Anda di halaman 1dari 13

ANALISIS MAQASHID SYARIAH FATWA DSN

MUI NO: 98/DSN-MUI/XII/2015 TENTANG PEDOMAN


PENYELENGGARAAN JAMINAN SOSIAL
KESEHATAN SYARIAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh dan Maqasih Syariah

Disusun oleh:
Rino Purnomo (1806022020)

Dosen: Dr. Maftuhatusolikhah, M.Ag/ Dr. M. Rusydi, M.Ag

PROGRAM MAGISTER EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah ajaran yang sumbernya dari Tuhan, shalih likulli zaman
wa makan, karena memang sifat dan tabiat ajaran Islam yang relevan dan
realistis sepanjang sejarah peradaban dunia, kebenaran Islam sebagai sebuah
aturan universal yang bisa dipakai kapan saja, dimana saja, dan dalam kondisi
apa saja mulai dibukanya lembaran awal kehidupan, sampai pada episode
akhir dari perjalanan panjang kehidupan ini. Hukum islam dibuat untuk
mencapai kemaslahatan manusia,tak terkecuali hukum islam yang diyakini
bersumber dari Al-quran, hadist ataupun imam-imam mazhab (fiqh). Semua
hukum, baik yang berbentuk perintah maupun yang berbentuk larangan, yang
terkandung dalam teks-teks syariat bukanlah sesuatu yang hampa tak
bermakna. Akan tetapi semua itu mempunyai maksud dan tujuan, dimana
Tuhan menyampaikan perintah dan larangan tertentu atas maksud dan tujuan
tersebut. Oleh para ulama hal tersebut mereka istilahkan dengan Maqashid al-
syariah.
Dalam penetapan hukum syariat yang berhubungan dengan muamalah
terbuka pintu ijtihad yang tujuannya memberikan kemaslahatan dan bukan
kerugian bagi umat. Hal ini berhubungan dengan upaya pembentukan atau
pengembangan hukum yang baru yang tidak ada dalam al-quran dan as-
sunnah yang ditinjau dari pendekatan maslahat, yang dilakukan dengan
ijtihad. Selain itu juga sangat berhubungan dengan maqashid syariah sebagai
alasan (‘illah) atau hikmah dalam melakukan ijtihad.
Kebijakan pemerintah tentang jaminan sosial merupakan salah satu
kewajiban negara dalam melindungi rakyat. Jaminan sosial BPJS kesehatan
jika dilihat dari maqashid syariah bahwa jaminan tersebut harus memberikan
kemaslahatan bagi semua elemen masyarakat, agar masyarakat memiliki
kehidupan yang lebih baik dan kesejahteraan dapat dinikmati oleh seluruh
rakyat. Dalam maqashid syariah ada 5 tujuan yang harus terpenuhi yaitu
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kondisi yang ideal dalam
memberikan jaminan sosial atau BPJS kesehatan dalam syariat islam adalah
terpenuhi semua tujuan dari maqashid syariah bagi semua masyarakat.
Dalam ekonomi islam konsep maslahah maknanya lebih luas dari
sekedar utility atau kepuasan dalam ruang lingkup ekonomi konvensional.
Konsep maslahah dalam ekonomi islam adalah sifat atau kemampuan barang
dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan
manusia di bumi ini. Dikaitkan dengan Maqashid Syariah, maka maslahah
adalah semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan
terpeliharanya kelima elemen Maqashid asy-Syariah pada setiap individu.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Maqashid Syariah
Maqashid Syariah Secara etimologi maqashid al-syari`ah terdiri
dari dua kata yakni maqashid dan al-syari`ah. Maqashid bentuk plural
dari ‫مقصد‬,‫قص==د‬,‫مقص==د‬, atau ‫قص==ود‬ yang merupakan derivasi dari kata kerja
qashada yaqshudu dengan beragam makna seperti menuju
arah,tujuan,tengah-tengah,adil dan tidak melampaui batas. Makna tersebut
dapat dijumpai dalam penggunaan kata qashada dan derivasinya dalam
Al-quran. Sementara syari’ah secara etimologi bermakna‫المواضعتحدراليالماء‬ 
artinya Jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air dapat juga
diartikan berjalan menuju sumber kehidupan1. Sedangkan syariah menurut
terminologi adalah jalan yang ditetapkan Tuhan yang membuat manusia
harus mengarahkan kehidupannya untuk mewujudkan kehendak Tuhan
agar hidupnya bahagia di dunia dan akhirat. Sedangkan menurut Manna
al-Qathan yang dimaksud dengan syariah adalah segala ketentuan Allah
yang disyariatkan bagi hamba-hambanya baik yang menyangkut akidah,
ibadah, akhlak, maupun muamalah. Jadi, dari defenisi di atas, dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan maqashid al-syari`ah adalah
tujuan segala ketentuan Allah yang disyariatkan kepada umat manusia.2
Dalam kehidupan sahari-hari ketika ulama menyebutkan kata syai’ah, kita
bisa melihat bahwa kata tersebut mengangdung dua arti: Pertama: seluruh
agama yang menyangkut aqidah, ibadah, adab, hukum, akhlak dan
mu’amalah. Dengan kata lain syari’at menyangkut ushul dan furuq, aqidah
dan amal, serta teori dan aplikasi. Ia mencakup seluruh sisi keimanan dan
akidah-Tuhan, Nabi dan Sam’iyat dan sebagaimana ia pun mencakup sisi
lain sepeti ibadah, mu’amalah, dan akhlak yang dibawa oleh islam serta
dirangkum dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk kemudian dijelaskan
oleh ulama aqidah, fiqih dan akhlak. Kedua, sisi hukum amal di dalam
1
Prof Dr.Abd A’la,Ma,fiqh minoritas(Yogyakarta:Penerbit PT.LKiS Yogyakarta 2010)
hal. 26
2
Hasbi umar,Nalar Fiqh(Jakarta:Gaung Persada,2007) hal 120.
agama. Seperti ibadah dan mu’amalah yang mencakup hubungan dan
ibadah kepada Allah SWT. Serta, mencakup juga urusan keluarga (al-
Ahwal asy-Syahsyiyah), masyarakat, umat, negara, hukum dan hubungan
luar negeri.3

