Anda di halaman 1dari 13

RESUME

FIQH SIYASAH
“Implementasi Kemashlahatan Umat Dalam
Rambu-Rambu Syari’ah”
Prof. H.A. Djazuli

Dosen Pengampu : Dr. Ahmad Yani Anshori, M.ag.


Disusun Oleh : Desi Rahmawati
HUKUM TATA NEAGARA
23103070021

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
BAB V

HIFDH AL-UMMAH SEBAGAI MAQASID AL-SYARI’AH

A. HIFDH AL-UMMAH: SALAH SATU MAQASHID AL-SYARIAH

1. Pendahuluan

Sebagaimana diketahui, terdapat 5 maqashid al-syariah yang telah


dikemukakan oleh para ulama,' yaitu: hifdh al-din, hifdh al-nafs, hifdh al- aql,
hifdh al-mal, dan hifdh al-nasl. Kelima tujuan syariat ini harus terjaga
eksistensinya, dengan memperkuat dan memperkokoh berbagai macam aspeknya
di satu sisi serta melakukan berbagai upaya preventif dan represif di sisi lain,
sehingga maqashid tidak hilang dalam proses kehidupan yang terus berubah.
Selain rambu-rambu syariah yang tertuang dalam fiqh ibadah, ahwal al-
syakhsiyah, dan muamalah, juga tedapat fiqh jinayah; dalam pada itu, tidak hanya
ada konsep amar ma'ruf, tetapi juga ada konsep nahi munkar.

Dalam konteks maqashid ini, ada aturan yang bersifat dharuriyah (primer),
hajjiyah (sekunder), dan tahsiniyah (tersier). Apabila yang dharu- riyah tidak
tercapai, maka kehidupan manusia akan mengalami keguncangan. Jika yang
hajjiyah tidak terlaksana, maka kehidupan ini akan menjadi se- suatu yang
menyulitkan. Akhirnya, jika yang tahsiniyah tidak terwujudkan, maka kehidupan
manusia akan menjadi sesuatu yang tidak indah. Dengan tercapainya maqashid al-
syariah, menurut asumsi para ulama, maka kehidupan yang benar, baik, dan indah
atau suatu kehidupan yang maslahat akan terwujudnyatakan, suatu kehidupan
yang ditandai oleh hasanah fi al dunya dan hasanah fi al-akhirah menuju kerelaan
Allah SWT..

Untuk keperluan pribadi dan keluarga, asumsi tersebut dapat dibenar- kan,
karena berdasarkan sejumlah ayat dan hadis dan dalam sejarah hukum Islam
sebagai maqashid yang dianggap sudah mapan. Akan tetapi, dilihat dari segi lain,
perlu dipikirkan lebih lanjut. Hal ini didasarkan pada pertim bangan bahwa
manusia hidup dalam sebuah masyarakat. Ibn Khaldun menya- takan bahwa
kebersamaan manusia itu adalah hal yang pokok di dalam me- menuhi hajat hidup
mereka, al-insan madaniyun bi thabi'i. La budda lah min al-ijtima' alladzi huwa al-
madinagh fi ishtilahihim wa hiya ma'na al- umran. Dari segi ini, berkembang
aspek kebudayaan manusia di dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan sains.
Apabila kembali kepada Al-Qur'an dan Hadis Nabi sebagai sumber
rujukan. Kita menemukan kata yang disebut-sebut secara berulang kali' dan akrab
di telinga kita, yaitu kata ummah.

2. Umat: Ruang Lingkup

Kata-kata umat ternyata memiliki ruang lingkup yang berlapis. Lapisan


pertama, kata umat bisa disamakan dengan makhluk Tuhan, sehingga burung pun
disebut umat (QS. 6: 38), semut yang berkeliaran juga bisa disebut umat dari
umat-umat Allah (HR. Muslim). Lapisan kedua, kata umat berarti umat manusia
secara keseluruhan (QS. 2: 213). Lapisan ketiga, kata umat berarti satu komunitas
manusia (QS. 21: 92). Dalam lapisan ini baru bisa dibedakan antara umat Islam
dan umat nonmuslim.

