Anda di halaman 1dari 11

Hijrah dalam Keikhlasan

‫بسم الله الرحمن الرحيم‬

ِ ‫ْن َأ ِبي َخالِ ٍد َعنْ ال َّشعْ ِبيِّ َعنْ َع ْب ِد هَّللا ِ ب‬


ُ ‫ْن َع ْم ٍرو َرضِ َي هَّللا‬ ِ ‫ْن َأ ِبي ال َّس َف ِر َوِإسْ مَاعِ ي َل ب‬
ِ ‫شعْ َب ُة َعنْ َع ْب ِد هَّللا ِ ب‬ ٍ ‫َح َّد َث َنا آدَ ُم بْنُ َأ ِبي ِإ َي‬
ُ ‫اس َقا َل َح َّد َث َنا‬
)‫ُون مِنْ ل َِسا ِن ِه َو َي ِد ِه َو ْال ُم َها ِج ُر َمنْ َه َج َر َما َن َهى هَّللا ُ َع ْن ُه (متفق عليه‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َقا َل ْالمُسْ لِ ُم َمنْ َسلِ َم ْالمُسْ لِم‬ َ ِّ‫َع ْن ُه َما َعنْ ال َّن ِبي‬

Dari Abdullah bin Amru bin Ash ra, bahwa Nabi Muhammad SAW
bersabda, 'Soerang muslim adalah orang yang menjadikan muslim lainnya
merasa selamat dari lisan dan tangan (perbuatannya). Sedangkan muhajir
(orang yang hijrah) adalah orang yang meninggalkan segala yang dilarang
Allah SWT. (Muttafaqun Alaih).

Hadits ini merupakan hadits sahih yang diriwayatkan oleh hampir seluruh
Imam Hadits, yaitu Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Turmudzi, Imam
Abu Daud, Imam Ahmad bin Hambal, dsb. Dalam Imam-Imam kitab hadits
yang enam (baca ; kutubus sittah), hanya Imam Ibnu Majah yang tidak
meriwayatkan hadits ini. Dan hampir semua Imam ahli hadits sepakat akan
kesahihan hadits ini.

Secara umum hadits di atas menggambarkan tentang dua hal besar;


pertama karakter orang beriman, dan kedua makna hijrah. Kedua hal
tersebut dirangkai dalam satu penjelasan singkat dari Rasulullah SAW
melalui hadits di atas. Penjelasan pertama adalah bahwa karakter
mendasar orang yang beriman (muslim), yaitu sebagai orang yang
keberadaannya menetramkan orang lain. Artinya orang lain tidak merasa
'terganggu' dengan kehadirannya, baik secara lisan maupun perbuatannya.
Bahkan kehadirannya selalu dinantikan dan 'dielu-elukan' oleh orang lain.
Sikapnya terjaga, perilakunya terkontrol, ucapannya menyejukkan,
ungkapannya menentramkan dan statementnya memajukan umat.
Sementara hal yang kedua, yaitu hakekat hijrah. Bahwa hijrah yang hakiki
sesungguhnya bermakna meninggalkan segala yang dilarang oleh Allah
dan Rasul-Nya. Baik yang lahir (terlihat/ nyata/ rii) maupun yang batin
(tidak nyata, perkara hati, ghaib). Namun untuk merealisasikan tujuan
hijrah tersebut, seseorang dapat meninggalkan sebuah tempat (teritorial)
menuju tempat yang lainnya jika di tempat yang awal ia tidak dapat
melaksanakan ketaatan kepada Allah SWT. Hijrah yang seperti ini
dinamakan juga dengan hijrah makani. Sedangkan hijrah dalam arti yang
lebih luas sebagaimana digambarkan dalam hadits di atas, sering disebut
juga dengan hijrah ma'nawi.

Dalam hijrah, komponen yang terpenting adalah 'niat'. Hal ini dapat kita
lihat dari kisah muhajir Ummu Qais. Dimana terdapat seorang shahabiah
yang bernama Ummu Qais, yang ingin hijrah melaksanakan perintah Allah
dan Rasul-Nya dari Mekah ke Madinah. Namun pada saat yang
bersamaan, terdapat seseroang yang 'menyukai' Ummu Qais ini. Dan
singkat cerita berhijrahlah pula orang tadi, namun dengan harapan dan
tujuan untuk mendapatkan 'cintanya' Ummu Qais.

