Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH HIKMATUT TASYRI

MAQID AL-AHKAM: DLARURIYAT,


HAJIYAT, DAN TAHSINIYAT
Dosen Pengampu : Ermita Zakiyah, M.Th.I
Disusun oleh :
Faza

(13110

Binti Nurhamidah

(13110096)

Aji Bagus Khoiri

(13110139)

KELAS PAI-C
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
JAWA TIMUR
MARET 2016

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan hidayah serta inayah-Nya
kepada kita, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat
waktu, sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan pada nabi Muhammad SAW
yang telah membimbing kita pada addinul Islam yang di ridhoi Allah.
Dalam

makalah

yang

berjudul

MAQID

AL-AHKAM:

DLARURIYAT, HAJIYAT, DAN TAHSINIYAT ini, kami membahas tentang


berbagai tujuan dari disyariatkannya hukum-hukum Islam. Karena itu, yang
menjadi bahasan utama di dalamnya adalah mengenai masalah hikmat dan ilat
ditetapkannya suatu hukum
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan, maka dari itu saran dan kritik yang membangun sangat kami butuhkan,
agar dalam pembuatan makalah selanjutnya kami bisa menjadi lebih baik lagi.
Kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya,
dan bagi penyusun pada khususnya.

Malang, Maret 2016

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A.

Latar belakang masalah ....................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 2


A.

Pengertian Maqid asy-syariah/ Maqid al-ahkam .......................................... 2

B.

Maksud Syara Membuat Hukum....................................................................... 3

C.

Lima Hal Pemeliharaan Maqid al-ahkam........................................................ 4

D.

Macam-Macam Maqid al-ahkam...................................................................... 6

E.

Urutan Maqid al-ahkam .................................................................................... 9

BAB III PENUTUP ......................................................................................................... 11


A.

Kesimpulan .......................................................................................................... 11

Daftar Pustaka ................................................................................................................ 12

ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah


Al-Quran dan Sunnah Nabi SAW sebagai sumber utama hukum
Islam selain menunjukkan hukum dengan bunyi bahasanya juga dengan ruh
tasryi atau Maqid al-ahkam. Melalui Maqid al-ahkam inilah ayat-ayat
dan hadits-hadits hukum yang secara kuantitatif sangat terbatas jumlahnya
dapat dikembangkan untuk menjawab permasalahanpermasalahan yang
secara kajian kebahasaan tidak tertampung oleh al-Quran dan Sunnah.
Pengembangan ini dengan menggunakan metode istimbat seperti qiyas,
istihsan, maslahah mursalah, dan urf yang juga disebut sebagai dalil.
Dengan pencetusan sebuah hukum syariah, maka butuh tujuantujuan yang yang lebih mengarah kepada kemaslahatan-kemaslahatan yang
diberikan oleh Allah kepada hambaNya. Allah tidak serta merta
memberikan sebuah hukum yang tanpa mempertimbangkan kepentingan
dan kemaslahatan hambaNya. Maka dari itu ada tujuan-tujuan dalam hukum
syariah. Dalam makalah akan dibicarakan tiga tujuan hukum syariah,
yaitu: dloruriyyat, hajiyyat dan tahsiniyyat.

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Maqid asy-syariah/ Maqid al-ahkam
Sebelum kita melangkah pada pengertian Maqid asy-syariah, terlebih
dahulu kita jelaskan pengertian syariah secara terpisah. Dalam literatur hukum
islam dapat ditemukan pendapat-pendapat ulama tentang syariah ini.
Dalam

periode-periode

awal,

syariah

merupakan

al-nusus

al-

Muqaddas(Nash-nash suci) dari al-Quran dan as-sunnah yang mutawatir yang


sama sekali belum dicampuri pemikiran manusia. Dalam wujud seperti syariah
disebut at-tariwah al mustaqimah. Muatan syariah dalam arti ini mencangkup
aqidah, amaliyah, dan khuluqiyyah. 1
Sebagaimana yang ada di dalam kamus dan penjelasannya bahwa syariat
adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah bagi hamba-Nya tentang urusan agama,
atau, hukum yang ditetapkan dan diperintahkan oleh Allah baik berupa ibadah
(puasa, shalat, haji, zakat, dan seluruh amal kebaikan) atau muamalah yang
menggerakkan kehidupan manusia (jual, beli, nikah, dan lain-lain). Allah SWT
berfirman :

18. Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari
urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu
orang-orang yang tidak mengetahui 2
Islam memiliki kitab suci al-Quran. Sebagai sumber utama, al-Quran
mengandung berbagai ajaran. Di kalangan ulama ada yang membagi kandungan
al-Quran kepada tiga kelompok besar yaitu, aqidah, khuluqiyyah, dan amaliyah.
Aqidah berkaitan dengan dasar-dasar keimanan. Khuluqiyyah berkaitan dengan

Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syariah Menurut Syatibi ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1996 ), hlm.60.
2
Yusuf Al Qaraddhawi, Fiqih Maqashid Syariah (Jakarta: Pustaka Al Kaustar, 2007), hlm.12.

etika dan akhlak. Amaliyah berkaitan dengan aspek-aspek hukum yang keluar dari
Aqwl (ungkapan-ungkapan), dan afal (perbuatan-perbuatan manusia).
Secara bahasa, Maqid asy-syariah terdiri dari dua kata yakni, Maqid
dan asy-syariah. Maqaid adalah bentuk jamak dari Maqid yang berarti
kesengajaan atau tujuan, asy-syariah berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju
sumber air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan. 3
Al-ahkam

merupakan jamak dari Hukum, Penggunaan term bahkan maupun

syariah tetap merujuk pada satu definisi yaitu hukum Islam itu sendiri. Menurut
asy-Syatibi, Maqid asy-syariah merupakan tujuan syariah yang lebih
memperhatikan kepentingan umum. 4
Menurut istilah, Maqid asy-syariah adalah kandungan nilai yang menjadi
tujuan persyariatan hukum. Jadi, Maqid asy-syariah adalah tujuan-tujuan yang
hendak dicapai dari suatu penetapan hukum.
B. Maksud Syara Membuat Hukum
Nash-nash al-Quran dan ayat-ayatnya menjelaskan bahwa tujuan dari
Hukum Islam, baik secara global maupun secara terperinci, ialah:
Mencegah

kerusakan

dari

dunia

manusia

dan

mendatangkan

kemaslahatan kepada mereka mengendalikan dunia dengan kebenaran dan


keadilan dan kebajikan serta menerangkan tanda-tanda jalan yang harus dilalui di
hadapan akal manusia 5
Manfaat yang diperoleh dari mematuhi perintah Allah dan mudharat yang
diderita lantaran mengerjakan maksiat kembali kepada si mukallaf sendiri, baik
kepada perorangan maupun kepada masyarakat.
Tujuan Allah SWT mensyariatkan hukumnya adalah untuk memelihara
kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari mafsadat, baik di dunia
maupun di akhirat. Tujuan tersebut hendak di capai melalui taklif, yang
Totok, Kamus Ushul Fiqih (Jakarta: Dana Bakti Wakaf, 2005), hlm.97.
Sahal Mahfudh, Nuansa Fikih Sosial (Yogyakarta: LKIS, 1994), hlm.22.
5
M. Hasbi Ash-Shiddiqiey, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 177
3
4

pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum yang utama, al-Quran


dan Hadist. Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat,
berdasarkan penelitian para ahli ushul fiqh, ada lima unsure pokok yang harus di
pelihara dan di wujudkan. Kelima pokok tersebut adalah agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta. Seorang mukallaf akan memperoleh kemaslahatan, manakala
ia dapat memelihara kelima aspek pokok tersebut, sebaliknya ia akan merasakan
adanya mafsadat, manakala ia tidak dapat memelihara kelima unsure pokok tersebut
dengan baik. 6
C. Lima Hal Pemeliharaan Maqid al-ahkam
Maqid al-ahkam yang ditujukkan melalui hukum-hukum Islam dan
ditetapkan berdasarkan nash-nash agama adalah maslahat hakiki. Maslahat ini
mengacu terhadap pemeliharaan terhadap lima hal: agama, jiwa, akal, keturunan
dan harta. Kehidupan dunia ditegakkan atas lima pilar tersebut, tanpa terpeliharanya
kelima hal ini tidak akan tercapai kehidupan manusia yang luhur secara sempurna.
Kemuliaan manusia tidak bisa dipisahkan dari pemeliharaan kelima hal ini.
Abu Zahrah menjelaskan sebagai berikut:
1) Memelihara Agama (al-Muhafazhah ala al-Diin)
Agama

merupakan

keharusan

bagi

manusia,

dengan

nilai-nilai

kemanusiaaan yang dibawa oleh ajaran agama, manusia lebih tinggi


derajatnya dari derajat hewan. Sebab keagamaan adalah ciri khas manusia.
Dalam rangka memelihara dan mempertahankan kehidupan beragama serta
membentengi jiwa dengan nilai-nilai keagamaan itulah, maka berbagai
macam ibadah disyariatkan. Ibadah-ibadah itu dimaksudkan untuk
membersihkan jiwa dan menumbuhkan semangat keberagamaan.
2) Memelihara Jiwa (al-Muhafazhah ala an-Nafs)
Ialah memelihara hak untuk hidup secara terhormat dan memelihara jiwa
agar terhindar dari tindakan pengganiayaan, berupa pembunuhan,
pemotongan anggota badan maupun tindakkan melukai. Termasuk juga
6

http://stitattaqwa.blogspot.co.id/2011/06/maqasid-al-ahkam.html

memelihara kemuliaan atau harga diri manusia dengan jalan mencegah


perbuatan qadzaf (menuduh zina), mencaci maki serta perbuatan-perbuatan
serupa. Atau, berupa pembatasan gerak langkah manusia tanpa memberi
kebebasan untuk berbuat baik, karenanya Islam melindungi kebebasan
berkarya (berprofesi), kebebasan berfikir dan berpendapat, kebebasan
bertempat tinggal serta kebebasan-kebebasan lain yang bertujuan
menegakan pilar-pilar kehidupan manusia yang terhormat serta bebas
bergerak ditengah dinamika sosial yang utama sepanjang tidak merugikan
orang lain.
3) Memelihara Akal (al-Muhafadzah ala al-Aql)
Ialah terjaminnya akal fikiran dari kerusakan yang menyebabkan orang
yang bersangkutan tak berguna di tengah masyarakat, menjadi sumber
kejahatan, atau bahkan menjadi sampah masyarakat. Upaya pencegahan
yang bersifat prefentif yang dilakukan syariat Islam sesungguhnya
ditujukan untuk meningkatkan kemampuan akal pikiran dan menjaganya
dari berbagai hal yang membahayakannya. Diharamkannya meminum arak
dan segala sesuatu yang memabukkan/menghilangkan daya ingatan adalah
dimaksudkan untuk menjamin keselamatan akal.
4) Memelihara Keturunan (al-Muhafadzah ala an-Nasl)
Ialah jaminan kelestarian populasi umat manusia agar tetap hidup dan
berkembang sehat dan kokoh, baik pekerti serta agamanya. Hal itu dapat
dilakukan melalui penataan kehidupan rumah tangga dengan memberikan
pendidikan dan kasih sayang kepada anak-anak agar memiliki kehalusan
budi pekerti dan tingkat kecerdasan yang memadai.
5) Memelihara Harta (al-Muhafadzah ala al-Mal)
Mencegah perbuatan yang menodai harta, misalnya ghashab, pencurian.
Mengatur sistem muamalah atas dasar keadilan dan kerelaan serta mengatur
berbagai transaksi ekonomi untuk meningkatkan kekayaan secara
proporsional melalui cara-cara yang halal, bukan mendominasi kehidupan
perekonomian dengan cara yang lalim dan curang.

