Anda di halaman 1dari 3

Idul Fitri dan Syawalan/halal bihalal bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.

Hari
Raya Idul Fitri merupakan perayaan tahunan yang sifatnya syar’i, karena ditetapkan secara
syari’at yang dirayakan setelah umat Islam menyelesaikan kewajiban puasa di bulan
Ramadhan. Sedang Syawalan status syar’i-nya masih debatable, karena ia merupakan produk
asli Jawa. Menurut Umar Khayam syawalan adalah bentuk terobosan akulturasi budaya Jawa
dan Islam. Tradisi ini merupakan kearifan lokal para ulama di Jawa yang mampu memadukan
kedua budaya tersebut demi kerukunan dan kesejahteraan masyarakat. Akhirnya, tradisi
sesudah syawalan meluas ke seluruh wilayah di Indonesia dan melibatkan penduduk dari
berbagai pemeluk agama.

Dalam perkembangannya tradisi syawalan cenderung mengikuti perkembangan dan perubahan


zaman sehingga muncul pergeseran tata cara bersyawalan. Jika dulu syawalan dilakukan dengan cara
mendatangi setiap rumah satu persatu untuk meminta maaf pada penghuninya, saat ini syawalan
dilakukan terpusat di suatu tempat sesuai kesepakatan masyarakat, dari lingkup kecil seperti,
keluarga tingkat RT di lingkungan desa, kantor bahkan instansi resmi pemerintah. Syawalan sudah
menjadi tradisi yang bernuansa religius sosial di Indonesia. Sehingga di musim pandemik Covid-19
seperti saat ini syawalannya telah “bermigrasi” dari syawalan fisik ke syawalan virtual secara online
via zoom. Dan nampaknya secara keseluruhan pertemuan-pertemuan lainnya akan terus
menggunakan media online. Undangannya pun disertai meeting ID dan password. Tinggal kita
mengoperasikannya di rumah masing-masing, tidak ribet, jangkauan lebih luas, sehingga bisa ketemu
dengan teman lama meski hanya seacara virtual. Hanya saja kelemaahannya bisa terkendala sinyal,
dan memerlukan kuota internet yang lebih besar.

Kaitannya dengan Idul Fitri ini, kita mengenal pula istilah Halal Bihalal. Dibanding kata syawalan, dua
kata majemuk ini sering diucapkan lebih banyak orang karena lebih luas jangkauannya meski
maknanya membingungkan. Mengapa? Kata Halal Bihalal merupakan kata dari Bahasa Arab, tapi
rupanya orang Arab sendiri tidak akan mengerti maknanya. Karena Halal Bihalal ini hanya ada di
Indonesia. Kata Halal Bihalal merupakan kreasi sendiri orang Indonesia, maknanya bertujuan untuk
menciptakan keharmonisan antar sesama manusia.

Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan Al Quran, setidaknya ada dua dasar tinjauan untuk
memaknai istilah Halal Bihalal ini. Pertama, kata Halal dalam tinjauan hukum syariat Islam memiliki
makna sesuatu hal yang diperbolehkan serta tidak mengandung dosa. Kata halal ini sering
disandingkan dengan lawan katanya, yakni haram yang artinya sesuatu hal yang dilarang, dan apabila
dilanggar akan berakibat dosa dan mengundang siksa. Jika dikaitkan dengan hari raya Idul Fitri, maka
halal bihalal bisa dimaknai menjadikan sikap kita terhadap pihak lain yang tadinya haram dan
mengandung dosa menjadi halal dengan jalan saling memaafkan. Kedua, tinjauan segi bahasa. Kata
halal, berakar dari kata halla atau halala yang berarti yang beraneka ragam, disesuaikan dengan
bentuk dan rangkaian kata berikutnya. Beberapa makna yang tercakup dalam kata halal antara lain
berarti “menyelesaikan problem”, “meluruskan benang kusut”, “melepaskan ikatan” dan “mencairkan
yang beku”. Keempat makna tersebut dipilih karena sesuai dengan hakekat hari raya Idul Fitri. Karena
itu, makna halal bihalal merupakan suatu bentuk aktivitas yang mengantarkan para pelakunya untuk
meluruskan benang kusut, menghangatkan hubungan yang tadinya membeku sehingga cair kembali,
menyelesaikan kesulitan dan problem yang menghadang terjalinnya keharmonisan hubungan.

Jadi, halal bihalal adalah kegiatan silaturahmi dan saling memaafkan yang merupakan risalah Islam,
dan makna Halal Bihalal ini tidak terbatas hanya pada saat Idul Fitri saja. Adapun tujuannya adalah
sesuai dengan hadits Nabi Muhammad SAW berikut:
“Barangsiapa yang telah menganiaya kepada orang lain baik dengan cara menghilangkan
kehormatannya ataupun dengan sesuatu yang lain maka mintalah halalnya pada orang tersebut
seketika itu, sebelum adanya dinar dan dirham tidak laku lagi (sebelum mati). Apabila belum meminta
halal sudah mati, dan orang yang menganiaya tadi mempunyai amal sholeh maka diambilah amal
sholehnya sebanding dengan penganiayaannya tadi. Dan apabila tidak punya amal sholeh maka amal
jelek orang yang dianiaya akan diberikan pada orang yang menganiaya”. (HR. Al Bukhori)

Banyak hadits yang sangat mementingkan makna Halal Bihalal atau menjaga silaturahmi dan saling
memaafkan, di antaranya adalah:

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Siapa saja yang ingin diluaskan rizkinya dan dipanjangkan
pengaruhnya, maka sambunglah tali persaudaraan” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Tidak ada dosa yang pelakunya lebih layak untuk disegerakan
hukumannya di dunia dan di akhirat daripada berbuat zalim dan memutuskan tali persaudaraan” (HR.
Ahmad dan al-Tirmidzi).

