstranformasikan
semua masukan (input) sensorik ke dalam struktur yang bermakna. Para pakar
psikologi gestalt dan kognitif memiliki keyakinan bahwa pikiran merupakan
faktor utama terjadinya suatu perilaku dimana manusia sebagai makhluk yang
mampu mengambil keputusan secara rasional berdasarkan pada pemrosesan
informasi yang telah tersedia.22

Kurt Lewin mengaplikasikan gagasan Gestalt ke psikologi sosial. Dia


menekankan pentingnya bagaimana individu memahami lingkungan sosial.
Menurut Lewin, perilaku dipengaruhi oleh karakteristik personal individu
(seperti kemampuan, kepribadian, dan disposisi genetic) dan oleh
pemahamannya tentang lingkungan sosial.23

4. Teori Lapangan

Kurt Lewin (1890-1947) adalah pencetus teori lapangan (field theory).


Pemikiran teori lapangan berbasis pada konsep lapangan atau ruang hidup
(life space). Kurt Lewin mengemukakan bahwa segenap peristiwa perilaku,
seperti bermimpi, berkeinginan atau bertindak, merupakan fungsi dari ruang
hidupnya. Dalam formula yang lebih matematis, pemikirannya dapat
dirumuskan ke dalam rumusan berikut: b (behavior / perilaku), p (person /
oramg) dan e (enviroment / lingkungan). Dalam formula itu terkandung suatu
pengertian bahwa perilaku manusia, termasuk perilaku sosialnya, merupakan
hasil dari interaksi dari karakteristik kepribadian individu dan lingkungannya.
Perilaku manusia merupakan hasil tidak terpishkan kedua unsur itu.24

22
Ibid, 9
23
Ibid
24
Wirawan, Teori-teori Sosial dalam Tiga Paradigma, (Jakarta: Kencana, 2012), 161

14
5. Teori Pertukaran Sosial

Teori pertukaran sosial (social exchange theory) juga merupakan


perkembangan lanjut perspektif teori behavioristik. Menurut teori pertukaran
sosial, individu memasuki dan mempertahankan suatu hubungan sosial
dengan orang lain karena ia merassa mendapat banyak keuntungan-
keuntungan berupa ganjaran dari hubungan itu. Teori ini menganalisis
interaksi interpersonal berdasarkan keuntungan dan kerugian bagi masing-
masing pihak saat mereka berinteraksi.25

6. Interaksionisme Simbolik

Perspektif teori ini dalam psikologi sosial dan sosiologi banyak


mendapat pengaruh dari pakar-pakar filsafat pragmatisme Anglo Saxon. Dua
orang di antara pakar-pakar filsafat pragmatisme Anglo Saxon itu adalah
William Jaames (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952). Di dalam teori
Interaksionisme Simbolik terdapat dua jenis aliran yaitu aliran Chicago dan
Iowa. Aliran Chicago lebih menekankan metode penelitian kualitatif dalam
penelitian psikologi sosial dan sosiologi, sedangkan aliran Iowa lebih
menekankan pada metode penelitian kuantitatif. Terdapat tiga ciri utama
perspektif teori interaksionisme simbolik, yaitu:

a. Tindakan manusia terhadap sesuatu itu didasari oleh makna sesuatu itu
bagi mereka.

b. Makna dari sesuatu itu merupakan hasil dari suatu interaksi sosial.

c. Makna itu terbentuk dan termodifikasi berdasar pada proses intrepretif


yang dilakukan oleh individu dalam berinteraksi dengan orang lain.

Teori interaksionisme simbolik mengemukakan bahwa manusia bahwa


manusia adalah entitas sosial yang hidup dalam suatu kelompok. Berdasarkan
pada informasi yang diperoleh dari proses komunikasi sosial dan pewarisan
nilai, maka individu-individu sebagai bagian dari suatu masyarakat mampu

25
Ibid

15
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial budayanya dalam upaya
mencapai tujuan bersama.26

7. Etnometodologi

Istilah ini biasanya digunakan oleh para ahli antropologi berkenaan


dengan metode untuk menganalisis keyakinan-keyakinan dan praktik-praktik
hidup yang dilakukan oleh orang-orang asli di daerah tertentu.27 Dalam
makna yang bersifat literer, etnometologi berarti prosedur yang digunakan
orang dalam usaha membuat kehidupan sosial dan masyarakat menjadi lebih
dapat dipahami dan memungkinkan untuk diteliti. Fokus utama
etnometodologi adalah mengkaji aktivitas praktis hidup sehari-hari orang
yang secara etnis hidup dalam wilayah geografis dan kebudayaan tertentu,
termasuk perilaku sosial. Berbeda dari interaksi simbolik yang lebih
mementingkan interaksi antarindividu, perspekti etnometodologi memiliki
fokus pada metode yang menggambarkan cara individu mengkonstruksi
interaksi dan citra hidup sosial yang mempengaruhi kehidupan sosial.

