Anda di halaman 1dari 8

Sejarah kehidupan Imam Al-Bushiry

Beliau seorang pribadi terkemuka; seorang yang alim lagi mengamalkan ilmunya, seorang
shaleh yang tenggelam dalam mencintai Allah dan Rasul-Nya. Namanya adalah: Abu Abdillah
Muhammad bin Sa’id bin Hammad bin abdillah bin Shonhajy al Bushiry al-Mishry, asal
keturunan dari Maghrib (Maroko) dari Qolaah Hammad, dari suku yang dikenal dengan Bani
Habnun. Beliau dilahirkan di daerah Dalas pada hari selasa tanggal 1 syawal 608 H. Ayah beliau
berasal dari Mesir daerah Bushir, salah satu desa Mesir atas (Mesir pedesaan).

Adapun Mawardi mengungkapkan bahwa Imam Al Bushiry dilahirkan di Dalash, di desa Bani
Yusuf pada tahun 1212 (abad ke-13 Masehi). Ayahnya keturunan Maroko, dari desa Abu Shayr.
Dari kedua nama, Dalash dan Abu Shayr, muncul sebuah ungkapan ad Dalashiry untuk nama
Muhammad bin Sa‟id. Akan tetapi karena mungkin bagi orang Arab ungkapan itu sulit
diucapkan dan sukar diingat, maka akhirnya ungkapan yang populer adalah AL-Bushiry.

Guru-guru beliau dalam ilmu dan pendidikan:

1. Abu Hayan

2. Abu fatah bin Sayidunnas al-Ya‟mury al-Isybily al –Mishry pengarang kitab biografi

Nabi (Uyunul Atsar Fi Shirothi Sayyidil Basyar)

3. Al-„Izz bin Jam‟ah al-Kinany al- Hamawy, salah seorang Hakim Mesir, serta ulama besar

lainnya.

Abu Zainal Abidin Ahmad Syairazi Fandi Banjar AlMakki menambahkan guru khusus Imam Al
Bushiry yaitu Imam Kabir Al Arif billah Waliyullah Sayidi Abul Abbas Almursi yang mana
beliau berkhidmad dan belajar serta suluk dengannya sampai mendapat wilayah dan makam fana
serta asyiq billah wa rasulillah.

Beliau wafat di Negeri Mesir tepatnya di kota Al Iskandariah tahun 696 H dalam umur 88 tahun
dan dimakamkan dekat mesjid besar yang berhampiran dengan makam guru beliau al arif billah
waliyullah Sayidi Abul Abbas Almursi dan makam beliau senantiasa diziarahi orang dan
didinding makam beliau ditulis kasidah burdah dengan tulisan yang indah.

Karya-karya Imam Al-Bushiri

Salah satu karya paling popular imam al-bushiri dalam khazanah sastra islam adalah Qashidah
Burdah. Isinya berupa sajak-sajak pujian kepada Nabi Muhammad SAW, pesan moral, nilai-nilai
spiritual, dan semangat perjuangan.

Selain qaṣīdah Burdah, Imam al-Bushiri juga membuat syair lainnya seperti, qaṣīdah yang
dibuat untuk membantah agama Yahudi dan Nasrani. Qaṣīdah tersebut berjumlah 272 bayt yang
diberi nama “al-Muhkraj wa al-Mardud„ala al-Nashara wa al-Yahud” yang di dalamnya
menjelaskan bagaimana orang-orang Yahudi dan Nasrani telah mengubah dan mengganti isi
kitab Injil dan Taurat. Karya sastra lainnya Imam al-Būṣayrī dalam bentuk prosa yang
menceritakan kisah Ka‟ab Ibn Zuhayr dalam memuji Rasulullah SAW yang diberi judul
“Dzukhru al-Ma‟ad”.

Selain itu menurut K.H. Syarwani Abdan, Al Bushiry juga mempunyai qashidah al Hamziyah
(yang diakhiri dengan huruf hamzah) dan mempunyai beberapa syarah, adapun yang sangat
terkenal ialah Syarah Syekh Ibnu Hajar al-Haitamy dicetak menjadi jilid. Masih menurut KH
Syarwani Abdan, dua qasidah lain yang sering dibaca dengan qosidah burdah di berbagai negeri
ialah Mudhoriyah dan Muhammadiyah.

