Anda di halaman 1dari 25

BABA II

KONSEP MAQĀṢID AL-SHARĪ‘AH TERHADAP PERNIKAHAN DALAM ISLAM

A. Maqāṣid Al-Syāri’ah
1. Pengertian Maqāṣid Al-Syāri’ah
Maqāṣid al-sharī‘ah adalah dua kata yang terdiri dari maqāṣid dan
alsharī‘ah. Maqāṣid merupakan bentuk jamak (plural) dari kata maqṣid yang
berarti “tempat yang dituju atau dimaksudkan” atau maqṣad yang berarti “tujuan
atau arah”. Dalam ilmu ṣarf maqāṣid berasal dari timbangan ‫ يقصد – قصد‬- ‫قصدا‬
memiliki makna yang bermacam-macam. Di antaranya diartikan “jalan yang
lurus atau fokus, berpegang teguh, adil, maksud atau tujuan, keinginan yang
kuat”, “menyengaja atau bermaksud kepada sesuatu (qaṣada ilayh)”.
Selanjutnya kata al-sharī‘ah awalnya digunakan untuk menunjukkan air
yang mengalir dan keluar dari sumbernya, kemudian digunakan untuk
menunjukkan kebutuhan semua makhluk hidup terhadap air. Eksistensi air
menjadi sangat penting dan merupakan kebutuhan primer bagi kehidupan,
sehingga untuk memenuhi kebutuhan ini diperlukan jalan atau metode. Metode
tersebut disebut al-shir’ah karena memiliki arti yang sama dengan al-shar’ dan
al-sharī‘ah yang bermakna agama Allah. Kata al-sharī‘ah secara etimologi
adalah “agama, millah, metode, jalan, dan sunnah”. Secara terminologi “aturan-
aturan yang telah disyariatkan Allah berkaitan dengan akidah dan hukum-hukum
amal perbuatan (‘amalīyah)”. Kata al-sharī‘ah juga diartikan “sejumlah atau
sekumpulan hukum-hukum amal perbuatan yang terkandung dalam Islam. Islam,
melalui al-Qur’an dan sunnah mengajarkan tentang akidah dan legislasi hukum
(tashrī’iyan ‘imliyan).1
Maqāṣid Al-Syāri’ah merupakan istilah gabungan dari dua kata maqashid
dan al syariah. Maqashid adalah bentuk plural dari maqsud, qasd, maqsid atau
qusud yang merupakan derivasi dari kata kerja qasada yaqsudu, dengan beragam
makna seperti menuju suatu arah, tujuan. Syariah, secara etimologi bermakna
jalan menuju mata air, jalan menuju mata air ini dapat pula dikatakan sebagai
jalan

