Anda di halaman 1dari 24

01

Teori Belajar Edward Lee Thorndike


Disusun Oleh :
Azzahra; Marini; Nabila Husna; dan Zahra Andika Farsya

PENDAHULUAN
Riset Hewan Sebelum Thorndike
Descartes berpendapat bahwa tubuh manusia dan hewan berfungsi
berdasarkan prinsip mekanis yang sama sehingga tidak banyak menimbulkan
penelitian anatomis terhadap binatang. Akan tetapi, Darwin menunjukkan bahwa
manusia dan nonmanusia adalah sama dalam hampir semua aspeknya: secara
anatomis, emosional, dan kognitif. The Expression of Emotions in Man and
Animals karya Darwin (1872) pada umumnya dianggap sebagai teks pertama
tentang psikologi perbandingan. Tak lama setelah Darwin memublikasikan
bukunya itu, sahabatnya, George John Romanes (1848-1894) memublikasikan
Animal Intelliegence (1882), Mental Evolution in Animals (1884) dan Mental
Evolution in Man (1885). Bukti yang diberikan oleh Romanes untuk mendukung
gagasan adanya kontinuitas kecerdasan dan perilaku emosional dari hewan ke
manusia pada umumnya bersifat anekdotal dan sering dicirikan oleh
anthropomorphizing atau menisbahkan proses pemikiran manusia ke binatang.
Misalnya, Romanes menghubungkan emosi kemarahan, takut, dan cemburu
dengan ikan; menghubungkan afeksi, simpati, dan kebanggaan dengan burung;
dan menghubungkan malu dan penalaran dengan anjing.
Usaha mendeskripsikan perilaku binatang secara lebih objektif dilakukan
oleh Conwy Lloyd Morgan (1842-1936) yang memberi nasihat kepada periset
hewan dalam bukunya An Introduction to Comparative Psychology (1891).
Seperti ditunjukkan Hergenhahn (2005), kanon Morgan sering disalahtafsirkan
sebagai peringatan untuk tidak berspekulasi tentang pikiran atau perasaan
binatang. Morgan sesungguhnya percaya bahwa nonmanusia juga punya proses
kognitif. Kanonnya mengatakan kepada kita, bahwa kita tidak dapat
mengasumsikan bahwa proses mental manusia adalah sama dengan proses mental
binatang dan kita tidak boleh menghubungkan suatu perilaku dengan proses
kognitif kompleks apabila perilaku itu dapat dijelaskan dengan proses kognitif
yang tidak kompleks.
Morgan mendeskripsikan perilaku hewan sebagaimana perilaku itu terjadi
di lingkungan natural. Misalnya, dia mendeskripsikan secara detail bagaimana
anjingnya belajar mengangkat palang pintu pagar, dan karenanya bisa
membebaskan diri dari kurungan. Riset Morgan lebih baik ketimbang riset
sebelumnya, tetapi dibutuhkan perbaikan tambahan; perilaku hewan harus
dipelajari secara sistematis dalam kondisi laboratorium yang terkontrol. Dengan
kata lain, perilaku hewan harus dikaji secara ilmiah.

Gambar 1.1
Margaret Floy Washburn (Atas seizin Archives of the History of American Psychology,
University of Akron, Ohio.)

Margaret Floy Washburn (1871-1939) adalah wanita pertama yang meraih


gelar Ph.D bidang psikologi, membawa studi nonmanusia selangkah lebih dekat
ke laboratorium. Buku Washburn, The Animal Mind mengenai Washburn me-
review dan mengkaji eksperimen indra, perseptual, dan belajar pada nonmanusia,
dan mengambil kesimpulan tentang kesadaran berdasarkan hasil dari studi ini.
Cara ini tidak banyak bedanya dengan yang dilakukan oleh banyak psikolog
kontemporer (Hergenhahn, 2005). Meskipun Washburn mengambil kesimpulan
dari studi eksperimen, bukan dari observasi naturalistis, dia tidak
mengidentifikasi, mengontrol, dan memanipulasi variabel-variabel penting yang
terkait dengan belajar.
Konsep Teoretis Utama
Koneksionisme
Thorndike menyebut asosiasi antara kesan indrawi dan impuls dengan
tindakan sebagai ikatan/kaitan atau koneksi. Cabang-cabang asosiasionisme
sebelumnya telah berusaha menunjukkan bagaimana ide-ide menjadi saling
terkait; jadi pendekatan Thorndike cukup berbeda dan dapat dianggap sebagai
teori belajar modern pertama. Penekanannya pada aspek fungsional dari perilaku
terutama dipengaruhi oleh Darwin. Teori Thorndike bisa dipahami sebagai
kombinasi dari asosiasionisme, Darwinisme, dan metode ilmiah.
Pemilihan dan Pengaitan
Menurut Thorndike bentuk paling dasar dari proses belajar adalah trial
and error learning (belajar dengan uji coba), atau yang disebutnya sebagai
selecting and connecting (pemilihan dan pengaitan). Dia mendapatkan ide dasar
ini melalui eksperimen awalnya, dengan memasukkan hewan ke dalam perangkat
yang telah ditata sedemikian rupa sehingga ketika hewan itu melakukan jenis
respons tertentu ia bisa keluar dari perangkat itu. Perangkat tersebut ditunjukkan
di Gambar 1.2, yakni sebuah kotak kerangkeng kecil dengan satu galah yang
diletakkan di tengah atau sebuah rantai yang digantung dari atas. Hewan bisa
keluar dengan mendorong galah atau menarik rantai itu. Namun ada tata situasi
yang mengharuskan hewan melakukan serangkaian respons yang kompleks
sebelum ia bisa keluar kotak. Respons yang berbeda dilakukan dalam waktu yang
berbeda-beda dalam percobaan Thorndike ini, namun idenya tetap sama hewan itu
harus melakukan tindakan tertentu sebelum ia dapat keluar dari kotak.

