Anda di halaman 1dari 14

Person Center

PAPER

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori dan Pendekatan Konseling

Dosen Pengampu :
Mulawarman. S.Pd., M.Pd., Ph.D.
Eni Rindi Antika. M.Pd.

Disusun Oleh :
Amanda Ayuningtias 1301421026
Niswatul Birra 1301421028
Muhammad Akbar Hidayat 1301421058
Salma Nurul Baidho 1301421060
Rizky Dwi Andini 1301421086
Najwa Husniyatin Nadhiroh 1301421090

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2023
1. Latar Belakang
Individu memiliki ciri khas kepribadian dan sosial masing masing. Dalam
segi pribadi maupun sosialnya tidak bisa dipisahkan karena keduanya satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sehingga dapat dikatakan atau diasumsikan
bahwasannya pribadi dan sosial, bila kepribadian baik maka sosial yang akan baik
begitu juga sebaliknya.
Konseling person-center ( pada awalnya bernama client-center) ialah
suatu teori yang tidak kalah pentingnya dan pengaruhnya di dalam sejarah. Teori
ini awalnya dikembangkan serta diusulkan oleh tokoh Carl Ransom Rogers
sebagaimana reaksi terhadap apa yang dianggap keterbatasan sekaligus
pemaksaan psikoanalisa. Karena dalam hal ini besarnya pengaruh Rogers,
pendekatan ini disebut konseling Rogerian
Teori Rogers merupakan salah satu teori di bimbingan dan konseling yang
menekankan terhadap aktivitas klien dan tanggung jawab klien sendiri,
sebagaimana sebagian besar proses konseling diletakkan pada klien sendiri dalam
memecahkan permasalahannya sendiri lantas konselor hanya berperan sebagai
mediator atau mendampingi konseli dalam membantu untuk merefleksikan sikap
dan perasaan-perasaannya dan untuk mencari serta menemukan solusi terbaik
dalam konteks pemecahan masalah konseli itu sendiri.
2. Pendiri atau Pengembang Utama
Konseling yang berpusat kepada pribadi sering pula disebut sebagai
konseling yang berpusat kepada klien atau disebut Self Theory/Person Centered
dan Client Centered, model konseling berpusat pribadi dikembangkan oleh Carl
Ramson Rogers, disebut sebagai konseling Rogerian, karena Rogers merupakan
pelopor sekaligus tokoh dari konseling ini.
Rogers lahir, pada 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinois, sebuah daerah
pinggiran Chicago, sebagai anak keempat dari enam bersaudara. Ayahnya adalah
insinyur sipil yang sukes sedangkan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga
pemulk Kristen yanag taat beragama.Setelah lulus dari sekolah menengah atas, ia
kuliah di University Of Wisconsin yang mengambil jurusan pertanian. Akan
tetapi, ia mulai hilang minatnya pada pertanian dan lebih taat pada agama.
Pertanian ini membawanya ke perguruan tinggi.
Setelah menyelesaikan pelajaran di University Of Wisconsin pada 1924
dia lalu masuk Union Theological Seminary di New York City, di mana dia
mendapat pandangan yang liberal dan filsafat mengenai agama. Pada tahun 1940
Rogers menerima tawaran untuk menjadi guru besar di Ohio State University.
Perpindahan dari pekerjaan klinis ke suasana akademis ini dirasa oleh Rogers
sangat tajam. Karena rangsangan-rangsangannya dia merasa terpaksa harus
membuat pandangan-pandangannya dalam psikoterapi itu menjadi jelas. Dan ini
dikerjakannya pada 1942 dalam buku: Counseling and psychotherapy.
Dari rangkaian biografi diatas, Harahap (2020) dalam jurnalnya
menambahkan bahwa, Carl Rogers merupakan seorang tokoh terkenal di ranah
dunia psikolog dengan pendekatan terapi klinis yang berpusat pada klien (client
centered). Disisi lain beliau juga mendalami berbagai disiplin ilmu lainnya. Beliau
memandang atau melihat manusia (individu) mampu berkembang dengan
sendirinya secara pribadi maupun sosial apabila disertai dengan keyakinan diri
yang mana seseorang mampu ditopang dengan reward dan pengakuan atas orang
lain yang berada disekitar lingkungannya. Rogers kemudian menemukan suatu
teori dengan pengalamannya pribadi sebagai terapis selama bertahun-tahun yang
beranggapan bahwa individu pada dasarnya dalam kondisi baik atau sehat.
3. Konsep Dasar Model atau Pendekatan,
Person Centered Therapy didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh
Carl Rogers (1902-1987) yang dirancang untuk meningkatkan keterbukaan,
pertumbuhan, serta perubahan dalam memahami proses konseling. Pendekatan ini
sangat praktis dan bermanfaat di bidang pendidikan, karena memecahkan
beberapa masalah yang dihadapi siswa di luar kurikulum. Contohnya pendekatan
tersebut memberi cara bagaimana memahami dan memecahkan persoalan
berkaitan dengan suatu hubungan, perkembangan emosi dan perilaku etika yang
dianggap menjadi akar permasalahan dibidang pendidikan serta masyarakat
sekitar.
Untuk itu, dalam person centered therapy ini siswa sebagai klien
diharuskan bertanggung jawab atas perbuatannya dan dapat menjadi solusi dari
permasalahan tersebut. Person centered therapy membahas di bidang konseling
ialah membantu dalam proses hubungan, empati, kongruen, dan sebagai konsep
penting pendekatan serta sebagai saran terhadap manajemen kelas.
Person centered therapy dapat dilihat melalui suatu prinsip sikap, serta
didasarkan pada tiga “kondisi inti” yaitu kongruensi, empati, dan hal positif tanpa
syarat, yang diturunkan dari enam hal yang dimiliki konselor untuk mengatasi
masalah hubungan. Person centered therapy ini tidak menangani penyebab dari
permasalahan melainkan mencari cara yang terbaik. Jadi dalam proses