8. Teori Peran

Teori peran (role theory) yakni memberi penjelasan terhadap perilaku


sosial dengan penekanan pada konteks status, fungsi, dan posisi sosial yang
terdapat dalam masyarakat. Yang dimaksud peran adalah sekumpulan norma
yang mengatur individu-individu yang berada dalam suatu posisi atau fungsi
sosial tertentu memiliki keharusan untuk berperilaku tertentu. Perilaku sosial
seseorang dalam sebuah kelompok merupakan hasil aktualisasi dari suatu
peran tertentu.

Peran terdiri atas harapan-harapan yang melekat pada ciri-ciri perilaku


tertentu yang seharusnya dilaksanakan oleh seseorang yang menduduki posisi
atau status sosial tertentu di masyarakat. Posisi sosial yang menunjukkan

26
Ibid
27
Ibid, 162

16
peran tertentu misalnya peran guru, atasan, bawahan, presiden, dan orang
tua.28

g. Fenomena Psikologi Sosial

Narkoba merupakan obat-obat terlarang baik dari segi mengkonsumsi atau


mengedarkannya. Tindakan tersebut dapat dikenakan hukuman. Hukuman paling berat
yaitu hukuman sosial berupa terkucilkan dari lingkungan sosial di tempat tinggalnya.
Aktivitas yang berkaitan narkoba ini merupakan objek studi dalan psikologi sosial.
Secara aspek psikologi terdapat rasa penasaran yang tinggi terhadap narkoba sehingga
mereka mencoba–coba hal tersebut. Namun, secara padangan sosial, hal ini dapat
terjadi karena bujuk rayu teman–teman mereka yang telah lama menggunakannya.

28
Ibid, 163

17
2. PSIKOLOGI MASSA

a. Pengertian Psikologi Massa

Massa sebagai gejala dalam perilaku kehidupan manusia menunjukkan adanya


manusia dalam keadaan bergerombol yang belum ada pembagian tugas yang teratur
dan mengikat. Dengan kata lain massa itu sendiri adalah segerombolan manusia yang
belum terorganisir.29 Contohnya, beramai-ramai menolong orang yang terkena bencana
alam, beramai-ramai menonton orang yang bermain bola.

Massa dapat diartikan sebagai bentuk kolektivisme (kebersamaan). Dalam


definisi lain, massa (mass) atau (crowd) adalah suatu bentuk kumpulan (collection)
individu-individu, dalam kumpulan tersebut tidak terdapat interaksi dan dalam
kumpulan tersebut tidak terdapat adanya struktur. Pada umumnya massa berjumlah
orang banyak.

Jika melihat keterkaitan antara masa dengan psikologi, maka, dapat kita
simpulkan bahwa psikologi massa adalah suatu cabang ilmu yang mempelajari gejala-
gejala jiwa sekumpulan orang banyak baik yang tampak ataupun tidak tampak.
Psikologi massa akan berhubungan dengan perilaku yang dilakukan secara bersama-
sama oleh sekelompok massa. Fenomena kebersamaan ini diistilahkan pula sebagai
Perilaku Kolektif (Collective Behavior).

Psikologi massa pada awalnya berkembang lebih dulu daripada psikologi sosial
bahkan bisa dianggap sebagai embrio dari psikologi sosial, namun karena tingkat
ketertarikan para pakar pada massa itu perkembangan psikologi massa mengalami
stagnansi dan saat ini dikategorikan sebagai salah satu cabang dari psikologi sosial.30

Dalam perilaku massa, seseorang atau sekelompok orang ingin melakukan


perubahan sosial dalam kelompoknya, institusinya, masyarakatnya. Tindakan
kelompok ini ada yang diorganisir, dan ada juga tindakan yang tidak diorganisir.
Tindakan yang terorganisir inilah yang kemudian banyak dikenal orang sebagai
gerakan sosial (Social Movement).

29
Imam Moedjiono, Kepemimpinan Dan Keorganisasian, ( UII Press :Yogyakarta, 2002, ) 223
30
https://id.wikipedia.org/wiki/Psikologi_massa
18
Pengertian Psikologi Massa menurut para ahli

Gustave Le Bon menyatakan bahwa massa adalah sekumpulan orang atau


manusia yang berada dalam waktu dan tempat yang sama yang sama yang mempunyai
ketertarikan yang sama yang bersifat sementara. Mennicke membedakan Massa
menjadi dua, yakni Massa Abstrak dan Massa Konkrit.

