Anda di halaman 1dari 19

RANCANGAN PRAKTIKUM KONSELING KELOMPOK

Proposal

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Praktikum Konseling Kelompok yang
diampu oleh Prof. Dr. Agus Taufiq, M.Pd. dan Dadang Sudrajat, M.Pd.

Disusun oleh:
Tiane Nur Rahmiyanti
2002919
BK-6A 2020

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2023
PROGRAM
A. Deskripsi Sekolah

Nama Sekolah : SMA Negeri 1 Margahayu


Alamat : Jl. Raya Kopo No.387, Sulaiman, Kec. Margahayu, Kabupaten
Bandung, Jawa Barat 40226
Telepon : (022) 5405962
Kepala Sekolah : Drs. Dayat Hidayat, M.Pd.
Provinsi : Jawa Barat
Akreditasi :A
Jumlah Kelas : 38
Jumlah Siswa : 1523

B. Teori
1. Teori Gestalt
Teori Gestalt dikembangkan oleh Frederick Perls merupakan bentuk terapi
eksistensial yang berpijak pada premis bahwa individu harus meneukan jalan hidupnya
sendiri dan menerima tanggung jawab pribadi jika mereka berharap mencapai maturitas.
Karena bekerja terutama diatas prinsip kesadaran, terapi ini berfokus pada apa dan
bagaimana-nya tingkah laku dan pengalaman di sini dan sekarang dengan memadukan
bagian-bagian kepribadian yang terpecah dan tidak diketahui (Corey, 1990 dalam
Rusmana, 2019).
Pandangan Gestalt adalah bahwa individu memiliki kesanggupan memikul tanggung
jawab pribadi dan hidup sepenuhnya sebagai pribadi yang terpadu. Disebabkan oleh
masalah-masalah tertentu dalam perkembangannya, individu membentuk cara
menghindari masalah, dan karenanya menemui jalan buntu dalam pertumbuhan
pribadinya. Konselor menyajikan intervensi dan tantangan yang diperlukan, yang bisa
membantu individu memperoleh pengetahuan dan kesadaran sambil melangkah menuju
pemanduan dan pertumbuhan. Dengan mengakui dan mengalami penghambat-
penghambat itu akan meningkat sehingga dia kemudian bisa mengumpulkan kekuatan
guna mencapai keberadaan yang otentik dan vital (Rusmana, 2019).
Latner (1973, dalam Rusmana, 2019) mengemukakan empat asumsi dasar terapi
Gestalt, yaitu:
1) Prinsip Keseluruhan: individu akan melaksanakan pekerjaan yang tidak selesai
tentang emosi dan masalahnya. Individu dilatih menghadapi ketidaklengkapan,
perpisahan agar merasa utuh kembali.
2) Prinsip kesadaran: orang bebas memilih hanya jika sadar diri. Konsep kesadaran
termasuk semua sensasi, pikiran, tingkah laku yang dialami.
3) Prinsip figur: berupa pengalaman yang sangat penting, misalnya Keputusan
mendekati orang yang sangat membencinya; sedangkan latar belakang sendiri atas
pengalaman yang kuran menekan seperti yang seseorang akan lakukan setelah
makan malam.
4) Prinsip polaritas: jika seseorang mengalami tuntutan kebuthannya, maka pertama
kali harus membedakan lapangan perseptualnya dalam bentuk yang berlawanan,
misalnya aktif atau pasif, baik atau buruk.
Terapi Gestalt memiliki sasaran penting yang berbeda. Sasaran dasarnya adalah
menantang konseli agar berpindah dari “didukung oleh lingkungan” menjadi “didukung
oleh diri sendiri”. Sasaran terapi ini adalah menjadikan konseli tidak bergantung pada
orang lain dan juga menjadikan konseli agar dapat menemukan sejak awal bahwa dia
bisa melakukan banyak hal, lebih banyak dari yang dikiranya. Adapun tujuan lain dari
konseling kelompok yang menggunakan pendekatan Gestalt adalah membantu konseli
agar menemukan pusat dirinya. Sementara sasaran utama dari terapi ini adalah
pencapaian kesadaran. Dengan kesadaran konseli memiliki kesanggupan untuk
menghadapi dan menerima bagian-bagian keberadaan yang diingkarinya serta untuk
berhubungan dengan pengalaman-pengalaman dan dengan kenyataan (Rusmana, 2019).
a. Proses dan Teknik Konseling
Proses kelompok Gestalt merupakan gejala yang kompleks. Proses itu didasarkan
pada asumsi bahwa kelompok-kelompok adalah sistem multidimensional yang bekerja
dalam beberapa tingkat sekaligus. Terapi Gestalt lebih dari sekedar teknik atau
“permainan-permainan”. Corey (1990, dalam Rusmana, 2019) menyebutkan apabila
interaksi pribadi antara terapis dan klien merupakan inti dari proses terapeutik, teknik-
teknik bisa berguna sebagai alat untuk membantu klien guna memperoleh kesadaran
yang lebih penuh, mengalami konflik-konflik internal, menyesuaikan inkonsistensi dan
dikotomi, dan menembus jalan buntu yang menghambat penyelesaian urusan yang tak
selesai. Teknik dalam terapi Gestalt disesuaikan dengan gaya pribadi terapis.