penyembuhan person centered therapy, terapis tidak memiliki teknik khusus yang
diterapkan dalam situasi, hanya diri klien sendiri yang dapat menyembuhkan diri
nya sendiri.
4. Asumsi Pribadi Sehat dan Bermasalah
A. Pribadi Sehat
Terdapat beberapa point pribadi yang sehat menurut Person Centered,
diantaranya:
1. Mau menerima dirinya sendiri dan orang lain
2. Mempunyai rasa humor
3. Mempunyai sikap yang terbuka terhadap hidup
4. Mempercayai diri sendiri
5. Mempunyai kepedulian yang tulus pada orang lain
B. Pribadi Bermasalah
Pribadi yang bermasalah menurut Person Centered, yakni:
1. Tidak mampu mempersepsi dirinya, orang lain, dan berbagai
peristiwa yang terjadi di lingkungannya secara objektif
2. Tidak terbuka terhadap semua pengalaman yang mengancam
konsep dirinya
3. Adanya ketidaksesuaian antara persepsi diri dan pengalamannya
yang nyata.
4. Adanya ketidaksesuaian antara bagaimana dia melihat dirinya, dan
kenyataan atau kemampuannya
5. Hakikat dan Tujuan Konseling
(Corey, 2009) Teknik person-centered tidak menerima peran seorang
konselor yang memegang kendali yakni mengetahui hal-hal yang terbaik untuk
konseli dan konseli tidak aktif yang mana hanya mendengar instruksi konselor.
Serangkaian konseling dimulai dari kemampuan konseli guna mendapatkan
kesadaran juga perubahan self-directed dalam sikap dan perilaku. Konseling
person-centered menaruh perhatian pada keadaan sehat dari sifat manusia.
Penegasannya terletak pada cara konseli berperilaku di lingkungannya, dan cara
konseli agar mampu menghadapi masalah mulai dari internal dan eksternal yang
mempengaruhi perkembangannya.
Pelaksana yang berlandaskan humanistik mengharapkan konseli agar mampu
menciptakan pertumbuhan dan hidup dengan sebaiknya serta dapat dipercaya,
juga menggunakan kesadaran bahwa hal seperti ini membutuhkan perjuangan
selanjutnya. Individu akan selalu terhubung dalam serangkaian aktualiasasi diri,
yakni seorang individu tidak akan mencapai pada aktualisasi final.
Teknik ini bertujuan bukan agar konseli dapat menyelesaikan permasalahan,
namun untuk memberikan bantuan pada konseli untuk serangkaian tumbuh
kembangnya konseli agar lebih mampu menghadapi permasalahan yang sedang
dirasakan dan di masa yang akan datang. Person-centered juga fokus mendorong
untuk keterbukaan, pertumbuhan, dan perubahan dalam memahami proses
konseling. Tujuan dari konseling dengan pendekatan person-centered yakni untuk
memberikan bantuan kepada konseli agar dapat meningkatkan konsep diri yang
lebih positif melalui komunikasi konseling (Komalasari, 2011). Adapun tujuan
dasar menurut Rogers apabila dilihat dari konseli yang memiliki aktualisasi diri
yakni dengan ciri-ciri berikut:
1. Mempunyai keterbukaan terhadap apa yang dialami (openness to
experience)
2. Keyakinan terhadap diri sendiri (self-trust)
3. Asal evaluasi dari diri sendiri (internal source of evaluation)
4. Keinginan berkembang yang berlanjut (willingness to continue growing)
6. Peran dan Fungsi Konselor
(Corey, 2009) berpendapat bahwa konselor berperan berdasarkan dengan
strategi, keadaan, dan perilaku yang ditunjukkan konseli. Pada pendekatan
person-centered tidak ada strategi pasti agar konseli melakukan sesuatu. Sikap
seorang konselor dengan mempertimbangkan teori-teori dan
pendekatan-pendekatan yang dipahami serta dapat menjadi fasilitator untuk
pertumbuhan konseli. Alat atau instrumen dari pendekatan ini adalah konselor itu
sendiri untuk mencapai perubahan.
Dalam proses konseling seorang konselor juga berperan dalam menanamkan
tiga kondisi utama (core condition). Seorang konselor dengan tiga peran ini
memperlihatkan sikap yang sesuai dan asli (congruence or gunuineness),
menerima tanpa syarat (unconditional positive regard and accaptance), dan
pemahaman empati yang akurat (accurate empathic understanding)
Perilaku dan kepercayaan konselor pada potensi konseli yang menciptakan
suasana menyembuhkan untuk pertumbuhan. Konselor juga diharapkan
menempatkan konseli sebagai individu yang berharga, penting, dan mempunyai
kecakapan positif (Prayitno, 2004).
7. Hubungan Terapeutik
Menurut Nazirman (2015), terapeutik berasal dari bahasa inggris
“Therapy” yang bermakna menyembuhkan atau mengobati. terapeutik ini erat
hubungannya dengan komunikasi, yang disebut komunikasi terapeutik. dalam
bimbingan konseling sendiri, komunikasi dua arah memegang peranan penting
dalam proses berjalannya layanan konseling. seorang helper dapat menolong
konseli dalam penyelesaian masalahnya melalui komunikasi (Siregar, 2016).
Seorang konselor sendiri harus memiliki beberapa sifat ini agar menjadi seorang
konselor yang yang efektif, yaitu :
- Genuineness
- Acceptance
- open minded
- mempunyai kompetensi
Konseling person-centred sendiri merupakan terapi hubungan yang
didefinisikan Rogers (1957-1995) dalam “kondisi yang disyaratkan dan
layak bagi perubahan kepribadian secara terapeutik”. Dalam upaya
perubahan tingkah laku, ada beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu :
1. Konselor dan Konseli didalam kontak psikologis
2. Konseli berada dalam kondisi cemas dan tidak stabil
3. Konselor sebagai terapis yang memiliki integrasi dalam hubungan
terapeutik
4. Konselor berprasangka dan bersikap positif terhadap klien
5. Konselor memiliki sikap empatik dan menyalurkannya terhadap
klien
6. Adanya komunikasi empati dan sikap positif dari konselor ke
konseli