Akhirnya Rasulullah SAW bersabda dengan sebuah hadits yang cukup


masyhur, yaitu hadits tentang niat; 'Bahwasanya segala amal perbuatan
tergantung niatnya. Dan bahwasanya bagi setiap orang akan mendapatkan
apa yang diniatkannya. Barang siapa yang berhijrah karena mengharapkan
keridhaan Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya tersebut akan
mendapatkan pahala keridhaan Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa
yang berhijrah karena kepentingan dunia, atau karena wanita yang ingin
dinikahinya, maka hijrahnya tersebut akan mendapatkan apa yang telah
diniatkannya'. (Muttfaqun Alaih)

Makna Keikhlasan
Ikhlas berasal dari bahasa Arab, yang sudah menjadi istilah dalam bahasa
Indonesia. Dari bahasa asalnya, ikhlas berasal dari kata "akhlasha", yang
berarti bersih, murni dan jernih. Dari kata dasar ini, membentuk infinitifnya
(masdar) menjadi "ikhlasan". Sedangkan orang yang ikhlas adalah
"mukhlis":
‫ وهو مخلص‬- ‫ إخالصا‬- ‫ يخلص‬- ‫أخلص‬

Adapun dari segi istilahnya, para ulama memberikan ekspresi bahasa yang
beragam, sesuai dengan kecendrungan dan spesialisasi mereka masing-
masing.

• Al-Imam Al-Mar'asyi umpamanya, beliau mengemukakan bahwa ikhlas


adalah kesamaan amalan seorang hamba yang dilakukannya secara
dzahir dan bathin.

• Imam Abu Qasim al-Qusyairi membahasakannya dengan, "memaksudkan


amalan dengan mensatukan tujuan dalam ketaatannya kepada Allah SWT.

• Sedangkan Imam al-Susy, mendefinisikannya dengan, "hilangnya rasa


keikhlasan dalam amalan yang dilakukannya, karena orang yang merasa
terdapat keikhlasan pada keikhlasannya, maka sesungguhnya
keikhlasannya itu membutuhkan keikhlasan."

• Dan seorang ulama kontemporer, yaitu Ali Abdul Halim Mahmud,


mengemukakan bahwa hakekat keikhlasan adalah berlepas diri dari
sesuatu selain Allah SWT, yaitu bersihnya perkataan, perbuatan, atau
meninggalkan sesuatu hal dengan tujuan mencari ridha Allah dan pahala
dari-Nya.

Apapun ungkapan yang mereka bahasakan dengan definisi yang mereka


berikan, pada hakekatnya mereka semua memiliki kesamaan pandangan
bahwa keikhlasan merupakan menfokuskan tujuan suatu amalan, hanya
semata-mata untuk Allah dan kepada Allah, dengan menjauhkan diri dari
tujuan-tujuan lain yang bukan kepada Allah.

Urgensi Keikhlasan

Dalam kehidupan yang dijalani oleh manusia, kiekhlasan memiliki posisi


yang sangat penting. Karena tanpa keikhlasan, maka amalan seseorang
diibaratkan seperti jasad yang tidak memiliki ruh lagi. Berikut adalah
beberapa urgensi keikhlasan:

1. Ikhlas merupakan suatu perintah/ kewajiban dari Allah. (QS.98: 5)


"Padahal mereka tidaklah disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan keikhlasan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus,
dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang
demikian itulah agama yang lurus."

2. Keikhlasan merupakan bukti dan sarana ketaqwaan seseorang.

3. Kehidupan dan kematian akan dipersembahkan kepada Allah SWT. Dan


bagaimana persembahan akan diterima, jika tidak dibarengi dengan
keikhlasan?

4. Keikhlasan merupakan hal yang sangat diperlukan guna menjadi hamba


yang terbaik amalannya, sebagai perealisasian cobaan yang Allah berikan
pada insan. (QS.67: 2) "Yang menjadikan kamu mati dan hidup, supaya
Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia
Maha Perkasa lagi Maha Pengampun."

5. Ikhlas merupakan syarat pertemuan antara seorang hamba dengan


Rab-nya baik di dunia maupun di akhirat. (QS.18 : 110) "Dan barang siapa
yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang saleh dan jenganlah ia mempersekutukan
seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya."

