PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 BIOGRAFI VIKTOR FRANKL
Viktor
Emil
(lahir 26
September 1997 pada umur 92 tahun) adalah seorangneurolog dan psikiater Austria serta
1
korban Holocaust yang selamat . Frankl adalah pendiri logoterapi dan Analisis Eksistensial,
"Aliran Wina Ketiga" dalam psikoterapi. Bukunya, Man's Search for Meaning (pertama kali
terbit pada 1946) mencatat pengalamannya sebagai seorang tahanan kamp konsentrasi dan
menguraikan metode psikoterapisnya dalam upaya mencari makna dalam segala bentuk
keberadaan, bahkan yang paling kelam sekalipun, dan dengan demikian juga alas an untuk
tetap hidup. Frankl adalah salah satu tokoh utama dalam terapi eksistensial.
Frankl dilahirkan di Wina, Austria. Minat Frankl terhadap psikologi muncul sejak ia
masih muda. Untuk ujian akhir (Matura) di SMA ia menulis sebuah makalah tentang
psikologi pemikiran filsafat. Setelah lulus dari SMA pada 1923, ia belajar kedokteran
di Universitas Wina dan kemudian mengambil spesialisasi dalam neurologi dan psikiatri.
Dari 1933 hingga 1937 ia memimpin apa yang dinamakan "Selbstmrderpavillon" (pavilyun
bunuh diri) di Rumah Sakit Umum di Wina dan dari 1937 hingga 1940 ia melkaukan praktik
pribadi dalampsikiatri. Dari 1940 hingga 1942 ia memimpin departemen neurology dari
Rumah Sakit Rothschild. Pada saat itu, rumah sakit ini adalah satu-satunya yang masih tersisa
di Wina yang diizinkan menerima pasien Yahudi. Pada Desember 1941 ia menikah dengan
Tilly Grosser. Pada musim gugur 1943 ia, istrinya dan orangtuanya dideportasi ke kamp
konsentrasi di Theresienstadt. Pada 1944 ia dipindahkan ke Auschwitz dan belakangan
ke Kaufering dan Trkheim, dua kamp konsentrasi yang berdekatan dengan KZ Dachau. Ia
dibebaskan pada 27 April 1945 oleh Tentara AS. Frankl selamat dari Holocaust, tetapi
istrinya serta kedua orangtuanya dibunuh di kamp konsentrasi. Di antara saudara-saudara
dekatnya, hanya saudara perempuannya yang telah bermigrasi ke Australia, yang selamat.
Karena penderitaannya ini (dan penderitaan banyak orang lainnya) di kamp-kamp
konsentrasi, ia tiba pada kesimpulan bahwa bahkan dalam situasi yang paling absurd,
menyiksa dan mendehumanisasikan, kehidupan dapat bermakna dan bahkan penderitaan pun
bermakna. Kesimpulannya ini kelak menjadi dasar yang kuat bagi pemikiran psikiatri yang
dikembangkan oleh Frankl, logoterapi.
Frankl dibebaskan setelah tiga tahun mendekam di kamp konsentrasi, lalu ia kembali
ke Wina. Pada 1945 ia menulis bukunya yang terknal di seluruh dunia yang berjudul "Ein
Psychologe erlebt das Konzentrationslager" (terjemahan harafiahnya: "Seorang Psikolog
Mengalami Kamp Konsentrasi"; Terjemahan bahasa Inggrisnya: Man's Search for
Meaning atau, Manusia mencari Makna). Dalam buku ini ia berusaha secara obyektif
menggambarkan kehidupan seorang tahanan biasa di kamp konsentrasi dari perspektif
seorang psikiater. Pada 1946 ia ditunjuk untuk mengelola Poliklinik neurology Wina, dan ia
bekerja di situ hingga 1971.
Pada tahun-tahun setelah perang, Frankl menerbitkan lebih dari 30 buah buku dan
menjadi terkenal terutama sebagai pendiri logoterapi. (Logos dalam bahasa Yunani berarti
"kata", "nalar", "prinsip"; dan terapi dari bahasa Yunani , berarti "aku
menyembuhkan".) Ia memberikan kuliah tahu dan seminar-seminar di seluruh dunia serta
memperoleh 29 gelar doktor kehormatan.
