A. PENDAHULUAN
Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, kita tidak bisa lepas dari masalah
kejiwaan. Kejiwaan seseorang mempengaruhi cara seseorang bergaul, bersikap serta
mengambil keputusan. Maka dari itu kita harus mengetahui apa itu psikologi secara mendalam
agar kita dapat mengatur dan mengontrol diri kita sendiri agar bisa menjadi manusia ideal.
Psikologi memiliki beberapa cabang ilmu, seperti psikologi sosial dan psikologi massa.
Psikologi sosial merupakan perkembangan ilmu pengetahuan yang baru dari ilmu pengetahuan
psikologi pada umumnya. Ilmu tersebut menguraikan tentang kegiatan-kegiatan manusia
dalam hubungannya dengan situasi-situasi sosial. Dari berbagai pendapat tokoh-tokoh tentang
pengertian psikologi sosial dapat disimpulkan bahwa psikologi sosial adalah suatu studi ilmiah
tentang pengalaman dan tingkah laku individu-individu dalam hubungannya dengan situasi
sosial.
Perbuatan massa juga berdasarkan atas faktor psikologis yang mendasarinya. Yaitu orang
bertindak dalam massa adalah berdasarkan atas dorongan-dorongan atau keinginan-keinginan
dan sebagainya yang muncul dari bawah sadar yang semula ditekannya. Karena itu, bila
banyak hal yang ditekan merupakan suatu pertanda yang kurang baik, sebab pada suatu waktu
dapat muncul di permukaan bila keadaan memungkinkan.
Sehubungan dengan penjelasan tersebut, maka penting kiranya bagi penulis untuk
menjelaskan mengenai psikologi sosial dan psikologi massa, sehingga dapat menambah
wawasan bagi pembaca dan penulis.
1
2
B. PEMBAHASAN
1. PSIKOLOGI SOSIAL
Menurut Brehm dan Kassin "social psychology is the scientific study of the way
individuals think, feel, desire, and act in social situations"2. Psikologi sosial merupakan
suatu studi ilmiah mengenai cara individu berfikir (think), merasa (feel), berkeinginan
(desire) dan bertindak (act) dalam situasi sosial. Dari definisi tersebut, Brehm dan
Kassin menjelaskan secara terperinci sebagai berikut:
• Studi Ilmiah
1
Roberth A Baron & Donn Byrne, Psikologi Sosial, Jilid I, Edisi 10, (Jakarta: Erlangga, 2004), 5
2
Brehm, S.S., & Kassin, S.M., Social Psychology. Third Edition, (London, Prentice-hall: 1996), 6
3
Ibid
3
Situasi sosial mencerminkan tempat perilaku. Maka, seberapa "sosialkah" psikologi
sosial itu? Dalam usahanya menyusun prinsip teori yang umum, maka psikologi
sosial seringkali menguji pengaruh faktor-faktor non sosial (berfikir, emosi, motif
dan tindakan) dan juga faktor sosial (pengaruh sosial dan interaksi sosial).4
Perbedaan utama dari kedua definisi tersebut terletak pada akhir definisi. Jika
Brehm dan Kassin lebih menekankan pada situasi sosial sebagai setting perilaku terjadi,
sedangkan Kenrick lebih menyatakan orang lain (other people) sebagai faktor yang
mempengaruhi individu.
Sebagai studi ilmiah, psikologi sosial memiliki dua kategori tugas utama, yaitu
deskripsi (descriptions) dan penjelasan (explanations).
1. Deskripsi (descriptions)
2. Penjelasan (explanations)
Objek kajian psikologi sosial adalah fikiran, perasaan, dan tindakan sosial
seseorang dalam konteks sosial dengan menekankan pada perilaku sosial dan
memperhatikan setting sosial dan kehadiran orang lain.
4
Suryanto, Pengantar Psikologi Sosial, (Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan UNAIR, 2012), 4
5
Kenrick, D.T., Neuberg, S.L., & Cialdini, R.B., Social Psychology: Unraveling The Mystery. Second Edition, (Boston:
Allyn and Bacon Inc, 2002), 2
4
Menurut Gordon Allport, psikologi sosial adalah ilmu pengetahuan yang
berusaha memahami dan menjelaskan bagaimana pikiran, perasaan, dan tingkah laku
seseorang dipengaruhi oleh kehadiran orang lain, baik secara nyata atau actual, dalam
bayangan atau imajinasi, dalam kehadiran yang tidak langsung (implied).