Di dalam kata umat terselip makna-makna yang dalam. Ia mengandung


arti gerak dinamis, waktu, jalan yang jelas, serta gaya dan cara hidup untuk maju
ke satu arah harus jelas jalannya, serta harus bergerak maju dengan gaya dan cara
tertentu serta membutuhkan waktu untuk mencapainya."

Untuk sekadar menunjukkan posisi umat itu begitu penting di dalam


kehidupan masyarakat muslim, Bernard Lewis manyatakan: The Islamic Umma
had a dual character. On the one hand it was a political society--a chieftaincy
which swifty grew into a state and than an empire; On the other it was a religious
community, founded by a prophet and ruled by his deputy."

Agar terjadi keharmonisan di dalam hubungan antar-umat, para ulama


telah mengadakan penelitian terhadap sejumlah aturan yang ada yang ke- mudian
dikembalikan kepada Al-Qur'an dan Sunnah yang akhirnya melahir kan kaidah:
al-ashlu fi al-'alaqah al-silm? yang asal di dalam hubungan itu adalah kedamaian.

Selain itu, masih ada prinsip-prinsip lain. Di antaranya adalah al-'adalah


karamah insaniyah, tasamuh, ta'awun al-Fadhilah (budi baik) dan huriyah. Prinsip-
prinsip ini mewarnai kehidupan umat, baik umat dalam arti luas, yaitu umat dalam
arti makhluk Allah, maupun umat dalam arti sempit, yaitu umat sebagai
komunitas agama tertentu.
3. Maqashid al-Syariah

Dengan latar belakang seperti dipaparkan di muka, konsep umat menjadi


penting dalam kehidupan bersama, baik umat di dalam ruang lingkup per- tama,
kedua, ataupun ketiga, yang memiliki keterkaitan yang erat dengan aspek-aspek
ekonomi, politik, dan sosial-budaya suatu bangsa ataupun dunia internasional
yang dalam era globalisasi ini peran dunia internasional sangat kuat dan interaksi
menjadi sangat intensif. Untuk menjaga keharmonisan hidup dan tertib kehidupan
di dunia ini, rasanya perlu diangkat konsep umat sebagai salah satu magashid
syari'ah dengan alasan-alasan antara lain sebagai berikut:

Imam al-Syathibi menyebutkan bahwa jinayat disyariatkan untuk preventif


dan repsuasif agar magashid tidak terganggu (min janib al-'adam. Jadi, untuk
memelihara agama kita dilarang murtad; untuk memelihara akal, kita dilarang
meminum minuman yang memabukkan; untuk menjaga jiwa, kita dilarang
membunuh; untuk memelihara keluarga dan keturunan, kita dilarang zina; untuk
memelihara harta, kita dilarang mencuri dan me- rampok. Ini semua merupakan
jarimah hudud. Kalau kita lanjutkan ada satu jarimah hudud yang tidak masuk,
yaitu al-bagy (pemberontakan) Larangan al-bagy adalah untuk memelihara umat.
Di satu sisi, kita diwajibkan bersatu. Sedangkan di sisi lain, kita diharamkan
tafaruq (bercerai berai). Oleh karena itu, secara moral, kita diwajibkannya
menegakkan ukhuwah dan dilarangnya permusuhan dan saling membenci."

