Anda di halaman 1dari 10

MODUL PERKULIAHAN

Kode Etik
Psikologi
Metaetika dan Etika Terapan

Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

03
Psikologi Psikologi 61035 Shinta Utami, M.Psi., Psikolog

Abstract Kompetensi
Pembahasan terkait sejarah Mengetahui teori metaetika dan etika
metaetika dan perkembangan etika terapan.
terapan
Pembahasan
Metaetika

Metaetika atau etika kritikal (critical ethics) adalah kajian tentang makna istilah dan teori
etika yang sebenarnya. Meta memiliki arti setelah atau luas, dan metatika menunjukkan
pandangan yang tajam, luas, dan dalam terhadap keseluruhan tema etika sehingga jika
dibandingkan dengan etika lainnya, yaitu normatif, deskriptif dan terapan, metaetika mampu
mendefinisikan filsafat moral dengan sangat akurat.
Dalam metaetika, terdapat dua aliran utama pemikiran, yaitu realisme dan non-realisme.
Aliran realisme memandang nilai-nilai moral sebagai properti instrinsik dunia dan prinsip-
prinsip etika dengan mudah ditemukan atau dirasakan secara intuitif. Oleh karena itu, aliran
ini diturunkan dari teologi atau naturalism. Para penganut pandangan ini pun memandang
bahwa nilai etika yang dimiliki manusia dapat merefleksikan kebenaran mandiri dan
validitasnya harus dinilai. Namun sebaliknya dari realisme, aliran non-realisme menyatakan
bahwa nilai-nilai moral merupakan hasil kreasi, tergantung dari perasaan dan tujuan orang-
orang yang sehubungan dengan diri mereka dan orang lain (emotivisme atau preskriptivisme)
atau sistem kepercayaan mereka (relativisme budaya atau individu).

Kajian Metafisika: Objektivisme dan Realitivisme

Kajian metafisika dikenal sebagai kajian realisme dari metaetika. Pembahasan metafisika
dalam konsepnya ialah terkait segala sesuatu yang ada di alam semesta, baik yang bersifat
fisik seperti bebatuan, maupun non-fisik seperti dewa-dewa. Pertanyaan yang muncul atas
kajian metafisika adalah apakah nilai-nilai moral merupakan kebenaran abadi yang muncul
dalam realitas spirit atau hanya hasil dari kesepakatan manusia. Atas pertanyaan tersebut,
muncul dua arah diskusi yang dinamakan sebagai “dari dunia lain” (other-wordly) dan “dari
dunia ini” (this-wordly).
Para tokoh pendukung “dari dunia lain” meyakini bahwa nilai-nilai moral bersifat objektif
yang berasal dari dunia spiritual dan bukan hasil kesepakatan manusia yang subyektif. Selain
itu, nilai moral dianggap sebagai suatu yang mutlak dan abadi, serta bersifat universal
sehingga terus berlaku dan dapat diterapkan oleh manusia tidak terbatas waktu dan tempat.
Oleh karena sifat nilai moral yang objektif, manusia tidakmembiarkan perasaan atau
kepentingan mempengaruhi pandangan mereka, dan mereka bercita-cita untuk dapat
mencapai persepsi pemikiran rasional yang tidak memihak sisi manapun.
Berikut adalah tokoh-tokoh pendukung “dari dunia lain” beserta pemikiran-pemikirannya:

2017 Kode Etik Psikologi Pusat Bahan Ajar dan eLearning


2 Shinta Utami, M.Psi., Psikolog http://www.mercubuana.ac.id
Pandangan bahwa nilai-nilai moral merupakan kebenaran
abadi yang abstrak sebagai wujud spiritual adalah dasar
pemikiran Plato. Hal yang memperkuat pandangannya adalah
angka-angka dan hubungan matematik, yaitu 1 + 1 = 2.
Manusia tidak menciptakan angka-angka tersebut dan tidak
dapat merubah serta dianggap sebagai wujud abstrak sebagai
wujud spiritual. Konsep matematika tersebut juga akan

Plato selamanya dipakai dan diterapkan oleh manusia di seluruh


(427 SM – 347 SM) dunia.