Menurut David O Sears, psikologi sosial adalah ilmu yang berusaha secara
sistematis untuk memahami perilaku sosial, mengenai bagaimana kita mengamati
orang lain dan situasi sosial, bagaimana orang lain bereaksi terhadap kita, serta
bagaimana kita dipengaruhi oleh situasi sosial.
6
Shaw, M.E., & Costanzo, P. R. Theories of Social Psychology (New York: Mc. Graw Hill Co, 1970), 3
5
Bhrem dan Kassin mengenal era ini sebagai era pengumpulan kekuatan.
Studi terawal psikologi sosial dilakukan oleh Norman Triplett dan Max
Ringelmann. Topik penelitian kedua ahli tersebut mempertanyakan “apakah
performa seseorang akan meningkat ketika apabila ada orang lain hadir
didekatnya? apakah performa individu akan mengalami penyimpangan (decline)
apabila berada pada setting kelompok?”
Selain kedua tokoh tersebut, kontribusi lain yang cukup berpengaruh adalah
terbitnya tiga buku teks yang ditulis oleh psikologis Inggris, William McDougall
(1908), Ross (1908) dan Allport (1924). Ketiga tulisan ini kemudian menjadi rival
adanya pendekatan baru dalam psikologi sosial yang melihat adanya aspek sosial
yang berpengaruh terhadap perilaku manusia.7
7
Suryanto, Pengantar Psikologi Sosial, (Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan UNAIR, 2012), 7
6
Blass (1984) menyatakan pendekatan ini menggabungkan unsur dalam
psikologi kepribadian dan aspek psikologi sosial. Psikologi sosial kemudian banyak
memberikan penjelasan tentang terjadinya perilaku dan juga memberikan solusi
atas problem perilaku yang ditimbulkannya.8
Pada saat terjadi Perang Dunia II banyak para ahli psikologi di Amerika
Serikat dan Eropa termasuk ahli psikologi sosial yang terlibat dalam perang dan
memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan psikologi mereka untuk upaya-upaya
memenangkan perang. Setelah mengalami kemandekan yang cukup signifikan
akibat terjadinya Perang Dunia II, perkembangan psikologi sosial menunjukkan
perkembangan lebih lanjut pada periode pertengahan 1940-an yang ditunjukkan
mulai dilakukan penelitian terhadap pengaruh kelompok pada perilaku individu,
hubungan ciri-ciri kepribadian, perilaku sosial, pengembangan teori disonansi
kognitif oleh Leon Festinger tahun 1957.
Setelah Perang Dunia berakhir, seorang pakar psikologi sosial yang jenius,
Kurt Levin mempelopori pengembangan ilmu psikologi sosial ke arah bidang-
bidang yang lebih terapan. Berdasarkan ide Kurt Lewin untuk mengembangkan
ilmu sosiologi sosial ke arah yang lebih bermanfaat secara langsung bagi
kesejahteraan manusia, maka kemudian didirikan organisasi yang disebut dengan
Society for the Psychological Study of Social Issues (Masyarakat untuk Studi
Psikologis tentang Isu-Isu Sosial).
Psikologi sosial era ini melakukan ekspansi luar biasa, mulai mempelajari
bagaimana orang berfikir (Kelley,1967), dan merasakan (Schachter,1964) tentang
8
Ibid, 7-8
7
dirinya dan orang lain. Psikologi sosial telah mempelajari interaksi individu dalam
kelompok (Moscovici dan Zavalloni, 1969) dan problem-problem sosial mengapa
orang gagal membantu orang lain dalam kondisi distess (Latane dan Darley, 1970).
dan mulai mempelajari tentang agresi (Bandura,1973), ketertarikan fisik
(Berscheid dan Waltser, 1974) dan juga stress (Glass dan Singer, 1972). Oleh
karena itu, masa ini dapat dikatakan sebagai masa yang produktif (Brehm dan
Kassin, 1996).9
Pada masa ini juga muncul krisis dan perdebatan yang meningkat, dimulai
dari munculnya perbedaan pemahaman terhadap penggunaan metode eksperimen
di labolatorium dalam psikologi sosial. Dengan perbedaan pandangan ini
mengakibatkan psikologi sosial terpecah menjadi dua kelompok, yaitu yang pro
dan yang kontra dalam metodologi.
