Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

“KONSELING DAN INTERVENSI PSIKOSOSIAL”

Mata Kuliah :Terapi Psikososial

Dosen Pengampu :
Prof. Dr.H.M.Sattu Alang,M.A.

Oleh :

Nida ulfitrah

50900120011

PRODI KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga dapat menyelesaikan Makalah Mata
Kuliah Terapi Psikososial dengan judul “Konseling dan Intervensi Psikososial”. Tak lupa
serta sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW
beserta keluarganya, sahabatnya dan sampai kepada kita selaku umatnya.

Makalah ini telah penulis susun dengan bantuan dari berbagai pihak dan berbagai
sumber bacaan.Untuk itu penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua
pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini, khususnya kepada bapak
Prof. Dr.H.M.Sattu Alang, M.A. yang telah membimbing dan memberikan tugas
ini.Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.Oleh karena itu, sangat diperlukan
saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar penulis dapat memperbaiki
makalah-makalah selanjutnya.Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi para pembaca.

Samata, 14 Oktober 2022

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rogers mengartikan konseling sebagai hubungan membantu dimana salah
satu pihak (konselor) bertujuan meningkatkan kemampuan dan fungsi mental
pihak lain (klien), agar dapat menghadapi persoalan/ konflik yang dihadapi
dengan lebih baik.1
Konseling adalah hubungan pribadi yang dilakukan secara tatap muka
antara dua orang dalam mana konselor melalui hubungan itu dengan
kemampuan – kemampuan khusus yang dimilikinya, menyediakan situasi
belajar. Dalam hal ini konseli di bantu untuk memahami diri sendiri,
keadaannya sekarang, dan kemungkinan keadaannya masa depan yang dapat
ia ciptakan dengan menggunakan potensi yang dimilikinya, demi untuk
kesejahteran pribadi maupun masyarakat. Lebih lanjut konseli dapat belajar
bagaimana memecahkan masalah-masalah dan menemukan
kebutuhankebutuhan yang akan datang.2
Dapat disimpulkan penulis bahwa konseling adalah interaksi yang
dilakukan oleh konselor dan konseli melalui tatap muka dengan kemampuan-
kemampuan khusus yang dimiliki konselor untuk membantu konseli
memecahkan masalah-masalahnya.
Menurut Erik Erikson, menjelaskan bahwa istilah psikososial dalam
kaitannya dengan perkembangan manusia berarti bahwa tahap-tahap
kehidupan seseorang dari lahir sampai mati dibentuk oleh pengaruh-pengaruh
sosial yang berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi matang secara
fisik dan psikologis. Perkembangan psikososial juga bisa diartikan
berhubungan dengan perubahan-perubahan perasaan atau emosi dan
kepribadian serta perubahan dalam bagaimana individu berhubungan dengan
orang lain.

1
Namora Lumongga Lubis, Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori Dan Praktik, (Jakarta: Kencana
Perdana Media Group, 2011), Hal. 2
2
H. Prayitno, Erman Amti, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: Rineka cipta, 2013), Hal. 101.
Menurut Allport, psikososial adalah “suatu disiplin ilmu yang mencoba
memahami dan menjelaskan bagaimana pikiran, perasaan dan perilaku
individu dipengaruhi oleh keberadaan orang lain, baik nyata, imajinasi,
maupun karena tuntutan peran sosial.
Dapat disimpulkan penulis bahwa psikososial merupakan hubungan erat
antara manusia dalam perkembangan hidupnya dari lahir sampai mati dengan
pikiran, perasaan dan perilaku yang dipengaruhi orang-orang sekitarnya baik
nyata imajinasi maupun karena tuntutan peran sosial.
Konseling psikososial yang dimaksud disini adalah suatu proses yang
dilakukan secara tatap muka antara konselor dan konseli dengan
kemampuankemampuan khusus yang dimiliki untuk membantu memecahkan
masalah yang berkaitan dengan pikiran, perasaan, dan perilaku anak yang
dipengaruhi orang-orang sekitarnya.3
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana metode dan proses konseling dalam psikososial ?
2. Bagaimana bentuk penanganan masalah dalam intervensi psikososial?
C. Tujuan
1. Untuk memenuhi salah satu tugas individu mata kuliah “Terapi Psikososial”
2. Untuk mengetahui metode konseling dalam psikososial.
3. Untuk mengetahui bentuk penanganan dalam intervensi psikososial.