1. Massa abstrak, yakni sekumpulan orang-orang yang didorong oleh adanya


pesamaan minat, persamaan perhatian, persamaan kepentingan, persamaan tujuan,
tidak adanya struktur yang jelas, tidak terorganisir. Ciri-ciri massa abstrak:

a. Adanya suatu kejadian yang menarik

b. Individu mendapat ancaman dan ia membutuhkan perlindungan

c. Kebutuhan tidak dapat terpenuhi

d. Adanya kesamaan minat, perhatian dan kepentingan yang sama

2. Massa Konkrit, yakni massa yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

a. Adanya ikatan batin, ini dikarenakan adanya persamaan kehendak, persamaan


tujuan, persamaan ide, dan sebagainya.

b. Adanya persamaan norma, ini karena mereka memiliki peraturan sendiri,


kebiasaan sendiri dan sebagainya.

c. Mempunyai struktur yang jelas, di dalamnya telah ada pimpinan tertentu.31

Antara massa abstrak dan massa konkrit kadang-kadang memiliki hubungan


dalam arti bahwa massa abstrak dapat berkembang atau berubah menjadi konkrit, dan
sebaliknya massa konkrit bisa berubah ke massa abstrak. Tetapi ada kalangan massa
abstrak bubar tanpa adanya bekas. Apa yang dikemukakan Gustave Le Bon dengan
massa dapat disamakan dengan massa abstrak yang dikemukakan oleh Mennicke,
massa seperti ini sifatnya temporer, dalam arti bahwa massa itu dalam waktu yang
singkat akan bubar.32

31
Bimo Walgito, Psikologi Sosial Suatu Pengantar (Yogyakarta: Andi, 2003), 117–118.
32
Arishanti, Kiara Inata. Handout Psikologi Kelompok, (Depok: Universitas Gunadarma, 2005), 9
19
b. Sifat-sifat Massa

Menurut Gustave Le Ban, massa itu mempunyai sifat-sifat psikologi tersendiri.


Orang yang bergabung dalam suatu massa akan berbuat sesuatu, di mana perbuatan
tersebut tidak akan dilakukan bila individu itu tidak berada dalam suatu massa. 33 Hal
ini melarutkan individu dalam suatu massa, melarutkan individu dalam jiwa massa.
Sedangkan menurut Allport sekali pun kurang dapat menyetujui tentang collective
mind, tetapi dapat mamahami tentang adanya kesamaan pemikiran (conformity), tidak
hanya dalam hal berfikir, tetapi juga dalam hal kepercayaan (feeling) dan dalam
perbuatan yang tampak (overt behaviour). Di samping sifat-sifat tersebut, massa masih
mempunyai sifat-sifat antara lain, yaitu:

a. Impulsif, artinya massa akan mudah memberikan respons terhadap stimulus yang
diterimanya. Karena sifat impulsifnya ini, maka massa itu ingin bertindak cepat
sebagai reaksi terhadap stimulus yang diterimanya.

b. Mudah tersinggung. Karena massa itu mudah sekali tersinggung, maka untuk
membangkitkan daya gerak massa diperlukan stimuli yang dapat menyinggung
perasaan massa yang bersangkutan.

c. Sugestibel, ini berarti bahwa massa dapat mudah menerima sugesti dari luar.

d. Tidak rasional, karena massa itu sugestibel, maka massa itu dalam bertindak tidak
rasional, dan mudah dibawa oleh sentimen-sentimen.

e. Adanya social facilitation. Menurut F. Allport yaitu perbuatan individu lain dapat
menguatkan perbuatan individu lain yang tergabung dalam massa itu. Menurut
Tarde disebut imitation, sedangkan menurut Sighele disebut sugestion, dan
menurut Gustave Le Bon sebagai Contagionand suggestion.34

c. Jenis Massa

1) Dilihat dari bentuknya

33
Ibid, 11
34
Rahmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, Remaja Karya, Bandung, 1986.
20
a) Massa yang tidak terorganisir secara formal (massa yang abstrak, massa yang
tidak tersusun) yaitu massa yang belum terikat oleh satu kesatuan norma, tujuan
namun berkumpul karena adanya dorongan, perhatian, dan kepentingan yang
sama serta sewaktu-waktu dapat bubar dengan sendirinya. Contoh: massa yang
berkumpul di pemakaman korban peristiwa trisakti.

b) Massa yang terorganisir secara formal (massa yang kongkrit, massa yang
tersusun) yaitu massa yang sudah terikat pada satu kesatuan norma, tujuan,
mempunyai struktur yang jelas dan terbentuk dalam suatu organisasi dengan
pembagian kerja yang pasti serta mempunyai potensi yang dinamis atau
mempunyai fungsi gerakan. Contohnya: Forum Komunikasi Kota, Forum
Komunikasi Senat Mahasiswa.