D. Macam-Macam Maqid al-ahkam


1. Ad-Daruriyat
Secara bahasa berarti kebutuhan yang mendesak atau darurat. Dalam
kategori ini ada lima hal yang perlu diperhatikan, yaitu memelihara agama,
memelihara jiwa, memelihara akal pikiran, memelihara kehormatan dan
keturunanan, serta memelihara harta benda. 7 Dalam kebutuhan Daruriyyat,
apabila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka akan mengancam
keselamatan umat manusia di dunia maupun di akhirat.
Definisi dari Ad-Daruriyat secara terminologi ialah segala sesuatu yang
harus ada untuk tegaknya kehidupan manusia baik secara duniawi maupun
secara diniyah, dalam arti apabila Ad-Daruriyat itu tidak berdiri maka rusaklah
kehidupan manusia di dunia ini dan hilanglah kenikmatan serta atas manusia
akan ditimpa azab yang pedih di akhirat nanti. 8
Ketika Tuhan menysriatkan shalat untuk menegakkan dan memelihara
unsure agama, syari memerintahkan agar shalat itu dikumandangkan dengan
adzan sesudah masuk waktu dan dikerjakan dengan berjamaah sebagai
kelengkapannya.
Tuhan menetapkan hukum qishash untuk memelihara jiwa seseorang.
Agar tercapai maksud semula tanpa menimbulkan akses yang berlebihan dan
permusuhan baru. Tuhan melengkapi syarat pelengkapannya hendaknya
sebanding antara hukum qishash yang dijatuhkan dengan tindakan yang pernah
dikerjakan. Untuk memelihara dan menjaga keturunan, syarat menetapkan
hukum perkawinan dan mengharamkan berzina.
Tatkala syariat mengharamkan minum khamar untuk memelihara akal,
maka syariat menetapkan keharaman itu secara mutlak, sekalipun sedikit atau
tidak sampai memabukkan peminumnya tetap di haramkan. 9
7

A. Djazuli, Fiqh Siyasah (Bandung: Prenada Media, 2003), hlm.397.


M. Hasbi Ash-Shiddiqiey, op.cit, hlm. 187
9
Muhammad Syukuri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2013),
hlm. 108
8

2. Maqasyid Hajiyat
Secara bahasa berarti kebutuhan-kebutuhan sekunder. Apabila
kebutuhan ini tidak terwujud tidak sampai mengancam keselamatan, namun
akan mengalami kesulitan.Untuk menghilangkan kesulitan tersebut, dalam
Islam terdapat hukum rukhsa (keringanan) yaitu hukum yang dibutuhkan untuk
meringankan beban, sehingga hukum dapat dilaksanakan tanpa rasa tertekan
dan terkekang. 10
Apabila sesuatu hajiyat ini tidak berwujud maka tidak akan
menyebabkan kehidupan menjadi terganggu, hanya saja akan menimbulkan
kesempitan hajat. Hajiyat ini berlaku dalam bidang ibadah, adat, Muamalat, dan
juga jinayah.
Dalam bidang ibadah misalnya rukshah yang menimbulkan keringanan
untuk menghindarkan masyaqqah lantaran sakit atau di perjalanan. Dalam
bidang adat misalnya diperbolehkan berburu memakan yang enak dan lezat
asalkan halal, memakai pakaian yang baik, mendiami rumah yang baik, dan
memakai kendaraan yang baik. Dalam bidang muamalah diperbolehkan
penjualan secara salam, diperbolehkan muzaro'ah, murabahah, tauliyah, dan
musaqoh, di bolehkan talak untuk menghindarkan kemelaratan dari suami istri.
Dalam bidang hukum atau bidang hukuman diharuskan tukang jahit membayar
kerugian orang yang memberikan pakaian kepadanya untuk dicuci atau
diberikan untuk dijahit menjadi baju. 11
Termasuk ke dalam hajiyat ini adalah memelihara kemerdekaan pribadi
dan kemerdekaan beragama. Dengan adanya kemerdekaan individu dan
kemerdekaan beragama maka manusia akan leluasa bergerak dengan bebas,
mengharamkan rampasan dan penyerobotan juga termasuk kedalam hajiyat,
begitu pula diharamkannya meminum khamar walaupun sedikit seperti
diharamkannya menjual minuman khamar.

