Harmonis adalah perpaduan dari berbagai warna karakter yang membentuk kekuatan eksistensi sebuah benda. Perpaduan inilah yang
membuat warna apa pun bisa cocok menjadi rangkaian yang indah dan serasi.
Warna hitam, misalnya, kalau berdiri sendiri akan menimbulkan kesan suram dan dingin. Jarang orang menyukai warna hitam secara
berdiri sendiri. Tapi, jika berpadu dengan warna putih, akan memberikan corak tersendiri yang bisa menghilangkan kesan suram dan
dingin tadi. Perpaduan hitam-putih jika ditata secara apik, akan menimbulkan kesan dinamis, gairah, dan hangat.
Seperti itulah seharusnya rumah tangga dikelola. Rumah tangga merupakan perpaduan antara berbagai warna karakter. Ada karakter
pria, wanita, anak-anak, bahkan mertua. Dan tak ada satu pun manusia di dunia ini yang bisa menjamin bahwa semua karakter itu
serba sempurna. Pasti ada kelebihan dan kekurangan.
Nah, di situlah letak keharmonisan. Tidak akan terbentuk irama yang indah tanpa adanya keharmonisan antara nada rendah dan
tinggi. Tinggi rendah nada ternyata mampu melahirkan berjuta-juta lagu yang indah.
Dalam rumah tangga, segala kekurangan dan kelebihan saling berpadu. Kadang pihak suami yang bernada rendah, kadang isteri
bernada tinggi. Di sinilah suami-isteri dituntut untuk menciptakan keharmonisan dengan mengisi kekosongan-kekosongan yang ada
di antar mereka.
Ada empat hal yang mesti diperhatikan untuk menciptakan keharmonisan rumah tangga.keempatnya adalah:
Karena itu, hadapilah kenyataan yang saat ini kita hadapi. Inilah masalah kita. Jangan lari dari masalah dengan melongkok ke
belakang. Atau, na’udzubillah, membayangkan sosok lain di luar pasangan kita. Hal ini akan membuka pintu setan sehingga kian
meracuni pikiran kita.
2. Berpikir objektif
Kadang, konflik bisa menyeret hal lain yang sebetulnya tidak terlibat. Ini terjadi karena konflik disikapi dengan emosional. Apalagi
sudah melibatkan pihak ketiga yang mengetahui masalah internal rumah tangga tidak secara utuh.
Jadi, cobalah lokalisir masalah pada pagarnya. Lebih bagus lagi jika dalam memetakan masalah ini dilakukan dengan kerjasama dua
belah pihak yang bersengketa. Tentu akan ada inti masalah yang perlu dibenahi.
Misalnya, masalah kurang penghasilan dari pihak suami. Jangan disikapi emosional sehingga menyeret masalah lain. Misalnya, suami
yang tidak becus mencari duit atau suami dituduh sebagai pemalas. Kalau ini terjadi, reaksi balik pun terjadi. Suami akan berteriak
bahwa si isteri bawel, materialistis, dan kurang pengertian.
Padahal kalau mau objektif, masalah kurang penghasilan bisa disiasati dengan kerjasama semua pihak dalam rumah tangga. Tidak
tertutup kemungkinan, isteri pun ikut mencari penghasilan, bahkan bisa sekaligus melatih kemandirian anak-anak.
Berarti, ada satu atau dua kelebihan yang kita sembunyikan dari pasangan kita. Paling tidak, niat ikhlas dia dalam mendampingi kita
karena Allah sudah merupakan kelebihan yang tiada tara. Luar biasa nilainya di sisi Allah. Nah, dari situlah kita memandang. Sambil
jalan, segala kekurangan pasangan kita itu dilengkapi dengan kelebihan yang kita miliki. Bukan malah menjatuhkan atau melemahkan
semangat untuk berubah.
Ketika masalah nyaris tidak menemui ujung pangkalnya, kembalikanlah itu kepada sang pemilik masalah, Allah swt. Pasangkan rasa
baik sangka kepada Allah swt. Tataplah hikmah di balik masalah. Insya Allah, ada kebaikan dari semua masalah yang kita hadapi.