Tanpa hifzh al-ummah, kita sulit memahami kasus-kasus peperangan dan


atau pemberontakan. Perang dan pemberontakan terjadi karena masalah politik
tidak bisa "diselesaikan melalui sistem politik yang ada." Perdamaian misalnya
Perjanjian Hudaibiyah, Piagam Madinah, Imamah dan masalah- masalah siyásah
lainnya-termasuk juga soal Keluarga Berencana (KB), Trilogi Keturunan,
Hankamrata, Hak Asasi Manusia (HAM), lingkungan hidup, lembaga-lembaga
OKI, PBB, BMI, dan Takaful. Dengan demikian, hifzh al-ummah menjadi
landasan filosofis bagi fiqh siyasah, baik siyȧsah dustiriyah, dauliyah, maupun
maliyah. Fiqh yang diperkenalkan oleh KH. Ali Yafie di Indonesia yang disebut
"fiqih sosial" pada yang intinya untuk merealisasikan kemaslahatan umum,
menjadi tidak jelas arahnya tanpa hifzh al-ummah dijadikan salah satu maqashid
al-syariah.

Maqashid al-Syariah yang sekarang berkembang menekankan kepada


manusia sebagai individu dan kurang diimbangi dengan manusia sebagai anggota
komunitas. Barangkali ini salah satu sebab yang menjadi orang Islam kurang
perhatian dan kesadarannya terhadap pentingnya umat di dalam kehidupan ini.
Hal ini juga dibuktikan dengan menganggap lebih pentingnya fard! 'ain dari pada
fardi kifayah."

Setelah lepas dari penjajahan Barat, umat Islam mulai sibuk mengatur
dirinya dalam masalah-masalah kemasyarakatan di negara nasionalnya masing-
masing. Kemudian muncul beberapa kelompok yang pada garis besarnya dapat
dibedakan menjadi tiga, yaitu kelompok yang melemparkan Islam, kelompok
yang berorientasi kepada nilai-nilai universal ajaran Islam, kelompok yang ingin
menerapkan Islam secara penuh." Supaya tidak jatuh kepada sikap-sikap
eksklusif, kita perlu mempertegas tujuan, yaitu hifzh al-ummah

Para peneliti sadar bahwa hukum adalah ajaran yang paling ber- pengaruh
dalam kehidupan muslim di samping tasawuf. Hal ini sering pula menimbulkan
ekses pecahnya umat karena perbedaan pendapat yang tajam. Dengan kesadaran
adanya hifzh al-ummah, kita dapat menetralisir atau se tidaknya mengurangi ekses
tersebut.

4. Ummah: Tinjauan Cakupan

a. Moral

Pembentukan suatu ummah dimulai dari pembentukan pribadi-pribadi


yang berkualitas, memiliki keyakinan yang kokoh dan akhlak mulia, serta
penyerahan diri total kepada kehendak Allah, seperti tergambar dalam se- jarah
Nabi pada periode Mekkah. Dengan singkat, pribadi-pribadi pembentuk ummah
adalah pribadi-pribadi muthma'inah."

Pada tahapan yang kedua adalah pembentukan rumah tangga yang


sakinah, sebagai unsur terkecil dalam pembentukan ummah. Dalam kehidupan
rumah tangga yang sakinah, tercermin keseimbangan hak dan kewajiban antara
suami dengan istri. Dalam Al-Qur'an, hal ini disimbolkan sebagai "pakaian": istri
pakaian bagi suami, dan suami pakaian bagi istri. Perhatian agama Islam terhadap
pembentukan rumah tangga yang sakinah sangat besar. Hal ini dapat dibuktikan
antara lain dengan jumlah ayat mengenai pembinaan rumah tangga yang lebih
banyak, setelah ibadah, dibandingkan dengan bidang-bidang kehidupan lainnya.
Dengan pembentukan rumah tangga semacam itu, idealnya akan sampai
pada komunitas muslim yang memiliki sifat umatan wahidatan,"sifat umatan
wasatha,"dan khairu ummah.