3
Agus Abdul Rahman, Psikologi Sosial Integrasi Pengetahuan Wahyu Dan Pengetahuan Empirik, (Jakarta:
Raja Persada Grafindo, 2013), Hal. 4-5.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Metode dan proses konseling dalam psikososial
Metode konseling Psikososial
Metode konseling terbagi menjadi dua yaitu dalam proses membantu klien
untuk memecahkan masalah, seseorang konselor dapat melakukan metode
konseling secara individual maupun kelompok. Keduanya bisa dilakukan
mengingat bahwa dalam mencapai pemecahan masalah klien yang dihadapi
ada beberapa hal yang memang dibutuhkan konseling individu maupun
kelompok, dilihat dari kasus yang ditanganinya.
1. Konseling Individual
Pengertian konseling individu mempunyai makna spesifik dalam
arti pertemuan konselor dengan klien secara individual, dimana terjadi
hubungan konseling yang bernuansa rapport, dan konselor berupaya
memberikan bantuan untuk pengembangan pribadi klien serta klien dapat
mengantisipasi masalah-masalah yang dihadapinya.4
2. Konseling Kelompok (group)
Konseling kelompok dilakukan pada suatu kegiatan group atau
kelompok dan ia akan sangat membantu dan menudukung dalam program
rehabilitasi, dalam menangani klien di dalam rehabilitasi, hal ini perlu
karena hal ini berkaitan dengan karakteristik seseorang.5
Proses konseling psikososial
Konseling merupakan sebuah proses yang berkelanjutan dan sistematis.
Proses konseling dibagi menjadi tiga bagian yaitu, proses awal, proses tengah
dan proses akhir. Pada setiap bagia proses ini memiliki aktivitas-aktivitas
spesifik yang generic sehingga dapat diintegrasikan dengan berbagai
pendekatan dan teori konseling.6