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka
sambunglah tali silaturrahmi” (HR. Al-Bukhari).

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Tidak ada dua orang muslim yang bertemu kemudian bersalaman
kecuali dosa keduanya diampuni oleh Allah SWT sebelum mereka berpisah.” (HR. Tirmidzi)

Aktivitas halal bihalal erat kaitannya dengan silaturahim. Sebab ketika ber-halal bihalal, kita
berkumpul dengan kerabat, sahabat, teman dekat, rekan kerja atau tetangga sekampung. Saling
memaafkan dan menyambung tali silaturrahmi merupakan ajaran luhur dalam Islam. Setiap saat
kaum muslim harus melaksanakan ajaran ini tanpa memandang hari dan momen tertentu. Jadi tidak
terbatas saat Idul Fitri saja. Bahkan secara tegas Allah Swt akan melaknat orang yang memutuskan tali
persaudaraan (QS. Muhammad: 22-23). Rasulullah juga bersabda yang artinya, “Tidak ada dosa yang
pelakunya lebih layak untuk disegerakan hukumannya di dunia dan di akhirat daripada berbuat zalim
dan memutuskan tali persaudaraan” (HR. Ahmad dan al-Tirmidzi).

Manusia tidak bisa lepas dari relasi dan partner. dalam dunia karir, halal bihalal sangat diperlukan
karena merupakan momen yang sangat tepat untuk memperbaiki komunikasi sekaligus mempererat
persaudaraan. Aktivitas yang semakin padat dan sering jauh dari kerabat, keluarga dan saudara,
sangat membutuhkan suasana halal bihalal semacam ini. Paling tidak acara tahunan itu benar-benar
menjadi perhatian khusus untuk dijadikan ajang silaturahmi dan saling memaafkan bagi semua pihak,
meski harus dilakukan secara virtual, online. Dengan cara demikian, maka akan mengurai benang
kusut, kekakuan yang selama setahun terpendam, dan menyelesaikan problem sehingga komunikasi
berjalan lancar dan normal kembali.

Hikmah syawalan/halal bihalal di masa covid-19

Lantas, hikmah syawalah/halal bihalal di masa covid-19 itu apa? Syawalan mengandung hikmah yang
sangat bagus yaitu untuk melanjutkan amalan-amalan di bulan Ramadhan yang telah dilewati agar
kita tetap terjaga dalam ketaqwaan sehingga menjadi insan rabbani, bukan insan ramadhani. Insan
Rabani adalah insan yang selalu dekat dengan Tuhannya yaitu Allah SWT di sepanjang masa, baik di
bulan ramadhan maupun di luar ramadhan. Sedang insan ramadhani adalah insan yang dekat dengan
Tuhannya hanya pada bulan ramadhan saja.
Peningkatan amalan setelah ramadhan sebagaimana diterangkan dalam QS. Al-Imran ayat 133 -134.
133. Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas
langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,

134. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-
orang yang berbuat kebajikan.

Dari ayat ini, setelah kita berdoa, mohon ampun kepada Allah SWT, kita diminta untuk menafkahkan
harta (bersedekah) baik di waktu lapang maupun sempit, menahan amarah dan memaaafkan
kesalahan orang. Rasanya langkah ini cocok sekali dengan kondisi bangsa dan dunia yang sedang
dilanda pandemi covid-19. Sebagaimana informasi langit, bahwa salah satu penolak balak adalah
bersedekah baik sendiri maupun berjamaah. Ini penting, karena sudah dua bulan lebih di rumah saja,
kehidupan masyarakat sudah semakin terasa, khususnya di sektor sosial ekonomi. Dampak ekonomi
ini sangat dirasakan bagi masyarakat kecil yang biasa bekerja satu hari untuk makan satu hari habis.
Belum jelas sampai kapan ini berakhir. Rasa cemas, gelisah menyelimuti masyarakat yang hidup pas
pasan. Untuk mendapatkan masker satu lembar saja sulitnya Masya Allah. Padahal masyarakat kecil
sangat membutuhkan, tapi tak ada yang memberi gratis, sebagaimana kaos ketika kampanye dulu
digratiskan, padahal masyarakat tidak butuh amat. Dampak ekonomi ini bisa jadi berimbas ke
keamanan dan ketahanan pangan, bahkan politik. Karena itu penting sekali untuk bersedekah, agar
wabah segera mereda, syukur hilang dari permukaan bumi. Sehingga manusia bisa aktivitas kembali
seperti sedia kala tanpa rasa khawatir terjangkit covid-19 dengan keimanan yang terjaga. Kemudian
Allah melimpahkan barakah-Nya dari langit dan dari bumi (QS Al a’raaf: 96). Bukankah begitu?!

Anda mungkin juga menyukai