Secara umum para filsuf menyatakan bahwa seluruh prinsip


moral adalah “hukum abadi” yang dilihat sebagai objek
spiritual. Namun berbeda dengan para filsuf lainnya, Clarke
justru menyatakan prinsip moral adalah sebuah hubungan
spiritual dibandingkan objek spiritual akan tetapi keduanya
tetap berasal dari dunia spiritual. Pemikiran ini dilandasi oleh
Tuhan yang Maha Kuasa mengatur segalanya. Tuhan yang
menjadikan dunia fisik ada, Dia yang menentukan kehidupan
Samuel Clarke manusia ada serta Dia pula yang menentukan nilai-nilai moral
(1675 – 1729)
yang ada.

Pandangan Clarke didukung dengan pandangan Ockham


sebelumnya, yaitu kepercayaan bahwa Tuhan menentukan
prinsip-prinsip moral, seperti “membunuh itu salah.” Prinsip
moral tersebut muncul dari Tuhan dan menjadi aturan atau
perintah bagi manusia. Tuhan memberikan perintah tersebut
melalui wahyu dalam bentuk kitab suci.
William Ockham
(1288 – 1349)

2017 Kode Etik Psikologi Pusat Bahan Ajar dan eLearning


3 Shinta Utami, M.Psi., Psikolog http://www.mercubuana.ac.id
Selain itu, pendekatan kedua status metafisika moralitas yang berasal “dari dunia ini”
berasal dari para filsuf berikut:

Empiricus menolak pandangan bahwa nilai-nilai moral bersifat


objektif. Bagi penganut paham “dari dunia ini”, bukanlah nilai-
nilai moral yang mereka tolak, karena sesungguhnya mereka
tetap mempercayai adanya nilai-nilai moral, namun yang
mereka tolak adalah pemahaman bahwa nilai-nilai moral
tersebut berasal dari objektivitas dan dari perintah Tuhan.
Menurut pendapat “dari dunia ini”, nilai-nilai moral adalah hasil
Sextus Empiricus
dari penemuan manusia dan disebut sebagai relativisme moral. (Abad ke-3 M)

Melanjutkan konsep yang dimiliki oleh Empiricus, Nietzsche


menyatakan bahwa relativisme terbagi menjadi dua, yaitu
relativisme individual dan relativisme kultural.
Relativisme individual diyakini sebagai cara individu
menghasilkan standar moral mereka sendiri sehingga mereka
memiliki daya untuk dapat bereaksi terhadap sistem nilai
tertentu seperti perbudakan. Sementara relativisme kultural
menunjukkan bahwa moral berdasarkan persetujuan
masyarakat, bukan preferensi individual. Sebagian besar
relativisme menunjukkan bahwa perbedaan dalam budaya Friedrich Nietzsche
banyak menjelaskan keragaman dan para penganut (1844 – 1900)

relativisme mengakui adanya moralitas bersama, namun hal


tersebut dipengaruhi oleh kebudayaan atau sejarah yang ada.

2017 Kode Etik Psikologi Pusat Bahan Ajar dan eLearning


4 Shinta Utami, M.Psi., Psikolog http://www.mercubuana.ac.id
Kajian Psikologik Metaetika
Kajian Psikologik Metaetika membahas mengenai proses mental dari penilaian dan
perilaku moral, serta hal mendasar yang memotivasi manusia untuk melakukan sikap yang
bermoral.

a. Egoisme dan Altruisme


Pandangan Hobbes terkait dasar perilaku bermoral dikenal juga
sebagai psikologi egoisme, yaitu pandangan yang menganggap
bahwa motivasi mendasar segala tindakan manusia adalah
adanya kepentingan yang berorientasi pada diri sendiri. Bahkan,
menurut Hobbes, pada perilaku yang terlihat tidak egois pun
ternyata manusia masih memiliki motif yang mementingkan
dirinya, seperti dalam melakukan kegiatan amal.
Thomas Hobbes
Psikologi hedonism menjadi pandangan yang paling dekat
(1588 – 1679)
dengan pandangan ini, yaitu kenikmatan merupakan tenaga
pendorong khusus perilaku manusia.