2) Dilihat dari aktivitasnya:

a) Audience (Massa Pasif) yaitu kerumunan orang (massa) pada suatu tempat
untuk tujuan tertentu, disertai dengan suasana yang relatif tidak emosional serta
tidak ada kesiapan untuk melakukan suatu tindakan (aksi). Misalnya jemaah
shalat di masjid atau misa di gereja, penonton bioskop, peserta seminar atau
mahasiswa yang sedang kuliah, pengunjung resepsi perkawinan, sholat id di
lapangan.

b) Crowd (Kerumunan Massa) yaitu kerumunan orang (massa) yang terjadi secara
spontan pada suatu tempat karena adanya tujuan atau motivasi tertentu namun
keberadaannya belum terorganisir dan masing-masing dapat berpikir dan
bertindak secara pribadi. Misalnya kerumunan orang di terminal atau stasiun
kereta api, orang-orang yang belanja di pasar, pelajar yang baru keluar dan
pulang dari sekolah.

c) Mob (Massa yang Aktif) yaitu kerumunan orang (massa) pada suatu tempat
untuk tujuan tertentu, disertai dengan suasana emosional dan siap untuk
melakukan tindakan (aksi) agresif (merusak, menyerang). Misalnya penonton
sepakbola yang kecewa, massa unjuk rasa/demonstran.

21
d) Riot (Huru-hara/Amuk Massa), yaitu kerumunan orang (massa) pada suatu
tempat yang bersifat mengganggu ketentraman umum, disertai dengan suasana
emosional yang sangat tinggi dan cenderung tidak mentaati aturan-aturan yang
berlaku yang disertai dengan pemaksaan kehendak, dan bertindak destruktif
(menyerang, merusak, menjarah) yang sulit dikendalikan. Misalnya Tragedi
Semanggi, Kasus Ketapang, Penjarahan 14 Mei 1998, perkelahian antar
kampung, perkelahian pelajar.

3) Dilihat dari waktu terbentuknya

a) Massa yang telah lama terbentuknya yaitu massa yang telah berkumpul dalam
waktu relatif lama sehingga rasa memiliki dan solidaritas sebagai suatu
kelompok telah terbentuk dan sulit untuk dihilangkan. Misalnya: anggota PDI
Perjuangan, anggota PPP, Senant Mahasiswa suatu universitas.

b) Massa yang baru terbentuknya yaitu massa yang relatif baru berkumpul
sehingga belum memiliki raas solidaritas sebagai suatu kelompok. Misalnya:
massa yang berkumpul menyaksikan pawai di jalan atau kecelakaan lalu lintas
atau kebakaran.

4) Dilihat dari tingkatan keyakinan anggota terhadap kelompoknya

a) Keyakinan anggota yang tinggi yaitu massa yang yakin akan arah dan tujuan
gerakan kelompoknya dimana kondisi ini sangat dipengaruhi oleh lama
terbentuknya dan terlibatnya anggota tersebut dalam kelompok. Misalnya:
massa pendukung PPP.

b) Keyakinan anggota yang rendah yaitu massa yang relatif belum yakin akan arah
dan tujuan gerakan kelompoknya dimana kondisi ini sangat dipengaruhi oleh
baru terbentuknya dan kurang terlibatnya anggota tersebut dalam kelompok.
Misalnya: massa yang terbentuk pada saat kecelakaan lalu lintas.

5) Dilihat dari penyebaran massanya

a) Massa yang terpusat yaitu massa yang berkumpul di suatu tempat dibawah
komando seorang pemimpin. Contoh: buruh yang sedang melakukan unjuk
rasa.

22
b) Massa yang tersebar yaitu massa yang berkumpul tidak hanya disatu tempat
saja dan mempunyai pimpinan masing-masing. Misalnya massa mahasiswa
yang berasal dari beberapa perguruan tinggi yang masing-masing mempunyai
pimpinan sendiri-sendiri (FKSMJ).

d. Terbentuknya Massa

Proses terbentuknya massa merupakan sesuatu dinamika tingkah laku manusia.


Psikologi berusaha menjelaskannya dengan menunjukkan bahwa perilaku massa
merupakan kelangsungan dari perilaku individu. Dengan kata lain perilaku individu
mendasari perilaku massa. Setelah massa terbentuk maka keterpaduannya dipengaruhi
oleh:

1. Adanya hubungan yang relatif suka rela

2. Adanya hubungan kerja sama

3. Adanya saling penerimaan diantara anggota

4. Terdapatnya ancaman atau bahaya dari luar yang harus dihadapi bersama

5. Terdapatnya status yang homogen

6. Adanya sikap, nilai-nilai, dan latar belakang yang sama

7. Terjadinya situasi yang tidak menyenangkan

Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya kerusuhan massa

1. Faktor individual

Perilaku kerusuhan massa berawal dari perilaku individual dimana dilakukan


secara sendirian baik spontan (tidak disengaja) maupun direncanakan dan
dilakukan bersama orang lain. Contohnya perkelahian antar geng, kekerasan massa.
Perilaku kekerasan ini dilakukan juga oleh faktor pribadi (kelainan jiwa dan
pengaruh obat bius), faktor sosial (konflik rumah tangga), faktor lingkungan
geografis, budaya dan media massa.