Frankl meninggal dunia pada 2 September 1997, di Wina.
konseling model ini. Pada waktu itu banyak orang membutuhkan kekuatan untuk
mengembalikan sense of humanness di samping untuk memecahkan masalah masalah yang
berkaitan dengan kebermaknaan hidup, khususnya yang berkaitan dengan upaya menghadapi
kehancuran, isolasi, dan kematian yang disebabkan oleh perang dunia. Eksistensialisme
bersama-sama dengan dengan psikologi humanistic, muncul untuk merespon kebutuhan
tersebut.
Menurut Gerald Corey (2013:53). Banyak ahli psikologi Amerika yang menunjukkan
kepercayaan pada definisi operasioanal dan hipotesis yang bisa diuji serta memandang usaha
memperoleh data empiris sebagai satu-satunya pendekatan yang shohih guna memperoleh
informasi tentang tingkah laku manusia. Di masa lalu tidak terdapat bukti adanya minat yang
serius terhadap aspek-aspek filosofi dari konseling dan psikoterapi. Pendekatan eksistensial
humanistik ini menekankan bahwa renungan-renungan filosofis tentang apa artinya menjadi
manusia yang utuh. Dan banyak ahli psikologi yang berorientasi eksistensial yang
mengajukan argumen menentang pembatasan studi tingkah laku manusia pada metodemetode yang digunakan oleh ilmu pengetahuan alam.Sebagai contoh, Bugental (1965),
Rogers (1961),May (1953-1969), Frankl (1959-1963), Jourard (1968-1971), Malow (19681970) dan Arbuckle (1975) yang mengemukakan kebutuhan psikologi akan suatu persepektif
yang lebih luas yang mencakup pengalaman subjektif klien atas dunia pribadinya.
2.3 PENGERTIAN TEORI KONSELING EKSISTENSIAL
Menurut Sarah Young dalam Konseling dan Psikoterapi (1995:123), terapi
eksistensial adalah pendekatan terhadap konseling dan psikoterapi yang didasarkan pada
pemahaman filosofis tentang apa makna menjadi manusia, dan apa makna keberadaannya.
Menurut Gerald Corey dalam Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi (2013:
53,54), pendekatan eksistensial-humanistik memusatkan perhatian pada asumsi-asumsi
filosofis yang melandasi terapi. Pendekatan eksistensi humanistic menyajikan suatu landasan
filosofis bagi orang-orang dalam hubungan dengan sesamanya yang menjadi ciri khas,
kebutuhan yang unik dan menjadi tujuan konselingnya, dan yang melalui implikasi-implikasi
bagi usaha membantu individu dalam menhadapi pertanyaan-pertanyaan dasar yang
menyangkut keberadaan manusia.
Kesimpulan dari pengertian menurut para ahli tersebut di atas ialah, bahwa terapi
eksistensial pendekatan konseling yang didasarkan pada pemahaman filosofis tentang
manusia.
2.4 POKOK-POKOK TEORI KONSELING EKSISTENSIAL
2.4.1 Pandangan Tentang Sifat Dasar Manusia
Menurut Eko Darminto (2007:66). Para ahli dan praktisi KE, memandang
manusia sebagai ciptaan yang sulit untuk dimengerti. Meskipun demikian, para
eksistensialis mengemukakan keyakinannya tentang sifat dasar manusia dalam istilah
tak berdaya.
Sendirian/teralinasi.
Meskipun manusia bisa memiliki banyak kolega, teman, sahabat, dan keluarga.
Namun pada akhirnya ia adalah sendirian. Para eksistensialis memiliki keyakinan
bahwa tak seorangpun yang benar-benar dapat memahami diri kita, fisik maupun
mental (perasaan dan pikiran kita). Tak seorangpun dapat menyelamatkan kita dari
kematian dan dari berbagai bentuk kehilangan. Kita sering mengikatkan diri dengan
orang lain dan menjadi tergantung pada orang lain sebagai upaya untuk melawan
perasaan sendirian dan teralinasi. Meskipun upaya-upaya tersebut gagal dan pada
akhirnya kita hanya akan merasakan sendirian lagi. Perasaan teralinasi inilah yang
Dari filusuf eksistensial paling populer, berpendapat bahwa tidak ada hal yang
disebut hakikat manusia, karena hkikat manusia itu intinya tidak ada. Inti dari
berubah.