Pemikiran Al-Bushiri dalam Qashidah Al-Burdah

Al-Bushiri masuk dalam dunia tasawuf pada usia 46 tahun. Gurunya Abu al-Abbas al-
Mursi adalah seorang khalifah kedua dalam tarekat al-Syadziliyah setelah Abu al-Hasan al-
Syadzili. Melalui gurunya ini, al-Bushiri memperoleh ajaran tasawuf. Hal ini tercermin dari isi
dan kandungan yang terdapat dalam syair-syairnya, terutama syair al-Burdah, sesuai dengan
ajaran dalam tarekat al-Syadziliyah. Syair al-Burdah mengandung ajaran-ajaran sufi yang patut
untuk di eksplorasi. Ajaran-ajaran yang dikemukakan berupa syair dengan gaya Bahasa yang
sangat tinggi penuh dengan perumpamaan-perumpamaan.

Kerangka epistimologi pemikiran al-Bushiri yang tertuang dalam tema-tema syair-syair


al-Burdah bermacam-macam. Sebagian tema yang bernuansa tasawuf seperti taubat, syafa’at,
zuhud, khauf, dan raja’ serta mahabbah. Dalam dunia pskologi sufi, al-Burdah juga
menampilkan term nafs, dan dalam tasawuf falsafati al-Burdah dengan interpretasinya terdapat
tema Nur Muhammad dan Hakikat Muhammad.

1. Taubat
Taubat secara Bahasa berasal dari Bahasa arab, yaitu taba, yatubu, tauban wa taubatan
wa mataban, kata tersebut memiliki arti menyesal atas berbuat dosa, atau bermakna kembali,
artinya meninggalkan maksiat dan kembali kepada ketaatan. Menurut terminology Abu
Hamid al-Ghazali, taubat adalah ungkapan penyesalan yang mewariskan kemauan yang kuat
untuk merubah, penyesalan itu melahirkan pengetahuan bahwa maksiat menjadi factor
penghalang antara manusia dengan kekasihnya.
Secara lafaz, kata taubat terakumulasi dalam kata istigfar. Bacaan ini merupakan
symbol lahir dari ungkapan taubat, namun esensi taubat terletak pada komitmen batin
seseorang untuk tetap komitmen berada di jalan kebaikan dan kebenaran setelah lama
berkubang dalam kegelap-gulitaan hidup.
Dalam syair al-Burdah terdapat kata penyesalan yang diungkap oleh al-Bushiri karena
yang diharamkan telah dikerjakan. Nasehatnya ini terkait dengan sikap perlawanan dan
pengendalian terhadap nafsu dan setan yang selalu menggoda untuk melakukan perbuatan
maksiat.

Bait ke 23 dan 24:

ِ ‫َألت قَ ِد َع ْي ٍن ِم ْن ال َّد ْمع َوا ْستَ ْف ِر‬


‫غ‬ ْ ‫ ا ْمت‬# َ‫ار ِم ِمن‬
ِ ‫النَّد َِم ِح ْميَةَ َو ْال َز ْم ْال َم َح‬

Deraikanlah airmata, dari pelupuk mata yang penuh noda dosa. Peliharalah rasa sesal dan
kecewa karena dosa.
‫وخالف‬
ِ ‫ص ِه َما َوال ّش ْيطَانَ النفس‬
ِ ‫ك هُ َما َوِإ ْن َوا ْع‬ َ ‫فَاتَّ ِه ِم النُّصْ َح َم ّح‬
َ ‫ضا‬
Lawanlah hawa nafsu dan setan durhaka, dan awasilah keduanya. Jika mereka tulus
menasehati, maka engkau harus mencurigainya.

Dalam syair al-Burdah, diungkap istigfar pengarang dalam nasihatnya melalui syair,
meski terkadang bagi dirinya sendiri tidak terlaksana.

Perhatikan bait syair ke 26 dan 27 berikut ini:


‫ْت لَقَ ْد َع َمــ ٍل بِالَ قَوْ ٍل ِم ْن هلَّلا َ َأ ْستَ ْغفِ ُر‬
ُ ‫ُعقُ ِم لِ ِذي نَ ْس ًل بِ ِه نَ َسب‬

Aku mohon ampunan kepada Allah atas perkara tanpa perbuatan, aku telah nisbahkan
dengannya keturunan bagi yang mandul.