9
Ibid, 10
10
Ibid, 11
11
Ibid, 8
8
c. Faktor yang Melatarbelakangi Psikologi Sosial
Fokus psikologi sosial dibatasi pada individu. Psikologi sosial menyadari bahwa
kami tidak berada dalam keterasingan dari pengaruh sosial dan budaya, namun minat
utama bidang ini yakni pada pemahaman faktor-faktor yang membentuk perilaku sosial
dan pemikiran individu dalam konteks sosial.13
Psikologi sosial juga mencoba memahami penyebab dari perilaku sosial dan
pemikiran sosial. Artinya bahwa seorang psikolog sosial terutama tertarik untuk
memahami berbagai faktor dan kondisi yeng membentuk perilaku sosial dan pemikiran
sosial pada individu yaitu perilaku, perasaan, keyakinan, ingatan dan penyimpulan
mereka tentang orang lain.14
Menurut Edward E. Sampson, terdapat perspektif yang berpusat pada persona dan
perspektif yang berpusat pada situasi. Perspektif yang berpusat pada persona
mempertanyakan faktor-faktor internal apakah, baik berupa instik, motif, kepribadian,
sistem kognitif yang menjelaskan perilaku manusia. Secara garis besar terdapat dua
faktor:
12
Roberth A Baron & Donn Byrne, Psikologi Sosial, Jilid I, Edisi 10, (Jakarta: Erlangga, 2004), 8
13
Ibid
14
Ibid, 9
9
1. Faktor Biologis
Telah diakui secara meluas adanya perilaku tertentu yang merupakan bawaan
manusia, dan bukan perngaruh lingkungan atau situasi. Diakui pula adanya faktor-
faktor biologis yang mendorong perilaku manusia, yang lazim disebut sebagai
motif biologis. Yang paling penting dari motif biologis adalah kebutuhan makan-
minum dan istirahat, kebutuhan seksual, dan kebutuhan untuk melindungi diri dari
bahaya.15
2. Faktor Sosiopsikologis
2. Perilaku itu haruslah yang teramati dan terukur, bisa berupa aktivitas motorik yang
besar (misalnya meloncat), bisa juga kecil (misalnya gerakan mengangkat alis),
bicara atau menulis.
15
Daryanto, Teori Komunikasi, (Malang: Gunung Samudera, 2014), 336
10
3. Sebagai konsekuensi dari objek studi yang teramati dan terukur, psikologi sosial
harus bisa diverifikasi oleh siapa saja (publicly verifiable), walaupun tentu saja
maknanya sangat bergantung pada perspektif teori, latar belakang budaya dan
intepretasi pribadi.
4. Psikologi sosial tidak mempelajari perilaku yang tidak kasat mata dan tidak terukur-
beriman, kejujuran, berjiwa besar, berideologi Pancasila dan sebagainya, harus
tetap terukur dan disimpulkan (inferred) dari perilaku yang kasat mata.