Gambar 1.2
Salah satu jenis kotak teka-teki yang dipakai Thorndike dalam risetnya tentang belajar.
Thorndike menyebut waktu yang dibutuhkan hewan untuk memecahkan
problem sebagai fungsi dari jumlah kesempatan yang harus dimiliki hewan untuk
memecahkan problem. Setiap kesempatan adalah usaha coba-coba, dan upaya
percobaan berhenti saat si hewan mendapatkan solusi yang benar. Dalam
eksperimen dasar ini, Thorndike secara konsisten mencatat bahwa waktu yang
dibutuhkan untuk memecahkan masalah (variabel terikat) menurun secara
sistematis seiring dengan bertambahnya upaya percobaan yang dilakukan hewan
artinya, semakin banyak kesempatan yang dimiliki hewan, semakin cepat ia akan
memecahkan problem.
Belajar adalah Inkremental, Bukan Langsung ke Pengertian Mendalam
Dengan mencatat penurunan gradual dalam waktu untuk mendapatkan
solusi sebagai fungsi percobaan suksesif, Thorndike menyimpulkan bahwa belajar
bersifat incremental (inkremental/bertahap), bukan insightful (langsung ke
pengertian). Dengan kata lain, belajar dilakukan dalam langkah-langkah kecil
yang sistematis, bukan langsung melompat ke pengertian mendalam. Dia mencatat
bahwa jika belajar adalah insightful, grafik akan menunjukkan waktu untuk
mencapai solusi tampak relatif stabil dan tinggi pada saat hewan dalam keadaan
belum belajar. Pada saat hewan mendapatkan pengertian mendalam untuk
memecahkan masalah, grafiknya akan langsung turun dengan cepat dan akan tetap
di titik itu selama durasi percobaan. Gambar 1.3 juga menunjukkan tampilan
grafik jika belajar langsung menghasilkan pengertian.

Incremental Improvement in Performance


(membebaskan diri)

Nonincremental (Insightful) Improvement in Performance


Time to Solution
(Escape

Successive Trials (Opportunities to Escape)


Gambar 1.3
Gambar ini merupakan contoh baik itu peningkatan bertahap (inkremental) dalam kinerja
sebagaimana diamai oleh Thorndike maupun peningkatan pengerian mendalam (insighful) yang
idak diamai oleh Thorndike.
Belajar Tidak Dimediasi oleh Ide
Berdasarkan risetnya, Thorndike (1898) juga menyimpulkan bahwa belajar
adalah bersifat langsung dan tidak dimediasi oleh pemikiran atau penalaran.
Dalam mendiskusikan fakta-fakta ini kita mungkin pertama-tama menjelaskan
salah satu pendapat populer, bahwa belajar adalah dengan “penalaran”
(reasoning). Jika kita menggunakan kata penalaran dalam makna psikologis
teknisnya sebagai fungsi untuk mendapatkan konklusi melalui persepsi relasi,
perbandingan, dan inferensi, jika kita menganggap isi mental di dalamnya sebagai
perasaan akan relasi, perspesi dan kesamaan, gagasan abstrak dan umum, dan
penilaian, maka kita tidak menemukan bukti adanya penalaran dalam perilaku
monyet terhadap mekanisme yang dipakai. Fakta ini membantah argumen tentang
penalaran itu, seperti juga dalam kasus kucing dan anjing.
Terdapat argumen bahwa keberhasilan hewan dalam menangani peralatan
mekanise mengimplikasikan bahwa hewan itu memikirkan properti-properti
mekanisme, namun argumen ini tidak bisa dipertahankan lagi saat kita
menemukan bahwa dengan pemilihan aktivitas-aktivitas naluriah umum hewan itu
sudah cukup untuk menghasilkan solusi yang berkaitan dengan galah, kait,
tombol, dan sebagainya. Jadi, dengan mengikuti prinsip parsimoni, Thorndike
menolak campur tangan nalar dalam belajar dan ia lebih mendukung tindakan
seleksi langsung dan pengaitan dalam belajar. Penentangan terhadap arti penting
nalar dan ide dalam belajar ini menjadi awal dari apa yang kemudian menjadi
gerakan behavioristik di Amerika Serikat.
Semua Mamalia Belajar dengan Cara yang Sama
Banyak orang yang terganggu oleh pandangan Thorndike bahwa semua
proses belajar adalah langsung dan tidak dimediasi oleh ide-ide, dan juga terutama
karena dia juga menegaskan bahwa proses belajar semua mamalia, termasuk
manusia, mengikuti kaidah yang sama. Menurut Thorndike, tidak ada proses
khusus yang perlu dipostulatkan dalam rangka menjelaskan proses belajar
manusia..
Thorndike Sebelum 1930
Proses belajar menurut Thorndike terbagi menjadi dua, yakni pemikiran sebelum
tahun 1930 dan pasca 1930.
Hukum Kesiapan
Buku Thorndike yang berjudul The Original Nature of Man mengandung
tiga bagian hukum kesiapan, yakni:
a. Apabila satu unit konduksi siap menyalurkan (to conduct), maka
penyaluran dengannya akan memuaskan.
b. Apabila satu unit konduksi siap untuk menyalurkan, namun tidak
disalurkan maka akan menjengkelkan.
c. Apabila satu unit konduksi belum siap untuk penyaluran tetapi dipaksa
untuk menyalurkan, maka penyaluran dengannya akan menjengkelkan.
Akan tetapi, buku ini terbit sebelum adanya gerakan behavioristik dan
banyak dari hal-hal yang didiskusikannya belum pernah dianalisis secara
sistematis sebelumnya. Dengan menggunakan terminologi kontemporer, kita bisa
menyatakan ulang hukum kesiapan Thorndike sebagai berikut:
a. Ketika seseorang siap untuk melakukan suatu tindakan, maka
melakukannya akan memuaskan.
b. Ketika seseorang tidak siap untuk melakukan suatu tindakan, maka
melakukannya akan menjengkelkan.
c. Ketika seseorang belum siap untuk melakukan suatu tindakan, tetapi
dipaksa melakukannya, maka melakukannya akan menjengkelkan.
Thorndike berpendapat, yang dimaksud keadaan memuaskan adalah
keadaan di mana seseorang tidak melakukan apa pun untuk menghindarinya,
sering melakukan sesuatu untuk mendapatkan keadaan itu serta
mempertahankannya. Sedangkan keadaan tak nyaman atau menjengkelkan adalah
keadaan yang umumnya dijauhi atau dihindari orang tersebut.
Hukum Latihan/Penggunaan
Sebelum 1930, hukum law of exercise (hukum latihan), terdiri dari dua bagian:
a. Koneksi antara stimulus dan respons akan menguat saat keduanya dipakai.
Bagian dari hukum latihan ini dinamakan law of use (hukum penggunaan).
b. Koneksi antara situasi dan respons akan melemah apabila praktik
hubungan dihentikan. Bagian dari hukum latihan ini dinamakan law of
disuse (hukum ketidakgunaan).
Singkatnya dapat dikatakan jika Hukum latihan menyatakan bahwa kita belajar
dengan berbuat dan akan lupa karena tidak berbuat.
Hukum Efek
Penguatan atau pelemahan dari suatu koneksi antara stimulus dan respons
sebagai akibat konsekuensi dari respons. Jadi, ketika suatu respons diikuti dengan
keadaan memuaskan, maka kekuatan koneksi akan bertambah dan dilain waktu
akan diulangi, sedangkan respons yang diikuti dengan perasaan menjengkelkan,
kekuatan koneksi akan menurun. Thorndike mengatakan bahwa konsekuensi dari
suatu respons berperan penting dalam menentukan kekuatan hubungan antara
situasi dengan respons terhadap situasi itu.