2. Faktor kelompok

23
Perilaku kekerasan kelompok disebabkan oleh adanya identitas kelompok
khususnya identitas SARA yang bermuara pada masalah ketidak-adilan, masalah
minoritas dan mayoritas.

e. Sejarah dan Perkembangan Psikologi Massa

Psikologi massa (Crowd Psychology) pertama kali muncul di akhir Abad ke-19 di
Eropa khususnya di Perancis (Nye, 1975). Faktor sosial yang melatarbelakangi Psikologi
Massa adalah maraknya kerusuhan sosial serta semakin intensifnya arus industrialisasi dan
urbanisasi di Perancis khususnya dan di negara negara industri di Eropa umumnya di
sepanjang pertengahan sapai akhir abad ke-19.35

Jika dilihat ke belakang, dalam skalanya yang lebih besar, kemunculan fenomena
massa dipengaruhi oleh dua macam peristiwa: renaissance, sebuah gerakan budaya yang
berkembang pada periode kira-kira dari abad ke-14 sampai abad ke-17, dan berbagai
revolusi di abad ke-18 sampai ke-19.

Ada revolusi industri di Inggris tahun 1750 dan di Amerika Serikat tahun 1850
(bidang ekonomi), revolusi Perancis tahun 1789 dan revolusi Amerika tahun 1775-1783
(bidang politik), serta ‘pencerahan’ atau enlightenment di abad ke-18 (bidang filsafat dan
agama).36

Gabungan dan akumulasi kedua macam peristiwa bersejarah tersebut memantik


timbulnya berbagai-bagai fenomena sosial baru di daratan Eropa umumnya dan di Inggris,
Perancis, Italia khususnya serta di ranah Amerika Utara.

Bentuk-bentuk fenomena sosial tersebut adalah migrasi besar-besaran ke daerah


perkotaan (urban migration), kian populernya ideal-ideal demokrasi, serta tidak
terbendungnya gelombang kapitalisme, yang ke semuanya telah mengubah karakter hidup
masyarakat terutama di abad ke-18 dan ke-19.

35
Ali Mashuri, Psikologi Politik dan Massa, diakses dari https://id.scribd.com/doc/109657758/Pengantar-Psikologi-
Massa-II, pada 27 April 2019, pukul 22.29
36
Ibid

24
Di abad 19, seiring dengan industrialisasi yang kian deras, terorbitlah apa yang
dinamakan sebagai ‘masyarakat massa’ (mass society). Menurut Blumer (1951), eksisnya
massa bersamaan dengan media massa (awalnya surat kabar). 37

Trend semacam ini dianggap memicu ‘keterserabutan’ (rootlessness) dan


‘irasionalitas’ (mindlessness) yang menjadikan massa sebagai korban empuk bagi impuls-
impuls anarkis, dan bagi agitator atau provokator yang tidak bertanggung-jawab.

McClelland mengungkapkan, psikologi massa dengan demikian merupakan ekspresi


kekhawatiran dari kalangan penguasa terhadap fenomena massa tersebut. Dengan kata lain,
Barrows menjelaskan, psikologi massa muncul pertama-tama sebagai usaha untuk
‘melawan dan memerangi’ fenomena massa yang dianggap serba mengkhawatirkan baik
secara ideologis maupun secara praktis.38

Le Bon bukanlah orang pertama yang menulis tentang fenomena massa pada akhir
abad ke-19, dan bahkan Le Bon dianggap telah menjiplak karya penulis-penulis Perancis
dan juga penulis-penulis Italia yang telah menerbitkan karya serupa. Meskipun demikian,
Le Bon adalah penulis Psikologi Massa yang paling sintetis dan sistematis dibandingkan
penulis-penulis lain. Faktor inilah yang membuat tulisan Le Bon paling populer dan
berpengaruh, baik secara akademis maupun politis.

Secara politis, karya Le Bon memberi inspirasi bagi diktator Italia Mussolini dan
diktator Jerman Hitler untuk menemukan cara-cara memanipulasi massa. Dalam
memahami dan menjelaskan fenomena massa, pemikir-pemikir klasik (akhir abad ke-19
dan awal abad ke-20) berpatokan pada sejumlah konsep pemikiran:

1. Konsep sugesti dan mesmerisme yang diintroduksikan oleh Franz Anton Mesmer
(1734-1815). Dalam bukunya The Influence of the Planets, ia berargumen bahwa cairan
magnetis mengaliri alam raya serta badan semua jenis makhluk hidup.
Konsekuensinya, segenap gangguan fisik dan psikis bermuara pada ketidakseimbangan
cairan tersebut dan bentuk perlakuan magnetis akan bisa menyembuhkannya.