Kebebasan.
Kita sering mengalami kesulitan dalam menerima kebebasan, karena kita
melewatkannya dan membirkan orang lain bertanggung jawab atas diri kita.
Kecemasan dan perasaan bersalah.
Para eksistensialis berpendapat bahwa kita tidak bisa memenuhi tanggung jawab
pada diri kita , kita hanya bisa berupaya melakukannya. Karena kita tidak bisa
memenuhi potensi kita. Kita selalu berutang pada diri kita untuk untuk menjadi lebih
dari daripada kita yang sekarang ini, sehingga kita merasa bersalah
Keberadaan di dunia.
Para filusuf eksistensial menggunakan frasa ini untuk menekankan relasi tak
terelakkan kita, hubungan kita yang dari sananya pada semmua hal yang kita jumpai.
Kita dapat keluar dari mobil, namun kita tidak dapat keluar dari dunia kita.
Dunia dengan.
Tak hanya kita yang selalu membawa dunia kita bersama kita, namun kita juga hidup
terkait dengan orang lain. Kita hidup didalam sebuah dunia dengan. Seperti
contohnya kita berhubungan dengan teman, orang tua, kerabat, saudara, dosen.
Dengan siapapun juga, setiap hubungan adalah diri yang lain. Mungkin benar ada
Dari presepktif eksistensial. Usaha kita untuk menjalani kehidupan yang bebas dari
rasa khawatir, bebas stress, dan seimbang bisa mengekalkan kesulitan kita.
Menurut Gerald Corey (2013:54). Psikologi eksistensial humanistik berfokus pada
kondisi manusia. Dimana pendekatan ini adalah suatu sikap yang menekankan pada
pemahaman atas manusia alih-alih suatu sistem teknik-teknik yang digunakan untuk
mempengaruhi klien. Oleh karena itu, pendekatan eksistensial-humanistik bukan suatu aliran
terapi, bukan pula suatu teori tunggal yang sistematik. Pendekatan terapi eksistensial juga
bukan suatu pendektan terapi tunggal, malainkan suatu pendektan yang mencakup terapiterapi yang berlainan yang semuanya berlandasan konsep-konsep dan asumsi-asumsi tentang
manusia. Yang akan diungkap berikut ini adalah konsep-konsep utama dari pendektan
eksistensial yang membentuk landasan bagi praktek terapeutik.
Kesadaran diri.
Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan
yang unik dan nyata yang memungkinkan manusia mampu berfikir dan memutuskan.
Kebebasan, tanggung jawab dan kecemasan.
Kesadaran atas kebebasan dan tanggung jawab bisa menimbulkan kecemasan yang
menyajikan sisi gelap dari gambaran hidup manusia, para eksistensialis adalah kaum
humanis. Mereka juga memliki pandangan yang optimis dan
manusia memiliki potensi untuk menangani kondisi-kondisi tersebut dan membuat hidupnya
menjadi bermakna.
2.4.2 Sistem Teori
Menurut Eko Darminto (2007:68)
a. Perkembangan ganguan emosioanal
KE tidak memperdebatkan pentingnya tahun-tahun awal (masa kanak-kanak)
dalam mempengaruhi perkembangan manusia, hubungan orang tua dan anak,
ketidaksadaran, tetapi lebih memutuskan perhatian pada upaya mempertalikan
faktor-faktor tersebut dengan masalah-masalah eksistensial.
b. Mengalami pada saat sekarang
Dapat mengalami situasi saat ini atau dasein menyatakan bahwa manusia itu
ada, memiliki kesadaran, dan bertanggung jawab bagi keberadaaanya sendiri.
Meskipun tampak kompleks dan sukar untuk dipahami tetapi konsep dasein
tampak merefleksikan kemampuan manusia untuk secara sultan dapat hidup pada
saat ini, sadar dan mengambil tanggung jawab lebih bermakna dan mengakui
bahwa kematian tidak bisa dihindarkan.
Sedangkan menurut Gerald Corey dalam bukunya, Teori dan Praktek Konseling
& Psikoterapi (2013:56), terapi eksistensial bertujuan agar klien mengalami
keberadaannya secara otentik dengan menjadi sadar ats keberadaan dan potensipotensi serta sadar bahwa ia dapat membuka diri dan bertindak berdasarkan
kemampuannya.