Konsep Sekunder Sebelum 1930


Konsep sekunder ini antara lain respons berganda, set atau sikap, prapotensi
elemen, respons dengan analogi, dan pergeseran asosiatif.
Respons Berganda Set atau Sikap Prapotensi Elemen
Menurut Thorndike respon berganda adalah langkah pertama dalam semua
proses belajar. Respons ini mengacu pada fakta bahwa jika respons pertama tidak
memecahkan masalah, maka kita akan mencoba respons lain, atau dapat
dikatakan, hukum ini menyatakan bahwa setiap individu akan mengalami proses
trial and eror dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Ketika respons yang
pertama gagal dilakukan maka akan mencoba respons yang lain sampai
menemukan respons yang tepat untuk memecahkan masalah tersebut.
Sikap
Attitude (sikap), menyatakan bahwa perilaku atau tindakan belajar
seseorang tidak hanya ditentukan oleh hubungan stimulus dan respon, tetapi juga
ditentukan oleh keadaan yang ada di dalam diri individu seperti kognitif, emosi,
sosial, serta psikomotornya. Dengan demikian, respon yang diberikan, bergantung
pada kondisi individu serta situasi tersebut. Jadi, sesuatu dapat dianggap menarik
oleh seorang individu bisa saja tidak menarik bagi individu lain meskipun situasi,
kondisi, serta objeknya sama.
Prapotensi Elemen
Thorndike menamakannya dengan “aktivitas parsial dari suatu situasi.”
Hal ini mengacu pada fakta bahwa hanya beberapa elemen dari situasi yang akan
mengatur perilaku. Thorndike mengakui komplektisitas lingkungan, serta
menyimpulkan bahwa kita merespons secara selektif terhadap aspek-aspek
lingkungan. Dengan kata lain, individu akan merespons beberapa elemen dalam
satu situasi namun tidak merespons situasi lainnya. Cara kita merespons suatu
situasi bergantung pada apa yang kita perhatikan dan respons apa yang kita
berikan untuk hal yang kita perhatikan itu.
Respons dengan Analogi
Merespons suatu situasi yang mirip dengan situasi yang pernah kita
jumpai. Jumlah transfer training antara situasi yang kita kenal dan yang tak kita
kenal ditentukan dengan jumlah elemen yang sama di dalam kedua situasi itu.
Inilah yang kemudian disebut teori elemen identik dari transfer training.
Thorndike dan Woodworth (1901) mengkaji teori transfer disiplin formal (yang
menyatakan bahwa pikiran manusia terdiri dari beberapa daya atau fakultas
seperti penalaran, perhatian, penilaian, dan memori) namun tidak menemukan
banyak bukti yang mendukungnya. Sebaliknya mereka menemukan transfer dari
satu situasi ke situasi lainnya hanya terjadi jika kedua situasi itu memiliki elemen
yang sama.
Pergeseran Asosiatif
Prosedur untuk menunjukkan perpindahan asosiatif dimulai dengan
koneksi antara satu situasi tertentu dan satu respons tertentu. Perpindahan asosiatif
berbeda dengan belajar yang bergantung pada hukum efek, pergeseran asosiatif
hanya tergantung pada kontiguitas.
Gambar 1.4
Proses yang dipakai Terrace untuk menggeser respons pembedaan dari satu stimulus (warna
merah) ke stimulus lain (papan vertikal)

Thorndike Pasca 1930


Revisi Hukum Latihan/Penggunaan
Hukum penggunaan, menyatakan bahwa repetisi sudah cukup untuk
memperkuat koneksi, hal ini ternyata tidak akurat, karena ditemukan bahwa
pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan stimulus-respon,
tetapi tanpa pengulangan, hubungan stimulus-respon belum tentu melemah.
Revisi Hukum Efek
Hanya separuh dari hukum efek yang dinyatakan benar. Separuh yang
benar itu adalah bahwa sebuah respons yang diikuti oleh keadaan yang
memuaskan akan diperkuat. Revisi hukum efek menyatakan bahwa penguatan
akan meningkatkan kekuatan koneksi, sedangkan hukuman tidak memberi
pengaruh apa-apa terhadap kekuatan koneksi.
Belongingness
Thorndike mengamati bahwa dalam proses belajar asosiasi ada faktor
selain kontinguitas dan hukum efek. Sesuatu yang beroperasi selain kontiguitas
dinamakan belongingness. Thondrike berpendapat bahwa ada hubungan natural
antara keadaan yang dibutuhkan organisme dengan efek yang ditimbulkan suatu
respons, maka proses belajar akan lebih efektif ketimbang jika hubungan itu tidak
alamiah. Misalnya, kita mengatakan bahwa hewan yang lapar akan merasakan
makanan amat memuaskan dan hewan yang haus akan merasakan air sebagai
memuaskan, tetapi bukan berarti hewan yang lapar dan haus menganggap hal-hal
lain tidak memuaskan, bisa saja hewan akan merasa puas jika bisa melapaskan diri
dari kurungan, namun adanya dorongan yang kuat dapat menciptakan satu jenis
situasi yang dirasakan paling memuaskan.
Thorndike menggunakan konsep belongingness ke dalam dua cara.
Pertama, digunakan untuk menjelaskan alasan saat mempelajari materi verbal,
seseorang cenderung mengorganisasikan apa yang dipelajarinya dalam unit-unit
yang dianggap masuk dalam golongan yang sama. Kedua, jika efek-efek yang
dihasilkan suatu respons terkait kebutuhan organisme, proses belajar akan lebih
efektif ketimbang efek yang dihasilkan tidak terkait dengan kebutuhan organisme.
Penyebaran Efek
Setelah tahun 1930, Thondrike mebambah konsep teoretis lain yang
disebut penyebaran efek (spread of effect). Thorndike secara tak sengaja
menemukan keadaan yang memuaskan tidak hanya menambah peluang
terulangnya respons yang menghasilkan keadaan memuaskan tersebut, tetapi juga
meningkatkan peluang terulangnya respons yang mengitari respons yang
memperkuat itu.  Dengan kata lain, respon yang diperkuat itu memiliki peluang
yang paling besar untuk diulang lagi, kemudian urutan selanjutnya adalah respon
yang paling dekat dengan respon yang diperkuat itu dan kemudian respon yang
ada didekatnya akan begitu seterusnya.