Gejala-gejala perilaku sosial merupakan hasil dari proses belajar berdasar pada sistem
stimulus dan respons. Untuk sekadar memperoleh bayangan mengenai hal-hal yang
dipelajari dalam ilmu jiwa sosial, berikut adalah beberapa pokok yang akan dibahas, di
antaranya:
6. Kepemimpinan (leadrship)
7. Dinamika sosial
11
f. Teori-teori Psikologi Sosial
Dalam disiplin psikologi sosial, fungsi teori adalah untuk menjelaskan gejala-
gejala psikolgis dan perilaku individu dalam konteks saling berpengaruh dengan dunia
sosial. Berikut ada
1. Teori Behavioristik
16
Fattah Hanurawan, Psikologi Sosial, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), 6
17
Ibid
18
Ibid
12
semakin dikuatkan apabila kita secara sadar memahami konsekuensi-
konsekuensi dari suatu perilaku.19
3. Teori Kognitif
19
Shelley E Taylor, Letitia Anne Peplau, David O Sears, Psikologi Sosial, Edisi Kedua Belas, (Jakarta: Kencana, 2012),
8
20
Ibid
21
Ibid
13
Gestalt dan kognitif memandang bahwa manusia aktif dalam menerima,
memanfaatkan, memanipulasi, dan menstranformasi informasi yang
diperolehnya. Menurut mereka, manusia adalah organisme yang memiliki
kemampuan berpikir, merencanakan, memecahkan masalah, dan membuat
keputusan. Dalam perspektif Gestalt dan kognitif, kognisi adalah istilah yang
mengacu pada proses mental yang memiliki fungsi menstranformasikan
semua masukan (input) sensorik ke dalam struktur yang bermakna. Para pakar
psikologi gestalt dan kognitif memiliki keyakinan bahwa pikiran merupakan
faktor utama terjadinya suatu perilaku dimana manusia sebagai makhluk yang
mampu mengambil keputusan secara rasional berdasarkan pada pemrosesan
informasi yang telah tersedia.22
4. Teori Lapangan
22
Ibid, 9
23
Ibid
24
Wirawan, Teori-teori Sosial dalam Tiga Paradigma, (Jakarta: Kencana, 2012), 161
14
5. Teori Pertukaran Sosial
6. Interaksionisme Simbolik
a. Tindakan manusia terhadap sesuatu itu didasari oleh makna sesuatu itu
bagi mereka.
b. Makna dari sesuatu itu merupakan hasil dari suatu interaksi sosial.
25
Ibid
15
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial budayanya dalam upaya
mencapai tujuan bersama.26
7. Etnometodologi
8. Teori Peran
26
Ibid
27
Ibid, 162
16
peran tertentu misalnya peran guru, atasan, bawahan, presiden, dan orang
tua.28
28
Ibid, 163
17
2. PSIKOLOGI MASSA
Jika melihat keterkaitan antara masa dengan psikologi, maka, dapat kita
simpulkan bahwa psikologi massa adalah suatu cabang ilmu yang mempelajari gejala-
gejala jiwa sekumpulan orang banyak baik yang tampak ataupun tidak tampak.
Psikologi massa akan berhubungan dengan perilaku yang dilakukan secara bersama-
sama oleh sekelompok massa. Fenomena kebersamaan ini diistilahkan pula sebagai
Perilaku Kolektif (Collective Behavior).
Psikologi massa pada awalnya berkembang lebih dulu daripada psikologi sosial
bahkan bisa dianggap sebagai embrio dari psikologi sosial, namun karena tingkat
ketertarikan para pakar pada massa itu perkembangan psikologi massa mengalami
stagnansi dan saat ini dikategorikan sebagai salah satu cabang dari psikologi sosial.30
29
Imam Moedjiono, Kepemimpinan Dan Keorganisasian, ( UII Press :Yogyakarta, 2002, ) 223
30
https://id.wikipedia.org/wiki/Psikologi_massa
18
Pengertian Psikologi Massa menurut para ahli
31
Bimo Walgito, Psikologi Sosial Suatu Pengantar (Yogyakarta: Andi, 2003), 117–118.
32
Arishanti, Kiara Inata. Handout Psikologi Kelompok, (Depok: Universitas Gunadarma, 2005), 9
19
b. Sifat-sifat Massa
a. Impulsif, artinya massa akan mudah memberikan respons terhadap stimulus yang
diterimanya. Karena sifat impulsifnya ini, maka massa itu ingin bertindak cepat
sebagai reaksi terhadap stimulus yang diterimanya.
b. Mudah tersinggung. Karena massa itu mudah sekali tersinggung, maka untuk
membangkitkan daya gerak massa diperlukan stimuli yang dapat menyinggung
perasaan massa yang bersangkutan.
c. Sugestibel, ini berarti bahwa massa dapat mudah menerima sugesti dari luar.
d. Tidak rasional, karena massa itu sugestibel, maka massa itu dalam bertindak tidak
rasional, dan mudah dibawa oleh sentimen-sentimen.
e. Adanya social facilitation. Menurut F. Allport yaitu perbuatan individu lain dapat
menguatkan perbuatan individu lain yang tergabung dalam massa itu. Menurut
Tarde disebut imitation, sedangkan menurut Sighele disebut sugestion, dan
menurut Gustave Le Bon sebagai Contagionand suggestion.34
c. Jenis Massa
33
Ibid, 11
34
Rahmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, Remaja Karya, Bandung, 1986.