2. Teori REBT
Konseling kelompok Rational-Emotive merupakan aliran psikoterapi yang
berlandaskan bahwa manusia dilahirkan dengan potensi. Baik untuk berpikir rasional dan
jujur maupun untuk berpikir irrasional dan jahat (Corey, 1990 dalam Rusmana, 2019).
Ellis memandang bahwa manusia memiliki sifat rasional dan irasional. Biasanya individu
berperilaku dengan cara-cara tertentu karena ia percaya bahwa ia harus bertindak dengan
cara itu. Masalah-masalah emosional terletak dalam berpikir yang tidak logis, jika
individu dapat mengoptimalkan kekuatan intelektualnya maka ia dapat membebaskan
dirinya dari gangguan emosional (Rusmana, 2019).
Unsur pokok Rasional-Emotif adalah asumsi bahwa berpikir dan emosi bukan dua
proses yang terpisah. Menurut ellis, pikiran dan emosi merupakan dua hal yang saling
bertumpang tindih, dan dalam prakteknya kedua hal itu saling terkait. Menurut Corey
(1990) dalam Rusmana (2019) konseling Rasional-Emotif menekankan bahwa perilaku
menyalahkan adalah merupakan inti dari sebagian besar gangguan emosional. Oleh
karena itu untuk menemukan orang yang neurotik atau psikotik konselor harus
menghentikan penyalahan diri dan penyelahan pada orang lain yang ada pada orang
tersebut. Konsep konseling Rasional-Emotif dikerangkakan dalam model A-B-C, di
mana: A adalah activating experiences atau pengalaman-pengalaman pemicu, seperti
kesulitan keluarga, kendala pekerjaan, trauma masa kecil, dan hal lain yang kita anggap
sebagai penyebab ketidakbahagiaan. B adalah beliefs, yaitu keyakinan-keyakinan
terutama yang bersifat irasional atau merusak diri sendiri yang merpakan sumber
ketidakbahagiaan. C adalah consequence, yaitu konsekuensi berupa gejala neurotik dan
emosi negatif seperti panik, dendam dan amarah karena depresi yang bersumber dari
keyakinan yang keliru. Ellis menambahkan D dan E untuk rumus ABC ini. Seorang
terapis harus melawan (disputes; D) keyakinan irasional itu agar konselinya bisa
menikmati dampak (effects; E) psikologis positif dari keyakinan yang rasional.
Keyakinan irasional biasanya berbentuk pernyataan-pernyataan absolut. Ada beberapa
jenis “pikiran-pikiran yang keliru” yang biasanya diterapkan orang, diantaranya: 1)
mengabaikan hal positif; 2) terpaku pada yang negatif; 3) terlalu cepat menggeneralisasi
(Rusmana, 2019).
Tujuan utama konseling Rasional-Emotif adalah mengajak konseli untuk bisa
berfikir rasional (Gladding, 1995 dalam Rusmana, 2019). Dalam konseling ini klien
diajak untuk:
1) Memperbaiki dan merubah sikap, persepsi, cara berpikir, keyakinan serta
pandangan-pandangan konseli yang irasional menjadi rasional dan logis.
2) Menghilangkan gangguan emosional yang merusak diri sendiri seperti rasa takut,
rasa bersalah, rasa berdosa, rasa cemas, sebagai konseling dari cara berpikir dan
sistem keyakinan yang keliru dengan jalan melatih dan mengajar konseli untuk
menghadapi kenyataan hidup secara rasional dan membangkitkan kepercayaan,
nilai-nilai dan kemampuan diri sendiri.
Terapi pendekatan Rasional-emotif menggunakan berbagai teknik yang bersifat
kognitif, afektif, dan behaviotral yang disesuaikan dengan kondisi konseli (Rusmana,
2019).
3) Teknik-teknik emotif (afektif), terdiri dari teknik assertive training; teknik
sosiodrama; teknik self modelling; dan teknik imitasi.
4) Teknik-teknik behavioristik, terdiri dari teknik reinforcement; teknik sosial
modelling; dan teknik live model.
5) Teknik-teknik kognitif, terdiri dari teknik home work assigments; dan teknik
assertive.
Tugas konselor menurut Ellis dalam Rusmana (2019) ialah membantu individu yang
tidak bahagia dan menghadapi hambatan, untuk menunjukkan bahwa: (1) kesulitannya
disebabkan oleh persepsi yang terganggu dan pikiran-pikiran yang tidak logis, dan (2)
usaha memperbaikinya adalah harus kembali pada sebab-sebab permulaan. Konselor
yang efektif akan membantu konseli untuk mengubah pikiran, perasaan dan perilaku
yang tidak logis.