‫ك‬ ُ ْ‫ت َو َما بِ ِه ْأتَ َمر‬


َ ُ‫ت َما ٰل ِك ْن ْال َخ ْي َر َأ َمرْ ت‬ ُ ‫ك قَوْ لِى فَ َما ا ْستَقَ ْم‬
َ َ‫ا ْستَقِ ِم ل‬

Engkau ku perintah lakukan amal kebaikan, namun aku sendiri enggan mengerjakannya.
Maka tiada guna ucapanku agar kau berlaku benar.

2. Zuhud
Imam Ahmad mengatakan zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat
untuk kehidupan akhirat. Beliau mengklasifikasi zuhud menjadi tiga macam (1)
meninggalkan perkara yang haram dan ini zuhud orang awam, (2) Meninggalkan hal-hal
yang berlebihan sekalipun itu halal ini zuhudnya khawas/ khusus, (3) Meninggalkan perkara
yang menyibukkan dari Allah, Zuhudnnya para wali Allah.
Dalam syair Al Burdah terdapat zuhud yang dilakukan Nabi Muhammad saw.

Bait ke 31 dan 32:

ُ‫ب ِم ْن ال ُّش ّم ْال ِجبَا ُل َو َرا َو َد ْته‬


ٍ َ‫َش َم ِم َأيَّ َما فََأ َراهَا نَ ْف ِس ِه ع َْن َذه‬

Nabi yang ditawarkan gunung emas menjulang tinggi. Namun beliau tolak, dengan
penuh perasaan bangga.

ْ ‫ُورتُهُ فِ ْيهَا ُز ْه َدهُ َوَأ َّكد‬


‫َت‬ َ ‫ضر‬َ ‫ضرُو َرةَ ِإ َّن‬ َ ‫ْال ِع‬
َ ‫ص ِم عَل َى تَ ْع ُدوْ اَل ال‬

Sungguh menambah kezuhudan nabi, butuh harta namun tidak menerimanya Meskipun
ketika butuh harta, tidaklah merusak nilai kesuciannya.

Maksud dari bait tersebut adalah ketika Nabi Muhammad SAW dalam kesempitan dan
kemudaratan yang selayaknya dia mengharap bantuan dan kelapangan namun walaupun
gunung menawarkan diri menjadi emas nabi tidak terpengaruh dengan itu semua Dan dia
masih ingin akan cita-cita yang paling tinggi yaitu jayanya umat Islam serta umat Islam
selamat dari gangguan kafir Quraisy

3. Khauf dan Raja’


Seseorang dalam menjalani kehidupan in harus berada dalam dua kondisi, antara khauf
(rasa takut) dan raja’ (rasa harap). Khauf dan raja’ ibarat dua sayap burung. Dominisasi rasa
khauf dalam kehidupan akan menjebak pada sikap pesimise berlebihan terhadap rahmat
Allah swt. Sedangkan terlalu mengedepankan raja’ akan berdampak pada perasaan aman dari
siksa Allah swt.
Kaitannya dengan pembahasan ini, al-Bushiri menyatakan keterpisahannya dengan
sang idaman dan pujian, yaitu Nabi saw.
Bait syair ke 145 dan 149:
ِ ‫ض َع ْه ِديْ فَ َما َذ ْنبًا ٰأ‬
‫ت ِإ ْن‬ ٍ ِ‫ص ِر ِم َح ْبلِ ْي َوالَ النَّبِ ِّي ِمنَ بِ ُم ْنتَق‬
َ ‫بِ ُم ْن‬
Jika dosa kulakukan janjiku pada nabi tidaklah terputuskan Dan juga tali hubungan takkan
terputuskan
ُ ‫اريْ َأ ْل َز ْم‬
‫ت َو ُم ْن ُذ‬ ِ ‫صي َو َج ْدتُهُ َمدَاِئ َحهُ َأ ْف َك‬
ِ َ‫ُم ْلت َِز ِم خَ ْي َر لِ َخل‬
Telah banyak kutupahkan fikiran pada ajaran nabi Muhammad. Kutemui ajaran beliau
paling tepat diikuti untuk menyelamatkan diri