20
a) Massa yang tidak terorganisir secara formal (massa yang abstrak, massa yang
tidak tersusun) yaitu massa yang belum terikat oleh satu kesatuan norma, tujuan
namun berkumpul karena adanya dorongan, perhatian, dan kepentingan yang
sama serta sewaktu-waktu dapat bubar dengan sendirinya. Contoh: massa yang
berkumpul di pemakaman korban peristiwa trisakti.
b) Massa yang terorganisir secara formal (massa yang kongkrit, massa yang
tersusun) yaitu massa yang sudah terikat pada satu kesatuan norma, tujuan,
mempunyai struktur yang jelas dan terbentuk dalam suatu organisasi dengan
pembagian kerja yang pasti serta mempunyai potensi yang dinamis atau
mempunyai fungsi gerakan. Contohnya: Forum Komunikasi Kota, Forum
Komunikasi Senat Mahasiswa.
a) Audience (Massa Pasif) yaitu kerumunan orang (massa) pada suatu tempat
untuk tujuan tertentu, disertai dengan suasana yang relatif tidak emosional serta
tidak ada kesiapan untuk melakukan suatu tindakan (aksi). Misalnya jemaah
shalat di masjid atau misa di gereja, penonton bioskop, peserta seminar atau
mahasiswa yang sedang kuliah, pengunjung resepsi perkawinan, sholat id di
lapangan.
b) Crowd (Kerumunan Massa) yaitu kerumunan orang (massa) yang terjadi secara
spontan pada suatu tempat karena adanya tujuan atau motivasi tertentu namun
keberadaannya belum terorganisir dan masing-masing dapat berpikir dan
bertindak secara pribadi. Misalnya kerumunan orang di terminal atau stasiun
kereta api, orang-orang yang belanja di pasar, pelajar yang baru keluar dan
pulang dari sekolah.
c) Mob (Massa yang Aktif) yaitu kerumunan orang (massa) pada suatu tempat
untuk tujuan tertentu, disertai dengan suasana emosional dan siap untuk
melakukan tindakan (aksi) agresif (merusak, menyerang). Misalnya penonton
sepakbola yang kecewa, massa unjuk rasa/demonstran.
21
d) Riot (Huru-hara/Amuk Massa), yaitu kerumunan orang (massa) pada suatu
tempat yang bersifat mengganggu ketentraman umum, disertai dengan suasana
emosional yang sangat tinggi dan cenderung tidak mentaati aturan-aturan yang
berlaku yang disertai dengan pemaksaan kehendak, dan bertindak destruktif
(menyerang, merusak, menjarah) yang sulit dikendalikan. Misalnya Tragedi
Semanggi, Kasus Ketapang, Penjarahan 14 Mei 1998, perkelahian antar
kampung, perkelahian pelajar.
a) Massa yang telah lama terbentuknya yaitu massa yang telah berkumpul dalam
waktu relatif lama sehingga rasa memiliki dan solidaritas sebagai suatu
kelompok telah terbentuk dan sulit untuk dihilangkan. Misalnya: anggota PDI
Perjuangan, anggota PPP, Senant Mahasiswa suatu universitas.
b) Massa yang baru terbentuknya yaitu massa yang relatif baru berkumpul
sehingga belum memiliki raas solidaritas sebagai suatu kelompok. Misalnya:
massa yang berkumpul menyaksikan pawai di jalan atau kecelakaan lalu lintas
atau kebakaran.
a) Keyakinan anggota yang tinggi yaitu massa yang yakin akan arah dan tujuan
gerakan kelompoknya dimana kondisi ini sangat dipengaruhi oleh lama
terbentuknya dan terlibatnya anggota tersebut dalam kelompok. Misalnya:
massa pendukung PPP.
b) Keyakinan anggota yang rendah yaitu massa yang relatif belum yakin akan arah
dan tujuan gerakan kelompoknya dimana kondisi ini sangat dipengaruhi oleh
baru terbentuknya dan kurang terlibatnya anggota tersebut dalam kelompok.