3. Teori Behavioristik
Pendekatan behavioristik banyak menekankan pendapatnya tentang upaya
membantu manusia ke arah pembentukan “perilaku pengarahan diri” (self directed
behavior) dan “gaya hidup yang dikelola sendiri” (self managed live style). Tujuan itu
dicapai dengan menggunakan berbagai teknik berorientasi pada tindakan yang bersifat
kognitif dan perilaku. Kebanyakan dari teknik-teknik itu merupakan prosedur yang dapat
dipelajari dan dipraktekkan oleh konseli sendiri secepat mereka meninggalkan suasana
konseling kelompok dan menggunakannya untuk memecahkan masalah antar pribadi,
emosional dan masalah yang berkenaan dengan pengambilan keputusan (Krumboltz dan
Thoresen, 1976).
Pendekatan perilaku ini menekankan pada perilaku konseli di sini dan saat ini.
Perilaku saat ini dari seseorang dipengaruhi oleh suasana lingkungan pada saat ini pula.
Pendekatan ini tidak terlalu mementingkan hal-hal yang berkenaan dengan pengalaman
hidup masa lampau, konflik-konflik psikologis yang berlangsung lama atau struktur
kepribadian individu. Yang penting dalam memahami perilaku individu adalah apa yang
terjadi dalam kehidupan individu itu pada masa kini. Prosedur yang digunakan dalam
konseling perilaku pada umumnya dimaksudkan untuk memperbaiki pengendalian diri
individu sendiri dengan memperluas keterampilan, kemampuan dan kemandirian
individu yang bersangkutan (Corey, 1985).
Adapun asumsi pokok dari pendekatan ini adalah bahwa perilaku, kognisi dan
perasaan yang bermasalah itu semuanya terbentuk karena dipelajari, dan oleh karena itu,
semua dapat diubah dengan suat proses belajar yang baru atau belajar kembali. Asumsi
lain dari pendekatan ini adalah bahwa perilaku yang dinyatakan oleh konseli adalah
masalah itu sendiri, jadi bukan semata-mata gejala dari masalahnya. Pendekatan perilaku
tidak didasari oleh teori tertentu yang khusus. Pendekatan ini merupakan pendekatan
indiktif yang menerapkan metode eksperimen di dalam proses terapeutik. Pendekatan ini
merupakan model konseling yang mempunyai banyak teknik terapi memiliki hanya
sedikit konsep. Dalam hal ini, Wolpe (1969) mengartikan terapi perilaku itu sebagai
penggunaan prinsip-prinsip belajar yang disusun berdasarkan eksperimen untuk tujuan
mengubah perilaku yang tidak sesuai. Sesuai dengan semangat metode eksperimental,
maka hal utama yang perlu diperhatikan dan dilakukan dalam konseling perilaku itu
adalah menyaring dan memisahkan perilaku yang bermasalah itu dan membataskan
secara khusus perubahan apa yang dikehendaki. Dalam hal ini konselor kelompok
meminta para konseli untuk mengkhususkan perilaku apa yang benar-benar ingin
diubahnya, dan perilaku baru yang ingin diperolehnya. Deskripsi umum yang samar-
samar tentang perilaku itu tidak bermanfaat untuk dijadikan titik berangkat dari
konseling, dan oleh karena itu tidak dapat diterima sebagai pembatasan.
Konselor kelompok dengan pendekatan perilaku mempunyai fungsi mengajar,
karena pendekatan perilaku dipandang sebagai model kependidikan. Para konselor
kelompok diharapkan berperan aktif dan direktif dalam kelompoknya dan menerapkan
pengetahuannya mengenai prinsip-prinsip perilaku dan keterampilan untuk memecahkan
masalah. Jadi, mereka selalu melihat dan mengamati perilaku setiap anggota kelompok
secara teliti untuk menentukan kondisi yang berhubungan dengan masalah tertentu dan
kondisi lingkungan yang dapat memperlancar perubahan perilaku.

