Anda di halaman 1dari 2

Gelas-Gelas Kristal; Manajemen Emosi Wanita (Bagian ke-2)

Oleh: Dr. Setiawan Budi Utomo

Muslimah (photobucket.com)dakwatuna.com – Dalam manajemen emosi wanita untuk memperlakukan


gelas-gelas kristal ini secara hati-hati dan lembut – agar tetap terawat dalam keindahannya dan dapat
menikmati kebersamaan dengannya dengan kondisi tetap utuh bening berkilau – maka Islam
menganjurkan suami berlemah lembut kepada istri (An-Nisa:19). Menurut Syeikh Rasyid Ridha dalam
Tafsir Al-Manar, ayat ini berarti, “wajib bagi kalian kaum mukmin untuk mempergauli istri-istri kalian
dengan baik, yaitu menemani hidup dan mempergauli mereka dengan ma’ruf yang lazim dan berkenan
di hati mereka serta tidak melanggar aturan syariat, tradisi dan kesopanan. Karena itu, mempersempit
jatah nafkah, menyakiti fisik dan perasaan pasangan dengan perbuatan dan perkataan, sikap dingin dan
masam, semua itu tidak termasuk pergaulan yang ma’ruf.”

Dalam konteks perlakuan baik terhadap istri dan keluarga, Rasulullah saw pernah memantang para
suami dengan sabdanya: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya (keluarganya) dan
aku adalah sebaik-baik orang terhadap istriku (keluargaku).” (HR. Ibnu Majah).

Pada dasarnya, rumah tangga itu ditegakkan atas dasar mawaddah (kasih asmara), yakni hubb (cinta
kasih). Cinta yang tulus akan memotivasi sikap kooperatif, kompromistis, dan apresiatif yang saling
mementingkan pasangannya, sehingga masing-masing akan memberikan hak pasangannya melebihi
kewajibannya, dan tidak hanya menuntut haknya sendiri. Namun untuk itu, suami-istri harus bersabar
atas kelemahan dan kekurangan bahkan kesalahan masing-masing pasangannya. Dalam Tafsir Al-Manar
menjelaskan maksud ayat dari surat An-Nisa:19 adalah bahwa, “kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka, karena suatu cacat pada fisik atau wataknya yang tidak termasuk kategori dosa karena urusan
itu di luar kekuasaannya, atau kurang sempurna dalam melaksanakan kewajibannya dalam mengatur dan
mengurusi rumah tangga, karena tidak ada orang yang sempurna, atau ada kecenderungan dalam
hatimu pada selain pasanganmu, maka bersabarlah dan jangan gegabah menjatuhkan keputusan dan
vonis pada mereka dan jangan tergesa menceraikan mereka, karena mungkin kamu tidak menyukai
sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

Manajemen emosi dengan baik dalam arti bersabar atas tabiat dan keadaan kodratinya bahkan perilaku
pasangan dengan tetap mentarbiyah dengan ihsan dalam dinamika keluarga akan membuahkan sikap
cinta yang tulus, murni dan tanpa dibuat-buat. Senyuman, belaian dan perlakuan kasih yang diberikan
adalah tulus ibarat merekahnya bunga alami dan bukan seperti senyuman basa-basi bagaikan
merekahnya bunga imitatif atau bunga plastik. Sesuatu kebajikan dan sikap baik harus tumbuh dari
kesadaran nurani yang ikhlas bila ingin mendapatkan timbal balik yang tulus. Kebaikan dan kebahagiaan
pasangan tidak dapat dijamin hanya dengan nafkah lahir materi, namun justru perlakuan dan sikap
sehari-hari yang simpatik adalah yang lebih efektif dalam menggaet hati pasangan dan akan memaklumi
segala kekurangan fisik dan materi yang ada. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya kalian tidak akan
dapat memuaskan orang hanya dengan harta kalian, namun kalian akan dapat memuaskan orang dengan
tatapan simpatik dan akhlaq yang baik.”