Lakukanlah pendekatan ubudiyah. Jangan bosan dengan doa. Bisa jadi, dengan taqarrub pada Allah, masalah yang berat bisa terlihat
ringan. Dan secara otomatis, solusi akan terlihat di depan mata. Insya Allah!
Keluarga Sakinah, Mawaddah, Warahmah Menurut Islam
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.“ (QS : Ar-Ruum:21)
Dalam ayat diatas, Allah menyampaikan bahwa manusia diciptakan berpasangan antara istri dan suaminya untuk mendapatkan
keternangan, keterntraman, dan kasih sayang. Hal tersebut merupakan tanda kuasa Allah dan nikmat yang diberikan bagi
mereka yang bisa mengambil pelajarannya.
Keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah adalah istilah sekaligus doa yang sering kali dipanjatkan dan diharapkan oleh
para muslim yang telah menikah dan membina keluarga. Keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah tentunya bukan hanya
sekedar semboyan belaka dalam ajaran islam. Hal ini menjadi tujuan dari pernikahan sekaligus nikmat yang Allah berikan bagi
mereka yang mampu membina keluarganya.
Seperti apakah keluarga sakinah, mawaddah, dan warahmah? Dan apa karaktersitiknya keluarga tersebut menjadi keluarga
yang pernuh cinta, berkah dan rahmat-Nya?
Kita bisa melihat keluarga yang tidak sakinah contohnya adalah keluarga yang didalamnya penuh perkelahian, kecurigaan antar
pasangan, bahkan berpotensi terhadap adanya konflik yang berujung perceraian. Ketidakpercayaan adalah salah satu aspek
yang membuat gagal keluarga sakinah terwujud. Misalnya saja pasangan saling mencurigai, adanya pihak atau orang yang
mengguncang rumah tangga atau perlawanan istri terhadap suami. Hukum melawan suami menurut islam tentunya menjadi hal
yang harus diketahui pula oleh istri untuk menjaga sakinah dalam keluarga.
Dengan adanya ketenangan, ketentraman, rasa aman, kedamaian maka keguncangan di dalam keluarga tidak akan terjadi.
Masing-masing anggota keluarga dapat memikirkan pemecahan masalah secara jernih dan menyentuh intinya. Tanpa
ketenangan maka sulit masing-masing bisa berpikir dengan jernih, dan mau bermusyawarah, yang ada justru perdebatan, dan
perkelahian yang tidak mampu menyelesaikan masalah. Konflik dalam keluarga akan mudah terjadi tanpa adanya sakinah
dalam keluarga.
Keluarga yang ada perasaan mawaddah tentunya memunculkan nafsu yang positif (nafsu yang halal dalam aspek pernikahan).
Kita bisa melihat, keluarga yang tidak ada mawaddah tentunya tidak akan saling memberikan dukungan, hambar, yang
membuat rumah tangga pun seperti sepi. Perselingkuhan dalam rumah tangga bisa saja terjadi jika mawaddah tidak ada dalam
keluarga. Masing-masing pasangan akan mencari cinta lain dari orang lain.
Keluarga yang penuh mawaddah bukan terbentuk hanya karena jalan yang instan saja. Perasaan cinta dalam keluarga tumbuh
dan berkembang karena proses dipupuknya lewat cinta suami istri serta anak-anak. Keindahan keluarga mawaddah tentunya
sangat didambakan bagi setiap manusia, karena hal tersebut fitrah dari setiap makhluk.
Makna Keluarga yang Rahmah
Kata Rahmah berasal dari bahasa arab yang artinya adalah ampunan, rahmat, rezeki, dan karunia. Rahmah terbesar tentu
berasal dari Allah SWT yang diberikan pada keluarga yang terjaga rasa cinta, kasih sayang, dan juga kepercayaan. Keluarga
yang rahmah tidak mungkin muncul hanya sekejap melainkan muncul karena proses adanya saling membutuhkan, saling
menutupi kekurangan, saling memahami, dan memberikan pengertian.