Kemampuan dan skill konselor sangat penting dalam pemecahan masalah


konseli (Gumilang, 2016). Menurut Petrus dan Sudiboyo (2017), dalam upaya
menciptakan hubungan terapeutik yang baik, seorang konselor harus mampu
menganalisa dinamika hubungan, memahami jiwa konseli, serta memiliki sifat
empati. Rogers dalam Sutanti (2015) juga mengatakan bahwasannya empati
merupakan hal utama dalam membangun hubungan terapeutik. Selain itu, dalam
analisa person-centered, ada tiga komponen dalam hubungan terapeutik yang
paling penting, yaitu acceptance konselor, empati, dan keaslian.
Dari sudut pandang person-centered, proses terjadinya hubungan
terapeutik antara konselor dan konseli ditandai dengan rasa terbukanya konseli
terhadap masalahnya kepada konselor. Hubungan terapeutik dibangun dengan
maksud agar konselor dapat lebih memahami konseli, sehingga konselor dapat
mengetahui apa yang konseli butuhkan dan bisa membantu konseli untuk
membuat problem solving dari masalah tersebut. Menurut Stuart dan Sunden
(Darmawan, 2009). hubungan terapeutik yang terjadi diantara konseli dan
konselor tercipta melalui interaksi terapeutik melalui beberapa tahap, yaitu :
- Pra-orientation
- Perkenalan
- Orientation
- Kerja
- Terminasi