Dalam interaksi antara umat yang berbeda agama, muslim menjalin


ukhuwah insaniyah secara moral yang diwujudkan dalam ta'awun insani dalam
menghadapi berbagai masalah bersama atas dasar persamaan ke- manusiaan.
Dengan cara ini, rujukan tempat kembalinya adalah kesejajaran manusia sebagai
makhluk Allah yang hidup di muka bumi. Hal ini tercermin antara lain dalam
Piagam Madinah yang dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. sekalipun dari banyak suku, muslim merupakan satu komunitas keumatan yang
kuat;

2. hubungan muslim dan nonmuslim: (a) bertetangga baik; (b) saling mem- bantu
menghadapi musuh bersama; (c) membela yang teraniaya; (d) saling menghormati
agama; dan (e) saling menasihati;

3. mengakui Nabi Muhammad sebagai pemimpin dan pemutus setiap perselisihan;

4. keadilan dan persamaan di hadapan hukum ditegakkan serta perlindungan


terhadap rakyat dilaksanakan. Dalam tahapan ini, diharapkan terwujud baldah
thayyibah.

Yang terakhir adalah hubungan kasih sayang (rahmali. Hubungan ini tidak hanya
berdasarkan moral dalam kehidupan keluarga sakinah, ummah wahidah, dan
baldah thayyibah, tetapi juga melandasi hubungan dengan alam semesta, baik
nabati maupun hewani, mendasari hubungan moral semua makhluk Allah di muka
bumi sesuai dengan misi Nabi Muhammad sebagai pembawa rahmah bagi selurun
alam. Selain itu, sesuai dengan Hadis Nabi, "Sayangi semua yang ada di muka
bumi, Allah akan memberi rahmat kepadamu". Dengan demikian, akan terwujud
kehidupan yang marhamah di antara semua makhluk di muka bumi.

Tentu saja, semua ini menuntut tanggung jawab dalam pembinaan rumah tangga
yang sakinah, ummah wahidah, baldah thayyibah, dan ke- hidupan marhamah di
antara seluruh makhluk di muka bumi. Hanya dengan tanggung jawab itulah, akan
tercapai hasanah fi al-dunya dan hasanah fi abakhirah menuju kerelaan Allah
SWT.
Tuntutan tanggung jawab manusia terhadap semua makhluk Alah di muka
bumi ini karena kehidupan bersama ini dianalogikan dengan kehidupan di dalam
sebuah kapal. Semuanya dituntut untuk bertanggung jawab, agar setiap orang
tidak merusak kapal yang dapat menyebabkan tenggelamnya kapal tersebut.
Dalam tata surya kapal itu, dalam arti astronomis, adalah bumi kita ini. Oleh
karena itu, manusia dilarang untuk merusak bumi ini setelah bumi diciptakan
dengan baik oleh Allah."

Sebagai wujud tanggung jawab moral ini, banyak sekali hal-hal yang lebih
rinci disebut dalam Al-Qur'an maupun Hadis. Sebagai contoh, larangan menghina
sesuatu kaum terhadap kaum yang lain, larangan berprasangka buruk, di satu sisi;
dan keharusan menjalin hubungan baik dengan umat yang beradab di sisi lain.
Dalam Bay'ah 'Aqabah pun tercantum janji yang bersifat moral.

b. Hukum

Umat dalam tinjauan hukum diawali dengan unsur terkecil dari umat, yaitu
rumah tangga, yang lebih dikenal sebagai ahwal al-syakhsiyah dan mencakup:
perkawinan, waris, wasiat, wakaf, dan hibah. Ahwal al-syakhsiyah berlaku di
dunia Islam, bahkan juga diterapkan oleh umat muslim di negara-negara
nonmuslim.

Di kalangan umat Islam sendiri banyak aturan yang setidaknya mem-


perkokoh ukhuwah islamiyah, seperti tergambar dalam shalat berjamaah, infak,
dan sedekah sebagai ibadah maliyah ijtima'iyah dan bahkan ibadah haji yang
dilakukan umat Islam dari berbagai bangsa dan warna kulit, "Tidak ada kelebihan
suatu suku bangsa dari suku bangsa lainnya, tidak ada kelebihan orang berkulit
putih daripada orang berkulit hitam, kecuali ketakwaannya."