Sebagian ulama’ mendefinisikan Maqasid Syari’ah sebagaimana


Abdullah ketika kuliah bersama Prof. Dr. Nawir Yuslim, M.A dalam
konsep Maqasid Syari’ah.
‫المقاصد العام للشارع فى تشريعة االحكام هومصالح الناس بكفلة وتوقيرضرورياتهم‬
=‫حاجياتهم= وتحسناتهم‬.
Artinya: Maqshid syari’ah secara umum adalah kemaslahatan bagi
manusia dengan memelihara kebutuhan dharuriat mereka dan
menyempurnakan kebutuhan hajiat dan tahsiniat mereka.4

B. Syariah ditetapkan untuk kemaslahatan Hamba didunia dan di


akhirat.
Ibnu qayyim menjelaskan bahwa Tujuan Hukum Islam adalah
untuk mewujudkan kemashlahatan hamba dunia dan akhirat. Menurutnya,
seluruh hukum itu mengandung keadilan, rahmat, kemashlahatan dan
Hikmah, jika keluar dari keempat nilai yang dikandungnya, maka hukum
tersebut tidak dapat dinamakan Hukum Islam.5 Hal senada juga
dikemukakan oleh al-syatibi, Ia menegaskan bahwa semua kewajiban
diciptakan dalam rangka merealisasikan kemashlahatan hamba. Tak
satupun hokum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang tidak
mempunyai tujuan sama juga dengan taklif ma la yutaq’ (membebankan
sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan).6 Dalam rangka mewujudkan
kemashlahatan dunia dan akhirat itulah, maka para ulama Ushul Fiqh
merumuskan tujuan hukum Islam tersebut kedalam lima misi, semua misi
ini wajib dipelihara untuk melestarikan dan menjamin terwujudnya