Butler menyetujui konsep egoisme dalam memotivasi manusia


dapal berperilaku. Namun, ia manembahkan bahwa manusia
memiliki kapasitas untuk memperlihatkan kebaikan kepada
orang lain. Pandangan ini disebut dengan psikologi altruism
yang menyatakan bahwa insting berbuat baik paling sedikit
berperan bagi manusia untuk berperilaku.
Joseph Butler
(1692 - 1752)

b. Emosi dan Penalaran


Dalam psikologi moral dipertanyakan pula dalam tindakan moral apakah hal tersebut
sudah berdasarkan penilaian rasional atau hanya berdasarkan emosi/perasaan kita saja,
misal dalam pernyataan “aborsi itu salah secara moral.” Berikut adalah tokoh yang membahas
antara emosi dan penalaran:

2017 Kode Etik Psikologi Pusat Bahan Ajar dan eLearning


5 Shinta Utami, M.Psi., Psikolog http://www.mercubuana.ac.id
Pendapat Hume mengenai perilaku moral adalah didasarkan
oleh emosi manusia, bukan penalaran. Menurutnya, kita
memerlukan reaksi emosional khusus dalam membuat
keputusan moral, meskipun kita mampu mengupulkan segala
penalaran yang diperlukan. Pandangan Hume disebut juga
teori emotif.
David Hume
(1711 - 1776)

Ayer memiliki pandangan yang sama dengan Hume. Baginya,


dalam setiap kalimat bermoral akan melibatkan dua hal, misal
pada kalimat “baik untuk bersedekah pada kegiatan amal.”
Dalam kalimat tersebut, hal pertama adalah menunjukkan
ekspresi kesetujuan kita terkait beramal, dan kedua
menunjukkan inti memberikan perintah untuk beramal
sehingga kedua hal tersebut mendorong terjadinya perilaku.
Pandangan Ayer tersebut dinamakan dengan teori preskriptif A.J. Ayer
(1910 – 1989)

Tidak seperti Hume dan Ayer, Baier menentang teori emotif


dan preskriptif. Menurutnya, dalam melakukan perbuatan
moral didasarkan oleh penalaran dan argumentasi sehingga
dalam perilaku yang dilakukan selalu memiliki alasan. Jika kita
melakukan tindakan tidak bermoral pun, kita harus memiliki
alasan yang dapat memperkuat justifikasi atas perbuatan kita
tersebut sehingga Baier menganggap keputusan moral
Kurt Baier
melibatkan pemberian alasan-alasan terbaik yang mendukung
(1917 – 2010)
tindakan, bukan mencegah tindakan tersebut.

c. Moralitas Laki-laki dan Perempuan


Moralitas antara laki-laki dan perempuan didasari oleh adanya psikologi gender yang
membahas perbedaan antara keduanya. Menurut filsuf feminis, moralitas tradisional berpusat
pada laki-laki karena secara tradisional memiliki tanggungjawab terhadap tugas yang bersifat
rumit, seperti kontrak bisnis atau harta kepemilikian yang menuntutnya untuk dapat

2017 Kode Etik Psikologi Pusat Bahan Ajar dan eLearning


6 Shinta Utami, M.Psi., Psikolog http://www.mercubuana.ac.id
melakukan pekerjaan yang bersifat kaku dari aturan moral. Sementara perempuan, secara
tradisional berperan dalam pengasuhan, pemenuhan kebutuhan/keperluan keluarga di rumah
dan mengawasi kehidupan rumah tangga sehingga tugasnya lebih sedikit aturan dan lebih
menuntut tindakan spontan dan kreatif. Jika menggunakan perempuan sebagai model teori
moral, maka akan berbeda jika laki-laki sebagai model teori moral. Hal ini dikarenakan model
moralitas laki-laki merupakan agen moral yang dapat menyelesaikan tugas namun tetap dapat
menjaga jarak dan tidak terpengaruh oleh situasi. Sementara wanita lebih memperhatikan
spontanitas.