8. tahap-tahap konseling
Secara umum, tahap konseling dibagi menjadi tiga, yaitu :
1. Tahap Awal Konseling
Tahap awal konseling adalah tahapan saat konseli menemui
konselor, proses konseling, dan diantara konselor dan konseli sudah
menemukan permasalahan yang akan dipecahkan bersama. proses dalam
tahap ini, meliputi :
- Membangun hubungan terapeutik antara konselor dan konseli
- Mempertegas dan memperjelas permasalahan yang sedang
dihadapi
- Konselor menafsirkan permasalahan klien
- Konselor berusaha membangkitkan potensi klien
- Menentukan alternatif
- Membuat perjanjian seperti role limit, time limit, action limit, dan
lain-lain.
2. Tahap Kerja
Pada tahap kerja atau tahap pertengahan, seorang konselor akan
mengeksplorasi lebih jauh mengenai permasalahan klien dan solusi apa
yang sekiranya bisa diberikan melalui penilaian kembali dari masalah
konseli. Dengan hal itu, konseli akan mendapatkan perspektif baru
sehingga ia akan merasa terbantu dan dapat berpikir kearah problem
solving dari masalahnya. tujuan dari tahapan ini, yaitu :
a. Mengeksplorasi masalah konseli
Dengan eksplorasi masalah yang dilakukan konselor,
konseli akan mendapatkan insight serta pandangan baru dari
masalah yang sedang dihadapi. Konselor juga melalukan
reassesment bersama konseli. Dengan hal ini, konseli diharapkan
dapat terlibat penuh dan terbuka terhadap konselor serta akan lebih
objektif dalam proses problem solving dari masalahnya.
b. Menjaga hubungan terapeutik antara konselor dan konseli
Dalam menjaga hubungan terapeutik positif yang telah
terbangun diantara konselor dan konseli, konselor diharuskan
untuk kreatif disini. hal ini dimaksudkan agar konseli mau terbuka
dan merasa senang untuk terlibat selama proses konseling berjalan.
Tahap ini juga memerlukan sifat kejujuran dan terbuka dari konseli
terhadap konselor. Oleh karena itu, penting bagi konselor untuk
dapat memancing konseli dan membuat suasana konseling nyaman
sehingga konselor merasa aman dan terundang untuk melalukan
pemecahan masalah bersama.
3. Tahap Tindakan
Tahap akhir atau tahap tindakan adalah tahapan setelah melalui
serangkaian proses panjang konseling pada tahap-tahap sebelumnya. Tahap ini
meliputi :
- Menurunnya kecemasan konseli
- Konseli menunjukkan perubahan perilaku kearah yang positif
- Perubahan sikap positif dan mampu mengoreksi diri sendiri oleh konseli

Tujuan dari tahap ini sendiri adalah untuk membuat perubahan tingkah
laku kearah yang baik dari konseli dalam menghadapi masalahnya. Dalam proses
konseling pula, konseli diharapkan mendapatkan transfer of learning, yang berarti
konseli mampu mengambil inti dari proses konseling yang terjadi karena ia
menyadari akan kebutuhannya dalam melakukan perubahan. ditahap ini pula
konselor akan mengakhiri hubungan konseling dengan persetujuan kedua belah
pihak dan merencanakan bersama untuk pertemuan selanjutnya maupun proses
tindak lanjutnya.
Tahap-tahap konseling dalam person-centered therapy ada dua, yaitu :
1. Tahap Membangun Hubungan Terapeutik
Dalam tahap ini, konselor berusaha untuk membangun hubungan
yang terapeutik yang positif dengan konseli dan dilandaskan dengan
empati, penghargaan, kejujuran, ketulusan, dan positif tanpa syarat. Tahap
ini merupakan tahapan paling dasar untuk membangun hubungan dengan
konseli.
2. Tahap lanjutan
Tahap kedua adalah tahap lanjutan. Tahap ini bersifat fleksibel atau
disesuaikan dengan apa yang konseli butuhkan serta dilihat dari
keefektivitasan hubungannya.
Proses hubungan terapeutik ada 4, yaitu :
- Konseli mendatangi Konselor dengan keadaan cemas, tidak stabil, atau
tidak baik-baik saja.
- Konseli mendatangi konselor dengan harapan dapat mendapatkan solusi
atas permasalahannya karena ia merasa tidak bisa mengatasinya sendirian
- Konseli mulai menceritakan dasar permasalahannya, namun belum hingga
mendalam dan masih ada perasaan defensive disini.
- Konseli mulai terbuka terhadap permasalahan dan ceritanya. Terjadi juga
perubahan perilaku yaitu konseli akan bersifat lebih dewasa dan
teraktualisasi dalam menghadapi masalahnya.