37
Ibid
38
Ibid

25
Sementara itu, James Braid (1795-1860) mulai mengkonsep-ulang klaim-klaim
Mesmer dan mengembangkan sebuah ide bahwa efek mesmerisme (yaitu
ketidakseimbangan cairan magnetis) lebih bersifat psikis. Tahun 1842, ia
mengeluarkan istilah ‘hipnosa’ sebagai pisau analisa untuk menerangkan fenomena
trance (kesurupan) dan sugestibilitas (keadaan gampang dipengaruhi). Dengan kata
lain, orang yang terasuki ke dua macam fenomena tersebut kualitas akalnya merosot
menjadi primitif. Gagasan ini selanjutnya digunakan oleh psikolog massa klasik guna
menjelaskan munculnya primitivisme, irasionalitas, dan emosionalitas massa.

2. Contagion atau ‘penularan’

Penemuan mikroba dan kaitannya dengan penyakit oleh, sebagai contoh utama, Pasteur
dan Koch, didudukkan sebagai sumber ide untuk mengkonseptualisasikan fernomena
massa. Konsep ‘penularan mental’ (mental contagion) muncul dalam karya Le Bon
tahun 1895. Melalui konsep-konsep ini, ada keyakinan bahwa karena massa ‘mengada’
(eksis) dalam keadaan ‘tanpa-norma’ (normlessness) dan anonim, karakteristik
emosional dan destruktif bisa tersebar sangat cepat. Pandangan semacam ini
menyejajarkan kondisi massa persis seperti penyakit—beberapa pengarang
mendiskripsikan pandangan ini sebagai model ‘medis’ massa.

3. Etologi

Beberapa pemikiran populer tentang agresivitas destruktif massa (sebagai contoh


adalah kekerasan suporter sepakbola) telah menggambarkan proses bagaimana para
fans berusaha mempertahankan wilayah atau teritori mereka, baik itu berupa basis
tempat tinggal, pub-pub, ataupun stadion milik klub. Perilaku ini dijabarkan lewat
kiasan teritorialitas (kesadaran akan batas-batas wilayah yang dikuasai) sebagaimana
diimpor dari etologi Dalam perkembangannya, psikologi massa merupakan studi
pinggiran dan tidak menjadi paradigma-paradigma dominan psikologi social (Reicher,
2001).

Ada sejumlah alasan mengapa psikologi massa kurang berkembang secara optimal.
Massa diyakini sebagai fenomena yang menyimpang dari urusan kehidupan sehari-hari
dan dengan begitu memberikan kita sedikit pemahaman atas realitas sosial dan
psikologis yang normal. Sikap seperti ini berdampak pada kurangnya penelitian-

26
penelitian psikologi tentang proses massa. Sementara di awal perkembangannya, ada
beberapa hal yang menjelaskan mengapa perkembangan psikologi massa kurang
popular.

1. Di awal sejarah kemunculannya, massa terlanjur disemati dengan label-label


negatif. Karakterisasi sejenis ini disimpulkan Gustave Le Bon, sang pelopor
psikologi massa. Le Bon, dalam bukunya berjudul The Crowd: A Study of the
Popular Mind (2002, versi terjemahan bahasa Inggris) berpendapat bahwa massa
mudah disugesti, dihipnotis, emosional, anonim, dan dengan demikian cenderung
bertindak destruktif. Ditinjau dari pihak penguasa waktu itu di sekitar akhir abad
ke-19, yang kebetulan didominasi oleh kalangan borjuis, massa merupakan gejala
yang dianggap anti-normatif sehingga sangat potensial mengganggu kemapanan
tatanan sosial. Akibatnya, penguasa-penguasa borjuis kala itu menyuap para
sarjana agar mereka menghentikan studi tentang massa. Untuk merealisasi ambisi
politis ini, penguasa borjuis tidak segan-segan memecat sarjana yang menentang
kehendak mereka. Karena tidak mau mengambil resiko, para sarjana tersebut
akhirnya cenderung konformis.

2. Di akhir abad ke-19 aliran pemikiran atomisme (elementarisme) masih kukuh


menghegemoni wacana sosial. Atomisme ini bersinggungan dekat dengan sikap
hidup masyarakat liberal pada waktu. Dalam pemikiran ini, individu lah yang
menjadi titik pusatnya. Masyarakat dibentuk oleh individu dan bukan sebaliknya.
Sangat berbeda dengan pandangan ini, psikologi massa justru mengasumsikan
bahwa masyarakat lah yang membentuk individu. Kerangka berpikir yang kontras
ini mengakibatkan para sarjana yang meminati massa pun kurang mendapat
sokongan dana penelitian sehingga mereka relatif tersingkir.

3. Timbulnya ilmu psikologi sosial. Pada intinya psikologi sosial menitik-beratkan


pada hubungan antara individu dengan kelompok sebagai satuan sosial yang
terorganisir. Dengan struktur yang lebih jelas dan relatif stabil, kelompok sebagai
obyek studi psikologi sosial memang memudahkan penelitian dibandingkan massa
yang bersifat terlalu abstrak. Atas dasar pertimbangan inilah ilmu psikologi sosial
lebih diminati dan didalami.