1
Dr. H. Abdul Helim, MAQĀṢID AL-SHARĪ‘AH versus UṢŪL AL-FIQH, (Jogjakarta : Pustaka Pelajar,
2019), 7.
1
2

kearah sumber pokok kehidupan. Syariah secara terminologi adalah al nusus al


muqaddasah (teks-teks suci) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang muttawatir
yang sama sekali belum dicampuri oleh pemikiran manusia. Secara terminologi
Maqāṣid Al-Syāri’ah dapat diartikan sebagai nilai dan makna yang dijadikan
tujuan dan hendak direalisasikan oleh pembuat syariah (Allah SWT) dibalik
pembuatan syariat dan hukum, yang diteliti oleh para ulama mujtahid dari teks-
teks syariah.2
Kajian teori maqashid al-syari’ah dalam hukum Islam adalah sangat
penting. Urgensi itu didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai
berikut. Pertama, hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari wahyu Tuhan
dan diperuntukkan bagi umat manusia. Oleh karena itu, ia akan selalu
berhadapan dengan perubahan sosial. Dalam posisi seperti itu, apakah hukum
Islam yang sumber utamanya (Al-Qur'an dan sunnah) turun pada beberapa abad
yang lampau dapat beradaptasi dengan perubahan sosial. Jawaban terhadap
pertanyaan itu baru bisa diberikan setelah diadakan kajian terhadap berbagai
elemen hukum Islam, dan salah satu elemen yang terpenting adalah teori
maqashid al-syari'ah. Kedua, dilihat dari aspek historis, sesungguhnya perhatian
terhadap teori ini telah dilakukan oleh Rasulullah SAW, para sahabat, dan
generasi mujtahid sesudahnya. Ketiga, pengetahuan tentang maqashid al-syari'ah
merupakan kunci keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya, karena di atas
landasan tujuan hukum itulah setiap persoalan dalam bermu'amalah antar sesama
manusia dapat dikembalikan. Abdul Wahhab Khallaf (1968:198), seorang pakar
ushul fiqh, menyatakan bahwa nash-nash syari'ah itu tidak dapat dipahami secara
benar kecuali oleh seseorang yang mengetahui maqashid al-syari'ah (tujuan
hukum). Pendapat ini sejalan dengan pandangan pakar fiqh lainnya, Wahbah al-
Zuhaili (1986:1017), yang mengatakan bahwa pengetahuan tentang maqashid al-
syari'ah merupakan persoalan dharuri (urgen) bagi mujtahid ketika akan
memahami nash dan membuat istinbath hukum, dan bagi orang lain dalam
rangka mengetahui rahasia-rahasia syari'ah.
Memang, bila diteliti semua perintah dan larangan Allah dalam AlQur'an,
begitu pula suruhan dan larangan Nabi SAW dalam sunnah yang terumuskan
dalam fiqh, akan terlihat bahwa semuanya mempunyai tujuan tertentu dan tidak

2
Moh. Toruquddin, Teori Maqashid Syariah Perspektif Ibnu Ashur (Jurnal), 2
3

ada yang sia-sia. Semuanya mempunyai hikmah yang mendalam, yaitu sebagai
rahmat bagi umat manusia, sebagaimana yang ditegaskan dalam beberapa ayat
Al-Qur'an, di antaranya dalam surat AlAnbiya' :107, tentang tujuan Nabi
Muhammad diutus :

‫وََم ٓا َاْر َس ْلٰن َك ِااَّل َر ْح َم ًة ِّلْلٰع َلِم ْيَن‬


Artinya "Dan tidaklah Kami mengutusmu, kecuali menjadi rahmat bagi seluruh
alam" (QS. Al-Anbiya':107).
Rahmat untuk seluruh alam dalam ayat di atas diartikan dengan
kemaslahatan umat. Sedangkan, secara sederhana maslahat itu dapat diartikan
sebagai sesuatu yang baik dan dapat diterima oleh akal yang sehat. Diterima akal
mengandung pengertian bahwa akal itu dapat mengetahui dan memahami motif
di balik penetapan suatu hukum, yaitu karena mengandung kemaslahatan untuk
manusia, baik dijelaskan sendiri alasannya oleh Allah atau dengan jalan
rasionalisasi. Suruhan Allah untuk berzikir dan shalat dijelaskan sendiri oleh
Allah, sebagaimana yang termaktub dalam ayat berikut:
Artinya : "Ketahuilah bahwa dengan berzikir itu hati akan tenteram". (QS. Al-
Ra'd:28)
"Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar".( QS
Al-'Ankabut:45).
Memang ada beberapa aturan hukum yang tidak dijelaskan secara
langsung oleh syari' (pembuat syari'at) dan akalpun sulit untuk membuat
rasionalisasinya, seperti penetapan waktu shalat zhuhur yang dimulai setelah
tergelincirnya matahari. Meskipun begitu tidaklah berarti penetapan hukum
tersebut tanpa tujuan, hanya saja barangkali rasionalisasinya belum dapat
dijangkau oleh akal manusia. Kandungan maqashid al-syari'ah dapat diketahui
dengan merujuk ungkapan al-Syathibi (tanpa tahun:6), seorang tokoh pembaru
ushul fiqh yang hidup pada abad ke-8 Hijriah, dalam kitabnya Al-Muwafaqat fi
Ushul al-Syari'ah. Di situ beliau mengatakan bahwa sesungguhnya syari'at itu
ditetapkan tidak lain untuk kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Jadi,
pada dasarnya syari'at itu dibuat untuk mewujudkan kebahagiaan individu dan
jama'ah, memelihara aturan serta menyemarakkan dunia dengan segenap sarana
yang akan menyampaikannya kepada jenjangjenjang kesempurnaan, kebaikan,
4