9. teknik-teknik spesifik konseling


Corey (1995) Komalasari, Gantina, dkk.2001 mengatakan bahwa seorang
konselor perlu memperhatikan beragam keterampilan interpersonal yang
dibutuhkan dalam proses konseling. Keterampilan-keterampilan dalam
teknik-teknik konseling diantaranya:
1. Mendengar Aktif (Active Listening)
Konselor berperan untuk memperhatikan perkataan yang diucapkan oleh konseli,
konselor juga perlu memiliki sensitivitas tinggi terhadap kalimat yang diucapkan
konseli, serta memperhatikan intonasi dan gerak tubuh konseli.
2. Mengulang Kembali (Restating/Paraphrasing)
Konselor dapat mengulang kembali perkataan konseli, namun dengan kalimat
yang berbeda dari apa yang dikatakan konseli.
3. Memperjelas (Clarifying)
Konselor berperan untuk mengklarifikasi pernyataan konseli yang kurang jelas
atau membingungkan, lalu konselor juga membantu konseli untuk menemukan
permasalahan yang mungkin bertolak belakang dengan perasaan-perasaannya.
4. Menyimpulkan (Summarizing)
Konselor dapat menarik kesimpulan atau mengambil poin-poin penting yang
diceritakan konseli selama sesi konseling.
5. Bertanya (Questioning)
Konselor dapat menggunakan teknik ini untuk menggali informasi lebih
mendalam terhadap konseli. Dalam teknik ini terbagi menjadi 2 jenis, yaitu ada
pertanyaan tertutup yang membawa konseli hanya dapat menjawab iya atau tidak
saja, dan juga pertanyaan terbuka yang mana dapat bertanya dengan kata, apa,
dimana, kapan, mengapa, dan bagaimana.
6. Menginterpretasi (Interpreting)
Kemampuan konselor dalam menginterpretasi pemikiran, perasaan, atau bahkan
tingkah laku konseli yang tujuannya agar konselor dapat memberikan perspektif
alternative, konselor juga dapat menentukan waktu yang tepat dalam melakukan
interpretasi dan memberikan kesempatan bagi konseli untuk melakukan refleksi
terhadap apa yang diinterpretasikan oleh konselor.
7. Mengkonfrontasi (Confronting)
Konfrontasi dapat dilakukan konselor dalam sesi konseling guna memberikan
tantangan kepada konseli, agar konseli dapat melihat dirinya dengan jujur.
Konfrontasi sangat efektif dilakukan namun harus dengan hati-hati agar tidak
menimbulkan dampak yang buruk dan merusak konseli.
8. Merefleksikan Perasaan (Reflecting Feelings)
Konselor dapat merespon perkataan konseli dan merefleksikan perasaannya,
seperti turut mengerti dan memahami apa yang dirasakan oleh konseli.
9. Memberikan Dukungan (Supporting)
Konselor dapat memberikan dukungan kepada konseli saat konseli sudah berhasil
menyampaikan informasi personal yang dirasa kurang nyaman untuk
disampaikan. Memberikan dukungan kepada konseli juga harus dilakukan oleh
konselor guna membuat konseli merasakan kenyamanan saat bercerita.
10. Berempati (Empathizing)
Konselor tentunya harus memiliki perhatian dan memberikan penghargaan kepada
konseli setelah konseli dapat berusaha menceritakan permasalahannya saat sesi
konseling berlangsung.
11. Memfasilitasi (Facilitating)
Tujuan dari teknik ini yaitu agar konseli dapat mencapai tujuan-tujuannya.
Berikut merupakan cara konselor memfasilitasi secara spesifik untuk mencapai
tujuan kliennya:
● Membantu konseli menyadari bahwa konseli harus memiliki resistensi
● Menuntun konseli agar fokus pada dirinya dan juga perasaan-perasaannya
● Mengajarkan konseli agar dapat berbicara dengan langsung dan jujur
dalam membicarakan sesuatu
● Menciptakan situasi aman agar konseli dapat berani mengambil resiko dari
tantangan yang dihadapinya
● Membantu agar konseli dapat bersikap terbuka terhadap suatu konflik
● Membantu konseli yang memiliki hambatan saat berbicara secara
langsung
● Membantu mereka agar dapat bergaul dengan masyarakat dalam
kehidupannya
12. Memulai ( Initiating)
Konselor dapat memiliki keterampilan untuk memulai sebuah pembicaraan atau
sebuah diskusi, menentukan tujuan, mercari alternative sebuah masalah, dan lain
sebagainya.
13. Menentukan Tujuan ( Setting goals)
Konselor dapat menstimulasi agar konseli dapat memperjelas tujuannya
melakukan sesi konseling, dan apa saja yang ingin dicapai oleh konseli.
14. Mengevaluasi (Evaluating)
Konselor harus memiliki keterampilan dalam mengevaluasi, karena setiap sesi
konseling tentunya ada bagian evaluasi dimana konselor dapat mengevaluasi
proses konseling saat di akhir sesi konseling yang dilakukan.
15. Memberikan umpan balik (giving feedback)
Memberikan umpan baik yang spesifik dan juga deskriptif atas dasar observasi
terhadap tingkah laku konseli selama proses konseling.
16. Menjaga (protecting)
Konselor tentunya mempunyai tanggung jawab untuk menjaga kliennya dari
kemungkinan terdapat resiko psikologis maupun fisik yang tidak perlu.
17. Mendekatkan Diri (Disclosing Self)
Konselor perlu mempunyai kemampuan untuk menggali informasi-informasi
personal klien agar klien bisa lebih terbuka dalam menceritakan permasalahannya.
18. Mencontoh Model (Modeling)
Konselor juga harus berperilaku yang baik selama proses konseling berlangsung,
karena tanpa disadari konseli tentunya akan meniru atau mengobservasi tingkah
laku konselor selama proses konseling berlangsung.
19. Mengakhiri (Terminating)
Keterampilan konselor dalam menentukan waktu dan bagaimana konselor dapat
mengakhiri sesi konseling yang tentunya tanpa membuat konsel tersinggung, agar
konseling berjalan dengan sukses.