Ilmu Pengetahuan dan Nilai Manusia


Thorndike dikritik karena ia mengasumsikan determinisme dalam studi
perilaku manusia. Para pengkritik mengatakan bahwa mereduksi perilaku manusia
menjadi reaksi otomatis terhadap lingkungan akan menghancurkan nilai-nilai
kemanusiaan. Thorndike (1940) menjawab bahwa, sebaliknya, ilmu manusia ini
menawarkan harapan yang paling besar untuk masa depan kesejahteraan umat
manusia bergantung pada ilmu pengetahuan tentang manusia. Ilmu pengetahuan
akan terus maju, kecuali jika peradaban ambruk, dan ilmu pengetahuan akan
memperluas kontrol manusia atas alam dan mengembangkan teknologi, pertanian,
pengobatan, dan seni secara lebih efektif. Ilmu pengetahuan akan melindungi
manusia dari bahaya dan bencana kecuali manusia itu sendiri yang menjadi
penyebabnya.
Pengetahuan psikologi dan aplikasinya untuk kesejahteraan akan
mencegah, atau setidaknya menghilangkan, beberapa kesalahan dan bencana. Ilmu
pengetahuan ini akan mengurangi bahaya yang dilakukan oleh orang bodoh dan
jahat. Terlihat bahwa, Thorndike adalah manusia penuh warna yang
mengekspresikan opininya tentang berbagai macam topik. Di bab ini
berkonsentrasi menjelaskan pemikiran Thorndike, tentang proses belajar dan
pandangannya tentang hubungan antara proses belajar dan praktik pendidikan.