4. Nur Muhammad dan Hakikat Muhammad saw.


Salah satu tema pokok dari profatologi tasawuf adalah Nur Muhammad dan Hakikat
Muhammad. Muhammad ibarat cahaya matahari yang di sekitarnya segala sesuatu berputar.
Begitu pula tentang Hakikat Muhammad bahwa segala sesuatu, bumi dan segala isinya
termasuk manusia dan jin, penyebab terciptanya adalah Nabi Muhammad saw. Dalam
perspektif mereka, jika Nabi Muhammad saw. tidak diciptakan maka bumi, langit dan segala
isinya tetap akan berada dalam ketiadaan. Maka adanya adam sebagai Abul Basyar
(bapaknya manusia) adalah dengan sebab adanya Muhammad saw.
Adapun yang menjadi pegangan para sufi adalah hadits:
‫لَوْ اَل كَ يَا ُم َح ّمد لما خَ لَ ْقتَ اَأل ْفاَل ك‬
Jika bukan karena engkau wahai Muhammad, tidak akan aku ciptakan alam semesta ini.
Dalam kasidah al-Burdah terdapat ungkapan yang semakna dengan ini juga. Diantaranya:
َ‫ضرُو َرةُ ال ّد ْنــيـــا ِإلَي تَ ْدعُوا فَ َك ْيف‬ ِ ‫ال َعد َِم ِمنَ ال ّد ْنيَا ت َْخر‬
َ ‫ُج لَ ْم لَوْ اَل هُ َم ْن‬
Bagaimana mungkin nabi nan mulia tertarik kepada kemilau harta dunia Andai saja tanpa
nabi Muhammad saw, dunia takkan pernah ada
Hal ini didukung penjelasan dari al-Bajuri tentang maksud bait ini. Beliau mengatakan
bahwa seandainya kalua bukan karena keberadaan nabi, maka dunia ini akan terus berada
dalam ketiadaan.
Pada bait diatas diawali dengan kata “kaifa” artinya bagaimana. Dalam Bahasa arab
pertanyaan seperti ini disebut “istifham ingkari” bentuk pertanyaan yang tidak
membutuhkan jawaban namun bermakna pengingkaran, artinya Nabi Muhammad saw. Tidak
terpengaruh dengan kesempitan sehingga harus memilih gemerlapnya dunia.
Begitu pula dengan bait ke 38-39
ٍ ‫ق َوفِى خـ َ ْل‬
َ ‫ق فِى النَّبِيِّي َـْن فَا‬
‫ق‬ ٍ ُ‫َك َر ٍم َواَل ِع ْل ٍم فِى يُدَانُوْ هُ َولَ ْم خـُل‬
Ia mengungguli para Nabi dalam bentuk rupa maupun akhlak dan merekapun tidak bisa
mendekatinya dalam hal ilmu pengetahuan maupun kemurahan hati.
‫يَ ِم ال ِّد ِمنَ َأوْ َر ْشفًا ْالبَحْ ِر ِمنَ ُغرْ فًا ُم ْلتَ ِمسٌ هللاِ َرسُوْ ِل ِم ْن َو ُكلُّهُ ْم‬
Mereka semua mendapatkan dari Rasulullah bagaikan mengambil segenggam air dari
lautan atau seteguk air hujan.
Maksud bait syair ini menurut Al Azhari ,seluruh para nabi mengambil ilmu dari Nabi
Muhammad SAW. sebatas cidukan air dari laut ataupun tegukan dari tetesan hujan. Dalam
perspektif manusia secara umum bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi yang terakhir
diutus. Bagaimana mungkin para nabi menyiduk lautan kemuliaan dan mengambil tetesan
hujan ilmu dari Nabi Muhammad SAW yang hidup ratusan bahkan ribuan tahun setelah
mereka. Ini menunjukkan bahwa dalam perspektif kaum Sufi termasuk albushoiri memahami
hakikat nabi sebagai manusia yang memiliki kemuliaan yang sulit dijangkau oleh logika
namun bisa dipahami melalui pendekatan sufistik.
5. Pujaan terhadap Nabi Muhammad saw. Bukti mahabbah
Al-Bushiri dalam Qasidah Al-Burdahnya memberikan ungkapan dan kiasan cinta yang ia
alami dalam cinta dan rindu pada sang kekasih. Seluruh tumpahan Rasa Cinta Dan Rindu
hanyalah untuk Nabi Muhammad SAW atas segala sifat dan gejolak cintanya. Al Bushiri
mengatakan orang yang sudah jatuh cinta di taman cinta ia tidak bisa lagi menghiraukan
segala nasihat dan anjuran dari orang lain kecuali pada diri sang Pujaan Hati. Berikut
