Anda di halaman 1dari 12

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Tausiyah Kantor Berita Islam MINA

Sudah menjadi tradisi di Indonesia untuk saling meminta dan memberi maaf satu sama lain pada
bulan Syawwal, baik secara pribadi atau dalam sebuah acara yang dikenal dengan istilah Halal
bi Halal. Bagaimana asal mula istilah tersebut, adakah salam syariat Islam serta bagaimana
menyikapinya? Berikut uraiannya.
Istilah Halal bi Halal
Asal-usul tradisi halal bi halal, dari daerah mana, siapa yang memulai dan kapan kegiatan
tersebut mulai diselenggarakan sulit untuk diketahui dengan pasti.
Menurut sumber Keraton Surakarta, bahwa tradisi halal bihalal mula-mula dirintis oleh KGPAA
Mangkunegara I (lahir 8 Apri 1725), yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa.
Dalam rangka menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah shalat Idul Fitri
diadakanlah pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai
istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan
permaisuri.
Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu dianggap baik dan kemudian ditiru oleh
organisasi-organisasi Islam dengan istilah halal bi halal. Kemudian instansi-instansi pemerintah
dan swasta juga mengadakan halal bi halal, yang pesertanya meliputi warga masyarakat dari
berbagai pemeluk agama.
Asal kata Halal bi halal sendiri dalam Bahasa Arab asalnya, sama sekali tidak dikenal oleh
kalangan bangsa Arab, tidak pula ada pada zaman Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan para
sahabat sesudahnya. Kamus bahasa Arab juga tak mengenal istilah itu.
Namun Halal bi Halal masuk dan diserap ke dalam bahasa Indonesia dan diartikan sebagai hal
maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan di sebuah
tempat oleh sekelompok orang dan merupakan suatu kebiasaan khas Indonesia.
Halal bi Halal merupakan kata majemuk dari dua kata bahasa Arab halal yang diapit dengan satu
kata penghubung bi, yang artinya diperkenankan, dan sebagai lawan dari kata haram, atau
baik yang terkait dengan status kelayakan produk makanan.
Kata Halal bi Halal bisa juga berasal dari akar kata halla yang berarti menyelesaikan persoalan
atau problem, meluruskan benang kusut, mencairkan air yang keruh, dan melepaskan ikatan yang
membelenggu.

Dengan demikian, dengan adanya acara Halal bi Halal diharapkan hubungan yang selama ini
keruh dan kusut dapat segera diurai dan dijernihkan.
Ensiklopedi Indonesia, 1978, menyebutkan halal bi halal berasal dari lafadz Arab yang tidak
berdasarkan tata bahasa Arab (ilmu nahwu), sebagai pengganti istilah silaturahmi. Sebuah tradisi
yang telah melembaga di kalangan penduduk Indonesia.
Secara bahasa, Halal bi Halal adalah kata majemuk dalam bahasa Arab dan berarti halal dengan
halal atau sama-sama halal. Tapi kata majemuk ini tidak dikenal dalam kamus-kamus bahasa
Arab maupun pemakaian masyarakat Arab sehari-hari.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa Halal bi Halal adalah suatu tradisi berkumpul sekelompok
orang Islam di Indonesia dalam suatu tempat tertentu untuk saling bersalaman sebagai ungkapan
saling memaafkan agar yang haram menjadi halal. Umumnya, kegiatan ini diselenggarakan
setelah melakukan shalat Idul Fitri. Kadang-kadang, acara halal bi halal juga dilakukan di harihari setelah Idul Fitri dalam bentuk pengajian, ramah tamah atau makan bersama.
Dapat disimpulkan juga bahwa Halal bi Halal adalah suatu tradisi berkumpul sekelompok orang
Islam di Indonesia dalam suatu tempat tertentu untuk saling bersalaman sebagai ungkapan saling
memaafkan agar yang haram menjadi halal, dan kemudian disebut dengan halal bi halal.
Pandangan Ulama
Dalam perspektif Islam tidak ada landasan teologis di dalam Al-Quran dan Hadits. Biasanya para
ulama menggunakan pendekatan kaidah-kaidah ushul fiqh. Salah satu kaidah yang bisa dijadikan
rujukan adalah, al-ashlu fi al-asyyai al-ibahah hatta yadullu al-dalilu ala al-tahrim (pada
dasarnya melaksanakan apa pun diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya).
Berdasarkan kaidah ini, halal bi halal diperbolehkan karena memang tidak ada nash yang
melarangnya. Selain itu, kegiatan halal bi halal juga tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
aqidah dan syariat Islamiyyah.
Selain argumen ushuliyyah tersebut, kegiatan halal bi halal dapat juga dianalogikan sebagai
kegiatan silaturrahmi. Sedangkan shilaturrahim adalah salah satu ibadah sosial yang sangat
dianjurkan dalam Islam. Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
menyamaikan sabdanya yang artinya, Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezkinya dan ingin
dipanjangkan usianya, maka hendaklah dia menyambung silaturrahmi. (H.R. Bukhari).
Dengan demikian, jika kegiatan halal bi halal diniatkan untuk menyambung dan mempererat tali
silaturrahmi, maka kegiatan tersebut justru bisa bernilai ibadah.
Namun, tentu saja upaya menanamkan niat silaturrahmi pada momen Halal bi Halal itu adalah
tetap dengan menjaga agar kegiatan itu tidak diselingi dengan tindakan-tindakan yang dilarang