Rahmah atau karunia dan rezeki dalam keluarga adalah karena proses dan kesabaran suami istri dalam membina rumah
tangganya, serta melewati pengorbanan juga kekuatan jiwa. Dengan prosesnya yang penuh kesabaran, karunia itu pun juga
akan diberikan oleh Allah sebagai bentuk cinta tertinggi dalam keluarga.
Rahmah tidak terwujud jika suami dan istri saling mendurhakai. Untuk itu perlu memahami pula mengenai ciri-ciri suami
durhaka terhadap istri dan ciri-ciri istri durhaka terhadap suami.
Keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah adalah perintah Allah yang juga diberikan kepada keluarga untuk diwujudkan
bersama. Dengan adanya keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah hal ini akan mampu membantu misi dan tujuan dalam
keluarga yang islami bisa terwujud.
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi. . . . ” (QS Al-Baqarah : 30)
Allah pun menciptakan manusia untuk menjadi khalifah fil ard. Khalifah fil ard artinya adalah manusia melaksanakan
pembangunan dan memberikan manfaat sebanyak-banyaknya untuk kemakmuran di muka bumi lewat jalan apapun. Bisa
menjadi ibu rumah tangga, profesi, memberdayakan ummat, dsb.
Dengan adanya keluarga sakinah yang penuh cinta dan rahmah, maka misi kekhalifahan ini bisa dilakukan dengan penuh
semangat, dukungan dan juga saling membantu untuk menutupi kekurangan. Adanya profesi atau karir dari masing-masing
suami, istri justru bukan malah menjauh dan saling tidak bertatap wajah. Adanya hal tersebut justru membuat mereka saling
mendukung agar masing-masing juga banyak berkarya untuk agama dan bangsa, karena keluarga bagian dari pembangunan
ummat.
Seorang ayah yang bekerja mencari nafkah halal demi menghidupi keluarga dan anak anaknya tentu menjadi pahala dan amal
ibadah sendiri dalam keluarga. Begitupun seorang ibu yang mengurus rumah tangga atau membantu suami untuk menghidupi
keluarga adalah ladang ibadah dan amal shalih tersendiri. Kewajiban istri terhadap suami dalam islam bisa menjadi ladang
ibadah tersendiri. Begitupun Kewajiban suami terhadap istri adalah pahala tersendiri bagi suami dalam keluarga. Mendidik
anak dalam islam juga merupakan bagian dari
Ladang ibadah dan amal shalih hanya akan bisa dilakukan secara kondusif oleh keluarga yang terjaga rasa cinta, sayang, dan
penuh dengan ketulusan dalam menjalankannya. Untuk itu diperlukan keluarga dalam sakinah, mawaddah, wa rahmah yang
bisa menjalankan ibadah dan amal shalih dengan semaksimalnya.
Istri adalah amanah dari suami begitupun sebaliknya. Membangun rumah tangga dalam islam buka hanya amanah suami dan
istri, namun lebih jauh dari itu adalah amanah dari Allah karena pernikahan dalam islam dibentuk atas dasar nama Allah.
Keluarga dan Rumah tangga bukanlah tanpa ada kegoncangan dan ujian, namun atas dasar dan nilai-nilai agama semua itu
mampu diselesaikan hingga redamnya kegoncangan. Keluarga Sakinah, Mawaddah dan warahmah bukan hanya tujuan,
melainkan proses untuk menggapai kebahagiaan lebih dari dunia, yaitu kebahagiaan di akhirat.
Belajar Toleransi Beragama dari Nabi Muhammad
Tidak diragukan lagi bahwa Islam sangat menganjurkan sikap toleransi, tolong-menolong, hidup yang
harmonis dan dinamis di antara umat manusia tanpa memandang agama, bahasa, dan ras mereka. Ayat (Q.S. al-
Mumtahanah: 8-9) di atas menjadi bukti nyata akan hal itu. Allah SWT berfirman “Allah tidak melarang kamu
untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan
tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Allah
hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu, (yaitu) orang-orang yang memerangimu dalam
urusan agama dan mengusirmu dari kampung halamanmu, serta membantu (orang lain) untuk mengusirmu.