4
Sofyan S. Willis, Konseling Individual Teori Dan Praktik, (Bandung: Alfabeta, 2013), Hal. 159
5
Aunur Rahim Faqih, Bimbingan Dan Konseling Dalam Islam, (Yogyakarta:UII Press, 2004) Hal. 54.
6
Etika Prabandari, “Pelaksanaan Proses Konseling Pada Rehabilitasi Psikososial Terhadap Wanita Yang
Menjadi Korban Trafficking (Studi Kasus Pada Tiga Wanita Korban Trafficking Di Rumah Perlindungan
Trauma Center Bambu Apus, Jakarta)”. (Skripsi Program Strata Satu, Fakultas Sosial Dan Ilmu Politik,
Universitas Indonesia, Depok, 2012), Hal. 30.
1. Langkah 1: membangun hubungan
Membangun hubungan dijadikan langkah pertama dalam
konseling, karena klien dan konselor harus saling mengenal dan menjalin
kedekatan emosional sebelum sampai pada pemecahan masalahnya.
Willis mengatakan bahwa dalam hubungan konseling harus
terbentuk a working relationship yaitu hubungan yang berfungsi,
bermakna, dan berguna. Konselor dan klien saling terbuka satu sama lain
tanpa ada kepura-puraan. Keberhasilan langkah ini akan menentukan
keberhasilan langkah selanjutnya.
2. Langkah 2: Identifikasi dan penilaian masalah
Apabila hubungan konseling telah terjalin baik, maka langkah
selanjutnya adalah mulai mendiskusikan sasaran-sasaran spesifik dan
tingkah laku seperti apa yang menjadi ukuran keberhasilan konseling.
Konselor perlu memperjelas tujuan yang ingin dicapai oleh mereka
berdua. Hal penting dalam langkah ini adalah bagaimana keterampilan
konselor dapat menangkap isu dan masalah yang dihadapi
klien.Pengungkapan masalah klien kemudian diidentifikasi dan
didiagnosis secara cermat.
3. Langkah 3: Memfasilitasi perubahan konseling
Langkah berikutnya adalah konselor mulai memikirkan alternatif
pendekatan da strategi yang akan digunakan agar sesuai denganmasalah
klien.Harus dipertimbangkan pula bagaimana konsekuensi dari alternatif
dan strategi tersebut.
Ada beberapa strategi yang dikemukakan oleh Willis untuk
dipertimbangkan dalam konseling.
a. Mengomunikasikan nilai-nilai inti agar klien selalu jujur dan terbuka
sehingga dapat menggali lebih dalam masalahnya.
b. Menantang klien untuk mencari rencana dan strategi baru melalui
berbagai alternatif. Hal ini akan membuatnya termotivasi untuk
meningkatkan dirinya sendiri.
4. Langkah 4: Evaluasi dan terminasi
Langkah keempat ini adalah langkah terakhir dalam proses
konseling secara umum. Evaluasi terhadap hasil konseling akan dilakukan
secara keseluruhan. Yang menjadi ukuran keberhasilan konseling akan
tampak pada kemajuan tingkah laku klien yang berkembang kearah yang
lebih positif.
Menurut Willis pada langkah terakhir sebuah proses konseling
akan ditandai pada beberapa hal:
a. Menurunnya tingkat kecemasan klien.
b. Adanya perubahan tingkahlaku klien ke arah yang lebih positif, sehat
dan dinamis.
c. Adanya rencana hidup di masa mendatang dengan program yang
jelas.
d. Terjadinya perubahan sikap positif. Hal ini ditandai dengan klien
sudah mampu berfikir realistis dan percaya diri.
Selain hal itu, Willis juga menambahkan bahwa tujuan yang ingin
dicapai dalam langkah terakhir proses konseling adalah:
1) Membuat keputusan untuk mengubah sikap menjadi lebih terarah
dan positif.
2) Terjadinya transfer of learning pada diri klien, artinya klien
mengambil makna dari hubungan konseling yang telah dijalani.
3) Melaksanakan perubahan perilaku. Mengakhiri hubungan
konseling.7
B. Bentuk Penanganan dalam Intervensi psikososial
Intervensi psikososial merupakan tindakan atau penanganan untuk korban
yang mengalami masalah psikologi seperti rendah diri, hilangnya rasa percaya
diri, rasa kuatir yang berlebihan, putus asa dan masalah social seperti
bagaimana perilaku individu dalam berinteraksi dengan sesama. 8Intervensi
psikososial adalah, suatu proses pertolongan untuk memberikan perubahan