Ikhlas dan Riya'

Ketika mengkaji tentang keikhlasan, muncullah sebuah persepsi


pentingnya menghindarkan amalan dari riya. Karena riya merupakan lawan
kata dari ikhlas. Dan riya ini pulalah yang dapat menghancurkan keikhlasan
seorang hamba yang telah sekian lama diusahakannya. Memahami riya
meruapakan hal yang cukup urgen, guna membantu dalam peningkatan
keikhlasan.

Berbeda dengan ikhlas, maka riya adalah memaksudkan amalan yang


dilakukan seseorang guna mendapatkan keridhoan manusia, baik berupa
pujian, ketenaran, atau sesuatu yang diinginkannya selain Allah SWT. Dr.
Sayid Muhammad Nuh, menggambarkan adanya tiga sebab yang
memotori timbulnya riya: Pertama karena ingin mendapatkan pujian dan
nama baik di masyarakat. Kedua, kekhawatiran mendapat celaan manusia,
dan ketiga, menginginkan sesuatu yang dimiliki orang lain (tamak). Ketiga
hal ini didasari dari hadits, yang diriwayatkan Imam Bukhari:

َ َّ‫ َأنَّ َأعْ َر ِاب ًّيا َسَأ َل ال َّن ِبي‬،ُ‫َعنْ َأ ِبيْ م ُْو َسى َرضِ َي هللاُ َع ْنه‬
‫ َوالرَّ ُج ُل ُي َقا ِت ُل لِي َُرى‬،‫ الرَّ ُج ُل ُي َقا ِت ُل َح ِمي ًَّة‬،ِ‫صلَّى هللاٌ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َف َقا َل َيا َرس ُْو َل هللا‬
ْ ْ
ِ ‫ِي العُل َيا َفه َُو فِيْ َس ِبي ِْل‬
‫هللا‬ َ ُ َّ َ
ِ ‫صلى هللاُ َعل ْي ِه َو َسل َم َمنْ َقا َت َل لِ َتك ْو َن َكلِ َمة‬
َ ‫هللا ه‬ َّ َ ُّ‫ َف َقا َل الن ِبي‬،‫ َوالرَّ ُج ُل ُي َقا ِت ُل ل ِِّلذ ْك ِر‬،ُ‫َم َكا ُنه‬
َّ

"Dari Abu Musa al-Asyari ra, mengatakan bahwa seorang Badui bertanya
kepada Rasulullah SAW, "Wahai Rasulullah SAW, seseorang berperang
karena kekesatriaaan, seseorang berperang supaya posisinya dilihat oleh
orang, dan seseorang berperang karena ingin mendapatkan pujian?
Rasulullah SAW menjawab "Barang siapa yang berperang karena ingin
menegakkan kalimatullah, maka dia fi sabilillah." (HR. Bukhari)

Kemudian, hadits riwayat An-Nasai:

َ ‫ َمنْ َغ َزا الَ َي ْبغ‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬


‫ِي ِإالَّ عِ َقاالً َفلَ ُه َما َن َوى‬ ِ ‫َقا َل َرس ُْو ُل‬
َ ‫هللا‬

"Barang siapa yang berperang hanya kerena kekang hewan, maka ia


hanya akan mendapatkan apa yang diniatkannya." (HR. Nasa'i)

Ungkapan dalam hadits pertama, tentang seseorang yang berperang


supaya posisinya dilihat orang dan seseorang yang berperang supaya
mendapatkan pujian, adalah sebagai indikasi penyebab riya yang pertama,
yaitu ingin mendapatkan pujian dan nama baik di masyarakat. Kemudian
ungkapan dalam hadits tentang seseorang yang berperang karena
kekesatriaan, adalah indikasi dari penyebab yang kedua, yaitu kekhwatiran
mendapatkan celaan manusia. Adapun dalam hadits yang kedua, adalah
indikasi dari penyebab yang terakhir, yaitu menginginkan sesuatu yang
dimiliki orang lain. Meninggalkan ketiga hal di atas adalah merupakan
salah satu upaya guna menghadirkan keikhlasan dalam beramal, sekaligus
menghindari dir dari sifat riya.