4. Teori Humanistik
Pendekatan humanistis atau fenomenologis sangat berorientasi hubungan dengan
fokus yang jelas pada fungsi saat ini dan yang akan datang, dan bukan kejadian atau
masalah di masa lalu. Pendekatan ini juga berasal dari kesadaran bahwa semua orang
memiliki kebebasan dan tanggung jawab untuk tumbuh dan berkembang. Bahkan,
manusia memiliki kapasitas bawaan untuk pertumbuhan diri dan aktualisasi diri (Rogers,
1957). Akan tetapi, inti pendeketan humanistis adalah hubungan klien-konselor dan
aliansi terapeutik. Konselor harus mau sepenuhnya memasuki dunia subjektif klien untuk
memfokuskan pada presenting issues dari perspektif klien.
Carl Rogers (1957) merupakan penganjur konseling humanistis yang paling
terkenal; dia paling dikenal untuk mengembangkan pendekatan konseling terpusat non-
direktif. McWhirter dan Ishikawa (2005) mendeksripsikan konseling terpusat orang non
direktif dan berguna untuk memfasilitasi pertumbuhan pribadi, penyesuaian diri,
sosialisasi, dan otonomi. Orang berusaha mengintegrasikan pengalaman internal dan
eksternalnya, tetapi pengaruh-pengaruh sosial dan psikologis yang sehat dapat
menghalangi aktualisasi diri dan mengakibatkan konflik, khususnya ketika kebutuhan-
kebutuhan dasar, seperti kebutuhan akan persetujuan sosial, tidak ada.
Rogers (1957) mengidentifikasi tiga karakteristik konselor esensial (yaitu empati,
ketulusan, dan anggapam positif tanpa syarat) yang dibutuhkan untuk menciptakan
hubungan bebas-kecemasan yang tidak mengancam yang akan memungkinkan klien
untuk mengatsi konflik dan mencapai tingkat pemahaman yang lebih mendalam tentang
dirirnya. Seperti halnya pendekatan-pendekatan berbasis mindfulness, pendekatan
huanistik memfokuskan pada di sini dan sekarang dan bebas dari sikap menghakimi.
Para pengkritik pendekatan humanistis mengatakan bahwa insight biasanya tidak
menghasilkan solosi. Tindakan yang sukseslah yang menghasilkan solusi. Bagaimanapun
manusia sering ingin memahami dunia internalnya, termasuk pikiran, perasaan dan
keadaan suasana perasaannya, dan teknik-teknik humanistis membantu memfasilitasi
pemahaman tentang diri dan pencarian motivasi yang dirancang secara internal
(intrinsik) ini.
Empat teknik yang dibahas ini adalah self-disclosure, confrontation, otiational
interviewing dan strength bombardment. Self-disclosure atau dalam kasus ini
pengungkapan konselor telah diterapkan secara kontroversial pada konseling sejak era
Freud, dan penelitian tentang aplikasinya diakui masih langka. Bagaimanapun, jika
diterapkan dengan terampil, konselor disclosure dapat meningkatkan aliansi terapeutik
dan membantu menciptakan insight klien. Motivatuional interviewing adalah proses yang
dikembangkan oleh Miller dan Rollnick (2002) untuk membantu memotivasi klien untuk
mengejar perubahan-perubahan yang telah disepakati. Miller dan Rollnick
mengidentifikasi empat prinsip umum yaitu mengekspresikan empati, mengembangkan
diskrepansi, rolling with resistance, dan mendukung efikasi diri.
Adapun peran konselor dalam pendekatan humanistis ini adalah membantu klien
untuk mendapatkan insight dan mengenali apakah klien tahu sudah bekerja. Pendekatan
ini berkaitan langsung dengan perasaan dan masalah yang dikemukakan klien yang
berasal dari kelompok disenfranchised (tidak memiliki kekuatan sosial, ekonomi, dan
politik) dan kelompok yang secara historis tertindas, yang mungkin merasa kehilangan
semangat atau terasing, dan pendekatan ini oleh sebab itu menghormati klien sebagai
individu, pandangan mereka tentang dunia, dan beragam warisan budayanya. Aspek-
aspek lebih emotif dari pendekatan humanistis mungkin sangat menarik bagi perempuan.
Sebaliknya, interaksi yang sangat intens dan membutuhkan pengungkapan tentang
perasaan-perasaan sendiri serta informasi pribadi dan/atau keluarga mungkin tidak sesuai
untuk individu-individu keturunan arab atau asia karena mungkin mereka merasa tidak
nyaman untuk mengekspresikan emosi-emosi yang kuat. Jadi, konselor yang
menggunakan pendekatan ini harus menambah kehati-hatiannya untuk mengukur tingkat
kenyamanan klien dengan memulai dengan tekni yang lazim digunakan.