Etika Terapan

Etika terapan merupakan disiplin filsafat yang menerapkan teori-teori etika dalam situasi
kehidupan sehari-hari. Hal tersebut menunjukkan perbedaan dengan pembahasan etika
sebelumnya yang terkesan abstrak dan tidak aktual. Sejarah dari etika terapan sama
panjangnya dengan sejarah filosofi moral dunia Barat, meskipun disiplin ini sempat ditiadakan
pada masa positivisme pada awal abad 20. Pemulihan etika normatif pada 1950-1960 segera
diikuti dengan perkembangan yang sangat cepat terkait studi etika terapan, dan bahasan
terkait rasisme, seksisme, pencegahan nuklir dan kelaparan pada negara pihak ketiga (third-
party countries). Beberapa masalah praktis juga menjadi perhatian para filsuf selama
beberapa dekade belakangan ini seperti euthanasia, aborsi, kesejahteraan hewan, teknologi
genetic, obat reproduksi, dan hukuman mati. Masa kejayaan etika terapan pun ditandai
dengan banyaknya tempat yang mengadakan kongres dan seminar terkait etika di seluruh
dunia, cukup banyak institut di dalam maupun luar kalangan perguruan tinggi yang
mempelajari moral bahkan di Amerika Serikat menjadi salah satu kurikulum, banyak publikasi
ilmiah terkait etika dan para ahli etika mulai dimintai untuk mempelajari masalah-masalah
yang memmiliki implikasi moral.
Etika terapan memiliki ranah yang sangat luas sehingga kerapkali digunakan untuk
menentukan kebijakan publik seperti terkait Hak asasi manusia sedunia oleh UN Declaration
of Human Rights oleh PBB tahun 1948. Studi lebih lanjutpun semakin berkembang dan
melahirkan berbagai subdisiplin lain seperti etika medis, etika bisnis, etika penelitian dan etika
profesi. Terdapat dua karakter penting agar suatu masalah dapat diangkat menjadi topik
dalam etika terapan, yaitu:
a. Masalah bersifat kontroversial dan memiliki kelompok besar, baik yang pro maupun
kontra atas masalah tersebut.
b. Isu tersebut harus jelas merupakan masalah etika sehingga dapat diangkat menjadi
masalah etika.

2017 Kode Etik Psikologi Pusat Bahan Ajar dan eLearning


7 Shinta Utami, M.Psi., Psikolog http://www.mercubuana.ac.id
Lebih lanjut, etika terapan meliputi beberapa bidang, yaitu:
a. Dua wilayah besar yang disoroti etika terapan:
 Wilayah profesi: etika kedokteran, etika politik, etika bisnis, dan sebagainya.
 Wilayah masalah: penggunaan tenaga nuklir, pencemaran lingkungan,
diskriminasi, dan sebagainya.
b. Pembagian dalam makroetika, mikroetika dan mesoetika
 Makroetika, yang membicarakan masalah moral skala besar. Misal: ekonomi dan
keadilan, lingkungan hidup, dan alokasi sarana kesehatan.
 Mikroetika, yang membicarakan pertanyaan etis terkait individu yang terlibat.
Misal: kewajiban psikolog dengan klien atau sebaliknya.
 Mesoetika, yaitu menyoroti masalah etis yang berkaitan dengan kelompok atau
profesi. Misal: kelompok ilmuwan, profesi dokter, dan sebagainya.
c. Pembagian ke dalam etika individual dan etika sosial
 Etika individual menyangkut pembahasan terkait kewajiban manusia terhadap
dirinya
 Etika sosial yang memandang kewajiban manusia sebagai anggota masyarakat.

Dalam membahas etika terapan, perlu dibedakan pula antara isu kebijakan sosial dengan
moralitas. Keduanya kerapkali saling tumpeng tindih. Misal, isu perzinahan adalah suatu hal
yang bertentangan dengan moralitas, akan tetapi tidak semua negara menerapkan kebijakan
sosial atau hukuman secara langsung bagi pelakunya. Hal ini terlihat pada kota Aceh yang
menerapkan hukum cambuk bagi pelaku perzinahan, namun perilaku perzinahan tidak diatur
atau tidak memiliki kekuatan hukum di dunia Barat. Contoh lain adalah terkait peraturan
pemerintah provinsi yang melarang pedagang asongan. Namun, meskipun kebijakan sosial
tersebut sudah ada tetapi masyarakat menganggap tidak ada tindakan yang merugikan dari
pedagang asongan sehingga tidak ada sesuatu yang bertentangan dengan moral.engan
demikian, untuk dapat diklasifikasikan sebagai isu etika terapan, isu harus relevan dengan
moralitas dan bukan hanya sekedar kebijakan sosial saja.