budaya, dan peradaban yang mulia, karena dakwah Islam merupakan rahmat
bagi semua manusia.
Dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa yang menjadi bahasan
utama dalam maqashid al-syari'ah adalah hikmah dan illatditetapkan suatu
hukum. Dalam kajian ushul fiqh, hikmah berbeda dengan illat. Illat adalah sifat
tertentu yang jelas dan dapat diketahui secara objektif (zahir), dan ada tolak
ukurnya (mundhabit), dan sesuai dengan ketentuan hukum (munasib) yang
keberadaannya merupakan penentu adanya hukum. Sedangkan hikmah adalah
sesuatu yang menjadi tujuan atau maksud disyariatkannya hukum dalam wujud
kemaslahatan bagi manusia.3
2. Konsep Maqāṣid Al-Syāri’ah
Maqāṣid Al-Syāri’ah ialah tujuan atau rahasia yang di tetapkan oleh
syari’ (pembuat hukum) pada setiap hukum dari hukum-hukum syariah. Menurut
Alal al-Fasi, maqashid syariah ialah tujuan akhir yang ingin dicapai oleh syariah
dan rahasia-rahasia dibalik setiap ketetapan hukum syariah. Abdul wahab khalaf
menyimpulkan bahwa tujuan syariah ialah untuk membawa manusia kepada
kebahagiaandunia dan akhirat. Konsep maqashid syariah merupakan lanjutan
dari konsep maslahah. Maslahah, menurut syara’ dibagi menjadi tiga, yaitu
maslahah mu‟tabarah (didukung oleh syara’), maslahah mulghah (ditolak syara’)
dan maslahah mursalah (tidak didukung dan tidak pula ditolak syara’, namun
didukung oleh sekumpulan makna nash al-Qur’an dan al-Hadist). Konsep ini
merupakan pengembangan dari konsep maslahah, jamaknya masalih. Dalam
bahasa Indonesia berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan (keutamaan).
Menurut al-Syatibi, ada dua aspek ketentuan hukum yang merupakan bentuk
pemeliharaan kemaslahatan manusia, yaitu aspek positif (ijabiyyah) dan aspek
negatif (salbiyah).4
Ada dua konsep berfikir konsumen muslim yang hadir dalam dunia
ekonomi hingga saat ini. Konsep pertama adalah utilitas, konsep utilitas
diartikan sebagai konsep kepuasan konsumen dalam konsumsi barang atau jasa.
Konsep kedua adalah maslahah diartikan sebagai konsep pemetaan perilaku

3
Ghofar Shidiq, TEORI MAQASHID AL-SYARI'AH DALAM HUKUM ISLAM, SULTAN AGUNG VOL
XLIV NO. 118 JUNI – AGUSTUS (2009), 119.
4
Kuat Ismanto, Asuransi Perspektif Maqashid Asy-Syariah, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2016), 125
5

konsumen berdasarkan kebutuhan dan prioritas, dia sangat berbeda dengan


utilitas yang pemetaan majemuknya tidak terbatas.
Dua konsep ini berbeda karena dibentuk oleh masing-masing
epistimologi yang berbeda. Utilitas yang memiliki karakteristik kebebasan lahir
dari epistimologi Smithian yang mengatakan bahwa motivasi hidup ini adalah
dari kemerdekaan menuju kebebasan alamiah. Dengan demikian perilaku
konsumen terintegrasi dengan corak rasionalisme, dan norma agama sengaja
dikesampingkan. Sementara itu, maslahah lahir dari epistimologi Islami.5
3. Pembagian Maqāṣid Al-Syāri’ah
Jika dilihat dari tujuan atau kehendak, maqāṣid al-sharī‘ah ini terbagi
kepada dua macam yaitu maqāṣid al-Shāri’ dan maqāṣid al-mukallaf.
a. Maqāṣid al-Shāri’
Maqāṣid Al-Syāri’ah ini adalah maksud-maksud yang dikehendaki
oleh pembuat hukum (Allah; al-Shāri’) dengan ditetapkannya suatu aturan
hukum.54 Maksud ini tertuang ke dalam empat macam yakni:
1) Setiapn hukum yang ditetapkan kepada subjek hukum (manusia;
mukallaf) adalah untuk kemaslahatan mereka sendiri baik kemaslahatan
di dunia atau pun di akhirat; tanpa ada perbedaan di antara keduanya.
2) Suatu aturan hukum yang ditetapkan mesti dapat dipahami oleh subjek
hukum (manusia; mukallaf).
3) Suatu aturan hukum tersebut mesti pula dilaksanakan oleh subjek
hukum (manusia; mukallaf) karena aturan hukum tersebut merupakan
taklīf (kewajiban) bagi manusia.
4) Semua itu tidak lain agar subjek hukum (manusia; mukallaf) berada di
bawah naungan hukum Allah (al-Shāri’).