Pendidikan Menurut Thorndike


Thorndike percaya bahwa praktik pendidikan harus dipelajari secara
ilmiah. Menurutnya ada hubungan erat antara pengetahuan proses belajar dengan
praktik pengajaran. Jadi dia mengharapkan akan ditemukan lebih banyak lagi
pengetahuan tentang hakikat belajar, semakin banyak pengetahuan yang dapat
diaplikasikan untuk memperbaiki praktik pengajaran. Pemikiran Thorndike
banyak bertentangan dengan gagasan tradisional mengenai pendidikan; kita telah
melihat contoh jelas dalam teori elemen identiknya. Thorndike (1912) juga
menganggap rendah teknik pengajaran berbentuk ceramah perkuliahan yang saat
itu populer (bahkan sampai sekarang). Dia juga mengatakan, kesalahan paling
umum dari sarjana, yang tidak berpengalaman dalam mengajar, adalah
menganggap murid tahu hal-hal yang telah dikatakan kepada murid itu. Tetapi,
memberi tahu adalah bukan bentuk pengajaran.
Pengajaran yang baik itu mesti melibatkan pengetahuan atas semua hal
yang akan diajarkan. Jika kita tidak tahu dengan pasti apa yang akan diajarkan,
kita tidak akan tahu materi apa yang mesti diberikan, respons apa yang mesti
dicari, dan kapan mesti mengaplikasikan penguatan. Prinsip ini tidak semudah
kedengarannya. Baru belakangan ini kita menyadari pentingnya definisi tujuan
pendidikan secara behavioral. Meskipun tujuh aturan Thorndike (1922) di bawah
ini dirumuskan untuk pengajaran aritmatika, namun aturan itu juga mewakili
saran-sarannya untuk pengajaran pada umumnya:
1. Perhatikan situasi yang dihadapi murid.
2. Pertimbangkan respons yang ingin Anda kaitkan dengan situasi itu.
3. Jalin ikatan; jangan berharap jalinan ini terbentuk secara ajaib.
4. Jika hal-hal lain tak berubah, jangan jalin ikatan yang nanti harus diputuskan
lagi.
5. Jika hal-hal lain tidak berubah, jangan menjalin dua atau tiga ikatan apabila
satu saja sudah cukup.
6. Jika hal-hal lain tak berubah, bentuklah ikatan dengan cara yang membuat
mereka mesti bertindak.
7. Karenanya dukunglah situasi yang ditawarkan oleh kehidupan itu sendiri, dan
dukunglah respons yang dituntut oleh kehidupan itu.
Dalam terminologi yang lebih kontemporer, Thorndike mungkin akan
menyarankan penataan kelas dengan tujuan yang didefinisikan secara jelas.
Tujuan pendidikan ini harus berada dalam jangkauan kapabilitas pembelajar
(siswa), dan tujuan itu harus dibagi-bagi menjadi unit-unit yang bisa dikelola
sehingga guru dapat mengaplikasikan “keadaan yang memuaskan” saat
pembelajar memberi respons yang tepat. Proses belajar berlangsung dari yang
sederhana ke yang rumit (kompleks).
Perilaku pembelajar (siswa) terutama ditentukan oleh penguat eksternal
dan bukan oleh motivasi intrinsik. Kemudian situasi belajar harus sebisa mungkin
dibuat menyerupai dunia nyata. Seperti yang telah kita ketahui, Thorndike percaya
bahwa proses belajar akan ditransfer dari ruang kelas ke lingkungan luar
sepanjang dua situasi itu mirip. Thorndike barangkali akan menyetujui program
pelatihan dan magang dan mungkin akan senang dengan ide pertukaran pelajar.
Dia mungkin tidak akan menyetujui kurikulum yang tidak memasukkan proses
belajar eksperiensial (berbasis pengalaman) yang terkait erat dengan lapangan
kerja dan dunia di luar pagar sekolah.
Evaluasi Teori Thorndike
Kontribusi
Karta rintisan Thorndike memberi alternatif tersendiri untuk
mengkonseptualisasikan belajar dan perilaku dan memberi pendekatan yang jauh
berbeda dengan pendekatan sebelum dia. Sebelum studi Thorndike, tidak ada
pembahasan eksperimental yang sistematis terhadap proses belajar. Dia bukan
hanya menjelaskan dan mensintesiskan data yang tersedia; dia juga menemukan
dan mengembangkan fenomena belajar trial and error dan transfer training,
misalnya yang akan mendefinisikan domain teori belajar untuk masa-masa
berikutnya.
Dengan hukum efeknya, Thorndike adalah orang pertama yang
mengamati, dalam kondisi yang terkontrol, bahwa konsekuensi dari perilaku akan
menghasilkan efek terhadap kekuatan perilaku. Persoalan tentang apa penyebab
efek ini, apa batasnya, durasinya, dan problem yang terkait dengan definisi dan
pengukurannya kelak memandu riset dalam tradisi behavioral selama 50 tahun
kemudian dan masih menjadi topik riset dan perdebatan sampai sekarang.
Thorndike adalah salah satu orang paling awal yang meneliti mengapa orang bisa
lupa melalui hukum latihannya dan meneliti pengekangan perilaku lewat
kajiannya terhadap hukuman. Dia jelas bersedia membuang pandangan awalnya
yang ternyata bertentangan dengan data baru. Dalam kajian transfer trainingnya,
Thorndike adalah orang pertama yang mempertanyakan asumsi umum tentang
praktik pendidikan pada saat itu (disiplin formal). Dan, meskipun dia dapat
dianggap sebagai behavioris awal, gagasannya tentang prapotensi elemen dan
respons dengan analogi telah membantu munculnya benih teori belajar kognitif
kontemporer.
Kritik
Walaupun telah ditunjukkan bahwa beberapa fenomena yang ditemukan
oleh Thorndike, seperti penyebaran efek, misalnya, adalah karena akibat dari
proses yang bukan diidentifikasinya (Estes, 1969b; Zirkle, 1946), kritik penting
terhadap teori Thorndike berfokus pada dua isu utama. Pertama berkaitan dengan
definisi unsur pemuas (satisfier) dalam hukum efek. Yang kedua, juga berkaitan
dengan hukum efek, adalah soal definisi yang terlalu mekanistik atas teori belajar.
Kritik terhadap hukum efek menyatakan bahwa argumen Thorndike bersifat
sirkular (berputar-putar): jika probabilitas respons meningkat, itu dikatakan
karena adanya keadaan yang memuaskan; jika tidak meningkat, itu dikatakan
karena tidak ada unsur pemuas (satisfier). Penjelasan teori semacam itu dianggap
tidak memungkinkan untuk diuji karena kejadian yang sama (peningkatan
probabilitas respons) dipakai untuk mendeteksi baik itu proses belajar maupun
keadaan yang memuaskan. Kelak para pembela Thorndike mengatakan bahwa
kritik ini tidak valid karena setelah sesuatu ditunjukkan sebagai unsur pemuas
(satisfier), ia dapat dipakai untuk memodifikasi perilaku dalam situasi yang lain
(Meehl, 1950), tetapi, seperti yang akan kita bahas di Bab 5, pembelaan ini gagal.
Kritik kedua terhadap hukum efek Thorndike terkait dengan cara
hubungan S-R diperkuat atau diperlemah. Seperti telah kita bahas, Thorndike
percaya bahwa belajar adalah fungsi otomatis dari keadaan yang memuaskan dan
bukan dari mekanisme kesadaran seperti pe- mikiran atau penalaran. Thorndike
jelas percaya bahwa organisme tidak perlu menyadari hubungan antara respons
dan unsur pemuas agar unsur pemuas itu memberikan efeknya. Demikian pula,
niat dan strategi pembelajar dianggap tidak penting bagi proses belajar. Thorndike
tidak menyangkal adanya pemikiran, perencanaan, strategi, dan niat. Tetapi,
Thorndike percaya bahwa belajar dapat dijelaskan dengan memadai tanpa
merujuk pada hal-hal semacam itu. Mahasiswa saat itu, dan juga mahasiswa
sekarang, bereaksi negatif terhadap pendekatan studi belajar yang mekanistik
seperti ini. William McDougall, misalnya, pada 1920-an menulis bahwa teori
pemilihan dan pengaitan Thorndike adalah “teorinya orang bodoh, oleh orang
bodoh, dan untuk orang bodoh” (Joncich, 1968). Debat mengenai sifat penguatan
dan apakah seorang pembelajar harus menyadari kontingensi penguatan agar
penguatan itu efektif masih terus diperdebatkan sampai sekarang, dan karenanya
kita akan kerap kembali membahas masalah ini di sepanjang buku ini.