Barangsiapa yang menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Imam al-Syaukani menjelaskan bahwa ayat tersebut mengandung makna bahwa Allah tidak melarang umat
Islam untuk berbuat baik kepada kafir dhimmi yaitu orang-orang non Muslim yang mengadakan perjanjian
dengan umat Islam dalam menghindari perperangan dan tidak membantu non-Muslim lainnya dalam
memerangi umat Islam. Di samping itu, ayat di atas juga menunjukkan bahwa Allah tidak melarang kita untuk
bersikap adil dalam bermuamalah dengan mereka. Hal senada juga diungkapkan oleh Imam Ibn Katsir dalam
tafsirnya, bahwa Allah tidak melarang umatnya untuk berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak
memerangi mereka dalam masalah agama, seperti berbuat baik dalam persoalan perempuan dan orang lemah.
Berdasarkan hal itu, Ali Mustafa Yaqub dalam sebuah bukunya menegaskan bahwa ayat ini merupakan dalil
yang mewajibkan umat Islam untuk berbuat baik kepada non Muslim, selama mereka tidak memerangi dan
mengusir umat Islam dari negeri mereka serta tidak membantu orang lain untuk mengusir umat Islam dari
negeri mereka. Bahkan Nabi Muhammad SAW mengancam umat Islam yang memerangi non Muslim yang
seperti ini dengan peringatan keras dan tegas untuk tidak memasukkan mereka ke dalam sorga. Dalam sebuah
hadis riwayat Bukhari, Rasulullah bersabda:
َ َم ْن قَت َ َل ُم َعا َهدًا لَ ْم يَ ِرحْ َرائِ َحةَ ْال َجنَّ ِة َو ِإ َّن ِري َح َها تُو َجدُ ِم ْن َمس
ِيرةِ أ َ ْربَ ِعينَ َعا ًما
“Barangsiapa yang membunuh non-Muslim yang terikat perjanjian dengan umat Islam, maka ia tidak akan
mencium keharuman sorga. Sesungguhnya keharuman sorga itu bisa dicium dari jarak 40 tahun perjalanan di
dunia.” (H.R. Bukhari)
Dalam catatan sejarah diceritakan juga bagaimana santunnya Nabi ketika bergaul dengan orang-orang Yahudi
dan kaum munafik ketika berada di Kota Madinah pascahijrah. Rasulullah tetap menerima sikap lahiriah
mereka dan membiarkan para ahli kitab untuk memeluk agamanya dengan bebas. Bahkan beliau melarang para
sahabatnya untuk memerangi dan menyakiti mereka. Banyak hadis-hadis sahih yang menjelaskan sikap
toleransi yang dipegang teguh oleh Nabi ketika berinteraksi dengan orang-orang non Muslim di sekitarnya.
Misalnya saja kisah Nabi yang pernah menggadaikan baju perangnya kepada Abu Syahm, seorang Yahudi.
Begitu pula dengan sikap beliau dalam bergaul dengan sebagian tamu-tamu perempuan Yahudi serta
keramahan beliau ketika menyambut orang-orang Nasrani Najran di Masjid Nabawi sebagaimana tersebut
dalam riwayat Ibn Ishak dan Ibn Sa’ad.
Namun Ali Mustafa menegaskan bahwa sikap toleransi yang dimaksud di sini hanyalah dalam masalah
keduniaan yang tidak berhubungan dengan permasalahan akidah dan ibadah. Adapun toleransi dalam masalah-
masalah ini, yang menyebabkan seorang Muslim melaksanakan sebagian dari ritual non Muslim seperti
Yahudi, Kristen, dan orang-orang musyrik lainnya, baik dalam perkataan, perbuatan, dan akidah adalah
terlarang. Kendati demikian, sebagian ulama kontemporer ada yang membolehkan hal-hal seperti mengucapkan
selamat hari raya kepada non Muslim selama sang Muslim yang bersangkutan tidak meyakini kebenaran dari
ajaran agama mereka.
