Anda di halaman 1dari 3

HALAL BI HALAL DAN MENYAMBUNG TALI SILATURAHIM

Oleh : Agus Sugiarto, S. Ag., M.Sos

A. Halal Bihalal
Terkait dengan makna yang terkandung dalam istilah halal bihalal, Prof Dr Muhammad
Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (1999) menjelaskan sejumlah aspek untuk memahami istilah yang digagas oleh KH
Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) tersebut.
Pertama, dari segi hukum fikih. Halal yang oleh para ulama dipertentangkan dengan kata
haram, apabila diucapkan dalam konteks halal bihalal memberikan pesan bahwa mereka yang
melakukannya akan terbebas dari dosa. Dengan demikian, halal bihalal menurut tinjauan hukum
fikih menjadikan sikap yang tadinya haram atau yang tadinya berdosa menjadi halal atau tidak
berdosa lagi. Ini tentu baru tercapai apabila persyaratan lain yang ditetapkan oleh hukum
terpenuhi oleh pelaku halal bihalal, seperti secara lapang dada saling maaf-memaafkan. Masih
dalam tinjauan hukum fikih. Menurut para fuqaha, istilah halal mencakup pula apa yang
dinamakan makruh. Di sini timbul pertanyaan, “Apakah yang dimaksud dengan istilah halal
bihalal menurut tinjauan hukum itu adalah adanya hubungan yang halal, walaupun di dalamnya
terdapat sesuatu yang makruh?
Secara terminologis, kata makruh berarti sesuatu yang tidak diinginkan. Dalam bahasa
hukum fikih, makruh adalah suatu perbuatan yang tidak dianjurkan oleh agama. Walaupun jika
dilakukan tidak mengakibatkan dosa, tapi dengan meninggalkan perbuatan itu, pelaku akan
mendapatkan ganjaran atau pahala. Atas dasar pertimbangan terakhir ini, Prof Quraish Shihab
tidak cenderung memahami kata halal dalam istilah halal bihalal dengan pengertian atau tinjauan
hukum. Sebab, pengertian hukum tidak mendukung terciptanya hubungan harmonis antar-
sesama.
Kedua, tinjauan bahasa atau linguistik. Kata halal dari segi bahasa terambil dari kata
halla atau halala yang mempunyai berbagai bentuk dan makna sesuai rangkaian kalimatnya.
Makna-makna tersebut antara lain, menyelesaikan problem atau kesulitan atau meluruskan
benang kusut atau mencairkan yang membeku atau melepaskan ikatan yang membelenggu.
Dengan demikian, jika memahami kata halal bihalal dari tinjauan kebahasaan ini, seorang akan
memahami tujuan menyambung apa-apa yang tadinya putus menjadi tersambung kembali. Hal
ini dimungkinkan jika para pelaku menginginkan halal bihalal sebagai instrumen silaturahim
untuk saling maaf-memaafkan sehingga seseorang menemukan hakikat Idul Fitri.
Ketiga, tinjauan Qur‟ani. Halal yang dituntut adalah halal yang thayyib, yang baik lagi
menyenangkan. Dengan kata lain, Al-Qur‟an menuntut agar setiap aktivitas yang dilakukan oleh
setiap Muslim merupakan sesuatu yang baik dan menyenangkan bagi semua pihak. Inilah yang
menjadi sebab mengapa Al-Qur‟an tidak hanya menuntut seseorang untuk memaafkan orang
lain, tetapi juga lebih dari itu yakni berbuat baik terhadap orang yang pernah melakukan
kesalahan kepadanya. Dari semua penjelasan di atas dapat ditarik simpul bahwa halal bihalal
menuntut pelaku yang terlibat di dalamnya agar menyambung hubungan yang putus,
mewujudkan keharmonisan dari sebuah konflik, dan berbuat baik secara berkelanjutan. Pesan
yang berupaya diwujudkan Kiai Wahab Chasbullah melalui tradisi halal bihalal lebih dari
sekadar saling memaafkan, tetapi mampu menciptakan kondisi di mana persatuan di antar-anak
bangsa tercipta untuk peneguhan negara. Sebab itu, halal bihalal lebih dari sekadar ritus
keagamaan, tetapi juga kemanusiaan, kebangsaan, dan tradisi yang positif karena mewujudkan
kemaslahatan bersama.

B. Makna Silaturahim

Selain agenda penting ketika momen Idul Fitri, silaturahim secara syariat juga merupakan
amalan utama karena mampu menyambungkan apa-apa yang tadinya putus dalam relasi hablum
minannas. Belum lagi keutamaan dari amalan ini yang di antaranya dapat memperpanjang umur
serta melapangkan rezeki. Terkait substansi silaturrahim ini, Muhammad Quraish Shihab dalam
Membumikan Al-Qur‟an: Peran dan Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (1999)
mengungkapkan Sabda Nabi Muhammad. Rasulullah shalallahu „alaihi wassalam bersabda:
Laysa al-muwwashil bil mukafi‟ wa lakin al-muwwashil „an tashil man qatha‟ak. (HR Bukhari)
Artinya: “Bukanlah bersilaturrahim orang membalas kunjungan atau pemberian, tetapi yang
bersilaturrahim adalah yang menyambung apa yang putus.” (HR Bukhari) Dari Sabda Nabi
Muhammad tersebut, jelas termaktub bahwa silaturahim menyambung apa yang telah putus
dalam hubungan hablum minannas. Manusia tidak terlepas dari dosa maupun kesalahan sehingga
menyebabkan putusnya hubungan. Di titik inilah silaturrahim mempunyai peran penting dalam
menyambung kembali apa-apa yang telah putus tersebut. Lebaran merupakan momen yang
paling tepat jika di hari-hari lain belum mampu menyambungkan apa yang telah putus. Energi
kembali ke fithrah turut mendorong manusia untuk berlomba-lomba mengembalikan jiwanya
pada kesucian. Idul Fitri-lah yang mampu melakukannya. Meskipun disadari, silaturahim
sesungguhnya tidak terbatas dilakukan ketika Idul Fitri tiba. Manusia tidak mungkin harus
menunggu berbulan-bulan hanya untuk menyambungkan apa yang telah putus. Hal ini
didasarkan bahwa batas umur manusia tidak ada yang tahu. Tentu manusia akan merugi ketika
nyawa tidak lagi dikandung badan namun masih menyimpan salah dan dosa kepada orang lain.
Dalam buku yang sama, Prof Quraish Shihab menjelaskan arti silaturrahim ditinjau dari sisi
bahasa. Silaturrahim adalah kata majemuk yang terambil dari kata bahasa Arab, shilat dan rahim.
Kata shilat berakar dari kata washl yang berarti menyambung dan menghimpun. Ini berarti hanya
yang putus dan terserak yang dituju oleh kata shilat itu. Sedangkan kata rahim pada mulanya
berarti kasih sayang, kemudian berkembang sehingga berarti pula peranakan (kandungan). Arti
ini mengandung makna bahwa karena anak yang dikandung selalu mendapatkan curahan kasih
sayang. Salah satu bukti yang paling konkret tentang silaturahim yang berintikan rasa rahmat dan
kasih sayang itu adalah pemberian yang tulus. Sebab itu, kata shilat juga diartikan dengan
pemberian atau hadiah

Anda mungkin juga menyukai