Blacher (George dan Cristian, 1990) mengemukakan lima asumsi dasar konseling. ia mengemukakan
lima asumsi dasar yang secara umum dapat membedakannya dengan psikoterapi. Sedang menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, asumsi adalah dugaan yang diterima sebagai dasar atau landasan
berpikir karena dianggap benar. Kelima asumsi tersebut adalah :
1. Dalam konseling, klien tidak dianggap sebagai orang yang sakit mental, tetapi dipandang
memiliki kemampuan untuk memilih tujuan, membuat keputusan dan secara umum menerima
tanggung jawab dari tingkah lakunya di kemudian hari.
2. Konseling berfokus pada saat ini dan masa depan, tidak berfokus pada pengalaman masa
lalunya.
3. Klien adalah klien, bukan pasien. Konselor bukan figure yang memiliki otoritas tetapi secara
esensial sebagai guru dan patner klien sebagaimana mereka bergerak secara mutual dalam
mendefinisikan tujuan.
4. Konselor secara moral tidak netral, tetapi memilki nilai, perasaan dan standar untuk dirinya.
5. Konselor memfokuskan pada perubahan tingkah laku bukan hanya membuat klien sadar.
(a) konseling hendaknya memusatkan pada solusi daripada masalah bagi terjadinya perubahan
yang bermanfaat,
(b) suatu strategi konseling yang efektif ialah menemukan dan mengubah eksepsi/pengecualian
(saat-saat individu bebas dari belitan masalah) menjadi solusi,
(c) perubahan kecil mengarahkan pada perubahan yang lebih besar,
(d) klien memiliki sumber-sumber yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah,
(e) konselor hendaknya memusatkan pada pengembangan tujuan bermakna yang dibangun
konselor dan konseli dengan tekanan pada apa yang diharapkan klien daripada ide/pendapat
konselor (Charlesworth, J.R. & Jackson, 2004).
Adapun aturan dasar sebagai pengarah konselor dalam melaksanakan konseling, yaitu konselor
hendaknya
Konseling sebagai cabang ilmu dan praktik pemberian bantuan kepada individu pada
dasarnya memiliki pengertian spesifik sejalan dengan konsep yang dikembangkan dalam lingkup ilmu
dan profesinya. Diantara berbagai ilmu yang memiliki kedekatan hubungan dengan konseling adalah
psikologi, bahkan secara khusus dapat dikatakan konseling merupakan aplikasi dari psikologi. Hal ini
dapat dilihat terutama pada tujuan, teori yang digunakan dan proses penyelenggaraannya. Oleh karena
itu konseling dapat disebut dengan psikologi konseling (counseling psychology). Kedudukan
bimbingan dan konseling adalah juga sebagai ilmu terapan. Karena itupula untuk menunjang
efektifitas dan efisiensi penerapan atau aplikasi dan pengembangannya, telah didukung dengan
berbagai Pendidikan formal, pengembangan ilmu melalui berbagai penelitian-penelitian lapangan
secara ilmiah agar tidak mandul dan steril, dibentuk organisasi profesi, kode etik profesi, serta
berbagai kebijakan lain yang menunjang, sehingga pelaksanaanya di lapangan selain menuntut
keahlian juga dituntut kemampuan konselor untuk menterjemahkan makna konseling yang dipilih
dalam proses konseling yang diberikan sehingga keseluruhan tindakan konseling yang diberikan dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Ditinjau dari aspek psikologi, konseling memiliki makna yang sangat luas dan mendalam.
Masing-masing makna konseling tidak lepas dari latar belakang konseptual, social, dan historis.
Dalam perpektif historis, konseling pertama-tama dimaknai sebagai upaya memandu, kemudian
secara berturut-turut dimaknai sebagai upaya menyembuhkan, memfasilitasi, memodifikasi,
meresturturisasi, mengembangkan, mempengaruhi, mengkomunikasikan, dan terakhir
mengorganisasikan. Konseling tidak dapat lepas dari keilmuan psikologi. Bagi konselor keilmuan
psikologi sangat berguna untuk memahami konseli. Sehingga konselor dapat membantu dan
mengarahkan konseli pada titik permasalahan dan pemecahan masalahanya. Dalam sesi konseling,
konselor dapat menggunakan teori- teori yang ada pada keilmuan psikologi, misalnya teori
psikoanalisa. Ada banyak bidang yang bisa digunakan, seperti dalam bidang pendidikan, sosial,
pekerjaan atau karier, bahkan dalam permasalahan pribadi.
DAFTAR PUSTAKA