7
Namora Lumongga Lubis, Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori Dan Praktik, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2011), h.83-84.
8
Carolina Nitimihardjo, Penanganan Korban Tindak Kekerasan, (Bandung: STKS Bandung, 2012), Hal 25-
30.
atau bantuan kepada individu dengan menggunakan cara-cara tertentu dalam
terbentuknya kepribadian individu dalam bertingkah laku sosial yang pada
akhirnya menjadi makhluk sosial yang dapat berkomunikasi dengan baik
terhadap individu lain.
Adapun bentuk intervensi psikososial mengenai masalah psikososial
terdapat beberapa cara, yaitu:
a. Terapi individual (Individual therapy)
Terapi individual merupakan terapi yang menggunakan pendekatan
secara individu atau dengan kata lain pendekatan case work, pendekatan
ini dimaksud untuk mengungkapkan dan menggali permasalahan yang
bersifat mendasar. Pada metode ini pekerja sosial maupun konselor
mampu mengupayakan klien untuk mengungkapkan masalahnya dan
peksos maupun konselor mencarikan solusi pemecah masalah yang
dihadapi klien. Dalam pendekatan ini, dibutuhkan konseling di mana
format penanganan yang digunakan yaitu, klien atau korban kekerasan
mendapatkan hak privasi, menerima rasa aman dan jaminan situasi yang
kondusif. Konseling adalah aktivitas mendengarkan berbicara (listening
and talking). Tahap-tahap konseling terlebih dahulu dengan membangun
relasi dengan klien, mengeksplorasi masalah dan mengeksplorasi solusi
dalam memecahkan masalah secara bersama-sama.
b. Terapi keluarga (Family therapy)
Keluarga sangat berpengaruh dalam menjadi sumber pertolongan
bagi anggota-anggota keluarganya, meskipun pada sisi lain juga dapat
menjadi penyebab stress atau masalah akan tetapi keluarga juga
merupakan sumber untuk mengatasi masalah. Sehingga terhadap korban
yang mengalami masalah sebelum diterima di lingkungan mereka
diterima di keluarga dahulu dengan berbagai masalahnya. Terapi keluarga
adalah pengobatan psikoterapi keluarga untuk membawa fungsi
psikologis yang lebih baik. Terapi keluarga merupakan jenis terapi
keluarga yang berkonsentrasi pada interaksi anggota keluarga dan
memandang seluruh anggota keluarga dan memandang seluruh keluarga
sebagai unit atau system yang dirancang untuk memahami dan membawa
perubahan dalam struktur keluarga. Dalam pendekatan terapi ini format
penanganan dengan proses mengambil riwayat keluarga dibantu oleh
penggunaan genogram, diagram pohon keluarga yang biasanya mencakup
anak-anak, orang tua, kakeknenek, bibi dan paman, dan mungkin kerabat
lainnya.
c. Terapi kelompok (Group treatment)
Terapi kelompok dengan nama lain group work dapat membantu
individu untu menemukan rasa aman, identitas dirinya, penerimaan dari
teman, sekolah dan lingkungan. Terapi ini bertujuan untuk memudahkan
penyesuaian diri secara sosial dan emosional bagi individu melalui proses
kelompok. 9Ada beberapa tipe kelompok, yaitu :
1) Kelompok percakapan sosial (Social Conversation Group)
Kelompok ini merupakan tipe yang paling terbuka dan informal.
Tidak memiliki rencana kegiatan yang dirumuskan secara jelas dan
formal, jika topik-topik kegiatan dirasa membosankan maka setiap
anggota berhak mengusulkan untuk menggantinya dengan yang lebih
menarik. Para anggota mungkin saja memilioki beberapa tujuan
tertentu, tetapi tujuan utamanya adalah untuk mencari kenalan atau
sahabat baru, dan tujuan tersebut tidak harus menjadi tujuan
kelompok. Dalam hal ini kelompok sering digunakan sebagai sarana
penguji untuk menentukanb seberapa dalam relasi dapat
dikembangkan terhadap orang-orang yang tidak mengenal satu sama
lainnya.
2) Kelompok rekreasi (Recreation Group)
