FIQH SIYASAH
“Implementasi Kemashlahatan Umat Dalam
Rambu-Rambu Syari’ah”
Prof. H.A. Djazuli
1. Pendahuluan
Dalam konteks maqashid ini, ada aturan yang bersifat dharuriyah (primer),
hajjiyah (sekunder), dan tahsiniyah (tersier). Apabila yang dharu- riyah tidak
tercapai, maka kehidupan manusia akan mengalami keguncangan. Jika yang
hajjiyah tidak terlaksana, maka kehidupan ini akan menjadi se- suatu yang
menyulitkan. Akhirnya, jika yang tahsiniyah tidak terwujudkan, maka kehidupan
manusia akan menjadi sesuatu yang tidak indah. Dengan tercapainya maqashid al-
syariah, menurut asumsi para ulama, maka kehidupan yang benar, baik, dan indah
atau suatu kehidupan yang maslahat akan terwujudnyatakan, suatu kehidupan
yang ditandai oleh hasanah fi al dunya dan hasanah fi al-akhirah menuju kerelaan
Allah SWT..
Untuk keperluan pribadi dan keluarga, asumsi tersebut dapat dibenar- kan,
karena berdasarkan sejumlah ayat dan hadis dan dalam sejarah hukum Islam
sebagai maqashid yang dianggap sudah mapan. Akan tetapi, dilihat dari segi lain,
perlu dipikirkan lebih lanjut. Hal ini didasarkan pada pertim bangan bahwa
manusia hidup dalam sebuah masyarakat. Ibn Khaldun menya- takan bahwa
kebersamaan manusia itu adalah hal yang pokok di dalam me- menuhi hajat hidup
mereka, al-insan madaniyun bi thabi'i. La budda lah min al-ijtima' alladzi huwa al-
madinagh fi ishtilahihim wa hiya ma'na al- umran. Dari segi ini, berkembang
aspek kebudayaan manusia di dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan sains.
Apabila kembali kepada Al-Qur'an dan Hadis Nabi sebagai sumber
rujukan. Kita menemukan kata yang disebut-sebut secara berulang kali' dan akrab
di telinga kita, yaitu kata ummah.
Setelah lepas dari penjajahan Barat, umat Islam mulai sibuk mengatur
dirinya dalam masalah-masalah kemasyarakatan di negara nasionalnya masing-
masing. Kemudian muncul beberapa kelompok yang pada garis besarnya dapat
dibedakan menjadi tiga, yaitu kelompok yang melemparkan Islam, kelompok
yang berorientasi kepada nilai-nilai universal ajaran Islam, kelompok yang ingin
menerapkan Islam secara penuh." Supaya tidak jatuh kepada sikap-sikap
eksklusif, kita perlu mempertegas tujuan, yaitu hifzh al-ummah
Para peneliti sadar bahwa hukum adalah ajaran yang paling ber- pengaruh
dalam kehidupan muslim di samping tasawuf. Hal ini sering pula menimbulkan
ekses pecahnya umat karena perbedaan pendapat yang tajam. Dengan kesadaran
adanya hifzh al-ummah, kita dapat menetralisir atau se tidaknya mengurangi ekses
tersebut.
a. Moral
1. sekalipun dari banyak suku, muslim merupakan satu komunitas keumatan yang
kuat;
2. hubungan muslim dan nonmuslim: (a) bertetangga baik; (b) saling mem- bantu
menghadapi musuh bersama; (c) membela yang teraniaya; (d) saling menghormati
agama; dan (e) saling menasihati;
Yang terakhir adalah hubungan kasih sayang (rahmali. Hubungan ini tidak hanya
berdasarkan moral dalam kehidupan keluarga sakinah, ummah wahidah, dan
baldah thayyibah, tetapi juga melandasi hubungan dengan alam semesta, baik
nabati maupun hewani, mendasari hubungan moral semua makhluk Allah di muka
bumi sesuai dengan misi Nabi Muhammad sebagai pembawa rahmah bagi selurun
alam. Selain itu, sesuai dengan Hadis Nabi, "Sayangi semua yang ada di muka
bumi, Allah akan memberi rahmat kepadamu". Dengan demikian, akan terwujud
kehidupan yang marhamah di antara semua makhluk di muka bumi.
Tentu saja, semua ini menuntut tanggung jawab dalam pembinaan rumah tangga
yang sakinah, ummah wahidah, baldah thayyibah, dan ke- hidupan marhamah di
antara seluruh makhluk di muka bumi. Hanya dengan tanggung jawab itulah, akan
tercapai hasanah fi al-dunya dan hasanah fi abakhirah menuju kerelaan Allah
SWT.
Tuntutan tanggung jawab manusia terhadap semua makhluk Alah di muka
bumi ini karena kehidupan bersama ini dianalogikan dengan kehidupan di dalam
sebuah kapal. Semuanya dituntut untuk bertanggung jawab, agar setiap orang
tidak merusak kapal yang dapat menyebabkan tenggelamnya kapal tersebut.
Dalam tata surya kapal itu, dalam arti astronomis, adalah bumi kita ini. Oleh
karena itu, manusia dilarang untuk merusak bumi ini setelah bumi diciptakan
dengan baik oleh Allah."
Sebagai wujud tanggung jawab moral ini, banyak sekali hal-hal yang lebih
rinci disebut dalam Al-Qur'an maupun Hadis. Sebagai contoh, larangan menghina
sesuatu kaum terhadap kaum yang lain, larangan berprasangka buruk, di satu sisi;
dan keharusan menjalin hubungan baik dengan umat yang beradab di sisi lain.