C. Masalah yang Terjadi


1. Pendekatan Gestalt: Sekumpulan remaja SMA yang mengalami kesulitan dalam
bersosialisasi sehingga mereka tidak aktif dalam kegiatan sosial.
2. Pendekatan REBT: Sekumpulan remaja SMA yang kehilangan motivasi belajar
3. Pendekatan Behavioristik: Sekumpulan remaja SMA yang masih kebingungan
dalam merencanakan karir di masa yang akan datang
4. Pendekatan Humanistik: Sekumpulan anak SMA yang kehilangan rasa percaya diri

D. Lampiran RPL
1. RPL Konseling Kelompok bidang Pribadi
Komponen : Layanan Responsif
Bidang Bimbingan : Pribadi
Fungsi Layanan : Pemahaman
Topik/Tema : Meningkatkan Rasa Percaya Diri
Pendekatan : Humanistik
Alokasi Waktu : 1 x 45 Menit
Tempat : Ruang Kelas
A Tujuan layanan
a. Tujuan Umum
Peserta didik dapat memiliki pemahaman mengenai cara meningkatkan rasa
percaya diri dan mengimplementasikannya dalam kegiatan sehari-hari.
b. Tujuan Khusus
1. Peserta didik mampu memiliki pemahaman mengenai cara meningkatkan rasa
percaya diri.
2. Peserta didik mampu memiliki pemahaman mengenai manfaat aktif dalam
meningkatkan rasa percaya diri.
3. Peserta didik mampu mengaktualisasikan dirinya ke arah yang lebih positif
dengan meningkatkan rasa percaya diri
B Metode Alat dan Media :
a. Metode : Humanistik
b. Alat / Media : Buku dan Alat Tulis
C Sasaran Layanan:
Peserta didik kelas X di Sekolah Menengah Atas dengan permasalahan kurang
percaya diri.
D Langkah-langkah kegiatan:
a. Prakegiatan
1. Konselor mengobservasi lingkungan sekitar peserta didik dan mencari tahu
siapa saja yang membutuhkan pemahaman mengenai cara meningkatkan rasa
percaya diri.
2. Konselor membentuk kelompok yang terdiri dari 3-5 orang untuk
melaksanakan konseling kelompok.
3. Konselor membuat kesepakatan waktu dan tempat pelaksanaan konseling
kelompok.
4. Konselor dan peserta didik membuat kesepakatan peraturan selama
pelaksanaan konseling kelompok.
b. Tahap Pembukaan
1. Konselor mengunjungi peserta didik dikelas
2. Membuka dengan salam dan doa dengan penuh perhatian dan semangat serta
mengawali kegiatan dengan berdoa, memperkenalkan diri, dan
mempersilahkan konseli untuk saling berkenalan
3. Konselor menciptakan suasana kondusif dengan membangun keakraban untuk
menciptakan dinamika kelompok yang lebih terbuka
4. Konselor menjelaskan pengertian, tujuan, asas-asas dan proses kegiatan
layanan konseling kelompok yang akan diselenggarakan.
5. Konselor menjelaskan teknis pelaksanaan layanan, dan tujuan konseling
kelompok yang akan dilaksanakan.
c. Tahap peralihan
1. Konselor menjelaskan dan menegaskan aturan selama proses konseling
kelompok berlangsung.
2. Konselor memberikan kesempatan kepada konseli untuk bertanya jika ada yang
belum dipahami.
3. Konselor memotivasi anggota untuk terlibat aktif dan mengambil manfaat
dalam tahap inti.
d. Tahap kegiatan
1. Konselor memberikan kesempatan kepada setiap anggota kelompok untuk
menyampaikan permasalahan yang dialami masing-masing anggota kelompok.
2. Konselor menanggapi setiap permasalahan secara singkat, dan berdiskusi
dengan anggota kelompok untuk memilih permasalahan yang akan dibahas
lebih lanjut dalam sesi konseling saat itu.
3. Konselor memberikan kesempatan anggota lain memberikan tangapannya
terhadap permasalahan temannya.
4. Konselor memberikan kesimpulan dari semua cerita permasalahan yang telah
disampaikan oleh anggotanya.
e. Tahap pengakhiran
1. Konselor menyampaikan bahwa kegiatan sudah memasuki tahapan akhir
2. Konselor memberikan penguatan tentang bagaimana meningkatkan rasa
percaya diri.
3. Konselor memberikan apresiasi atas partisipasi konseli selama kegiatan
konseling kelompok
4. Konselor menutup dengan salam dan berdoa bersama
E Evaluasi
a. Evaluasi proses
1. Konselor bersama konseli mengulas kembali kegiatan konseling yang telah
dilaksanakan.
2. Konselor menanyakan hal yang konseli dapatkan setelah sesi konseling
dilaksanakan.
3. Konselor menanyakan perasaan konseli setelah melaksanakan proses
konseling,
b. Evaluasi hasil
1. Konselor mengajukan pertanyaan untuk mengungkap pengalaman konseli
dalam konseling kelompok
2. Konselor memberikan penguatan terhadap konseli akan pentingnya aktif dalam
kegiatan sosial bagi peserta didik.