PEMBAHASAN
Penegasan Teori
Behavioristik merupakan aliran psikologi yang memandang individu lebih
kepada sisi fenomena jasmaniah. Aliran ini mengabaikan aspek mental seperti
kecerdasan, bakat, minat, dan perasaan individu dalam kegiatan belajar. Aliran ini
memaknai “belajar” adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya
interaksi antara stimulus dan respons. Terdapat sejumlah teori belajar yang
berkembang berkenaan dengan aliran behavioristik seperti teori koneksionisme
yang dipopulerkan oleh Thorndike (Astawa dan Adnyana, 2018, hlm. 113-114).
Edward Lee Thorndike adalah salah satu pelopor dalam aliran
behavioristik. Menurut Edward Lee Thorndike, belajar merupakan peristiwa
terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa yang disebut stimulus dan respons
(Thoboroni, 2015, hlm. 58). Asosiasi yang demikian itu disebut pertalian atau
koneksi antara stimulus dan respons (S-R). Asosiasi atau koneksi itulah yang
menjadi lebih kuat atau lebih lemah dalam terbentuknya atau hilangnya
kebiasaan-kebiasaan bertingkah laku (Astawa dan Adnyana, 2018, hlm. 114).
Stimulus yang terdapat pada asosiasi diartikan sebagai apa yang merangsang
terjadinya kegiatan belajar yang mungkin berupa pikiran, perasaan, atau hal-hal
lain yang dapat ditangkap melalui alat indra. Sedangkan respons adalah reaksi
yang dimunculkan oleh individu ketika belajar yang dapat pula berupa pikiran,
perasaan atau gerakan (Baharuddin dan Wahyuni, 2015, hlm. 93).
Eksperimen pertama yang dilakukan oleh Thorndike adalah memasukkan
kucing di dalam sangkar tertutup. Pintu sangkar akan dapat dibuka secara
otomatis jika knop di dalam sangkar disentuh. Diluar sangkar diletakkan makanan
kucing tersebut. Setiap respons menimbulkan stimulus yang baru. Selanjutnya,
stimulus baru ini akan menimbulkan respons lagi, demikian seterusnya
(Thoboroni, 2015, hlm. 58). Thorndike dalam percobaannya tersebut memasukkan
masalah baru di dalam belajar, yakni masalah dorongan, hadiah, dan hukuman.
Berdasarkan hasil percobaan tersebut, Thorndike menyimpulkan bahwa adanya
hadiah berupa makanan yang diletakkan di luar sangkar; respons-respons yang
ditampakkan oleh hewan bersifat otomatis-mekanistik; dan respons yang
dilakukan kucing bukanlah merupakan hasil dari penalaran, respons yang muncul
lebih merupakan usaha yang bersifat coba-coba yang dilakukan oleh hewan
(Astawa dan Adnyana, 2018, hlm. 115).
Percobaan yang dilakukan oleh Thorndike menghasilkan teori trial and
error. Ciri-ciri belajar trial and error, yaitu adanya aktivitas, berbagai respons
terhadap berbagai situasi, adanya eliminasi terhadap berbagai respons yang salah,
dan adanya kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan. Jika dalam usaha mencoba-
coba itu secara kebetulan ada perbuatan yang cocok, kemudian akan dipegangnya.
Karena latihan yang terus-menerus, waktu yang lama dipergunakan untuk
melakukan perbuatan yang cocok itu semakin lama semakin efisien (Thoboroni,
2015, hlm. 58).
Teori koneksionisme menyebutkan pula konsep transfer of training, yaitu
kecakapan yang telah diperoleh dalam belajar dapat digunakan unutuk
memacahkan masalah yang lain. Thordike melihat bahwa organisme sebagai
mekanismus hanya bergerak atau bertindak jika ada perangsang yang
memengaruhi dirinya. Terjadinya otomatisme dalam belajar menurut Thordike
disebabkan adanya law of efffect. Dalam kehidupan sehari-hari, law of effect dapat
terlihat dalam memberi penghargaan atau ganjaran dan memberi hukuman dalam
pendidikan. Karena adanya law of effect, terjadilah hubungan atau asosiasi antara
tingkah laku/reaksi yang dapat mendatangkan suatu hasil (Thoboroni, 2015, hlm.
61).
Teori Thorndike memiliki beberapa kelemahan, yaitu terlalu memandang
manusia sebagai mekanismus dan otomatisme belaka yang disamakan dengan
hewan; memandang belajar hanya merupakan asosiasi antara stimulus dengan
respons; dan karena proses belajar berlangsung secara mekanistis, “pengertian “
tidak dipandangnya sebagai suatu yang pokok dalam belajar. Mereka
mengabaikan “pengertian “ sebagai unsur yang pokok dalam belajar (Thoboroni,
2015, hlm. 62).
Hasil-Hasil Penelitian
Implementasi Teori Thorndike Untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa
Dalam Menyelesaikan Soal Aljabar Kelas VIII Smpn 1 Sumbergempol Tahun
Pelajaran 2014/2015. Kurikulum merupakan salah satu komponen yang sangat
menentukan dalam sistem pendidikan, dalam hal ini, seorang guru atau pendidik
memiliki peran yang sangat penting bagi kemajuan pendidikan dan bagi
penyaluran ilmu, salah satunya materi Aljabar yang merupakan karya Al-
Khawarizmi, teori yang menurut peneliti sesuai untuk diterapkan dalam materi
aljabar adalah teori Connectionism (Teori Thorndike), yang dikemukakan oleh
Edward Lee Thorndike, menurutnya belajar adalah proses interaksi antara
stimulus dan respons. Metode penelitian yang digunakan adalah metode
observasi, wawancara, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
peningkatan pemahaman siswa dalam menyelesaikan soal aljabar setelah
penerapan Teori Thorndike adalah berhasil, karena pada saat pelaksanaan di
lapangan, peneliti menerapkan Teori Thorndike lengkap dengan ketiga hukum
primernya yaitu hukum kesiapan, latihan, dan efek. Guru harus mampu
menyiapkan siswa dengan memberi motivasi, berdoa, dan lain sebagainya, lalu
guru juga dapat memberi latihan untuk mengukur sejauh mana siswa memahami
materi yang telah disampaikan, dan dapat melakukan wawancara untuk
mengatahui langkah yang tepat dalam meningkatkan pemahaman siswa.
Teori Koneksionisme Dalam Pembelajaran Bahasa Kedua Anak Usia Dini.
Teori koneksionisme merupakan teori belajar yang memandang bahwa belajar
terjadi dengan cara mencoba-coba dan membuat salah, termasuk pembelajaran
bahasa pada anak usia dini. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian
deskriptif analisis, data diperoleh melalui observasi dan wawancara selama empat
kali pertemuan. Hasil pengamatan yang dilakukan, terdapat kesesuaian hukum dan
prinsip belajar teori koneksionisme Edward Thorndike yakni hukum kesiapan,
latihan, dan efek. Perkembangan bahasa sangat dipengaruhi oleh motivasi,
motivasi dalam hal ini adalah memberi hadiah sebagai stimulus dan respon
sehingga muncul kepuasan dan menjadi penguat anak-anak dalam belajar di
kemudian hari.
Implikasi Teori Belajar E.Thorndike (Behavioristik) Dalam Pembelajaran
Matematika. Teori belajar Behavioristik merupakan teori yang berpandangan
bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku melalui stimulus respon.
dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam
hal kemampuannya yang bertujuan merubah tingkah laku dengan cara interaksi
antara stimulus dan respon. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif
yaitu menggambarkan atau menjelaskan variabel (hal-hal yang berkaitan dengan
teori Thorndike dan implikasinya dalam pelajaran matematika) di lapangan
berdasarkan kajian pustaka (literatur) yang berupa buku, artikel ilmiah jurnal
penelitian, dan lain sebagainya. Salah satu pembelajaran di sekolah yang dapat
mengembangkan potensi siswa adalah pembelajaran matematika, hal ini
dikarenakan tujuan pembelajaran matematika di sekolah adalah melatih siswa
untuk mengembangkan pola pikir dalam menyelesaikan permasalahan yang
mereka jumpai di kehidupan, karena itu guru diharapkan dapat membantu siswa
untuk berpikir logis, kritis, sistematis, serta mampu memecahkan masalah dalam
kehidupan sehari-hari, khususnya yang berkaitan dengan matematika, penerapan
teori Thorndike dalam matematika yakni sebelum proses belajar mengajar
dimulai, pendidik terlebih dahulu memastikan siswanya telah siap untuk belajar,
kemudian materi yang diberikan hendaknya memiliki hubungan dengan materi
sebelumnya, lalu pengulangan terhadap materi dan latihan dapat membantu siswa
utnuk lebih ingat materi tersebut, terakhir, beri hadiah kepada siswa yang berhasil
belajar dengan baik, bagi yang belum segera diperbaiki. Teori belajar Thorndike
adalah salah satu teori belajar behavioristik yang mengutamakan stimulus dan
respon, teori belajar ini disebut juga dengan “Connectionism” karena belajar
merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon.
Relevansi Teori Belajar Behaviorisme Terhadap Pendidikan Agama Islam.
Teori belajar behaviorisme dapat digunakan untuk membantu proses
pembelajaran. Namun diketahui bahwa banyak percobaan dalam teori
behaviorisme dilakukan dengan menggunnakan hewansehingga menimbulkan
pertanyaan, apakah teori belajar behaviorisme sejalan dengan ajaran agama Islam
dan dapat digunakan dalam Pendidikan Islam. Penelitian ini merupakan penelitian
kepustakaan yang dianalisis dengan menggunakan teknik analisis konten. Hasil
dari penelitian ini adalah ditemukan adanya relevansi antara teori belajar
behaviorisme terhadap pendidikan Islam, sebagai berikut: (1) Teori belajar
behaviorsime dapat digunakan untuk membantu proses pembelajaran pendidikan
Islam (2) Teori belajar behaviorsime merupakan teori belajar yang
sejalan/berkaitan dengan ajaran agama Islam (3) Adanya pengkondisian (clasical
conditioning), pengulangan dan penguatan dalam teori behaviorsime yang juga
digunakan dalam pembelajaran pendidikan Islam (4) Teori belajar behaviorsime
menurut Edward Lee Thorndike mengandung empat hukum, yaitu: law of
radiness (hukum kesiapan), law of exercise (hukum latihan), law of effect (hukum
latihan), dan law of attitude (hukum sikap), yang sejalan/berkaitan dengan proses
pembelajaran pedidikan Islam.
Pengaruh Strategi Pembelajaran Dengan Pemberian Reward Dan
Punishment Terhadap Motivasi Belajar Siswa SDI Al-Hakim Maron Boyolangu
Tulungagung. Keberhasilan pendidikan sangat tergantung pada proses
pembelajaran di kelas, guru diharapkan dapat menjalankan tugasnya dengan baik
serta dapat memperbaiki moral peserta didik, dalam menjalankan tugasnya
umumnya seorang guru dihadapkan dengan beberapa masalah, salah satu
contohnya yakni rendahnya motivasi, banyak ayat al-quran yang membahas
tentang reward untuk memotivasi manusia berbuat baik dan punishment untuk
mencegah manusia berbuat buruk, salah satu diantaranya dapat dilihat dalam surat
Ali Imran ayat 148, adapun punishment terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 126.
Pendekatan pada penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, sumber data
penelitian yakni primer (hasil pengerjaan angket) dan sekunder (dokumentasi,
laporan, arsip, dll). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di SDI Al-Hakim
Maron dari dua kelas sampel yang diambil yaitu kelas IV A sebagai kelas
eksperimen dan IV B, menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan
antara strategi pembelajaran menggunakan reward dan punishment dengan
motivasi belajar yakni sebesar 95,5% (termasuk dalam kategori tinggi).
Berdasarkan pemaparan di atas terkait analisis data dan pembahasan, peneliti
menarik kesimpulan yaitu strategi pembelajaran dengan pemberian reward dan
punishment dapat memberi pengaruh terhadap motivasi belajar siswa SDI Al-
Hakim Maron Boyolangu Tulungagung.
Analisis Teori Behavioristik (Edward Thordinke) Dan Implementasinya
Dalam Pembelajaran SD/MI. Inti dari proses pembelajaran adalah segala upaya
yang dilakukan oleh pendidik agar terjadi proses belajar pada diri peserta didik,
setiap guru harus terampil dalam proses pembelajaran, pemahaman dan
pertimbangan, dalam menggunakan stategi. Penelitian ini merupakan jenis
penelitian Library research dengan metode deskriptif kontent analysis yaitu
dengan metode menganalisis isi dari objek yang diteliti berdasarkan sumber-
sumber yang relevan seperti buku, jurna, dan teori pendukung lainnya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dalam empat hukum yang ditawarkan oleh
thorndike yaitu: pertama hukum kesiapan, hukum akibat, dan hukum latihan,
keempat hukum sikap, dapat diterapkan dengan baik dan sistematis maka proses
pembelajara dapat berjalan efektif dan membuat siswa mudah menyerap materi
yang telah disampaikan oleh guru serta dapat menumbuhkan sikap berani dengan
cara trial and error. Dalam pembelajaran guru dapat menerapkan empat hukum
itu agar siswa dapat ikut terlibat secara maksimal dalam pembelajaran, sehingga
tujuan dapat tercapai.