Misalnya: massa yang terbentuk pada saat kecelakaan lalu lintas.
a) Massa yang terpusat yaitu massa yang berkumpul di suatu tempat dibawah
komando seorang pemimpin. Contoh: buruh yang sedang melakukan unjuk
rasa.
22
b) Massa yang tersebar yaitu massa yang berkumpul tidak hanya disatu tempat
saja dan mempunyai pimpinan masing-masing. Misalnya massa mahasiswa
yang berasal dari beberapa perguruan tinggi yang masing-masing mempunyai
pimpinan sendiri-sendiri (FKSMJ).
d. Terbentuknya Massa
4. Terdapatnya ancaman atau bahaya dari luar yang harus dihadapi bersama
1. Faktor individual
2. Faktor kelompok
23
Perilaku kekerasan kelompok disebabkan oleh adanya identitas kelompok
khususnya identitas SARA yang bermuara pada masalah ketidak-adilan, masalah
minoritas dan mayoritas.
Psikologi massa (Crowd Psychology) pertama kali muncul di akhir Abad ke-19 di
Eropa khususnya di Perancis (Nye, 1975). Faktor sosial yang melatarbelakangi Psikologi
Massa adalah maraknya kerusuhan sosial serta semakin intensifnya arus industrialisasi dan
urbanisasi di Perancis khususnya dan di negara negara industri di Eropa umumnya di
sepanjang pertengahan sapai akhir abad ke-19.35
Jika dilihat ke belakang, dalam skalanya yang lebih besar, kemunculan fenomena
massa dipengaruhi oleh dua macam peristiwa: renaissance, sebuah gerakan budaya yang
berkembang pada periode kira-kira dari abad ke-14 sampai abad ke-17, dan berbagai
revolusi di abad ke-18 sampai ke-19.
Ada revolusi industri di Inggris tahun 1750 dan di Amerika Serikat tahun 1850
(bidang ekonomi), revolusi Perancis tahun 1789 dan revolusi Amerika tahun 1775-1783
(bidang politik), serta ‘pencerahan’ atau enlightenment di abad ke-18 (bidang filsafat dan
agama).36
35
Ali Mashuri, Psikologi Politik dan Massa, diakses dari https://id.scribd.com/doc/109657758/Pengantar-Psikologi-
Massa-II, pada 27 April 2019, pukul 22.29
36
Ibid
24
Di abad 19, seiring dengan industrialisasi yang kian deras, terorbitlah apa yang
dinamakan sebagai ‘masyarakat massa’ (mass society). Menurut Blumer (1951), eksisnya
massa bersamaan dengan media massa (awalnya surat kabar). 37
Le Bon bukanlah orang pertama yang menulis tentang fenomena massa pada akhir
abad ke-19, dan bahkan Le Bon dianggap telah menjiplak karya penulis-penulis Perancis
dan juga penulis-penulis Italia yang telah menerbitkan karya serupa. Meskipun demikian,
Le Bon adalah penulis Psikologi Massa yang paling sintetis dan sistematis dibandingkan
penulis-penulis lain. Faktor inilah yang membuat tulisan Le Bon paling populer dan
berpengaruh, baik secara akademis maupun politis.
Secara politis, karya Le Bon memberi inspirasi bagi diktator Italia Mussolini dan
diktator Jerman Hitler untuk menemukan cara-cara memanipulasi massa. Dalam
memahami dan menjelaskan fenomena massa, pemikir-pemikir klasik (akhir abad ke-19
dan awal abad ke-20) berpatokan pada sejumlah konsep pemikiran:
1. Konsep sugesti dan mesmerisme yang diintroduksikan oleh Franz Anton Mesmer
(1734-1815). Dalam bukunya The Influence of the Planets, ia berargumen bahwa cairan
magnetis mengaliri alam raya serta badan semua jenis makhluk hidup.
Konsekuensinya, segenap gangguan fisik dan psikis bermuara pada ketidakseimbangan
cairan tersebut dan bentuk perlakuan magnetis akan bisa menyembuhkannya.