Keempat macam ini merupakan saling berhubungan dan semuanya


juga berhubungan dengan Allah (al-Shāri’) selaku pembuat hukum.
Dipastikan bahwa Allah menetapkan hukum adalah untuk kepentingan
manusia sehingga tidak mungkin jika bertujuan untuk mempersulit atau
memberikan beban di luar kemampuan manusia. Hal ini tentu adalah untuk
kemaslahatan manusia baik di dunia ini atau di akhirat. Namun tujuan

5
Agil Bahsoan, Maslahah Sebagai Maqashid Al Syariah “Tinjauan dalam Perspektif
Ekonomi Islam”, (Jurnal : INOVASI, Volume 8, Nomor 1, Maret 2011 ISSN 1693-9034), 118
6

tersebut dapat terwujud jika manusia memahami aturan-aturan Allah (taklīf


bagi manusia) yang tentunya juga diiringi dengan bukti kesediaan manusia
untuk melaksanakan aturan-aturan Allah tersebut. Dengan demikian, jadilah
kehidupan manusia selalu dalam naungan aturan Allah yang berupaya untuk
hidup baik dan menghindari kehidupan yang mengikuti hawa nafsu.6

b. Maqasyid Al-Mukallaf
1) Al-syathibi menekankan pada dua hal antara lain : Tujuan Syar‟i pada
subjek hukum merupakan sebagai niat dalam perbuatan yang akandi
arus dengan tuntunan syariah. Sehingga dalam hal “niat” yang menjadi
dasar suatu amal perbuatan.
2) Siapayang menjalankan perintah Allah yang mempunyai maksut tidak
sesuai dengan syariah, maka perbuatannya dianggap batal
c. Unsur Maqāṣid Al-Syāri’ah
Sebagaimana diketahui bahwa lima unsur atau disebut uṣūl al-
khamsah merupakan bagian dari kebutuhan al-ḍarurīyah, sehingga
memelihara kelima unsur itu adalah mutlak dilakukan. Di antara ulama ada
yang berbeda mengurutkan kelima unsur (uṣūl al-khamsah) pokok itu.
Imam al-Ghazālī memulai dari pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan
dan harta. Imam al-Rāzi memiliki versi yang berbeda. Ia mengurutkan
kelima unsur pokok di atas yang dimulai dari memelihara jiwa, harta,
keturunan, agama, dan akal. Al-Amidī mengurutkan mulai dari
pemeliharaan agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Beda lagi dengan
alShātībī, ia mengurutkan kelima pokok tersebut yaitu memelihara agama,
jiwa, keturunan, harta, dan akal.
Terlepas dari perbedaan urutan penyebutan kelima pokok itu, yang
jelas perbedaan ini menunjukkan bahwa kelima pokok tersebut memiliki
kedudukan yang sama dan peran yang sama pula, sehingga tidak ada yang
lebih diutamakan dari yang lainnya. Semuanya tergantung dengan
persoalan-persoalan yang dihadapi yang terikat dengan situasi dan kondisi
tertentu, sehingga berpikir dan berpaham kontekstual mutlak dimiliki