Adapun hubungan atau interaksi antar-agama dalam muamalah di- anggap


sah sepanjang didasarkan pada prinsip 'antaradhin dan objeknya halal bagi
muslim, seperti jual beli, kontrak, dan kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya.
Sekalipun demikian, dapat dipahami munculnya lembaga-lembaga ekonomi
keumatan, seperti perbankan syariah, Baitul Mal wa Tamwil (BMT), asuransi
takaful, dan lembaga-lembaga keuangan syariah lainnya sebagai wujud
kepedulian untuk mengangkat taraf hidup ekonomi umat dengan cara yang
dianggap lebih islami ditinjau dari segi keumatan ini. Kasus Abu Bakar
memerangi orang-orang yang tidak membayar zakat, demi menjaga keutuhan
persatuan dan kesatuan agar tidak terjadi perpecahan, sebab orang-orang yang
tidak membayar zakat cukup dihukum dengan hukuman takzir, bukan diperangi.

Umat, dalam ruang lingkup manusia, dibentuk berdasarkan kesamaan di


antara manusia. Oleh karena itu, kita dilarang mengganggu jiwa dan harta,
kehormatan manusia tanpa adanya landasan hukum yang sah, barang- siapa yang
mengganggunya, maka akan mendapatkan sanksi dan dimintai
pertanggungjawabannya. Tawanan perang sekalipun, harus diperlakukan sebagai
manusia karena ia merupakan bagian dari umat manusia.

Terciptanya kehidupan yang damai di kalangan umat manusia adalah


dharuriyah Hajjiyah adalah upaya penyelesaian konflik, semacam perjanjian-
perjanjian, yang merupakan kesepakatan bersama dan harus ditaati bersama pula.
Adapun tahsiniyah adalah perbuatan-perbuatan yang berupa akhlaq al-karimah
terhadap sesama manusia.

Adapun ruang lingkup ummah yang paling luas adalah seluruh makhluk
Allah di muka bumi. Selain manusia, cakupan ummah diisyaratkan dalam
berbagai ayat, bahkan surat, baik yang berkaitan dengan hewani ataupun nabati
(al-Tin, al-Baqarah, al-Naml, al-Ankabut, dan al-Fi). Yang dharuriyah adalah
keseimbangan hidup di antara makhluk Allah di muka bumi, hajjiyah adalah
pemanfaatan alam dengan tidak merusaknya, dan tahsiniyah adalah bersikap
ramah terhadap semua makhluk Allah di muka bumi. Oleh karena itu, tidak
mengherankan, apabila ada orang masuk surga hanya karena memberi minum
anjing yang kehausan, wanita yang masuk neraka akibat tidak memberi makan
seekor kucing, larangan buang air kecil di bawah pe- pohonan, dan larangan
merusak (membakar) pepohonan, sekalipun dalam keadaan perang. Apabila
terjadi konflik di antara unsur ummah, maka ditarik kepada tata nilai yang lebih
tinggi. Konflik intern umat beragama, misalnya, harus diingatkan pada kenyataan
bahwa kedua paham keagamaan tersebut menganut agama yang sama, dan konflik
antar-umat beragama harus diingatkan kepada kenyataan bahwa kedua pihak
sama-sama manusia beragama.

Setiap perbedaan perlu disikapi secara dewasa sebagai sebuah kewajar an


dalam dinamika hidup bermasyarakat, dan bahkan hal itu perlu dilihat sebagai
sebuah keindahan. Adapun persamaan-persamaan dan kesepakatan- kesepakatan
bersama merupakan suatu keniscayaan, agar hidup dapat di- rasakan sebagai
sesuatu yang tertib, aman, dan damai menuju kebahagiaan.
5. Hifdh al-Ummah: Penyelesaian Masalah Sosial

Untuk memecahkan masalah-masalah keumatan dalam kehidupan


masyarakat yang di dalam Al-Qur'an ataupun Hadis dalil-dalilnya tidak se- banyak
masalah ibadah, maka ruang lingkup ijtihad menjadi luas. Sekalipun demikian,
agar tidak keluar dari nilai-nilai Islam, kita perlu mencari se- mangatnya yang
tercermin dalam dalil-dalil kulliy, baik ayat-ayat Al-Qur'an atau Hadis Nabi,
kaidah-kaidah kullly yang sudah mapan, dan keterkaitannya dengan maqashid al-
syariah, termasuk hifdh al-'ummah. Metode Ibn Qayyim tentang Sadd al-Dzari'ah
dan Fath al-Dzari'ah perlu dikembangkan terus. Demikian pula halnya dengan
penggunaan al-mashlahah al-mursalah, al istishab, dan al-'adah.