Riya Adalah Syirik Kecil

Riya' adalah syirik kecil; demikianlah ungkapan yang dikemukakan


Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad bin Hambal dalam musnadnya. Rasulullah SAW bersabda:

‫ َيقُ ْو ُل هللاُ َع َّز َو َج َّل‬،ُ‫ك ْاَألصْ غَ ُر َيا َرس ُْو َل هللاِ؟ َقا َل الرِّ َياء‬
ُ ْ‫ َقالُ ْوا َو َما ال ِّشر‬،ُ‫ك ْاَألصْ غَ ر‬
ُ ْ‫ف َما َأ َخافُ َعلَ ْي ُك ْم ال ِّشر‬
َ ‫ِإنَّ َأ ْخ َو‬

)‫َي ْو َم ْالقِ َيا َم ِة ْاذ َهب ُْوا ِإلَى الَّذِيْ ُت َراء ُْو َن فِي ال ُّد ْن َيا َه ْل َت ِجد ُْو َن عِ ْن َد ُه ُم ْال َج َزا َء (رواه أحمد‬

"Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan terjadi pada kalian


adalah syirik kecil." Para sahabat bertanya, "Apa itu syirik kecil wahai
Rasulullah SAW?", Beliau menjawab, "Riya.! Dan Allah akan berkata pada
hari kiamat, terhadap mereka-meeka yang riya, 'pergilah kalian kepada
orang-orang yang dahulu di dunia kalian rya'i, apakah kalian mendapatkan
ganjaran dari mereka?" (HR. Ahmad)

Meskipun kecil, riya tetaplah bagian dari syirik yang harus disingkirkan
jauh-jauh dari hati kaum mu'minin. Sesuatu yang kecil, bila dibiarkan
tumbuh berkembang, maka lambat laun akan menjadi besar. Dan alangkah
meruginya, jika sesuatu yang negatif yang demikian besarnya, ternyata
bercokol di dalam hati orang mu'min. Sedangkan syirik merupakan dosa
yang tidak akan mendapatkan ampunan dari Allah SWT.
Ciri-ciri Riya' dan Ikhlas

Terdapat sebuah ungkapan yang dikemukakan oleh seorang sahabat


Rasulullah SAW yang sangat zuhud kehidupannya, beliau juga termasuk
salah seorang dari empat khulafa' rasydin, yang juga mendapatkan berita
gembira untuk masuk dalam surga Allah kelak. Beliau adalah Ali bin Abi
Thalib. Ali bin Abi Thalib mengemukakan, tentang ciri-ciri riya' yang
terdapat dalam jiwa seseorang:

‫ َو َي ْنقُصُ ِإ َذا ُذ َّم‬،‫ َو َي ِز ْي ُد فِي ْال َع َم ِل ِإ َذا ُأ ْث َنى‬،‫اس‬ ُ ‫ َو َي ْن َش‬،ُ‫ان َوحْ دَ ه‬


َ ‫ط ِإ َذا َك‬
ِ ‫ان فِي ال َّن‬ ٌ ‫ ل ِْلم َُراِئيْ َعالَ َم‬،ُ‫َقا َل َعلِيٌّ َكرَّ َم هللاُ َوجْ َهه‬
َ ‫ َي ْك ُس ُل ِإ َذا َك‬،‫ات‬

"Orang yang riya, terdapat beberapa ciri, (1) malas, jika seorang diri, (2)
giat jika di tengah-tengah orang banyak, (3) bertambah semangat beramal
jika mendapatkan pujian, (4) berkurang frekwensi amalnya jika
mendapatkan celaan."

Sedangkan orang yang ikhlas adalah kebalikan dari hal tersebut diatas.
Adapun ciri-cirinya, diantaranya adalah;

1. Istiqamah/ istimrar dalam beribadah, baik ketika mendapatkan pujian


ataupun ketika mendapatkan celaan atas perbuatannya tersebut.

2. Membenci atau menghindari diri dari popularitas. Karena amalnya


semata-mata hanya karena ingin mendapatkan keridhaan Allah SWT.

3. Menyembunyikan amalan, dalam arti tidak menyengaja dalam


mengerjakan suatu amalan agar dilihat orang lain.

4. Su'udzon terhadap diri sendiri, hingga tidak membanggakan amal


pribadi. Artinya dirinya senantiasa merasa kurang sempurna dalam
beramal. Sehingga ia selalu memperbaiki dengan amalan yang lebih baik
lagi.