agama. Umpamanya perilaku riya (pamer), ghibah (menyebar gosip), mubadzir (berlebihan),
makan dan minum yang diharamkan, dan lain-lain, saling bercamur laki-laki dan perempuan
yang bukan mahrom (berkhalwat) hingga melanggar batas-batas (hijab), dan sebagainya.
Refeleksi Halal bi Halal
Halal bi Halal adalah refleksi ajaran Islam yang menekankan sikap persaudaraan, persatuan, dan
saling memberi kasih sayang. Fenomena Halal bi Halal sudah menjadi budaya. Budaya
memaafkan, saling mengunjungi dan saling berbagi kasih sayang.
Halal bi Halal yang merupakan tradisi khas bangsa Indonesia akhirnya menjadi sebuah simbol
yang merefleksikan bahwa Islam adalah agama toleran, yang mengedepankan pendekatan hidup
rukun dengan semua agama. Perbedaan agama bukanlah tanda untuk saling memusuhi dan
mencurigai, tetapi hanyalah sebagai sarana untuk saling berlomba-lomba dalam kebajikan.
Semoga dengan pemaknaan Halal bi Halal dapat menjadikan kaum Muslimin lebih merapatkan
barisan, mempererat ukhuwah Islamiyyah, dan membingkai persatuan dan kesatuan umat (bil
jamaah), serta tidak mudah dipecah-belah dan diadu domba oleh kelompok dan kepentingan
yang memusuhi Islam dan Muslimin. Aamiin. (T/P4/R02)
Suasana Idul Fitri pada bulan Syawwal di Indonesia selalu identik dengan acara halal bihalal.
Tradisi umat Muslim Indonesia ini umumnya diselenggarakan di kalangan instansi pemerintah,
swasta, perusahaan, lembaga pendidikan, atau komunitas masyarakat.
Di dunia Arab sendiri, tidak dikenal istilah halal bihalal. Bahkan mungkin orang-orang juga
bingung memaknainya, halal bihalal artinya halal dengan halal?
Sejarah Halal Bihalal
Menurut Prof. Quraish Shihab, istilah halal bihalal merupakan pribumisasi ajaran Islam di tengah
masyarakat Asia Tenggara. Konon, tradisi halal bihalal pertama kali dirintis oleh Mangkunegara
I (lahir 8 April 1725), yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa.
Saat itu, untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, setelah shalat Idul Fitri, Pangeran
Sambernyawa mengadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara
serentak di balai istana. Dalam budaya Jawa, seseorang yang sungkem kepada orang yang lebih
tua adalah suatu perbuatan yang terpuji. Tujuan sungkem adalah sebagai lambang penghormatan
dan permohonan maaf.
Sumber lainnya adalah tradisi halal bihalal lahir bermula pada masa revolusi kemerdekaan, di
mana Belanda datang lagi. Saat itu, kondisi Indonesia sangat terancam dan membuat sejumlah
tokoh menghubungi Soekarno pada bulan Puasa 1946, agar bersedia di hari raya Idul Fitri yang
jatuh pada bulan Agustus menggelar pertemuan dengan mengundang seluruh komponen revolusi.