2. RPL Konseling Kelompok Bidang Karir


Komponen : Layanan Responsif
Bidang Bimbingan : Karir
Fungsi Layanan : Pemahaman
Topik/Tema : Perencanaan karir
Pendekatan : Behavioral
Alokasi Waktu : 1 x 45 Menit
Tempat : Ruang Kelas
A Tujuan layanan
a. Tujuan Umum
Peserta didik dapat memahami dan mengetahui karir yang diinginkannya di masa
mendatang.
b. Tujuan Khusus
1. Peserta didik mampu memahami dan mengetahui jenis-jenis karir
2. Peserta didik mampu memiliki pemahaman mengenai manfaat mengetahui
jenis karir
3. Peserta didik mampu menentukan karir yang diinginkannya di masa yang akan
datang
B Metode Alat dan Media :
a. Metode : Behavioral
b. Alat / Media : Buku dan Alat Tulis
C Sasaran Layanan:
Peserta didik kelas X di Sekolah Menengah Atas dengan permasalahan terkait
perencanaan karir.
D Langkah-langkah kegiatan:
a. Prakegiatan
1. Konselor mengobservasi lingkungan sekitar peserta didik dan mencari tahu
siapa saja yang membutuhkan pemahaman mengenai perencanaan karir.
2. Konselor membentuk kelompok yang terdiri dari 3-5 orang untuk
melaksanakan konseling kelompok.
3. Konselor membuat kesepakatan waktu dan tempat pelaksanaan konseling
kelompok.
4. Konselor dan peserta didik membuat kesepakatan peraturan selama
pelaksanaan konseling kelompok.
b. Tahap Pembukaan
1. Konselor mengunjungi peserta didik di kelas
2. Membuka dengan salam dan doa dengan penuh perhatian dan semangat serta
megawali kegiatan dengan berdoa, memperkenalkan diri, dan mempersilahkan
konseli untuk saling berkenalan
3. Konselor menciptakan suasana kondusif dengan membangun keakraban untuk
menciptakan dinamika kelompok yang lebih terbuka
4. Konselor menjelaskan pengertian, tujuan, asas-asas dan proses kegiatan
layanan konseling kelompok yang akan diselenggarakan.
5. Konselor menjelaskan teknis pelaksanaan layanan, dan tujuan konseling
kelompok yang akan dilaksanakan.
c. Tahap peralihan
1. Konselor menjelaskan dan menegaskan aturan selama proses konseling
kelompok berlangsung.
2. Konselor memberikan kesempatan kepada konseli untuk bertanya jika ada yang
belum dipahami.
3. Konselor memotivasi anggota untuk terlibat aktif dan mengambil manfaat
dalam tahap inti.
d. Tahap kegiatan
2. Konselor memberikan kesempatan kepada setiap anggota kelompok untuk
menyampaikan permasalahan yang dialami masing-masing anggota kelompok.
3. Konselor menanggapi setiap permasalahan secara singkat, dan berdiskusi
dengan anggota kelompok untuk memilih permasalahan yang akan dibahas
lebih lanjut dalam sesi konseling saat itu.
4. Konselor memberikan kesempatan anggota lain memberikan tangapannya
terhadap permasalahan temannya.
5. Konselor memberikan kesimpulan dari semua cerita permasalahan yang telah
disampaikan oleh anggotanya.
e. Tahap pengakhiran
1. Konselor menyampaikan bahwa kegiatan sudah memasuki tahapan akhir
2. Konselor memberikan penguatan tentang perencanaan karir
3. Konselor memberikan apresiasi atas partisipasi konseli selama kegiatan
konseling kelompok
4. Konselor menutup dengan salam dan berdoa bersama
E Evaluasi
b. Evaluasi proses
1. Konselor bersama konseli mengulas kembali kegiatan konseling yang telah
dilaksanakan.
2. Konselor menanyakan hal yang konseli dapatkan setelah sesi konseling
dilaksanakan.
3. Konselor menanyakan perasaan konseli setelah melaksanakan proses
konseling,
c. Evaluasi hasil
1. Konselor mengajukan pertanyaan untuk mengungkap pengalaman konseli
dalam konseling kelompok
2. Konselor memberikan penguatan terhadap konseli akan pentingnya aktif dalam
kegiatan sosial bagi peserta didik.