IMPLIKASI TEORI THORNDIKE DI BIDANG BIMBINGAN DAN


KONSELING
Implikasi teori thorndike dalam bidang pendidikan maupun bimbingan dan
konseling dapat dilakukan dengan kolaborasi antara guru bimbingan dan
konseling dengan guru mata pelajaran. Implikasi teori thorndike dalam kegiatan
pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti tujuan pembelajaran, sifat
materi pelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang
tersedia. Gagasan-gagasan seperti yang telah dikemukakan oleh para pencetus
aliran behaviorisme seperti Thorndike mengenai perlunya bantuan guru untuk
menciptakan perilaku siswa, perlunya keterampilan-keterampilan yang dilatihkan,
dan disiplin mental menjadi dasar bagi pengembangan teori thorndike di sekolah
(Familus, 2016).
Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori thorndike
memandang bahwa pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap, tidak berubah.
Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan
pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang
yang belajar atau pelajar. Fungsi pikiran adalah untuk menjiplak struktur
pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan
dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan
oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pelajar diharapkan akan memiliki
pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan (Familus, 2016).
Teori thorndike memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan
teratur, maka pelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan
yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin
menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak
dikaitkan dengan penegakan disiplin. Pengaplikasian teori Thorndike seperti guru
bimbingan dan konseling bekerja sama dengan guru mata pelajaran untuk
mempersiapkan kesiapan siswa sebelum kelas dimulai sesuai dengan hukum
kesiapan agar murid menghasilkan prestasi yang memuaskan, misalnya anak
disuruh duduk yang rapi, tenang dan sebagainya.
Guru bimbingan dan konseling dapat bekerja sama dengan guru mata
pelajaran dalam meningkatkan motivasi belajar siswa. Guru mata pelajaran
mengadakan ulangan yang teratur dan memberikan hadiah dan pujian kepada
siswa yang mendapatkan hasil ujian yang baik. Pemberian hadiah dan pujian
dapat berkibat positif untuk perubahan tingkah laku siswa. Untuk meningkatkan
kemandirian belajar siswa, guru bimbingan dan konseling dapat meminta bantuan
guru mata pelajaran untuk tidak menggunakan metode ceramah dalam proses
pembelajaran. Guru mata pelajaran dapat memberikan instruksi singkat dan
contoh sehingga siswa dapat mengembangkan kreativitas dan meningkatkan
kemandirian belajar.