Tujuannya adalah agar lebaran menjadi ajang saling memaafkan dan menerima keragaman dalam
bingkai persatuan dan kesatuan bangsa. Kemudian, Presiden Soekarno menyetujui dan dibuatlah
kegiatan halal bihalal yang dihadiri tokoh dan elemen bangsa sebagai perekat hubungan
silaturahmi secara nasional.
Sejak saat itu, semakin maraklah tradisi halal bihalal dan tetap dilestarikan oleh masyarakat
Indonesia sebagai salah satu media untuk mempererat persaudaraan bagi keluarga, tetangga,
rekan kerja dan umat.
Pengertian Halal Bihalal
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Halal bi Halal diartikan sebagai hal maafmemaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan di sebuah tempat
oleh sekelompok orang. Sedangkan dalam Ensiklopedi Indonesia 1978, menyebutkan bahwa
Halal bi Halal berasal dari Bahasa Arab yang tidak berdasarkan gramatikanya yang benar sebagai
pengganti istilah silaturrahim.
Pada perkembangannya, kegiatan ini ditiru oleh Ormas-Ormas Islam dengan nama Halal bi
Halal. Kemudian ditiru juga oleh instansi-instansi tertentu. Kegiatan ini mulai ramai berkembang
setelah Kemerdekaan RI. Dan biasanya dilaksanakan tidak hanya pada tanggal 1 Syawal saja,
melainkan juga pada hari-hari berikutnya yang masih hangat dengan nuansa Idul Fitri.
Dalam bahasa Arab sendiri, halal bihalal bisa berasal dari kata Halla atau Halala yang
mempunyai banyak arti sesuai dengan konteks kalimatnya, antara lain: penyelesaian problem
(kesulitan), meluruskan benang kusut, mencairkan yang beku, atau melepaskan ikatan yang
membelenggu.
Karena itu, melalui pendekatan kedua bahasa tersebut, maka arti halal bihalal adalah suatu
kegiatan saling bermaafan atas kesalahan dan kekhilafan sesudah lebaran melalui silaturahmi,
sehingga dapat mengubah hubungan sesama manusia dari benci menjadi senang, dari sombong
menjadi rendah hati dan dari berdosa menjadi bebas dari dosa.
Pengertian lainnya dari sisi fiqih, kata halal lawan dari haram. Halal adalah suatu perbuatan yang
diperbolehkan. Sedangkan haram adalah suatu perbuatan yang mengakibatkan dosa.
Jadi dengan adanya halal bihalal bagi yang melakukannya akan terbebas dari semua dosa.
Dengan demikian, makna halal bihalal ditinjau dari segi fiqih adalah menjadikan sikap yang
tadinya haram atau berdosa menjadi halal dan tidak berdosa lagi. Hal tersebut dapat tercapai bila
syarat-syarat lain terpenuhi, yaitu syarat taubat, di antaranya menyesali perbuatan, tidak
mengulangi lagi, meminta maaf kepada sesamanya.
Jika ditinjau secara etimologis Bahasa Arab itu sendiri, sebagian ahli bahasa menyebutnya
sebagai istilah asli made in Indonesia dan tidak dikenal di dunia Arab, apalagi di dunia Islam
lainnya.

Namun istilah ini bisa saja diuraikan dalam ilmu Bahasa Arab yang sering disebu dengan idzmar
(sisipan spekulatif pada kalimat). Yakni, Halal bi Halal maksudnya adalah, thalabu halal bi
thariqin halal (mencari kehalalan dengan cara yang halal). Atau bisa juga, halal yujzau bi
halal (kehalalan dibalas dengan kehalalan).
Hikmah Halal Bihalal
Saling memaafkan dan menyambung tali silaturrahmi merupakan ajaran luhur dalam Islam, yang
hendak dimunculkan pada momen Syawwal bulan lebaran. Walaupun tentu saja setiap saat kaum
Muslimin harus mengindahkan ajaran ini tanpa memandang hari dan momen tertentu. Tidak
terbatas saat Idul Fitri saja. Ini sejalan dengan hadits,



Artinya: Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka sa
mbunglah tali persaudaraan (H.R. Bukhari).
Pada hadits lain disebutkan:


Artinya: Siapa saja yang ingin diluaskan rezkinya dan dipanjangkan pengaruhnya, maka
sambunglah tali persaudaraan (H.R. Bukhari dan Muslim).
Hakikat dan filosofi Halal bi Halal menjadi momen yang sangat tepat untuk memperbaharui dan
mempererat persaudaraan. Aktivitas manusia yang begitu sibuk, bahkan sering mengharuskannya
jauh dari kerabat, sangatlah membutuhkan suasana Halal bi Halal.
Dengan catatan tentu memperhatikan hal-hal agar tetap terjaga kesucian halal bihalal itu sendiri,
seperti menjaga diri dari khalwat (pertemuan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram),
menjaga diri dari membuka aurat, pamer, membuka aib orang lain, dan perbuatan yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam. Semoga. (P4/R05).

Pengertian "halal bi halal" tidak bisa diterjemahkan secara bahasa, karena pendefinisian halal
bi halal lahir dari kultur masyarakat Indonesia. Jika diterjemahkan menerut lughowi-nya,
maka akan mengandung arti yang tidak tepat dengan tujuan dan maksud halal bi halal itu
sendiri. Hal ini karena tidak ada gramer Arab (nahwu sharaf) dengan kaidah halal bi halal.
Bahkan bangsa Arab pun bisa jadi membaca halal bi halal tidak akan mengerti maksudnya.