10
11

Yusuf Al Qaraddhawi, op.cit, hlm.79.


M. Hasbi Ash-Shiddiqiey, op.cit, hlm. 190.

Tatkala syariat memberikan kemurahan kepada orang yang sedang


dalam bepergian untuk meng-qashar shalat lalu disempurnakan kemurahan itu
dengan diperbolehkan menjamanya.
Syara

memperbolehkan

orang

tua

untuk

menikahkan

anak

perempuannya yang belum dewasa, lalu kebolehan itu disempurnakan dengan


memberikan syarat adanya kafaah (seimbang) antara anak yang bakal dinikahi
dan mas kawinnya harus mahar mitsli (mas kawin yang nilainya sesuai dengan
kondisi sosial keluarga sang istri).
3. Maqasyid Tahsiniyat
Secara bahasa berarti hal-hal penyempurna(tersier). Tingkat kebutuhan
ini berupa kebutuhan pelengkap. Apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka
tidak akan mengancam dan tidak pula menimbulkan kesulitan. 12
Maksud tahsiniyat adalah mempergunakan segala yang layak dan pantas
yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik yang semuanya ini dicakup oleh
bagian makarimal akhlak atau juga bisa disebut dengan kebutuhan tersier. 13
Tahsiniyat ini berlaku dalam bidang ibadah, bidang adat, muamalah, dan
juga uqubat. Dalam bidang ibadah misalnya Syara mewajibkan bersuci untuk
untuk menegakkan urusan tahsiny. Kemudian kewajiban besuci itu
disempurnakan dengan aturan-aturan sunnah bagi bersuci, menutup aurat,
memakai yang indah, mengerjakan amalan-amalan sunah, bersedekah dan
sebagainya. Dalam bidang adat seperti memelihara adab makan, adab minum,
menjauhi makanan yang najis, dan tidak berlebih-lebihan, dalam bidang
muamalah seperti larangan menjual benda yang najis, dan tidak memberi air
yang lebih dari kadar keperluan kepada orang lain, dalam bidang uqubah seperti
tidak membenarkan kita mengadakan kicauan dalam peperangan, tidak

