Anda di halaman 1dari 2

Dalam al-Qur’an dan hadis tidak disebutkan secara gamblang tentang istilah halal bihalal.

Hal ini bukan berarti halal bihalal termasuk ajaran Islam yang illegal dalam dilakukan
melaikan dianjurkan oleh para ulama karena dapat memperkuat “Hablum Minannas” atau
hubungan antara manusia dengan manusia yang lain. Dalam penamaan istilah halal bihalal
memang tidak ada dasar yang jelas, akan tetapi nilai-nilai ajaran dan praktik dalam halal
bihalal memiliki dasar hukum yang kuat dalam al-Qur’an dan hadis.

Halah bihalal memiliki dua pandangan yang diambil dari buku yang berjudul Lentera Hati
karya M. Quraish Shihab. Pandangan pertama diambil dari segi hukum yaitu halal yang
merupakan lawan kata dari haram. Halal bihalal memiliki arti menjadikan sikap kita
terhadap orang lain yang awalnya haram dan berakibat dosa menjadi halal dengan cara
memohon maaf. Sedangkan menurut pandangan kedua yaitu dari segi bahasa, halal dari
segi Bahasa memiliki makna bermacam-macam antara lain: “meluruskan benang kusut”
“menyelesaikan masalah” “mecairkan yang beku” dan “melepaskan ikatan”, maksudnya
yaitu menjelaskan bahwa halal bihalal merupakan suatu kegiatan yang mengantarkan
manusia untuk kembali ke jalan yang lurus, menghangatkan hubungan yang tadinya
membeku menjadi cair, menyelesaikan masalah-masalah dan melepaskan ikatan yang
membelenggu yang menjadi penghambat keharmonisan suatu hubungan.

Halal bihalal merupakan suatu tradisi yang unik yang ada di Indonesia yaitu berkumpulnya
sekelompok orang Islam dalam suatu tempat tertentu untuk saling bersalaman sebagai
ungkapan saling memaafkan agar yang haram menjadi halal. Umumnya, kegiatan halal
bihalal dilaksanakan setelah melakukan solat Idul Fitri. terkadang, halal bihalal juga
dilakukan di hari-hari setelah Idul Fithri dalam bentuk pengajian, ramah tamah atau makan
bersama.

Seorang budayawan terkenal Dr Umar Khayam (alm), menyatakan bahwa tradisi Lebaran
merupakan terobosan akulturasi budaya Jawa dan Islam. Kearifan para ulama di Jawa
mampu memadukan kedua budaya tersebut demi kerukunan dan kesejahteraan
masyarakat. Akhirnya tradisi Lebaran itu meluas ke seluruh wilayah Indonesia. Untuk
mengetahui akulturasi kedua budaya tersebut, kita amati terlebih dahulu dari profil budaya
Islam secara global. Di negara-negara Islam di Asia selain Indonesia, setelah melaksanakan
solat Idul Fitri tidak ada tradisi berjabatan tangan secara massal untuk saling memaafkan.
Menurut ajaran Islam, saling memaafkan itu tidak dibatasi waktunya setelah umat Islam
menyelesaikan ibadah puasa Ramadan saja, melainkan kapan saja setelah seseorang merasa
berbuat salah kepada orang lain, maka dia harus segera minta maaf kepada orang tersebut.
Bahkan Allah SWT lebih menghargai seseorang yang memberi maaf kepada orang lain
seperti yang telah tertera dalam Al-quran Surat Ali Imran ayat 134

َ‫اس َوهّٰللا ُ يُ ِحبُّ ْال ُمحْ ِسنِ ْي ۚن‬ ۤ َّ ‫الَّ ِذ ْينَ يُ ْنفِقُوْ نَ فِى ال َّس ۤ َّرا ِء وال‬
ِ ۗ َّ‫ض َّرا ِء َو ْال َكا ِظ ِم ْينَ ْال َغ ْيظَ َو ْال َعافِ ْينَ ع َِن الن‬ َ

Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun
sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang.
Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Q.S. Ali-Imran [3]: 134)

Dalam budaya Jawa, seseorang “sungkem” kepada orang yang lebih tua adalah suatu hal
perbuatan yang terpuji. Sungkem bukannya simbol kerendahan derajat, melainkan justru
menunjukkan perilaku hormat. Tujuan sungkem, pertama, adalah sebagai lambang
penghormatan, dan kedua, sebagai permohonan maaf, atau dalam Bahasa jawa yaitu
“nyuwun ngapura”. Istilah “ngapura” tampaknya berasal dari bahasa Arab “ghafura”.Para
ulama di Jawa tampak ingin benar-benar mewujudkan tujuan puasa Ramadan. Selain untuk
meningkatkan iman dan takwa, juga mengharapkan agar dosa-dosanya di waktu yang lalu
diampuni oleh Allah SWT. Seseorang yang merasa berdosa kepada Allah SWT bisa langsung
mohon pengampunan kepada-Nya. Tetapi, apakah semua dosanya bisa terhapus jika dia
masih bersalah kepada orang lain yang dia belum minta maaf kepada mereka?

Nah, di sinilah para ulama mendapatkan ide, bahwa di hari raya idul fitri antara seorang
dengan seseorang yang lain perlu saling memohon maaf atas kesalahan yang telah
diperbuat oleh masing-masing baik yang sengaja maupun yang tidak, yang kemudian
dilaksanakan dalam bentuk halal bihalal. Dari uraian di atas dapat dimengerti, bahwa tradisi
di hari raya idul fitri yaitu halal bihalal merupakan perpaduan antara unsur budaya Jawa dan
budaya Islam yang juga memilki banyak manfaat dalam mempererat tali silaturrahim antar
umat Islam.

Anda mungkin juga menyukai