Lafadz "halal" berasal dari bahasa Arab yang sudah diserap menjadi bahasa Indonesia, yaitu
lawan dari kata haram. Halal mempunyai arti boleh atau tidak dilarang, sedangkan kata "bi"
adalah huruf jar yang biasa diartikan "dengan". Secara lughowi halal bi halal diartikan "boleh
dengan boleh".

Halal bi halal tidak bisa dimaknai secara bahasa melainkan dimaknai segi kulturalnya yaitu
budaya saling memaafkan atau dengan saling berkunjung ke rumah saudara (silaturrahim)
guna memohon dan memberi maaf yang diteruskan dengan saling berjabat tangan.

ASAL-USUL HALAL BI HALAL

Usai menjalankan ibadah puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan, umat Islam di seluruh
dunia merayakan Idul Fitri pada 1 Syawal. Perayaan diwarnai dengan takbir, tasbih dan tahmid
sepanjang hari. Berikutnya setelah melaksanakan shalat Id, jamaah saling bertegur sapa dan
saling mendoakan. Rona ceria nampak pada wajah setiap orang. Suasana seperti ini umum
kita temui pada momen Idul Fitri. Tapi, ada satu tradisi yang khas di Indonesiapada momen
Idul Fitri ini, tradisi halalbihalal.

Sejarah yang paling populer mengenai asal-usul tradisi halalbihalal ini yaitu sebuah tradisi
yang dimulai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I, atau dikenal dengan
Pangeran Sambernyawa, yang ketika itu memimpin Surakarta mengumpulkan para punggawa
dan prajurit di balai istana untuk melakukan sungkem kepada Sang Raja dan Permaisuri
setelah perayaan Idul Fitri. Hal ini dilakukan untuk menghemat tenaga dan biaya. Sejak saat
itu, kunjungan terhadapi orang yang lebih tua atau berkedudukan lebih tinggi untuk meminta
maaf pada perayaan Idul Fitri menjadi tradisi tersendiri.

Adapun asal-usul istilah halalbihalal memiliki beragam versi. Halalbihalal sendiri merupakan
istilah bahasa Indonesia yang menggunakan kata berbahasa Arab. Di negara Arab sendiri, baik
kata maupun tradisinya, tidak ada sama sekali. Ini betul-betul khas Indonesia. Karena
keunikannya, sehingga seorang dubes Belanda untuk Indonesia yang juga ahli sastra Arab,
Nikolaos Van Dam, mengira bahwa halalbihalal adalah kata berbahasa Arab. Namun, setelah
mencari referensi literatur Arab, ternyata dia tidak menemukan sama sekali kata maupun
tradisi yang dimaksud.

Sebelum dibakukan menjadi kata dalam bahasa Indonesia, halalbihalal (ditulis sebagai satu
kata tanpa spasi) sudah ditemukan dalam kamus bahasa Jawa-Belanda kumpulan Dr. Th.
Pigeaud terbitan tahun 1938 yang persiapannya dimulai di Surakarta pada tahun 1926 atas
perintah Gubernur Jenderal Hindia-Belanda pada tahun 1925. Halalbihalal dalam kamus
tersebut terdapat pada entri huruf 'A' dengan kata 'alal behalal' dengan arti yang sama dengan
arti 'halalbihalal' yang dibakukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu acara maafmemaafkan pada hari Lebaran dan merupakan suatu kebiasaan yang khas Indonesia.

Salah satu versi menyebutkan bahwa kata halalbihalal sudah ada sejak tahun 1935-1936.
Diceritakan bahwa pada setiap hari Lebaran, ada penjual martabak berkebangsaan India yang

berjualan di gerbang Taman Sriwedari, Surakarta. Ia dibantu oleh seorang pribumi untuk
mendorong gerobak dan mengurus api penggorengan. Untuk menarik para pembeli, Si
Pembantu tadi berteriak-teriak, "Martabak Malabar, halal bin halal, halal bin halal!" Kemudian
anak-anak menirukan ucapannya dengan "halal behalal". Sejak saat itu, istilah halal behalal
menjadi populer di kalangan masyarakat di Surakarta.

Versi lain menyebutkan bahwa halal bi halal merupakan gabungan kata berbahasa Arab. Ada
dua kata halal yang berarti 'boleh' atau 'diizinkan' digabungkan dengan kata penghubung bi
yang berarti 'dengan'. Sehingga berarti halal dengan halal, artinya saling menghapus segala
hal yang dilarang, seperti dosa dan kesalahan terhadap orang lain. Meskipun ketiga kata ini
berasal dari bahasa Arab, tidak dikenal penggabungan kata seperti itu dalam bahasa Arab.