Tulisan ini hanya menyampaikan kajian awal tentang hifdh al-ummah


sebagai bagian dari maqashid al-syariah. Kajian lebih lanjut dan lebih spesifik
mengenai hal ini membutuhkan pengetahuan syariat Islam yang luas dan
mendalam, baik berkenaan substansi maupun metodologi. Untuk itu, dibutuh- kan
suatu kesungguhan yang dilandasi oleh keyakinan: Bagi orang-orang yang
bersungguh-sungguh mencari kebenaran, maka pasti Allah akan me nunjukkan
jalan-jalannya.

B. KHULASHAH

Dari paparan singkat tentang figh siyásah tergambar bahwa siyásah adalah
perbuatan kebijakan yang diwujudkan dalam pengaturan, serta di- laksanakan dan
diawasi untuk meraih sebanyak mungkin kemaslahatan bagi umat manusia di satu
sisi dan di sisi lain menjauhkannya dari kemafsadatan. Oleh karena itu, di dalam
siyásah selalu diupayakan jalan-jalan yang menuju kepada kemaslahatan (athu
dzari'ah dan selalu ditutup dan dihindarkan jalan-jalan yang mengarah kepada
kemafsadatan (sadzu dzari'ah).

Yang menjadi objek bahasan fiqh siyásah adalah manusia yang berfungsi
sosial yang menurut tabiatnya berupaya (madaniyun bi'thob'. Oleh karena itu,
aspek yang berkaitan dengan hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin,
hubungan para pemimpin, hubungan antara rakyat yang sangat beragam serta
lembaga-lembaga yang dibutuhkan di dalam kehidupan masya- rakat, khususnya
di dalam bidang politik dan ekonomi dalam suatu bangsa atau antarbangsa
menjadi fokus of interest dari fiqh siyȧsah.
Bahasan di dalam siyȧsah dustiriyah, dawliyah dan maliyah lebih banyak
bahasan di dalam tataran cara (wasaid, yaitu cara-cara yang bijak dan arif untuk
kemaslahatan kehidupan di muka bumi ini yang dimotifasi oleh niat yang ikhlas,
beramal saleh, selaku khalifah fi al-ardh. Oleh karena itu, di dalam bahasan
siyásah sering para ulama meng- gunakan kaidah: "ma la yatimu ala wajib illa bihi
fahuwa wajib" (sesuatu hal yang tidak sempurna pelaksanaan kewajiban kecuali
dengan menyertakan sesuatu tadi, maka hal tersebut hukumnya wajib"; "apa yang
membawa ke- pada pelaksanaan kewajiban, maka hukumnya wajib."

Fiqh siyásah berpijak pada maqashidu syariah keumatan atau hifdz al-
ummah. Baik umat seluruh makhluk Allah di muka bumi maupun umat dalam
ruang lingkup umat manusia, atau umat satu agama tertentu, bahkan dari satu
bangsa tertentu. Hubungan antara berbagai umat ini adalah kedamaian, sesuai
dengan kaidah: Al-ashlu fi al-alaqah al-silmu: hukum asal di dalam berbagai jenis
hubungan adalah kedamaian. Hubungan antara sesama makhluk Allah di muka
bumi diikat oleh moral rahmah/kasih sayang. Hubungan antarsesama manusia
diikat dengan moral ukhuwah insaniyah. Hubungan antarwarga negara dalam
suatu negara diikat dengan ukhuwah wathaniyah. Hubungan antara umat Islam
diikat dengan moral ukhuwah islamiyah.