27
4. Persoalan metodologis. Karena keberadaan dan gerakannya acap tidak kontinu dan
labil hingga kemunculannya sulit diduga, maka massa menjadi obyek studi yang
hanya bisa ditelaah secara post-facto. Jadi, massa sebatas bisa diselidiki pada aspek-
aspek pasca kejadiannya dan bukannya pada sebelum dan saat kemunculannnya.
Keterbatasan ini tentu membuat peneliti kesulitan menegakkan representativitas
dan objektivitas studinya tentang massa.39

f. Teori Psikologi Massa

Gustave Le Bon membangun teorinya tentang “crowds” (massa) di Perancis pada


tahun 1890an saat di daratan eropa banyak terjadi guncangan sosial dan banyaknya terjadi
demonstrasi maupun pemogokan.

Le Bon memahami massa merupakan bagian dari dinamika perubahan peradaban


pada saat itu. Ia memandang bahwa di dalam masa individu dapat bertindak secara barbar.
Menurutnya, masa dapat bertindak secara primitive dan tidak rasional karena individu yang
menjadi bagian dari massa dan dipengaruhi sikap dan tindakan karena adanya massa yang
hadir.

Le Bon menambahkan bahwa pada konteks massa, maka individual akan menjadi
hilang identitas dirinya (de individualism) ,sehingga ia juga kehilangan tanggung jawab
dan pikiran-pikiran dan tindakan premodial dikedepankan.

Hal ini memudahkan pemimpin massa membuka kunci kepribadian-kepribadian


kuno berkaitan dengan brutalisme dan menjadikan individu pada crowds melakukan
berbagai bentuk kekerasan.40 Sehingga dalam konteks inilah kemudian “crowds” adalah
sesuatu yang selalu ditakuti “… The Crowds is always to be feared “.41

Le Bon juga menyatakan bahwa crowds merupakan proses transisi dari individual
psycology kepada crowds psycology di mana terjadi perubahan pada situasi crowds
seseorang kehilangan jati dirinya dan melebur menjadi jati diri kelompok yang olehnya
disebut “ subject dari contagion”, contagion sendiri merupakan efek dari “ suggestibility”.

39
Ibid
40
Le Bon Theories Of The Crowd, Diunduh dari Internet, 2015
41
Harisson Mark, Crowds and History-Mass Phenomena In English Towns (1790-1835), (London: Cambiridge
University Press, 1988)

28
Dalam perspektif sejarahnya crowds lahir dari suatu kondisi ketimpangan sosial yang
terjadi di masyarakat yang merangsang mereka untuk melakukan “ pemogokan (striking)”.
Protes turun ke jalan sebagaimana dinyatakan oleh Elias Caneti “…It is for the sake of
equality that people become a crowd and they tend to overlook anything which might
detract from it. All demands for justice and all theories of equality familiar to anyone who
has been part of crowds”.42

Pandangan Elias Caneti ini seolah olah mendukung pandangan Le Bon tentang
“crowds” dimana garis persamaan atau simpul-simpul pemikiran Caneti dan Le Bon adalah
adanya sekumpulan orang (10-100-1000-10000) bersama-sama , dimana karakter
kepribadian individu seolah-olah hilang, menjadi bagian dari karakter kolektif(
transformed to be one or homogenous body) yang isi pikirannya sama (single headed
collectively).

Ada pun empat teori yang menjelaskan kejadiaan perilaku massa:

1. Social contagion theory (Teori Penularan Sosial) bahwa kenyataan menjadi bagian
dari kerumunan memodifikasi perilaku individu dan, dalam arti, membuat mereka
untuk sementara, jika tidak waras setidaknya irasional dan bahwa perilaku tersebut
akan hilang ketika mereka meninggalkan kerumunan. Gagasan umum di belakang
penularan sosial adalah bahwa individu-individu dalam kerumunan yang
"terkontaminasi," "terinfeksi" oleh pikiran, emosi dan ide-ide yang mereka akan tidak
sebaliknya pengalaman dan sebagai hasilnya, terlibat dalam perilaku irasional dan
merusak diri sendiri di mana mereka tidak akan jika tidak terlibat. Individu di tengah
orang banyak tanpa berpikir meniru perilaku orang lain sehingga pada akhirnya,
semua anggota terlibat dalam perilaku yang sama. Reaksi melingkar ini
menghilangkan perbedaan individu serta kapasitas untuk berpikir logis. Fokus umum
dari kerumunan lebih menguatkan proses.