Keahlian manajemen emosi ini kita dapat melihat pada perilaku dan pola hubungan suami istri pada
zaman Rasulullah saw. Kita melihat bagaimana Aisyah ra., ketika sedang emosi dan merasa jengkel
terhadap Nabi saw, maka beliau tidak mengumbarnya, tetapi hanya diekspresikan melalui gaya bahasa
yang berubah lain dari kebiasaan ketika sedang suka dan Nabi pun tanggap dengan cepat menangkap
isyarat ketidaksukaan istrinya tersebut serta menyikapinya dengan penuh kesabaran dan introspeksi.
Suatu hari Rasulullah saw mengatakan kepada istrinya, Aisyah ra, “saya sangat mengenal, jika kamu
sedang suka padaku maupun jika kamu sedang jengkel.” Lalu Aisyah bertanya, “bagaimana engkau dapat
mengetahuinya?” beliau menjawab, “jika kamu sedang suka, maka kamu menyatakan (dalam sumpah)
‘tidak, demi Rabb Muhammad’, namun jika kamu sedang jengkel, menyatakan, ‘tidak, demi Rabb
Ibrahim’. (HR. Muslim).

Sikap demikian bukan merupakan kekurangan Aisyah, justru merupakan kelebihannya dalam mengelola
emosi sehingga tidak melanggar norma kesopanan dan menggoyang keharmonisan keluarga. Sehingga
Imam Muslim memasukkan hadits tersebut dalam judul ‘fadlu (keutamaan) Aisyah’ dari Bab Fadhail
Shahabah.

Manajemen emosi di sini bukan berarti mematikan dan membekukan perasaan, tetapi justru kaum
wanita harus dapat bersikap ekspresif, komunikatif dan proaktif, baik terhadap suami maupun keluarga.
Dengan demikian, akan terbangun komunikasi sehat yang lancar tanpa ada sumbatan dan hambatan
apapun. Inilah yang menyehatkan hubungan dalam rumah tangga. Sebagaimana aliran air dan tekanan
udara yang terhambat, tersendat ataupun tersumbat akan beresiko mendatangkan malapetaka.

Di samping itu, dalam manajemen emosi diperlukan sikap arif kaum wanita untuk tidak memancing ego
dan emosi suami untuk menggunakan kekerasan karena kejengkelan dan kebenciannya yang memuncak,
sehingga dapat mematahkan tulang yang berlekuk tadi, atau memecahkan gelas kristal yang berdimensi
tersebut. Artinya, bila tidak ingin dipatahkan atau dipecahkan, maka jangan menempatkan diri pada
posisi menantang, melintang atau sembarangan sehingga mengundang perlakuan semena-mena atau
kasar. Ibarat air maka sebenarnya yang dibutuhkan adalah alirannya dalam ketenangan dan
kejernihannya sehingga dapat menghanyutkan perasaan pasangan dan mengalir ke satu arah dan bukan
gemuruh riak yang memuakkan ataupun bukan ketenangan air yang menggenang yang membawa
penyakit ataupun kotoran.

Pribadi yang shalihah adalah yang dapat mengelola emosi menjadi sebuah potensi yang membangun
dan bukan merusak, merekatkan dan bukan meretakkan, mengokohkan dan bukan merobohkan serta
mudah memberikan toleransi atau maaf pada orang lain. Sifat ini merupakan salah satu kunci
kebahagiaan, kebaikan dan kelestarian rumah tangga. Allah berfirman: “dan orang-orang yang menahan
amarah (emosi)nya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan.” (QS. Ali Imran:134)

Wallahu A’lam Wa Billahit Taufiq wal Hidayah.

Sumber : http://www.dakwatuna.com/2009/gelas-gelas-kristal-manajemen-emosi-wanita-bagian-ke-2/

Anda mungkin juga menyukai