37
Ibid
38
Ibid
25
Sementara itu, James Braid (1795-1860) mulai mengkonsep-ulang klaim-klaim
Mesmer dan mengembangkan sebuah ide bahwa efek mesmerisme (yaitu
ketidakseimbangan cairan magnetis) lebih bersifat psikis. Tahun 1842, ia
mengeluarkan istilah ‘hipnosa’ sebagai pisau analisa untuk menerangkan fenomena
trance (kesurupan) dan sugestibilitas (keadaan gampang dipengaruhi). Dengan kata
lain, orang yang terasuki ke dua macam fenomena tersebut kualitas akalnya merosot
menjadi primitif. Gagasan ini selanjutnya digunakan oleh psikolog massa klasik guna
menjelaskan munculnya primitivisme, irasionalitas, dan emosionalitas massa.
Penemuan mikroba dan kaitannya dengan penyakit oleh, sebagai contoh utama, Pasteur
dan Koch, didudukkan sebagai sumber ide untuk mengkonseptualisasikan fernomena
massa. Konsep ‘penularan mental’ (mental contagion) muncul dalam karya Le Bon
tahun 1895. Melalui konsep-konsep ini, ada keyakinan bahwa karena massa ‘mengada’
(eksis) dalam keadaan ‘tanpa-norma’ (normlessness) dan anonim, karakteristik
emosional dan destruktif bisa tersebar sangat cepat. Pandangan semacam ini
menyejajarkan kondisi massa persis seperti penyakit—beberapa pengarang
mendiskripsikan pandangan ini sebagai model ‘medis’ massa.
3. Etologi
Ada sejumlah alasan mengapa psikologi massa kurang berkembang secara optimal.
Massa diyakini sebagai fenomena yang menyimpang dari urusan kehidupan sehari-hari
dan dengan begitu memberikan kita sedikit pemahaman atas realitas sosial dan
psikologis yang normal. Sikap seperti ini berdampak pada kurangnya penelitian-
26
penelitian psikologi tentang proses massa. Sementara di awal perkembangannya, ada
beberapa hal yang menjelaskan mengapa perkembangan psikologi massa kurang
popular.
27
4. Persoalan metodologis. Karena keberadaan dan gerakannya acap tidak kontinu dan
labil hingga kemunculannya sulit diduga, maka massa menjadi obyek studi yang
hanya bisa ditelaah secara post-facto. Jadi, massa sebatas bisa diselidiki pada aspek-
aspek pasca kejadiannya dan bukannya pada sebelum dan saat kemunculannnya.
Keterbatasan ini tentu membuat peneliti kesulitan menegakkan representativitas
dan objektivitas studinya tentang massa.39
Le Bon menambahkan bahwa pada konteks massa, maka individual akan menjadi
hilang identitas dirinya (de individualism) ,sehingga ia juga kehilangan tanggung jawab
dan pikiran-pikiran dan tindakan premodial dikedepankan.
Le Bon juga menyatakan bahwa crowds merupakan proses transisi dari individual
psycology kepada crowds psycology di mana terjadi perubahan pada situasi crowds
seseorang kehilangan jati dirinya dan melebur menjadi jati diri kelompok yang olehnya
disebut “ subject dari contagion”, contagion sendiri merupakan efek dari “ suggestibility”.
39
Ibid
40
Le Bon Theories Of The Crowd, Diunduh dari Internet, 2015
41
Harisson Mark, Crowds and History-Mass Phenomena In English Towns (1790-1835), (London: Cambiridge
University Press, 1988)
28
Dalam perspektif sejarahnya crowds lahir dari suatu kondisi ketimpangan sosial yang
terjadi di masyarakat yang merangsang mereka untuk melakukan “ pemogokan (striking)”.
Protes turun ke jalan sebagaimana dinyatakan oleh Elias Caneti “…It is for the sake of
equality that people become a crowd and they tend to overlook anything which might
detract from it. All demands for justice and all theories of equality familiar to anyone who
has been part of crowds”.42
Pandangan Elias Caneti ini seolah olah mendukung pandangan Le Bon tentang
“crowds” dimana garis persamaan atau simpul-simpul pemikiran Caneti dan Le Bon adalah
adanya sekumpulan orang (10-100-1000-10000) bersama-sama , dimana karakter
kepribadian individu seolah-olah hilang, menjadi bagian dari karakter kolektif(
transformed to be one or homogenous body) yang isi pikirannya sama (single headed
collectively).