2. Emergency norm theory (Teori Norma Kemunculan). Dalam Perilaku Kolektif


(1957), Ralph Turner dan Lewis Killiam mengembangkan teori muncul norma
perilaku kolektif, di mana mereka mendukung beberapa aspek teori penularan sosial,

42
Caneti Elias, Crowds and Powe, trans, carol stewart, Harmondsworth, 1973

29
tapi menolak premis dasar: individu dalam kerumunan menjadi tidak rasional dan
gila. Mereka mengganti premis ini dengan mereka sendiri: aktor sosial adalah norma-
makhluk berikut; sebagai hasilnya, jika perilaku konformis adalah produk dari
norma-norma konvensional, maka perilaku kolektif adalah produk dari norma-norma
yang muncul.

Norma-norma kondisi muncul dan menggantikan norma-norma konvensional.


Untuk Turner dan Killiam (1993), norma-norma yang muncul kemungkinan besar
akan muncul dalam situasi membingungkan, di mana norma-norma konvensional
tidak berlaku atau tampak tidak memadai. Dalam keadaan seperti itu, dekat dengan
Durkheim anomie (tidak adanya norma-norma), individu mencoba untuk
membangun kembali definisi situasi untuk mengurangi ketidakpastian yang mereka
alami. Mereka perlu tahu apa yang sedang terjadi.

Untuk menentukan dan memahami situasi, peserta mengamati perilaku orang


lain. Mereka mengamati apa yang orang lain lakukan dan konsekuensi yang mungkin
mengikuti. Misalnya, dalam situasi ambigu tegang, seseorang melemparkan batu
tanpa konsekuensi negatif maka, sangat mungkin melemparkan batu akan menjadi
norma yang muncul bahwa orang lain secara positif memperkuat dan meniru.
Berdasarkan teori ini, individu tentunya tidak menjadi gila sekali di tengah orang
banyak. Mereka berperilaku berbeda karena norma-norma yang berbeda, namun
mereka masih mengikuti norma-norma. Dalam hal ini, perilaku kolektif adalah
produk dari kesesuaian, bukan penyimpangan, meskipun hasilnya mungkin muncul
menyimpang

3. Convergency theory (Teori Konvergensi Simbolis). Inti dari teori tersebut adalah
bahwa orang bertindak terutama didasarkan pada kecenderungan individu.
Kecenderungan tersebut membuat mereka mencari berpikiran kolektivitas.
Kolektivitas tersebut dengan demikian akan terdiri dari individu-hati, dengan
kecenderungan bersama untuk bentuk perilaku tertentu.

Untuk teori ini, karakteristik situasi tersebut memiliki minimal hal penting;
kecenderungan individu, kecenderungan dan karakteristik sosial adalah faktor utama
yang menjelaskan perilaku. Misalnya, orang tertarik pada sebuah konser rock secara

30
individual berbeda rata-rata dari orang-orang tertarik pada kebangkitan acara
keagamaan. Pengaturan tersebut akan menarik berbagai jenis orang yang, secara
kolektif, akan berperilaku berbeda. Kecenderungan ini biasanya produk dari
sosialisasi.

4. Deindividuation theory (Deindividuasi), menyatakan bahwa ketika orang dalam


kerumunan maka mereka akan “menghilangkan “ jati dirinya dan kemudian menyatu
dalam jiwa massa.43

43
Suryanto, Pengantar Psikologi Sosial, (Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan UNAIR, 2012), 287

31
C. PENUTUP

Psikologi sosial merupakan cabang ilmu psikologi yang meneliti tentang pengaruh
sosial terhadap perilaku manusia. Seorang psikolog sosial melihat pada sikap, keyakinan,
dan perilaku baik individu maupun kelompok.

Psikologi sosial juga mengkaji interaksi nterpersonal, menganalisis cara seseorang


berinteraksi dengan orang lain, baik secara tunggal atau dalam bentuk kelompok besar.
Pembinaan psikologi sosial harus dimulai sejak dini, agar saat seorang anak beranjak
dewasa dia telah terbiasa membedakan hal baik dan buruk dalam bermasyarakat, sehingga
dia tidak akan melakukan tindak kriminal.

Secara garis besar terdapat dua factor yang melatarbelakangi psikologi sosial yakni
faktor biologis dan faktor sosiopsikologis. Ada pun teori-teori mengenai psikologi sosial
adalah behavioristik, belajar sosial, kognitif, lapangan, pertukaran sosial, interaksionisme
simbolik, etnometodologi, dan teori peran.

Psikologi massa merupakan suatu cabang ilmu yang mempelajari gejala-gejala jiwa
sekumpulan orang banyak baik yang tampak ataupun tidak tampak. Psikologi massa akan
berhubungan dengan perilaku yang dilakukan secara bersama-sama oleh sekelompok
massa. Fenomena kebersamaan ini diistilahkan pula sebagai Perilaku Kolektif (Collective
Behavior). Proses terbentuknya massa merupakan sesuatu dinamika tingkah laku manusia.
Psikologi berusaha menjelaskannya dengan menunjukkan bahwa perilaku massa
merupakan kelangsungan dari perilaku individu.

32

Anda mungkin juga menyukai