3. RPL Konseling Kelompok Bidang Akademik


Komponen : Layanan Responsif
Bidang Bimbingan : Akademik
Fungsi Layanan : Pemahaman
Topik/Tema : Meningkatkan Motivasi Belajar
Pendekatan : REBT
Alokasi Waktu : 1 x 45 Menit
Tempat : Ruang Kelas
A Tujuan layanan
a. Tujuan Umum
Peserta didik dapat memiliki pemahaman mengenai cara meningkatkan motivasi
belajar dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
b. Tujuan Khusus
1. Peserta didik mampu memiliki pemahaman mengenai cara meningkatkan
motivasi belajar
2. Peserta didik mampu memiliki pemahaman mengenai manfaat meningkatkan
motivasi belajar
3. Peserta didik mampu mengimplementasikan pemahaman keutamaan motivasi
belajar
B Metode Alat dan Media :
a. Metode : REBT
b. Alat / Media : Buku dan Alat Tulis
C Sasaran Layanan:
Peserta didik kelas X di Sekolah Menengah Atas dengan permasalahan kurangnya
motivasi belajar.
D Langkah-langkah kegiatan:
a. Prakegiatan
1. Konselor mengobservasi lingkungan sekitar peserta didik dan mencari tahu
siapa saja yang membutuhkan pemahaman mengenai motivasi belajar.
2. Konselor membentuk kelompok yang terdiri dari 3-5 orang untuk
melaksanakan konseling kelompok.
3. Konselor membuat kesepakatan waktu dan tempat pelaksanaan konseling
kelompok.
4. Konselor dan peserta didik membuat kesepakatan peraturan selama
pelaksanaan konseling kelompok.
b. Tahap Pembukaan
1. Konselor mengunjungi peserta didik di kelas
2. Membuka dengan salam dan doa dengan penuh perhatian dan semangat serta
megawali kegiatan dengan berdoa, memperkenalkan diri, dan mempersilahkan
konseli untuk saling berkenalan
3. Konselor menciptakan suasana kondusif dengan membangun keakraban untuk
menciptakan dinamika kelompok yang lebih terbuka
4. Konselor menjelaskan pengertian, tujuan, asas-asas dan proses kegiatan
layanan konseling kelompok yang akan diselenggarakan.
5. Konselor menjelaskan teknis pelaksanaan layanan, dan tujuan konseling
kelompok yang akan dilaksanakan.
c. Tahap peralihan
1. Konselor menjelaskan dan menegaskan aturan selama proses konseling
kelompok berlangsung.
2. Konselor memberikan kesempatan kepada konseli untuk bertanya jika ada yang
belum dipahami.
3. Konselor memotivasi anggota untuk terlibat aktif dan mengambil manfaat
dalam tahap inti.
d. Tahap kegiatan
2. Konselor memberikan kesempatan kepada setiap anggota kelompok untuk
menyampaikan permasalahan yang dialami masing-masing anggota kelompok.
3. Konselor menanggapi setiap permasalahan secara singkat, dan berdiskusi
dengan anggota kelompok untuk memilih permasalahan yang akan dibahas
lebih lanjut dalam sesi konseling saat itu.
4. Konselor memberikan kesempatan anggota lain memberikan tangapannya
terhadap permasalahan temannya.
5. Konselor memberikan kesimpulan dari semua cerita permasalahan yang telah
disampaikan oleh anggotanya.
e. Tahap pengakhiran
1. Konselor menyampaikan bahwa kegiatan sudah memasuki tahapan akhir
2. Konselor memberikan penguatan tentang bagaimana cara meningkatkan
motivasi belajar.
3. Konselor memberikan apresiasi atas partisipasi konseli selama kegiatan
konseling kelompok
4. Konselor menutup dengan salam dan berdoa bersama
E Evaluasi
a. Evaluasi proses
1. Konselor bersama konseli mengulas kembali kegiatan konseling yang telah
dilaksanakan.
2. Konselor menanyakan hal yang konseli dapatkan setelah sesi konseling
dilaksanakan.
3. Konselor menanyakan perasaan konseli setelah melaksanakan proses
konseling,
b. Evaluasi hasil
a. Konselor mengajukan pertanyaan untuk mengungkap pengalaman konseli
dalam konseling kelompok
b. Konselor memberikan penguatan terhadap konseli akan pentingnya aktif dalam
kegiatan sosial bagi peserta didik.