12
13

Yusuf Al Qaraddhawi, op.cit, hlm.80


M. Hasbi Ash-Shiddiqiey, op.cit, hlm. 191

membolehkan membunuh wanita, anak-anak kecil, dan para pendeta dalam


peperangan.
Begitu pula seperti mengharamkan para wanita berkeliaran di jalanjalan Raya dengan pakaian yang menarik dan menimbulkan syahwat bagi yang
melihatnya, memakai pakaian yang baik ketika kita sholat termasuk dalam
tahsiniyat, ini termasuk tahsiniyat dalam bidang ibadah. Termasuk juga dalam
bidang muamalah ialah melarang orang-orang kafir dzimmi menjajakan
dagangan minuman keras di perkampungan perkampungan orang Islam
E. Urutan Maqid al-ahkam
Sebagaimana diterangkan di awal bahwa maqasyid as-syariah adalah
untuk menegakkan dan memelihara ummur ad-dharuriyat itu adalah tujuan yang
sangat penting, sebab bila maqasyid ad-dharuriyat itu tidak tercapai maka
kehidupan manusia akan berantakan dan kemaslahatan umum akan musnah. 14
Berikutnya adalah maqasyid hajiyat. Maqasyid ini setingkat lebih rendah dari pada
yang pertama, lantaran jika sekiranya tidak tercapai hanya akan membawa kesulitan
bagi manusia, tidak sampai membawa kehancuran hidup. Tingkatan yang terakhir
adalah maqasyid tahsiniyat, tidak terpenuhinya maqasyidini dalam kehidupan
manusia tidaklah sekacau sekiranya maqasyid daruriyat dan tidak sesulit maqasyid
hajiyat jika tidak terwujud. Hanya saja tererpenuhinya maqasyid tahsiniyat tata
hidup manusia kurang sempurna dan tidak harmonis.
Atas dasar itulah hukum-hukum dan peraturan yang ditetapkan untuk
memelihara urusan dharuriyah lebih hak untuk dipelihara. Kemudian hukumhukum yang dibuat untuk urusan hajiyat dan tahsiniyat.
Pada hakikatnya hukum tahsiny dianggap sebagai penyempurna hukum
hajiy dan hukum hajiy sebagai penyempurna hukum dharuriy. Oleh karena itu,
urusan dharury menjadi dasar seluruh maqasyid as-syariah. Barang siapa yang

14

Ibid, hlm. 109

mengabaikan urusan hajiyat dan tahsiniyat maka ia juga mengabaikan hukum


dhaririyat.
Shalat adalah urusan dharuriyat untuk memelihara agama, dan menghadap
kiblat adalah sebagai penyempurna. Oleh karena itu, tidak boleh menggugurkan
shalat disebabkan kehilangan kiblat.
Makan dan minum adalah urusan dharury untuk menjaga jiwa seseorang.
Sedang menjauhi barabg-barang yang najis termasuk urusan tahsiny dan sebagai
peengkap. Oleh karena itu apabila seseorang tidak mendapat makanan yang
menghidupi, ia di perkenankan makan bangkai. Sebab menjaga jiwa dari
kehancuran harus didahulukan daripada menjaga kesucian makanan.
Demikian juga berobat adalah urusan darury untuk menjaga jiwa. Sedang
menutup aurat adalah urusan tahsiniy. 15

15

Ibid, hlm. 110

10

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan
Dari apa yang sudah dijelaskan, maka kami dapat menarik sebuah
kesimpulan bahwasannya teori Maqasidul Ahkam yang menjadi bahasan utama di
dalamnya adalah mengenai masalah hikmat dan ilat ditetapkannya suatu hukum.
Sedangkan terbentuknya sebuah hukum dalam makalah ini adalah adanya tiga
maslahah, yaitu:
1. Kebutuhan dharuriyat,
2. Kebutuhan hajiyyat, dan
3. Kebutuha tahsiniyyat.
Ketiga hal di atas, yang menjadi asal dari yang lainnya adalah dhoruriyyat,
sedangkan yang dua adalah cabang. Maka, apabila dhoruriyyat bertentangan
dengan kedua hal yang lain, maka tetap di utamakan. Secara rentetan hajiyyat
sebagai

penyempurna

pada

dhoruriyyat,

penyempurna pada hajiyyat.

11

sedangkan

tahsiniyyat

sebagai

Daftar Pustaka
Ah-Shiddiqiey, M. H. (1975). Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Bakri, A. J. (1996). Konsep Maqashid Syariah Menurut Syatibi. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Djazuli, A. (2003). Fiqh Siyasah. Bandung: Prenada Media.
Mahfudh, S. (1994). Nuansa Fikih Sosial. Yogyakarta: LKIS.
Nasution, M. S. (2013). Filsafat Hukum Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Qaradhawi, Y. A. (2007). Fiqh Maqashid Syariah. Jakarta: Pustaka Al Kautsar.
Totok. (2005). Kamus Ushul Fiqih. Jakarta: Dana Bakti Wakaf.

12

Anda mungkin juga menyukai