Kelompok ini untuk memberikan kegiatan relatif yang
menyenangkan dan mengurangi ketegangan klien yaitu, untuk
mnyelenggarakan kegiatan rekreatif atau latihan olah raga. Seringkali
kegiatannya bersifat spontan dan umumnya kelompok ini tidak
memiliki pemimpin formal. Dasar pemikiran dibentuknya kelompok
9
Carolina Nitimihardjo, Penanganan Korban Tindak Kekerasan, (Bandung: STKS Bandung, 2012), Hal 25-
28
ini adalah suat keyakinan bahwasanya kegiatan rekreasi dan interaksi
yang terjadi dalam kelompok ini dapat membantu membangun
karakter yang dapat mencegah perilaku-perilaku maladaptif.
Contohnya kelompok balap motor bagi remaja, misalnya selain dapat
menjegah remaja mlakukan kebut-kebutan di jalanan, juga membantu
menumbuhkan prilaku yang bertanggung jawab diantara mereka.
3) Kelompok keterampilan rekreasi (Recreation Skill Group)
Dalam kelompok ini kegiatan rekreatif juga untuk meningkatkan
keterampilan tertentu diantara para anggotanya. Berbeda dengan
kelompok rekreasi, kelompok ini memiliki penasihat, paelatih atau
ionstruktur serta memiliki orientasi tugas yang lebih jelas.
4) Kelompok pendidikan (Educational Group)
Fokus dalam kelompok ini adalah untuk memperolah pengetahuan
dan keterampilan-keterampilan yang lebih kompleks. Pimpinan
kelompok ini biasanya berasal dari seorang profesional yang
menguasai keahlian tertentu. Pimpinan tersebut berfungsi seperti
halnya seorang pengajar atau guru dan umumnya adalah pekerja
sosial. Beberapa kegiatan kependididkan dari kelompok ini, antara
lain: praktik perawatan anak, pelatihan untuk menjadi orang tua baik,
persiapan untuk menjadi orang tua adopsi atau pelatihan bagi para
volunteer agar mampu melksanakan tugas-tugas tertentu di suatu
pelayanan sosial.
5) Kelompok pemecahan masalah dan pembuat keputusan (Problem
Solving and Decision Making Group)
Kelompok ini melibatkan klien atau penerima pelayanan dan para
petugas pemberi pelayanan di suatu lembaga kesejahteraan sosial.
Bagi klien, tujuan bergabungnya dengan kelompok ini adalah untuk
menemukan pendekatanpendekatan yang dapat digunakan untuk
menemukan sumbersumber baru dalam memenuhi kebutuhan baru.
Sedangkan bagi para pemberi pelayanan, kelompok ini dijadikan
sarana untuk penyembuhan bagi klien atau sekelompok klien,
merumuskan keputusan dalam mengalokasikan sumber-sumber
pelayanan yang terbatas, lembaga atau memperoloeh masukan untuk
meningkatkan koordinasi dengan lembaga lain.
6) Kelompok mandiri (Self Help Groups)
Kelompok mandiri di kalangan pekerja sosial sangat populer
karena seringkali berhasil menjadi sarana pertolongan individu-
individu yang mengalami masalah. Kelompok mandiri menekankan
pada:
a. Pengakuan para anggotanya terhadap kelompok bahwa mereka
memiliki masalah,
b. Pernyataan para anggotanya kepada kelompok mengenai
pengalaman-pengalaman maslahnya di masa lalu dan
rencanarencana pemecahan masalah di masa depan,
c. Apabila salah seorang anggota atau kelompok berada pada krisis,
anggota kelompok tersebut disarankan untuk menghubungi
anggota lain yang kemudian mendampinginya sampai krisis
tersebut berkurang.
Beberapa alasan mengapa kelompok mandiri banyak mengalami
keberhasilan dalam memecahkan masalah anggotanya, adalah karena
para anggotanya memiliki pemahaman mengenai diri mengenai
masalahnya yang membantu dia dalam membantu orang lain.
Pengalaman mereka merasakan penderitaan dan akibat-akibat dari
permaslahnnya, membuat para anggota termotivasi untuk mencarikan
jalan baik bagiu dirinya maupun bagi anggota lain yang
sependeritaan. Para anggota juga dapat mendapat manfaat
berdasarkan prinsip terapi penolong (helper therapy principle), para