GLOSARIUM
Afeksi cinta kasih, perasaan-perasaan, dan emosi yang dibedakan dari aspek
pengenlan dan penerangan kepribadian.
Anatomis bersifat anatomi.
Asosianisme hukum atau aturan dalam suatu masyarakat atau kelompok yang
mengatur nilai, hubungan antar-ide dapat dijelaskan lewat hukum asosiasi.
Determinisme keyakinan filosofis bahwa semua peristiwa terjadi sebagai akibat
dari adanya beberapa keharusan dan karenanya tak terelakkan.
Eksperimental berhubungan dengan percobaan.
Inferensi tindakan atau proses yang berasal kesimpulan logis dari premis-premis
yang diketahui atau dianggap benar.
Inkremental berkembang sedikit demi sedikit secara teratur.
Kapabilitas kemampuan atau kecakapan dalam melakukan sesuatu.
Kognitif potensi intelektual yang terdiri dari tahapan: pengetahuan (knowledge),
pemahaman (comprehention), penerapan (aplication), analisa (analysis),
sintesa (sinthesis), evaluasi (evaluation).
Koneksionisme pendekatan dalam bidang kecerdasan buatan, psikologi kognitif,
sains kognitif, neurosains, dan filsafat budi.
Kontemporer kekinian, modern atau lebih tepatnya adalah sesuatu yang sama
dengan kondisi waktu yang sama atau saat ini.
Kontiguitas ide tentang fakta otak yang cenderung mengasosiasikan stimulus
yang terjadi dalam waktu dan tempat yang berdekatan.
Law of Effect jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka
hubungan timulus - respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak
memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula
hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.
Law of Exercise hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin
bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila
jarang atau tidak dilatih.
Law of Readiness kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu
berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana
unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
Motivasi usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu
tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang
dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya.
Pergeseran asosiatif salah satu hukum tambahan kecil E. L. Thorndike (1874-
1949) dari hukum efeknya yang mirip dengan prinsip asosiasi stimulus
Ivan Pavlov dan juga memiliki beberapa kemiripan dengan prinsip
pengkondisian generalisasi.
Persepsi proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui pancaindranya.
Probabilitas peluang atau kemungkinan dari suatu kejadian, terjadi atau tidak dan
seberapa besar kemungkinan kejadian tersebut berpeluang untuk terjadi.
Punishment penggunaan rangsang yang tidak menyenangkan dengan tujuan
menghilangkan tingkah laku yang buruk.
Respons reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula
berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan.
Reward sebuah bentuk apresiasi kepada suatu prestasi tertentu yang diberikan,
baik oleh dan dari perorangan ataupun suatu lembaga yang biasanya
diberikan dalam bentuk material atau ucapan.
Reduksi pengurangan
Stimulus apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran,
perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indra.
Suksesif proses pembentukan tingkah laku.
Terminology ilmu tentang istilah-istilah perkataan atau bisa lebih jelas nya ialah
ilmu untuk menjelaskan pengertian dari beberapa istilah.
Transfer training penerapan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh
selama pelatihan ke pekerjaan atau peran yang ditargetkan.
Variabel terikat faktor-faktor yang diobservasi dan diukur untuk menentukan
adanya pengaruh variabel bebas.
DAFTAR PUSTAKA

Astawa, I & Adnyana, I. (2018). Belajar dan Pembelajaran. Depok: Rajawali


Press.
Baharuddin, H & Wahyuni, E., N. (2015). Teori Belajar & Pembelajaran.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Choiroh, I. (2019). Pengaruh Strategi Pembelajaran Dengan Pemberian Reward
Dan Punishment Terhadap Motivasi Belajar Siswa Sdi Al-Hakim Maron
Boyolangu Tulungagung. (Skripsi). Sarjana, Institut Agama Islam Negeri
Tulungagung, Tulungagung.
Familus. (2016). Teori Belajar Aliran Behavioristik serta Implikasinya dalam
Pembelajaran. Jurnal PPKn dan Hukum, 11(2), hlm. 98-115.
Hergenhahn, B.,R & Olson, M., H. (2001). An Introduction to Theories Of
Learning Sixth Edition. New Jersey: Prentice-Hall Inc.
Hermansyah. (2020). Analisis Teori Behavioristik (Edward Thordinke) Dan
Implementasinya Dalam Pembelajaran SD/MI. Jurnal Program Studi
PGMI 7(1), hlm. 15-25.
Mudjiran & Amsari, D. (2018). Implikasi Teori Belajar E.Thorndike
(Behavioristik) Dalam Pembelajaran Matematika. Jurnal Basicedu, 2(2),
hlm. 52-57.
Mulyaningsih, I, & Zahidin, M, A. (2016). Teori Koneksionisme Dalam
Pembelajaran Bahasa Kedua Anak Usia Dini. Journal Education
Language Education and Literature 1(2), hlm. 87-100.
Pebriani, L. (2015). Implementasi Teori Thorndike Untuk Meningkatkan
Pemahaman Siswa Dalam Menyelesaikan Soal Aljabar Kelas Viii Smpn 1
Sumbergempol Tahun Pelajaran 2014/2015. (Skripsi). Sarjana, Institut
Agama Islam Negeri Tulungagung, Tulungagung.
Pratama, Y, A. (2019). Relevansi Teori Belajar Behaviorisme Terhadap
Pendidikan Agama Islam. Jurnal Pendidikan Agama Islam Al-Thariqah
4(1), hlm. 39-49.
Thobroni, M. (2015). Belajar & Pembelajaran Teori dan Praktik. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media.

Anda mungkin juga menyukai