6
Dr. H. Abdul Helim, MAQĀṢID AL-SHARĪ‘AH versus UṢŪL AL-FIQH, (Jogjakarta : Pustaka Pelajar,
2019), 19.
7

seorang pengkaji hukum Islam (mujtahid). Hal ini tidak lain agar
kemaslahatan yang hakiki dan universal dapat diwujudkan.7
1) Menjaga agama (hifz diin)
Allah telah memerintahkan kepada hambanya untuk beribadah.
Bentuk ibadah yang dimaksud yaitu shalat, zakat, puasa, haji, zikir,
doa. Dengan cara menjalankan perintah Allah maka tegaklah din
seseorang. Islam menjaga hak dan kebebasan. Kebebasan yang
pertama yaitu kebebasan berkeyakinan dan beribadah, setiap pemeluk
agama berhak atas agama dan mazhabnya, tidak boleh dipaksa untuk
meninggalkannya menuju agama atau mazhab lain serta tidak boleh
ditekan untuk berpindah dari keyakinan untuk masuk Islam.8
2) Menjaga jiwa (hifz al-nafs)
Islam adalah risalah langit yang terakhir, sejak empat belas abad
yang lalu telah mensyariatkan (mengatur) hak-hak asasi manusia
secara komprehensif dan mendalam. Islam mengaturnya dengan
segala macam jaminan yang cukup untuk menjaga hak-hak tersebut.
Islam membentuk masyarakatnya di atas fondasi dan dasar yang
menguatkan dan memperkokoh hakhak asasi manusia ini. Hak
pertama dan paling utama yang diperhatikan islam ialah hak hidup,
hak yang disucikandan tidak boleh dihancurkan kemuliaannya.9
3) Menjaga akal (hifz aql)
Islam memandang akal manusia adalah anugrah terbersar dari
Allah. Syariat mewajibkan seseorang untuk memelihara akal dari apa
saja yang merusak fungsinya. Sebagaimana dalam hadits Rasulullah
“Abu Darda berkata Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa
menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan menuntunnya
menuju surga dan para malaikat akan meletakkan sayap-sayapnya
karena senang kepada pencari ilmu, sesungguhnya orang berilmu itu
akan dimintakan ampunan oleh makhluk yang di langit dan di bumi

7
Dr. H. Abdul Helim, MAQĀṢID AL-SHARĪ‘AH versus UṢŪL AL-FIQH, (Jogjakarta : Pustaka Pelajar,
2019), 24.
8
Jauhar, A. A, Maqshid Syariah, (Jakarta: Penerbit Amzah, 2009).
9
Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, (Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2013), 22.
8

hingga ikan di air, keutamaan orang yang berilmu atas ahli ibadah
laksana keutamaan rembulan atas bintang” (HR.Tirmidzi:2606).
4) Menjaga keturunan (hifz nasl)
Islam menjamin kehormatan manusia dengan memberikan
perhatian yang sangat besar. Menjaga keturunan dapat di gunakan
untuk memberikan spesialisasi kepada hak asasi mereka. Sebagai
alasan diwajibakannya memperbaiki keturunan, membina sikap
mental agar terjalin persahabatan sesama umat manusia. Allah
mengharamkan zina dan perkawinan sedarah serta menyifatkan zina
sebagai kejadian yang keji. Islam menjamin kehormatan manusia
dengan memberikan perhatian yang sangat besar, dapat digunakan
untuk memberikan spesialisasi kepada hak asasi mereka. Perlindungan
ini terlihat dalam sanksi berat yang dijatuhkan dalam masalah zina,
masalah menghancurkan kehormatan orang lain.10
Islam mengarahkan kadar perhatianya yang besar untuk
mengukuhkan aturan dan membersihkan keluarga dari cacat lemah,
serta mengayominyadengan perbaikan dan ketenangan yang menjamin
kehidupanya. Islam tidak meninggalkan satu sisi pun melainkan
mendasarkanya di atas peraturan yang bijaksana, serta menghapus
cara cara yang tidak lurus dan rusak yang dijalani syariat-syariat
terdahulu dalam masalah ini.Ketika nasab merupakan fondasi
kekerabatan dalam keluarga dan penopang yang ,yaitu akidah, akhlak,
dan syariat. antar anggotanya, maka Islam memberikan perhatianya
yang sangat besar untuk melindungi nasab dari segala sesuatu yang
menyebabkan pencampuran atau yang menghinakan kemuliaan nasab
tersebut. Nasab yang telah menjadi bahasa Indonesia dan telah masuk
dalam kamus besar bahasa Indonesia itu diartikan sebagai keturunan
atau pertalian keluarga.
Sedangkan dalam ensiklopedia Islam, nasab diartikan sebagai
keturunan atau kerabhat, yaitu pertalian keluarga melalui akad nikah
perkawinan yang sah. Nasab secara terminology adalah pertalian
kekeluargaan berdasarkan hubungan darah, baik ke atas, ke bawah,
10
Atiqi Chollisni, Analisis Maqashid Syariah Dalam Keputusan Memilih Hunian Islami Pada
Perumahan Ilhami Tangerang, Vol.7 Np,1, (April 2016), 50.
9