Konsep toleransi dalam Islam berbeda dengan paham pluralisme yang digembar-gemborkan oleh sebagian
pemikir Muslim belakangan. Mereka menganggap bahwa semua ajaran agama bermuara kepada tujuan dan
maksud yang sama, bahkan mereka menganggap benar semua agama-agama yang ada dan pemeluknya akan
masuk surga bersama-sama dengan umat Islam kelak. Padahal sebenarnya tidak demikian, kita harus jeli dalam
memahami persoalan ini. Memang benar Islam mengakui adanya pluralitas agama dengan dalil firman Allah
SWT dalam surat al-Kafirun ayat ke-6 yang berbunyi:
ِين
ِ يدَ لَ ُك ْم دِينُ ُك ْم َو ِل
“Untukmu agamamu dan untukku agamaku”.
Ayat ini turun ketika sekelompok kafir Quraisy datang menghadap Nabi SAW, lalu mengajak Nabi untuk
menyembah tuhan mereka selama satu tahun dan mereka pun akan menyembah sesembahan Nabi yaitu Allah
SWT juga dalam waktu satu tahun. Lalu Allah menurunkan ayat ini, sebagai penegasan bahwa Islam tidak
mengakui kebenaran ajaran agama-agama selain ajaran Islam sendiri, walaupun Islam mengakui keberadaan
agama-agama tersebut.
Sehingga dapat disimpulkan di sini bahwa pengakuan Islam terhadap keberadaan agama lain telah ada
semenjak masa Nabi Muhammad SAW sampai saat sekarang. Namun yang perlu digarisbawahi di sini adalah
bahwa Islam tidak pernah mengakui kebenaran agama lain. Andaikata Islam mengakui kebenaran agama lain
dan para pemeluknya akan masuk sorga bersama umat Islam, maka pelaksanaan dakwah kepada umat manusia
tidak diperlukan lagi, karena mereka kelak akan masuk sorga bersama umat Islam. Padahal Nabi pada masa
hidupnya senantiasa mendakwahkan Islam kepada setiap orang-orang musyrik yang berada di sekitar beliau,
baik dari kalangan raja-raja, bangsawan, rakyat jelata, dan pemimpin-pemimpin non Muslim yang ada pada
saat itu. Rasulullah pernah bersabda dalam sebuah hadis riwayat Muslim:
ى ث ُ َّم َي ُموتُ َولَ ْم يُؤْ ِم ْن ٌّ س ُم َح َّم ٍد ِبيَ ِد ِه الَ َي ْس َم ُع ِبى أ َ َحدٌ ِم ْن َه ِذ ِه األ ُ َّم ِة َي ُهو ِد
ْ َى َوالَ ن
ٌّ ص َرا ِن ُ َوالَّذِى نَ ْف
ب النَّار
ِ ص َحا ْ َ ِبالَّذِى أ ُ ْر ِس ْلتُ ِب ِه ِإالَّ َكانَ ِم ْن أ
Demi Allah yang menguasai jiwaku, tidak seorang pun yang mendengar diriku dari umat ini, baik Yahudi
maupun Nasrani kemudian ia mati tanpa beriman kepada risalah yang kubawa melainkan ia menjadi penghuni
neraka. (H.R. Muslim)
Dengan demikian, letak perbedaan antara toleransi dengan paham pluralisme agama dalam Islam sangat jelas.
Islam mengakui dan sangat menganjurkan toleransi antar umat beragama. Namun sebaliknya Islam sangat
menentang keras ajaran pluralisme yang membawa kepada keyakinan bahwa semua agama adalah benar.
Karena satu-satunya agama di sisi Allah itu hanyalah Islam semata. (Ali ‘Imran: 19)