3
Fiqih Maqashid Syari’ah, Yusuf al Qaradhawi (Jakarta Timur; Pusataka Al-Kautsar,
2007), hlm. 16
4
Asafri Jaya, Konsep, h. 64. bisa dilihat lebih lanjud: Al Syatiby: Muwwafaqat, (Kairo:
Mustafa Muhammad, t.th.), Jilid I, h.21.
5
Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), Jilid II, h. 1017.
6
Al- Syatiby, al-Muafaqat fi Ushul al- Syari’ah, (Kairo: Mustafa Muhammad, t.th.), h.
150. 
kemashlahatan. Kelima misi (Maqashid al-Syari’ah / Maqashid al-
Khamsah) dimaksud adalah memelihara Agama, Jiwa, Aqal, Keturunan
dan Harta.7
Untuk mewujudkan dan memelihara kelima unsur pokok itu, al-
Syatibi membagi kepada tiga tingkat, ‫حاجي ات‬ ,‫الض روريات مقاصد‬
‫مقاصد‬ dan ‫مقاص د التحس ينات‬ .8 Pengelompokan ini didasarkan pada kebutuhan
dan skala prioritas. Urutan level ini secara hirarkhis akan terlihat
kepentingan dan siknifikansinya, manakala masing-masing level satu sama
lain saling bertentangan. Dalam konteks ini level Dharuriyyat menempati
peringkat pertama disusul Hajiyyat dan Tahsiniyyat. level Dharuriat
adalah memelihara kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan
manusia. Bila kebutuhan ini tidak terpenuhi akan mengancam eksistensi
kelima tujuan diatas. Sementara level Hajiyyat tidak mengancam hanya
saja menimbulkan kesulitan bagi manusia. Selanjutnya pada level
Tahsiniyyat, adalah kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat
seseorang dalam masyarakat dan dihadapan Allah Swt. Sebagai contoh,
dalam memelihara unsur Agama, aspek daruriayyatnya antara lain
mendirikan Shalat, shalat merupakan aspek dharuriayyat, keharusan
menghadap kekiblat merupakan aspek hajiyyat, dan menutup aurat
merupakan aspeks tahsiniyyat9. Ketiga level ini, pada hakikatnya adalah
berupaya untuk memelihara kelima misi hukum Islam.
Guna mendapatkan gambaran koprehensif tentang tujuan Syari’ah,
berikut ini akan dijelaskan ketujuh misi pokok menurut kebutuhan dan
skala prioritas masing-masing.
1. Memelihara Agama (‫) حفظ الدين‬
Menjaga atau memelihara agama, berdasarkan
kepentingannya,dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara Agama dalam peringkat Dharuriyyat, yaitu memelihara
dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk peringkat
primer, seperti melaksanakan Shalat lima waktu. Kalau shalat itu
diabaikan maka akan terancamlah eksistensi Agama.