Dalam Bay'ah 'Aqabah pun tercantum janji yang bersifat moral.
b. Hukum
Umat dalam tinjauan hukum diawali dengan unsur terkecil dari umat, yaitu
rumah tangga, yang lebih dikenal sebagai ahwal al-syakhsiyah dan mencakup:
perkawinan, waris, wasiat, wakaf, dan hibah. Ahwal al-syakhsiyah berlaku di
dunia Islam, bahkan juga diterapkan oleh umat muslim di negara-negara
nonmuslim.
Adapun ruang lingkup ummah yang paling luas adalah seluruh makhluk
Allah di muka bumi. Selain manusia, cakupan ummah diisyaratkan dalam
berbagai ayat, bahkan surat, baik yang berkaitan dengan hewani ataupun nabati
(al-Tin, al-Baqarah, al-Naml, al-Ankabut, dan al-Fi). Yang dharuriyah adalah
keseimbangan hidup di antara makhluk Allah di muka bumi, hajjiyah adalah
pemanfaatan alam dengan tidak merusaknya, dan tahsiniyah adalah bersikap
ramah terhadap semua makhluk Allah di muka bumi. Oleh karena itu, tidak
mengherankan, apabila ada orang masuk surga hanya karena memberi minum
anjing yang kehausan, wanita yang masuk neraka akibat tidak memberi makan
seekor kucing, larangan buang air kecil di bawah pe- pohonan, dan larangan
merusak (membakar) pepohonan, sekalipun dalam keadaan perang. Apabila
terjadi konflik di antara unsur ummah, maka ditarik kepada tata nilai yang lebih
tinggi. Konflik intern umat beragama, misalnya, harus diingatkan pada kenyataan
bahwa kedua paham keagamaan tersebut menganut agama yang sama, dan konflik
antar-umat beragama harus diingatkan kepada kenyataan bahwa kedua pihak
sama-sama manusia beragama.
B. KHULASHAH
Dari paparan singkat tentang figh siyásah tergambar bahwa siyásah adalah
perbuatan kebijakan yang diwujudkan dalam pengaturan, serta di- laksanakan dan
diawasi untuk meraih sebanyak mungkin kemaslahatan bagi umat manusia di satu
sisi dan di sisi lain menjauhkannya dari kemafsadatan. Oleh karena itu, di dalam
siyásah selalu diupayakan jalan-jalan yang menuju kepada kemaslahatan (athu
dzari'ah dan selalu ditutup dan dihindarkan jalan-jalan yang mengarah kepada
kemafsadatan (sadzu dzari'ah).
Yang menjadi objek bahasan fiqh siyásah adalah manusia yang berfungsi
sosial yang menurut tabiatnya berupaya (madaniyun bi'thob'. Oleh karena itu,
aspek yang berkaitan dengan hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin,
hubungan para pemimpin, hubungan antara rakyat yang sangat beragam serta
lembaga-lembaga yang dibutuhkan di dalam kehidupan masya- rakat, khususnya
di dalam bidang politik dan ekonomi dalam suatu bangsa atau antarbangsa
menjadi fokus of interest dari fiqh siyȧsah.
Bahasan di dalam siyȧsah dustiriyah, dawliyah dan maliyah lebih banyak
bahasan di dalam tataran cara (wasaid, yaitu cara-cara yang bijak dan arif untuk
kemaslahatan kehidupan di muka bumi ini yang dimotifasi oleh niat yang ikhlas,
beramal saleh, selaku khalifah fi al-ardh. Oleh karena itu, di dalam bahasan
siyásah sering para ulama meng- gunakan kaidah: "ma la yatimu ala wajib illa bihi
fahuwa wajib" (sesuatu hal yang tidak sempurna pelaksanaan kewajiban kecuali
dengan menyertakan sesuatu tadi, maka hal tersebut hukumnya wajib"; "apa yang
membawa ke- pada pelaksanaan kewajiban, maka hukumnya wajib."
Fiqh siyásah berpijak pada maqashidu syariah keumatan atau hifdz al-
ummah. Baik umat seluruh makhluk Allah di muka bumi maupun umat dalam
ruang lingkup umat manusia, atau umat satu agama tertentu, bahkan dari satu
bangsa tertentu. Hubungan antara berbagai umat ini adalah kedamaian, sesuai
dengan kaidah: Al-ashlu fi al-alaqah al-silmu: hukum asal di dalam berbagai jenis
hubungan adalah kedamaian. Hubungan antara sesama makhluk Allah di muka
bumi diikat oleh moral rahmah/kasih sayang. Hubungan antarsesama manusia
diikat dengan moral ukhuwah insaniyah. Hubungan antarwarga negara dalam
suatu negara diikat dengan ukhuwah wathaniyah. Hubungan antara umat Islam
diikat dengan moral ukhuwah islamiyah.
Ulil al-amri wajib melaksanakan dan bertanggung jawab atas amanat yang
telah diberikan kepadanya dan menegakkan hukum dengan adil, sedangkan rakyat
wajib menaati dan mengawasi uli al-amr baik langsung maupun melalui
perwakilan.
Ulu al-amr mempunyai hak untuk ditaati dan mendapatkan fasilitas dalam
melaksanakan tugasnya secara wajar, dan rakyat mempunyai hak untuk dijamin
dan dilayani hak-haknya baik selaku warga negara maupun selaku manusia
dengan adil.