4. RPL Konseling Kelompok Bidang Sosial


Komponen : Layanan Responsif
Bidang Bimbingan : Pribadi – Sosial
Fungsi Layanan : Pemahaman
Topik/Tema : Aktif dalam Kegiatan Sosial
Pendekatan : Gestalt
Alokasi Waktu : 1 x 45 Menit
Tempat : Ruang Kelas
A Tujuan layanan
a. Tujuan Umum
Peserta didik dapat memiliki pemahaman mengenai cara menjadi individu yang
aktif dalam kegiatan sosial dan mengimplementasikannya dalam kehidupan
sehari-hari.
b. Tujuan Khusus
1. Peserta didik mampu memiliki pemahaman mengenai individu yang aktifaktif
dalam kegiatan social.
2. Peserta didik mampu memiliki pemahaman mengenai manfaat aktif dalam
kegiatan sosial.
3. Peserta didik mampu mengimplementasikan pemahaman mengenai individu
yang aktif dalam kegiatan sosial dalam kehidupan sehari-hari.
B Metode Alat dan Media :
c. Metode : Gestalt
d. Alat / Media : Buku dan Alat Tulis
C Sasaran Layanan:
Peserta didik kelas X di Sekolah Menengah Atas dengan permasalahan pasif dalam
kegiatan sosial.
D Langkah-langkah kegiatan:
a. Prakegiatan
1. Konselor mengobservasi lingkungan sekitar peserta didik dan mencari tahu
siapa saja yang membutuhkan pemahaman mengenai aktif dalam kegiatan
sosial.
2. Konselor membentuk kelompok yang terdiri dari 3-5 orang untuk
melaksanakan konseling kelompok.
3. Konselor membuat kesepakatan waktu dan tempat pelaksanaan konseling
kelompok.
4. Konselor dan peserta didik membuat kesepakatan peraturan selama
pelaksanaan konseling kelompok.
b. Tahap Pembukaan
1. Konselor mengunjungi peserta didik dikelas
2. Membuka dengan salam dan doa dengan penuh perhatian dan semangat serta
megawali kegiatan dengan berdoa, memperkenalkan diri, dan mempersilahkan
konseli untuk saling berkenalan
3. Konselor menciptakan suasana kondusif dengan membangun keakraban untuk
menciptakan dinamika kelompok yang lebih terbuka
4. Konselor menjelaskan pengertian, tujuan, asas-asas dan proses kegiatan
layanan konseling kelompok yang akan diselenggarakan.
5. Konselor menjelaskan teknis pelaksanaan layanan, dan tujuan konseling
kelompok yang akan dilaksanakan.
c. Tahap peralihan
1. Konselor menjelaskan dan menegaskan aturan selama proses konseling
kelompok berlangsung.
2. Konselor memberikan kesempatan kepada konseli untuk bertanya jika ada yang
belum dipahami.
3. Konselor memotivasi anggota untuk terlibat aktif dan mengambil manfaat
dalam tahap inti.
d. Tahap kegiatan
1. Konselor memberikan kesempatan kepada setiap anggota kelompok untuk
menyampaikan permasalahan yang dialami masing-masing anggota kelompok.
2. Konselor menanggapi setiap permasalahan secara singkat, dan berdiskusi
dengan anggota kelompok untuk memilih permasalahan yang akan dibahas
lebih lanjut dalam sesi konseling saat itu.
3. Konselor memberikan kesempatan anggota lain memberikan tangapannya
terhadap permasalahan temannya.
4. Konselor memberikan kesimpulan dari semua cerita permasalahan yang telah
disampaikan oleh anggotanya.
e. Tahap pengakhiran
1. Konselor menyampaikan bahwa kegiatan sudah memasuki tahapan akhir
2. Konselor memberikan penguatan tentang bagaimana menjadi individu yang
aktif dalam kegiatan sosial
3. Konselor memberikan apresiasi atas partisipasi konseli selama kegiatan
konseling kelompok
4. Konselor menutup dengan salam dan berdoa bersama
E Evaluasi
2. Evaluasi proses
a. Konselor bersama konseli mengulas kembali kegiatan konseling yang telah
dilaksanakan.
b. Konselor menanyakan hal yang konseli dapatkan setelah sesi konseling
dilaksanakan.
c. Konselor menanyakan perasaan konseli setelah melaksanakan proses
konseling,
3. Evaluasi hasil
a. Konselor mengajukan pertanyaan untuk mengungkap pengalaman konseli
dalam konseling kelompok
b. Konselor memberikan penguatan terhadap konseli akan pentingnya aktif dalam
kegiatan sosial bagi peserta didik.

E. Skenario/ Verbatim

Anda mungkin juga menyukai