Apabila terjadi konflik wajib diupayakan untuk dikembalikan kepada


kedamaian sedapat mungkin, yang dikenal dengan sebutan islah. Apabila
menemui jalan buntu, dapat diambil tindakan tegas dengan mempertimbang kan
yang maslahatnya lebih besar daripada mafsadatnya, apabila dihadapkan pada
pilihan yang sama-sama memudaratkan, diambil yang mudaratnya lebih kecil
sesuai dengan kaidah: "al-akhdu bi akhofi al-dharurain" sedangkan apabila
pilihannya sama-sama maslahat, maka yang diambil adalah yang maslahatnya
lebih besar, sesuai dengan kaidah: "ikhtiyar al-ashlah fa al- ashlah."

Prinsip yang harus ditegakkan di dalam siyâsah adalah prinsip keadilan,


kejujuran, persamaan, persaudaraan, dan persatuan. Dengan istilah lain, al-adalah,
al-amanah, al-musawah, al-ukhuwah, dan al-wihdah. Untuk ter- laksananya
prinsip tersebut, diperlukan supremasi hukum, pemerataan, kesejahteraan
ekonomi, penghormatan terhadap hak hidup, hak memiliki, hak dilindungi
kehormatan kemanusiaannya dalam suasana yang demokratis, baik di tingkat
nasional ataupun internasional.
Dalam realisasinya, diperlukan al-ijma al-siyasi (konsensus atau kesepa-
katan) yang menuju kepada kemaslahatan bersama. Dan apa yang telah di-
sepakati harus didahulukan daripada perbedaan-perbedaan yang ada, sesuai
dengan kaidah al-mutafaq alaih. Muqadamun ala al-mukhtalaf fih. Kesepakatan-
kesepakatan yang telah dibuat hanya dapat diubah dengan kesepakatan-
kesepakatan lain yang sama kekuatannya.

Pengambilan keputusan yang ideal adalah dengan musyawarah, mufakat


dalam keadaan-keadaan tertentu. Pengambilan keputusan dengan voting tidaklah
dilarang. Asal ada kesepakatan sebelumnya bahwa di dalam peng- ambilan
keputusan dapat digunakan voting. Kebenaran, kebaikan, dan keindahan
diakumulasikan dengan kata- kata arif dan bijaksana, selalu menjadi acuan dalam
pengambilan keputusan. Kearifan dan kebijaksanaan itu akan terwujud apabila
pemimpin selalu berorientasi kepada kemaslahatan rakyat banyak sesuai dengan
kaidah: taharuf al-imam ala ra'yah manuthun bi al-mashlahah. (Kebijakan seorang
pemimpin harus mengikuti kemaslahatan rakyat banyak).

Kebijakan-kebijakan yang maslahat baik dalam siyâsah dustûriyah,


dawliyah, dan maliyah di dalam pelaksanaannya disadari akan selalu men-
dapatkan tantangan dan hambatan. Walaupun demikian, kebijakan tersebut harus
diupayakan seoptimal mungkin keberhasilannya, sekalipun pada akhirnya
tujuannya tidak tercapai secara sempurna. Hal tersebut tercermin dalam kaidah:
ma la yudroku kulluhu fala yudroku kulluhu (apa yang tidak tercapai seluruhnya,
tidak boleh ditinggalkan seluruhnya). Kaidah ini menunjukkan fleksibilitas fiqh
siyasah di satu sisi, dan di sisi lain tetap konsisten dalam konteks kejuangan

Dalam tingkat tertentu, figh siyásah menyentuh seni memimpin umat.