penolong mendapat kepuasan psikologis dengan menolong orang
lain. Menolong orang membuat kita merasakan baik dan bernilai,
serta mengetahui bahwa ada orang lain yang mengalami masalah
sama, dan mungkin lebih serius dari masalahnya.
7) Kelompok sosialisasi (Socialization Group)
Kelompok sosialisasi terbentuk untuk mengembangkan atau
merubah sikap-sikap dan prilaku para anggota kelompok agar lebih
dapat diterima secara sosial. Kelompok sosialisasi biasanya
memfokuskan pada pengembangan keterampilan sosial, peningkatan
kepercayaan diri dan perencanaan masa depan. Beberapa contoh
kegiatan yang dilakukan kelompok ini, antara lain: bekerja bersama
kelompok anak-anak nakal atau untuk mencegah kenakalan, bekerja
bersama kelompok remaja putri yang hamil untuk menyusun rencana
masa depan, bekerja bersama prajurit lanjut usia untuk meningkatkan
keterlibatan mereka dalam berbagai aktivitas, bekerja bersama
kelompok remaja dalam suatu lembaga koreksional untuk menyusun
rencana pengembalian mereka ke masyarakat. Orang yang memimpin
kelompok ini memerlukan pengetahuan dan keterampilan dalam
menggunakan kelompok sebagai sarana pengubahan dan
pengembangan individu. Peran kepemimpinan dalam kelompok
sosialisasi biasanya dilaksanakan oleh seorang pekerja sosial.
8) Kelompok peyembuhan (Therapeutic Group
Kelompok terapi umumnya beranggota orang-orang yang
mengalami masalah personal dan emosional yang berat atau serius.
Kelompok ini dituntut memiliki pengetrahuan dan keeterampilan
yang handal mengenai tingkah laku manusia dan dinamika kelompok,
konseling kelompok, penggunaan kelompok sebaga sarana pengubah
tingkah laku. Mirip konseling perseorangan, tujuan kelompok terapi
adalah mengupayakan agar para anggota kelompok mampu menggali
masalahnya secara mendalam, dan mengembangkan satu atau lebih
strategi pemecah masalah. Ahli terapis kelompok biasanya
menggunakan satu atau lebih pendekatan terapi sebagai pedoman
dalam melakukan pengubahan tingkah laku. Beberapa pendekatan
yang kerap kali digunakan meliputi Psikoanalisis, Reality Therapy,
Learning Theory, Rational Therapy, Transactional Analysis, Client-
Centered Therapy dan Psychodrama.
9) Kelompok sensivitas (Sensitivity Group)
Dalam kelompok ini setiap anggota berinteraksi satu sama lain
secara mendalam dan saling mengungkapkan masalahnya sendiri
secara terbuka. Tujuannya adalah adalah untuk meningkatkan
kesadaran interpersonal (Interpersonal Owarness). Para anggota
beberapa jam atau lebih sampai beberapa hari, hingga tercapainya
kesadaran interpersonal yang kemudian dijadikan titik tolak
pengubahan sikap dan tingkah laku. Proses prubahan tingkah laku
terjadi dalam tiga tahap: pemecah kebekuan (unfreezing),
pengubahan (change), dan pembekuan kembali (refreezing). Pada
tahap pemecahan kebekuan, sikap dan tingkah laku yang telah
melekat, otomatis dan melembaga dalam diri para anggota
dipecahkan secara perlahan-lahan. Percakapan mendalam atau diskusi
kelompok, pengalaman sensasi dan trust walk (berjalan sambil
ditututp mata sambil dituntun oleh anggota lain) biasanya dipakai
sebagai cara menumbuhkan rasa kepercayaan diri terhadap orang lain
yang kemudian dipakai sebagai dasar menguraikan tingkah laku.
Pada tahap kedua, sikap dan tingkah laku yang tidak diinginkan
tersebut dirubah secara perlahan-lahan yang telah terjadi pada tahap
kedua kemudian dibekukan kembali (refreezing) agar menjadi bagian
dari kepribadian yang diharapkan.10

BAB III
KESIMPULAN

10
Edi Suharto, Pekerja Sosial di Dunia Industri Memperkuat CSR, (Bandung, Reifka Aditama, 2009), Hal.
39-44.
DAFTAR PUSTAKA
1-3

28-29

34-37

Anda mungkin juga menyukai