7
Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-mustashfa min ‘Ilm al-
Ushul, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th),h. 20
8
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi ( Jakarta: Logos
wacana Ilmu, 1997), h. 71.
9
Ibid, h. 72
b. memelihara Agama dalam peringkat Hajiyyat, yaitu melaksanakan
ketentuan Agama, dengan maksud menghindari kesulitan, seperti
shalat jama’ dan shalat qashar bagi orang yang sedang berpergian.
Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam
eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit bagi orang yang
melakukannya.
c. Memelihara agama dalam peringkat tahsiniyyat, yaitu mengikuti
petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia sekaligus
melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap tuhan. misalnya menutup
aurat, baik didalam maupun diluar shalat, membersihkan badan
pakaian dan tempat, ketiga ini kerap kaitannya dengan Akhlak yang
terpuji. Kalau hal ini tidak mungkin untuk dilakukan, maka hal ini
tidak akan mengancam eksistensi agama dan tidak pula mempersulit
bagi orang yang melakukannya.
2. Memelihara jiwa  (‫) حفظ النفس‬
Memelihara jiwa, berdasarkan tingkat kepentingannya, dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. memelihara jiwa dalam peringkat daruriyyat, seperti memenuhi
kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup.
Kalau kebutuhan pokok ini diabaikan, maka akan berakibat
terancamnya eksistensi jiwa manusia.
b. memelihara jiwa, dalam peringkat hajiyyat, seperti diperbolehkan
berburu binatang dan mencari ikan dilaut Belawan untuk
menikmati makanan yang lezat dan halal. kalau kegiatan ini
diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi manusia,
melainkan hanya mempersulit hidupnya.
c. memelihara dalam tingkat tahsiniyyat, seperti ditetapkannya
tatacara makan dan minum, kegiatan ini hanya berhubungan
dengan kesopanan dan etika, sama sekali tidak akan mengancam
eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit kehidupan
seseorang.
3. Memelihara Aqal  (‫) حفظ العقل‬
Memelihara aqal, dilihat dari segi kepentingannya, dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara aqal dalam peringkat daruriyyat,seperti diharamkan
meminum minuman keras. Jika ketentuan ini tidak diindahkan,
maka akan berakibat terancamnya eksistensi aqal.
b. Memelihara aqal dalam peringkat hajiyyat, seperti dianjurkannya
menurut Ilmu pengetahuan. Sekiranya hal itu dilakukan, maka
tidak akan merusak aqal, tetapi akan mempersulit diri seseorang,
dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
c. Memelihara aqal dalam peringkat tahsiniyyat. Seperti
menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu
yang tidak berfaedah. Hal ini erat kaitannya dengan etika, tidak
akan mengancam eksistensi aqal secara langsung.
4. Memelihara keturunan (‫) حفظ النسل‬
Memelihara keturunan, ditinjau dari segi tingkat kebutuhannya,
dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara keturunan dalam peringkat daruriyyat, seperti
disyari’atkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini
diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam.
b. memelihara keturunan dalam peringkat hajiyyat, seperti
ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada
waktu aqad nikah dan diberikan hak talak padanya. Jika mahar itu
tidak disebutkan pada waktu aqad, maka suami akan mengalami
kesulitan, karena ia harus membayar mahar misl, sedangkan dalam
kasus talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak
menggunakan hak talaknya, padahal situasi rumah tangganya tidak
harmonis.
c. memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyyat, seperti
disyari’tkan khitbah atau walimah dalam perkawinan. Hal ini
dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal
ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan,
dan tidak pula mempersulit orang yang melakukan perkawinan.
5. Memelihara Harta (‫)حفظ المال‬
Dilihat dari segi kepentingannya, Memelihara harta dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. memelihara harta dalam peringkat daruriyyat, seperti Syari’at
tentang tatacara pemilikan harta dan larangan mengambil harta
orang lain dengan cara yang tidak sah, apabila aturan itu dilanggar,
maka berakibat terancamnya eksistensi harta.
b. memelihara harta dalam peringkat hajiyyat seperti syari’at tentang
jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai, maka
tidak akan terancam eksistensi harta, melainkan akan mempersulit
orang yang memerlukan modal.
c. memelihara harta dalam peringkat tahsiniyyat, seperti ketentuan
tentang menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal ini
erat kaitannya dengan etika bermuamalah atau etika bisnis. Hal ini
juga akan mempengaruh kepada sah tidaknya jual beli itu, sebab
peringkat yang ketiga ini juga merupakan syarat adanya peringkat
yang kedua dan pertama.
Dari paparan diatas, dapat dipahami bahwa tujuan atau hikmah
pensyari’atan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan
melalui pemeliharaan lima unsur pokok, yaitu agama, jiwa, Aqal,
keturunan dan harta. Mengabaikan hal ini sama juga dengan merusak visi
dan misi hokum islam. Dengan demikian akan menuai kemudharatan atau
kesengsaraan hidup.