ungkapan dan kiasan yang dimaksud:
Bait ke 3:
َ ‫يَ ِهم ا ْستَفِ ْق قُ ْلتَ ِإ ْن لِقَ ْلبِكَ ِ َو َما ا ْكفُفَاهَ َمتَا قُ ْلتَ ِإ ْن لِ َع ْينَ ْي‬
‫ك فَ َما‬
Mengapa bila kau tahan air matamu ia tetap basah? Dan mengapa pula bila kau sadarkan
hatimu ia tetap gelisah?
Bait ke 4:
ُ‫َو ُمضْ طَ ِرم ِّم ْنهُ ُم ْن َس ِج ِم بَ ْينَ ِ َما ُم ْن َكتِـم ْالحُبَّ َأ َّن الصَّبُّ ٌَأيَحْ َسب‬
Apakah sang kekasih kira bahwa tersembunyi cintanya. Diantara air mata yang mengkucur
dan hati yang bergelora.
Merupakan konsekuensi keimanan seorang hamba kepada Allah SWT adalah beriman
kepada utusannya yaitu Muhammad SAW., tak sempurna iman seseorang bila keimanan
kepada Allah swt tidak di paralel kan dengan keyakinan bahwa Muhammad SAW sebagai
nabi sekaligus rasul yang memiliki predikat rahmatan lil alamin atau Rahmat untuk seluruh
alam semesta. Bila keimanan kepada Allah SWT dan rasulnya sudah terpatri di lubuk hati
seseorang maka akan melahirkan energi cinta yang sangat dahsyat.
6. Syafa’at
Ibnu Mansyur dalam kitabnya di bidang bahasa menyebutkan bahwa syafaat menurut
bahasa adalah lawan dari ganjil. Menurut istilah, syafaat didefinisikan sebagai perantara
untuk orang lain dengan tujuan memaksimalkan kebaikan untuknya ataupun meminimalisir
keburukan. Al Jirjani memberikan pandangan tentang Syafaat, sesungguhnya orientasi
syafaat adalah harapan agar dimaafkan atas kesalahan dan perilaku buruk pada orang lain.
Berdasarkan pendekatan etimologi dan terminologi di atas, bisa disimpulkan bahwa
syafaat adalah sesuatu yang diharapkan dari pemberi syafaat untuk mendapatkan kebaikan
atau terhindar dari keburukan.
Mencermati makna-makna teks Al Burdah ditemukan beberapa bait syair yang
menunjukkan harapan al-Bushiri untuk mendapatkan syafaat dari Nabi Muhammad SAW.
Bait ke 147 dan 148:
‫ْالقَد َِم َزلَّةَ يَا فَقُلْ وَِإالَّ فَضْ ًل بِيَ ِديْ ٰأ ِخ ًذا َم َعا ِديْ فِ ْي يَ ُك ْن لَ ْم ِإ ْن‬
Jika di akhirat nabi tak ulurkan tangan menolongku sebagai anugerah, maka sampaikanlah
kata “wahai orang yang tergelincir kakinya
ُ‫ار َمهُ الرَّا ِج ْي يَّحْ ِر َم َأ ْن َحا َشاه‬
ِ ‫ُمحْ ت ََر ِم َغ ْي َر ِم ْنهُ ْال َجا ُر يَرْ ِج َع َأوْ َم َك‬
Terlalu jauh (tidak mungkin) apabila nabi menolak tuk memberi syafa’atnya kepada para
pengharap syafaat. Pun tidak mungkin pula seorang tetangga Rasul kan kembali tanpa
mendapatkan penghormatan darinya
Kedua bait di atas menurut Al Azhari bermakna sekiranya Nabi Muhammad SAW
tidak datang menjengukku saat aku menghadap Tuhanku di hari kiamat kelak dengan
mengambil tanganku sebagai bentuk syafaat dan kebaikannya untukku, maka aku akan sulit
menyeberangi jembatan as Shirat al Mustaqim dan kaki ini akan mudah terpeleset ke neraka
jahim, namun tetap berkeyakinan bahwa tidak mungkin Nabi yang begitu mulia akan
memutus harapan seorang insan yang hina dan mengecewakan hati orang yang menjadikan
Nabi penolong.

Ref:

Bakari, Abdul R. I. (2014). Studi Kritis Terhadap Pemikiran Al-Bushiri Dalam

Kasidah Al-Burdah. Pascasarjana Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

Fahriah, Arnis. Tema dan Amanat dalam Qashidah Burdah Karya Imam Al-Bushiri yang
mengandung At-Thibaq (Tinjauan Ilmu Badi’). Fakultas Ilmu, Budaya Jurusan Sastra
Arab, Universitas Padjadjaran.

Anda mungkin juga menyukai