Assidqu fil Ikhlas

Pada intinya, keikhlasan menginginkan bagaimana seorang hamba mampu


memberikan porsi ketawazunan (baca; keseimbangan) dalam amalannya
antara yang dzahir dan bathin. Karena yang diinginkan dari ikhlas adalah
adanya kesamaan dalam kedua amalan ini, baik yang dzhir (amalan yang
terlihat oleh orang lain), maupun yang bathin (yang hanya diketahui sendiri
oleh dirinya). Jika amalan dzahirnya melebihi amalan bathinnya, berarti
terdapat indikasi keriyaan. Contoh amalan yang dilakukan secara bathin
adalah senantiasa hati seseorang "basah" dengan dzikir kepada Allah,
dimanapun dan kapanpun dia berada. Demikian juga dalam kesendirian-
kesendiriannya, ia justru memperbanyak dzikir dan melakukan aktivitas
ibadah, bukan malah merupakan kesempatan untuk berlaku maksiat.

Jika seseorang telah mampu menyeimbangkan antara kedua hal di atas,


ini berarti telah terdapat indikasi keikhlasan dalam dirinya. Apalagi jika
seseorang yang memiliki amalan bathin, jauh lebih banyak dan lebih besar
frekwensinya daripada amalan dzahirnya, maka ia telah mencapai assidqu
fil ikhlas (keikhlasan yang sebenar-benarnya).

Cara Menghadirkan Keikhlasan dan Menghindari Riya'


Para ulama berupaya memberikan berbagai jalan guna menemukan kiat-
kiat agar terhindar dari keriyaan serta mampu menghadirkan keikhlasan
dalam jiwa. Diantara cara yang mereka tawarkan adalah:

1. Menghadirkan sikap muraqabatullah, yaitu sikap yang menghayati


bahwa Allah senantiasa mengetahui segala gerak-gerik kita hingga yang
sekecil-kecilnya, bahkan yang tergores dan terlintas dalam hati sekalipun
yang tidak pernah diketahui oleh siapapun. Dalam sebuah hadits
Rasulullah SAW mengungkapkan, "..dan sempurnakanlah amal, karena
Sang Pengawas (Allah) Maha Melihat.,

‫َوَأ ْتق ِِن ْال َع َم َل َفِإنَّ ال َّناقِ َد بَصِ ْي ٌر‬

2. Seseorang perlu menyadari dan meyakini, bahwa dengan riya, seluruh


amalannya akan tidak memiliki arti sama sekali. Amalannya akan hilang
sia-sia dan akan musnah. Serta dirinya tidak akan pernah mendapatkan
apapun dari usahanya sendiri.

3. Dirinya pun perlu menyadari, bahwa lambat launpun manusia akan


mengetahui apa yang terdapat di balik amalan-amalan baik yang
dilakukannya, baik di dunia apalagi di akhirat kelak.

4. Dirinya juga perlu meyadari pula bahwa dengan riya, seseorang dapat
diharamkan dari surga Allah. Dalam hadits digambarkan, bahwa Rasulullah
SAW menangis, karena takut umatnya berbuat riya'. Kemudian beliau
berkata, "Barang siapa yang belajar ilmu pengetahuan bukan kerena
mencari keridhoan Allah tapi karena keinginan duniawi, maka dia tidak
akan mencium baunya surga."
5. Banyak berdzikir kapada Allah SWT, terutama manakala sedang
menjalankan suatu amalan, yang tiba-tiba muncul pula niatan riya. Hal ini
sebaiknya segera diterapi dengan dzikir.

Inilah sekelumit hal mengenai keikhlasan, yang patut dihadirkan dan dijaga
dalam diri tiap insan. Keikhlasan bukan hanya monopoli mereka-mereka
yang pakar dalam ilmu keagamaan, atau mereka-mereka yang
berkecimpung dalam keilmuan syar'iyah. Namun keikhlasan adalah potensi
setiap insan dalam melakukan amalan ibadah kepada Allah. Bahkan tidak
sedikit mereka-mereka yang dianggap biasa-biasa saja, ternyata memiliki
keluarbiasaan dalam keimanannya kepada Allah.

Jika demikian halnya, marilah memulai dari diri pribadi masing-masing,


untuk menghadirkan keikhlasan, meningkatkan kualitasnya dan
menjaganya hingga ajal kelak menjemput kita.

Wallahu A'lam bis Shawab

By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag.

Sumber : http://www.eramuslim.com/syariah/tafsir-hadits/hijrah-dalam-
keikhlasan.htm

Anda mungkin juga menyukai