C. Analisis Maqashid Syariah Tentang Pedoman Penyelenggaraan


Jaminan Sosial Kesehatan Syariah
Dari kelima aspek maqashid syariah diatas, maka konsep Maqasid
Syariah yang relevan dengan Pedoman Penyelenggaraan Jaminan Sosial
Kesehatan Syariah adalah agama, jiwa, dan harta. Indikator-indikator yang
digunakan dengan melihat ketiga aspek diatas diantaranya :
1. Jaminan kehidupan
Dalam syariat islam, pemimpin wajib menjamin kehidupan
rakyatnya, seorang pemimpin menjamin kebutuhan rakyatnya yaitu
kebutuhan dasar atau primer, salah satu contohnya adalah jaminan
kesehatan. Dalam hadis shahih Muslim diriwayatkan bahwa dari Jubir
RA, dia berkata: Rasullullah SAW telah mengirim seorang dokter
kepada ubay bin ka’ab (yang sedang sakit). Dokter itu memotong salah
satu urat ubay bin ka’ab lalu melakukan kay (pengecosan dengan besi
panas) pada urat itu (HR Muslim). Dalam hadis tersebut, Rasullullah
SAW sebagai kepala Negara islam telah menjamin kesehatan
rakyatnya. Jaminan social merupakan salah satu bentuk dari jaminan
kehidupan.
Jaminan sosial BPJS Kesehatan merupakan bentuk tanggung
jawab pemerintah terhadap rakyat untuk memberikan kemudahan
dalam fasilitas berobat. Seluruh rakyat wajib menjadi anggota peserta
BPJS Kesehatan, jaminan social BPJS Kesehatan menggunakan system
asuransi sosial, yaitu sistem yang tidak mengandalkan laba tetapi saling
tolong menolong.
2. Solidaritas sosial
QS. Al-Maidah: 2 berbunyi “dan tolong menolonglah kamu
dalam kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamun kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
Dalam konteks Jaminan sosial BPJS Kesehatan mengacu pada
prinsip-prinsip SJSN, salah satu prinsip tersebut adalah prinsip
kegotongronyongan. Dimana dalam prinsip tersebut tersirat bahwa
sesama manusia kita harus saling tolong menolong. Peserta yang
mampu membantu peserta yang kurang mampu, dan peserta yang
sehat membantu peserta yang sakit.
3. Keadilan
Dalam Islam diperintahkan bawha kita harus menegakkan
keadilan pada setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan. Qs. An-
Nisaa (4): 58: “Sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mendengar dan Maha Melihat.
Dalam konteks peraturan BPJS Kesehatan yang terdapat dalam
UU Penyelenggaran BPJS dijelaskan bahwa pemerintah sudah
membagi kelompok-kelompok BPJS Kesehatan sesuai dengan
kemampuan atau sesuai dengan kesanggupan mereka berada di kelas
BPJS kesehatan. Idak hanya itu, pemerintah juga bersedia
menganggung iuran BPJS Kesehatan bagi fakir miskin. Peran
pemerintah dalam penyelenggaraan BPJS Kesehatan penting sekali,
dan pemerintah berusaha ingin melindungi semua warganya dengan
baik dan adil.
4. Terpenuhinya kebutuhan primer
Kebutuhan primer dalam islam mencakup pada kebutuhan
terhadap barang berupa pangan, sandang dan papan, serta kebutuhan
terhadap jasa berupa keamanan, pendidikan, dan kesehatan. Setiap
manusia harus menjaga kesehatannya ketika bekerja atau sedang
beraktivitas sehari-hari. Rasullullah saw bersabda: Barangsiapa yang
bangun pagi dalam keadaan aman jiwanya, sehat badannya dan
disampingnya ada makanan hari itu, maka seakan-akan dunia ini telah
dikumpulkan baginya. (Al-Hadis).
Dalam konteks BPJS Kesehatan, Kartu BPJS Kesehatan digunakan
ketika peserta sedang berobat ke rumah sakit. Kemudahan yang diberikan
dengan adanya Kartu BPJS Kesehatan adalah meringankan biaya berobat
yang sewaktu-waktu bisa mahal. Dengan menjaga kesehatan yaitu dengan
pola terpenuhinya kebutuhan makan dan minum setiap hari maka akan
menjaga kesehatan dan agat terhindar dari penyakit.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Jaminan sosial, dengan demikian, menduduki posisi yang sangat
penting dalam Islam. Karena itu, secara substansial, program pemerintah
Indonesia menerapkan sistem jaminan sosial di Indonesia melalui konsep
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang sudah diundangkan pada 2004 dan
melalui pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang
diundangkan pada 2011 sesungguhnya merupakan tuntutan dan imperatif
dari ajaran syariah. Maka, kita patut mengapresiasi kepada negara atau ulil
amri  (pengelola negara) yang telah menerapkan program kesejahteraan
masyarakat melalui pembentukan BJPS ini, baik BJPS Kesehatan maupuan
BJPS Ketenagakerjaan.
B.
DAFTAR PUSTAKA

A’la,abd.2010.fiqih minoritas.yogyakarta: PT.LkiS, 2010


Al- Qardhawi.yusuf.2007.fiqih maqashid syari’ah. Jakarta Timur: Pusataka Al-
Kautsar.2007
Bakri, Asafri Jaya, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi, Jakarta: P.T.
Raja grafindo Persada, 1996.
Ghazali, Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al-, al-mustashfa min ‘Ilm
al-Ushul, Beirut: Dar al-Fikr, t.th
Syatiby, Abu Ishaq, Ibrahim bin Musa, Al-, al-Muafaqat fi Ushul al- Syari’ah,
Kairo: Mustafa Muhammad, t.th.
Umar,hazbi.2007.nalar fiqih.jakarta: gaung persada.2007
Zuhaili, Wahbah al-, Ushul Fiqh Islamy, (Damaskus: Dar al -Fikr, tahun 1986).

Anda mungkin juga menyukai