Menurut Palmer dan Stephen (2011:132). Terapis eksistensial tidak berfokus
pada penentuan tujuan spesifik untuk terapi, namun pembukaan kemungkinan bisa
dikatakan sebagai tujuan umum terapis eksistensial. Terapis eksistensial tidak akan
bekerja untuk menghilangkan kecemasan pada diri klien, karena justru akan berarti
menafikan kebebasan dan tanggung jawab klien. Alih-alih, terapis eksistensial akan
mendorong klien untuk berkonfrontasi dengan kesulitannya dan menghadapi
kecemasan yang mengikuti. Dan Autensitas merupakan bagaian tujuan terapi
eksistensial, diamana ketika kita autentik, kita menyadari kodrat eksistensi-kebebasan,
tanggung jawab, kematian, dan sebagainya. Namun setelah kita mengatahui bahwa
kehidupan kita terasa terancam ketika kita mendapatkan musibah, begitu ancaman itu
dihilangkan, kita kembali ke keadaan yang tidak autentik. Sebagaian besar kita adalah
makhluk pelupa, kita hanya mengikuti arus dan mengabaikan mortalitas kita.
Mungkin melalui terapi klien akan lebih sadar keautentisitasnya, walaupaun samar,
namun akhirnya selalu klienlah yang memutuskan tujuan terapi.
2.5.2 Proses Konseling
Proses konseling KE menggambarkan suatu bentuk aliansi terapeutik antara
konselor dan konseli. Dalam proses ini, konselor eksistensial mendorong kebebasan
dan tanggung jawab, mendorong konseli untuk menangani kecemasan, dan
mendorong munculnya upaya-upaya untuk membuat pilihan yang bermakna.
KE tidak memusatkan perhatian pada masalah atau pada krisis tetapi lebih
menekankan pada usaha membangun aliansi terapeutik yang mendalam. Ini
menyebabkan proses konseling hampir tidak terbatasi oleh waktu atau kesibukan.
Meskipun demikian, proses konseling umumnya dimulai oleh pemahaman konselor
terhadap konseli dan kesadaran konseli tentang diri dan lingkungannya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Teori KE dikembangkan oleh banyak ahli namun yang paling popular adalah Victor
Frankl. KE dapat dikelompokkan ke dalam pendekatan afektif (George & Cristiani, 1981;
Hansen, Stevic, & Warmer, 1981) atau pendekatan yang menekankan pada persepsi dan
emosi (Seligman, 2001), humanistic (Corey, 2013). Sesuai dengan klasifikasi pendekatannya,
KE memiliki pandangan yang positif tentang sifat dasar manusia. Model konseling ini lebih
bersifat filosofis, kurang menekankan pada teknik dan lebih merefleksikan suatu system
perlakuan yang kurang terstruktur. KE digunakan untuk membantu manusia menghadapi dan
menangani ketidakpastian hidup yang menyakitkan dengan cara membantu mereka
mengambil tanggung jawab untuk membuat pilihan, menciptakan suatu kehidupan yang
bermakna bagi diri sendiri dan orang lain, dan untuk mengaktualisasikan dirinya. Tujuantujuan tersebut dicapai melalui hubungan khusus- yang disebut aliansi terapeutik antara
konselor dan konseli.
3.2 Saran
Dari makalah ini, diharapkan pembaca dapat memahami dan mengerti bagaimana
sejarah terciptanya teori konseling eksistensial, apa itu yang dimaksud dengan teori konseling
eksistensial, bagaimana pokok-pokok teori konseling eksistensial, apa tujuan dan bagaimana
proses dari teori konseling eksistensial, serta bagaimana kontribusi dan kritik konseling
10
eksistenisal. Sehingga, pembaca dapat melaksanakan konseling eksistensial secara tepat dan
benar di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Darminto, Eko. 2007. Teori-Teori Konseling. Surabaya: Unesa University Press.
Palmer, Stephen. 2011. Konseling dan Psikoterapi.Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.
Corey, Gerald. 2013. Teori & Praktek Konseling dan Psikoterapi. Terjemahan E. Koswara.
Bandung. PT. Refika Aditama.
11