Versi berikutnya menyebutkan bahwa kata halal bi halal berawal dari keterbatasan
bangsaIndonesia dalam berbahasa Arab ketika menunaikan ibadah haji. Ketika terjadi tawarmenawar harga barang, jamaah Indonesia hanya berkata "halal?". Lalu ketika penjual berkata
"halal", maka transaksi disetujui bersama.

Apapun yang melatar belakangi munculnya tradisi dan istilah ini di bumi Indonesia, ini adalah
nilai bangsa yang harus dilestarikan sebagai bukti bahwa agama tidak bertentangan dengan
budaya lokal, bahkan justru ikut membangun tumbuh kembangnya. Seperti juga yang diakui
oleh Umar Kayam, seorang budayawan Indonesia, yang menilai tradisi halalbihalal ini sebagai
terobosan akulturasi budaya Jawa dan Islam.

Tradisi halal bi halal setelah Idul Fitri hanya terjadi di Indonesia. Adapun maksud dan tujuan
tradisi tersebut adalah sesuai hadits Nabi saw:

Barangsiapa yang telah menganiaya kepada orang lain baik dengan cara menghilangkan
kehormatannya ataupun dengan sesuatu yang lain maka mintalah halalnya pada orang
tersebut seketika itu, sebelum adanya dinar dan dirham tidak laku lagi (sebelum mati).
Apabila belum meminta halal sudah mati, dan orang yang menganiaya tadi mempunyai amal
sholeh maka diambilah amal sholehnya sebanding dengan penganiayaannya tadi. Dan apabila
tidak punya amal sholeh maka amal jelek orang yang dianiaya akan diberikan pada orang
yang menganiaya. (HR. Al Bukhori)

Rosululloh saw bersabda :

Sesungguhnya apabila dua orang islam bertemu kemudian bersalaman maka gugurlah dosa
dari keduanya.

Tidak ada dua orang muslim yang bertemu kemudian bersalaman kecuali dosa keduanya
diampuni oleh Allah swt sebelum mereka berpisah. (HR. Tirmidzi)

Silaturrahim

Budaya silaturrahim atau saling berkunjung ke rumah saudara yang sudah menjadi tradisi
dimasyarakat kita, hal itu merupakan perintah Alloh swt sebagaimana firmanNya:

Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah swt perintahkan supaya
dihubungkan (Yaitu mengadakan hubungan silaturahim dan tali persaudaraan). (QS. Ar Radu
: 21)

Tentang keutamaan silaturrahim Rosul saw bersabda:

Barangsiapa ingin dilapangkan rizqinya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia


menghubungkan tali persaudaraan (silaturrahim). (HR. Bukhori)

"Tidak akan masuk surga seorang pemutus, yaitu pemutus tali persaudaraan." (HR. Bukhori
dan Muslim)

File Dokumen Fiqh Menjawab

Email This BlogThis!



Share to Twitter

Share to Facebook
Categories: Hikmah
Newer Post Older Post

Home
0 komentar :

Post a Comment
Subscribe to: Post Comments (Atom )
Search
Search this

Popular Posts

Kenapa Setelah Menikah Istri Terlihat Kalah Cantik Dibanding Wanita Lain?
Ilustrasi Istri ketika menikah Seorang suami mengadukan apa yang ia rasakan
kepada seorang Syekh. Dia berkata: "Ketika aku m...

Bu, Calon Istriku Gak Bisa Masak


Seorang istri sedang memasak Di Subuh yang dingin...ku dapati Ibu sudah
sibuk memasak di dapur. "Ibu masak apa? Bisa ku bantu...

Doa Penenang Hati


Ilustrasi seseorang yang hatinya sedang galau Jika hati kita dirundung
berbagai masalah dan bermacam-macam pikiran, baik itu masalah...

Tahlil Modern Ala Muhammadiyah; "Tahlilan Bukan Bid'ah Lagi"


Ketua NU dan Ketua Muhammadiyah saat tahlilan di Rumah KH. Sahal
Mahfudz Dalam komunitas Muhammadiyah, tahlil menjadi persoalan kontro...

Doa Agar Dunia Mengejarmu Tanpa Kau Mengejarnya


Prof. Dr. Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki Diriwayatkan bahwa seorang
Sahabat mengeluh kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi was...

Hukum Shalat Kafarat

Diriwayatakan:
...

Anda mungkin juga menyukai