Pendekatan Etika Terapan

Saat ini, etika terapan bekerjasama dengan etika dan ilmu-ilmu lain. Karena etika terapan
tidak dapat berjalan dengan baik tanpa adanya kerjasama dengan ilmu lain, maka etika
terapan pun harus membentuk dan mempertimbangkan bidang-bidang yang berada di luar
keahliannya sehingga diperlukan pendekatan multidisipliner. Pendekatan multidisipliner
merupakan usaha pembahasan tentang tema yang sama oleh berbagai ilmu sehingga semua
ilmu dapat memberikan sumbangan yang satu disamping yang lain. Sementara dalam

2017 Kode Etik Psikologi Pusat Bahan Ajar dan eLearning


8 Shinta Utami, M.Psi., Psikolog http://www.mercubuana.ac.id
pendekatan interdisipliner semua disiplin ilmu tidak mempertahankan perspektif ilmiahnya
masing-masing melainkan melebur ke dalam suatu pandangan yang menyeluruh. Dalam
konteks ini peran etika adalah memberikan penilaian etis terhadap alasan-alasan yang
diberikan oleh para ilmuwan dalam bidang terkait.
Dalam melakukan metode etika terapan, tidak ada metode yang benar-benar paten
karena banyak sekali metode yang dapat digunakan. Namun, semua metode tersebut
memiliki empat unsur, yaitu:
a. Dari sikap awal menuju refleksi
Sikap awal merupakan sikap tertentu seseorang terhadap suatu hal atau masalah
yang dihadapinya
b. Informasi
Kita butuh informasi, yang tentu mempunyai kaitan dengan masalah yang sedang
dihadapi.
c. Norma-norma moral
Norma-norma moral yang relevan untuk topik atau bidang bersangkutan, yang sudah
sedemikian mengakar di tengah-tengah masyarakat, dan bukan baru diciptakan
untuk kesempatan ini saja
d. Logika
Proses pembahasan suatu masalah yang sedang dihadapi harus mematuhi tuntutan
berpikr logis-rasional. Ini diperlukan bagi setiap usaha pembahasan untuk
menghasilkan kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral

Atas penjelasan terkait etika terapan, maka dapat diketahui kaitan etika terapan dengan
etika umum, yaitu:
a. Etika terapan merupakan produk dari etika umum
b. Perdebatan tentang masalah-masalah konkrit akhirnya akan memperjelas, menguji
dan mempertajam juga prinsip-prinsip moral yang umum.
c. Perjumpaan dengan praktek akan memberikan banyak masukan berharga yang
dapat dimanfaatkan oleh refleksi etika teoretis.
d. Sebaliknya, etika terapan sangat membutuhkan bantuan dari teori etika, sebagai
pegangan dalam memasuki pergumulan dengan masalah-masalah praktis.
e. Dengan demikian kualitas etika terapan turut ditentukan oleh kualitas teori etika yang
dipergunakannya.

2017 Kode Etik Psikologi Pusat Bahan Ajar dan eLearning


9 Shinta Utami, M.Psi., Psikolog http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka

Bertens, K. (2001). Etika. Jakarta : Gramedia

Hasan, A. (2009). Kode Etik Psikolog dan Ilmuwan Psikologi. Yogyakarta: Graha Ilmu

Hayry, M. (2013). Liberal utilitarianism and applied ethics. NY, New York: Routledge

Jacobs, J. (2002). Dimensions of moral theory: an introduction to metaethics and moral


psychology. Oxford: Blackwell Publishing.

2017 Kode Etik Psikologi Pusat Bahan Ajar dan eLearning


10 Shinta Utami, M.Psi., Psikolog http://www.mercubuana.ac.id

Anda mungkin juga menyukai