Memang tidak mudah, tetapi wajib dilaksanakan. Dengan kata lain, implementasi
fiqh siyasah merupakan sesuatu yang sulit, tapi perlu. Dalam Fiqh siyasah,
dustiriyah, dauliyah, dan maliyah dikendalikan oleh rambu-rambu moral dan
hukum. Rambu-rambu tersebut dapat berupa beberapa dalil kully baik Al-Qur'an
maupun Hadis, maqashidu syariah, semangat ajaran Islam, dan kaidah-kaidah
hukum yang sudah mapan. Selebihnya di dalam mengatur kehidupan umat
diserahkan kepada ijtihad para ulama selama masih di dalam rambu-rambu
tersebut dan senantiasa diorien- tasikan untuk kemaslahatan umat.

Ukuran kemaslahatan ditentukan oleh: (1) kesesuaian dengan rambu-


rambu tersebut di atas; (2) rasional; (3) bersifat umum; dan (4) dapat dilaksa-
nakan. Dalam fiqh siyasah, diperlukan kecermatan kondisi umat. Keterlambatan
atau telat di-dam menentukan kebijakan bisa membawa kegagalan sesuai dengan
kaidah-kaidah Mau ta'ajala bi syaiin qabla awanih ugiba bihi mawanihi.

Kepedulian terhadap orang-orang lemah (mustadh'afirò pada umumnya dan fakir


miskin khususnya sangat kuat terutama kepada lembaga-lembaga dan negara-
negara yang miskin. Agar harta tidak hanya berputar di lembaga- lembaga dan
negara-negara kaya demi kemakmuran bersama.

Setiap pungutan kepada rakyat atau lembaga-lembaga nasional dan internasional


harus disertai dengan perlindungan al-jibayah bi al-himayah

Ulil al-amri wajib melaksanakan dan bertanggung jawab atas amanat yang
telah diberikan kepadanya dan menegakkan hukum dengan adil, sedangkan rakyat
wajib menaati dan mengawasi uli al-amr baik langsung maupun melalui
perwakilan.

Ulu al-amr mempunyai hak untuk ditaati dan mendapatkan fasilitas dalam
melaksanakan tugasnya secara wajar, dan rakyat mempunyai hak untuk dijamin
dan dilayani hak-haknya baik selaku warga negara maupun selaku manusia
dengan adil.

Di dalam siyasal dustüriyah secara empiris dapat dipelajari melalui


Undang-Undang Dasar suatu negara dan sejumlah peraturan pelaksanaan- nya. Di
dalam siyȧsah dawliyah, dapat dipelajari melalui piagam-piagam dan perjanjian-
perjanjian serta kebiasaan-kebiasaan internasional dan lembaga-lembaga politik
internasional. Dalam siyasah maliyah dapat dipelajari melalui hukum-hukum
ekonomi dan lembaga-lembaga ekonomi nasional dan internasional.

Bagaimanapun hasil ijtihad ulama khususnya di bidang siydásah akan


dihargai selam masih di dalam rambu-rambu syariah. Rambu-rambu tersebut
adalah:

1. Berhubungan dengan maqasidu syariah, yaitu menjaga dan meme- lihara


(hifdz) agama, diri, baik rohani maupun jasmani, akal, keluarga, harta, dan
umat (hifdzu al-din, hifdzu al-aqal, hifdzu al-nasal, hifdzu al-mal, hifdzu
al-umah).
2. Tidak keluar dari dalil-dalil kully dari Al-Qur'an dan Hadis (dalil yang
memiliki nilai universal) seperti; keadilan, kerahmatan, kemaslahatan, dan
memiliki makna bagi kehidupan.
3. Tidak bertentangan dengan semangat hukum Islam (ruh al-hukmi, seperti,
semangat perdamaian, persaudaraan, persamaan, kemerdekaan, dan akhlak
yang terpuji.
4. Hasil ijtihad tersebut merupakan penerapan dari kaidah-kaidah hukum
Islam yang general (Al-qawaid Al-kuliyah Al-fiqhiyah seperti; untuk
meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan, cukup meyakinkan
dalam kebenarannya, kebaikannya, dan keindahannya. Dilakukan dengan
niat baik untuk mencapai keridhaan Allah SWT. dan menghargai tradisi
yang berman- faat bagi manusia.

Anda mungkin juga menyukai