1. Social contagion theory (Teori Penularan Sosial) bahwa kenyataan menjadi bagian
dari kerumunan memodifikasi perilaku individu dan, dalam arti, membuat mereka
untuk sementara, jika tidak waras setidaknya irasional dan bahwa perilaku tersebut
akan hilang ketika mereka meninggalkan kerumunan. Gagasan umum di belakang
penularan sosial adalah bahwa individu-individu dalam kerumunan yang
"terkontaminasi," "terinfeksi" oleh pikiran, emosi dan ide-ide yang mereka akan tidak
sebaliknya pengalaman dan sebagai hasilnya, terlibat dalam perilaku irasional dan
merusak diri sendiri di mana mereka tidak akan jika tidak terlibat. Individu di tengah
orang banyak tanpa berpikir meniru perilaku orang lain sehingga pada akhirnya,
semua anggota terlibat dalam perilaku yang sama. Reaksi melingkar ini
menghilangkan perbedaan individu serta kapasitas untuk berpikir logis. Fokus umum
dari kerumunan lebih menguatkan proses.
42
Caneti Elias, Crowds and Powe, trans, carol stewart, Harmondsworth, 1973
29
tapi menolak premis dasar: individu dalam kerumunan menjadi tidak rasional dan
gila. Mereka mengganti premis ini dengan mereka sendiri: aktor sosial adalah norma-
makhluk berikut; sebagai hasilnya, jika perilaku konformis adalah produk dari
norma-norma konvensional, maka perilaku kolektif adalah produk dari norma-norma
yang muncul.
3. Convergency theory (Teori Konvergensi Simbolis). Inti dari teori tersebut adalah
bahwa orang bertindak terutama didasarkan pada kecenderungan individu.
Kecenderungan tersebut membuat mereka mencari berpikiran kolektivitas.
Kolektivitas tersebut dengan demikian akan terdiri dari individu-hati, dengan
kecenderungan bersama untuk bentuk perilaku tertentu.
Untuk teori ini, karakteristik situasi tersebut memiliki minimal hal penting;
kecenderungan individu, kecenderungan dan karakteristik sosial adalah faktor utama
yang menjelaskan perilaku. Misalnya, orang tertarik pada sebuah konser rock secara
30
individual berbeda rata-rata dari orang-orang tertarik pada kebangkitan acara
keagamaan. Pengaturan tersebut akan menarik berbagai jenis orang yang, secara
kolektif, akan berperilaku berbeda. Kecenderungan ini biasanya produk dari
sosialisasi.
43
Suryanto, Pengantar Psikologi Sosial, (Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan UNAIR, 2012), 287
31
C. PENUTUP
Psikologi sosial merupakan cabang ilmu psikologi yang meneliti tentang pengaruh
sosial terhadap perilaku manusia. Seorang psikolog sosial melihat pada sikap, keyakinan,
dan perilaku baik individu maupun kelompok.
Secara garis besar terdapat dua factor yang melatarbelakangi psikologi sosial yakni
faktor biologis dan faktor sosiopsikologis. Ada pun teori-teori mengenai psikologi sosial
adalah behavioristik, belajar sosial, kognitif, lapangan, pertukaran sosial, interaksionisme
simbolik, etnometodologi, dan teori peran.
Psikologi massa merupakan suatu cabang ilmu yang mempelajari gejala-gejala jiwa
sekumpulan orang banyak baik yang tampak ataupun tidak tampak. Psikologi massa akan
berhubungan dengan perilaku yang dilakukan secara bersama-sama oleh sekelompok
massa. Fenomena kebersamaan ini diistilahkan pula sebagai Perilaku Kolektif (Collective
Behavior). Proses terbentuknya massa merupakan sesuatu dinamika tingkah laku manusia.
Psikologi berusaha menjelaskannya dengan menunjukkan bahwa perilaku massa
merupakan kelangsungan dari perilaku individu.
32