10. Kesimpulan
Teori Rogers merupakan salah satu teori di bimbingan dan konseling yang
menekankan terhadap aktivitas klien dan tanggung jawab klien sendiri,
sebagaimana sebagian besar proses konseling diletakkan pada klien sendiri dalam
memecahkan permasalahannya sendiri lantas konselor hanya berperan sebagai
mediator atau mendampingi konseli dalam membantu untuk merefleksikan sikap
dan perasaan-perasaannya dan untuk mencari serta menemukan solusi terbaik
dalam konteks pemecahan masalah konseli itu sendiri.
Person centered therapy dapat dilihat melalui suatu prinsip sikap, serta
didasarkan pada tiga “kondisi inti” yaitu kongruensi, empati, dan hal positif tanpa
syarat, yang diturunkan dari enam hal yang dimiliki konselor untuk mengatasi
masalah hubungan. Person centered therapy ini tidak menangani penyebab dari
permasalahan melainkan mencari cara yang terbaik. Jadi dalam proses
penyembuhan person centered therapy, terapis tidak memiliki teknik khusus yang
diterapkan dalam situasi, hanya diri klien sendiri yang dapat menyembuhkan diri
nya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Corey, G. (2009). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Rafika
Aditama.

Komalasari, G. (2011). Teori dan teknik konseling. Jakarta: Gunarsa.

Prayitno. (2004). Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: PT. Rieneka


Cipta.

Harahap. (2020). Teori Carl Rogers dalam Membentuk Pribadi dan Sosial yang
Sehat. AL-IRSYAD: Jurnal Bimbingan Konseling Islam.

Anda mungkin juga menyukai