ataupun ke samping yang semua itu merupakan salah satu akibat dari
perkawinan yang sah, perkawinan yang fasid dan hubungan badan
yang subhat. Para ulama sepakat bahwa hukum Islam dibentuk dalam
rangka mewujudkan dan memelihara kemaslahatan manusia, baik
secara individu maupun secara koolektif. Maslahat yang ingin
diwujudkan adalah keseluruhan aspek kepentingan manusia.
Maslahat yang berarti damai dan tentrram. Damai berorientasi
pada fisik. Sedangkan tentram berorentasi pada psikis. Artinya
maslahat secara terminologi adalah perolehan manfaat dan penolakan
terhadap kerusakan. Maslahah terdapat tiga macam, yakni maslahah
mu’tabarah, maslahah mursalah, dan maslahah mulgat.
Maslahah mu’tabarah diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan,
dhoruriyah, hajiyah, dan tahsiniyah. Maslahah yang masuk pada
kelompok pertama adalah lima tujuan agama (maqashid syari’ah),
yaitu dalam rangka menjaga agama, jiwa, akal, harta dan keturunan.
Hal yang menjadi prinsip yang akan dibahas kali ini ialah nasab atau
keturunan. Dalam rangka menjaga nasab inilah agama Islam melarang
segala bentuk perzinaan dan porstitusi serta sangat menganjurkan
nikah untuk melangsungkan keturunan umat manusia agar tidak punah
dan mempunyai hubungan kekerabatan yang sah dan jelas.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa tujuan terakhir dari
disyariatkannya ajaran agama Islam adalah untuk memelihara dan
menjaga keturunan atau nasab, ulama fiqh mengatakan bahwa nasab
adalah merupakan salah satu fondasi yang kokoh dalam membina
suatu kehidupan rumah tangga yang bisa mengikat antara pribadi
berdasarkan kesatuan darah. Dalam rangka menjjaga nasab atau
keturunan inilah ajaran agama Islam mensyariatkan niukah sebagai
cara dipandang sah untuk menjaga dan memelihara kemurnian nasab.
Islam memanddang bahwa kemurnian nasab sangat penting, karena
hukum Islam sangat terkait dengan struktur keluarga, baik hukum
perkawinan, maupun kewarisan dengan berbagai derivasinya yang
meliputi hak hak perdata dalam hukum Islam, baik menyangkut hak
nasab, hak perwalian, hak memperoleh nafkah dan hak mendapatkan
10

warisan, bahkan konsep ke-mahram-an atau kemuhriman dalam Islam


akibat hubungan persemendaan atau perkawinan. Bersamaan dengan
perintah nikah, dalam hukum Islam juga diharamkan mendekati zina,
karena zina menyebabkan tidak terpeliharanya nasab secara sah.
Dalam rangka memelihara nasab ini di syariatkanlah nikah
sebagai cara yang dipandang sah untuk menjaga dan memelihara
Kemurnian nasab. Adapun tujuan mendasar dari sebuah pernikahan
adalah untuk melangsungkan hidup dan kehidupan serta keturunan
umat manusia sebagai khalifah dimuka bumi. Tentunya manusia
sangat mengidamkan keluarga yang pennuh dengan kasih saying,
kasih saying antara suami, istri, beserta anak anaknya. Sehingga dalam
pembinaan keluarga yang seperti ini Allah menjadikan nasab sebagai
sarana utamanya. Bahkan nasab merupakan karunia dan nikmat paling
besar yang diturunkan oleh Allah SWT. Di samping itu nasab juga
merupakan hak paling pertama yang harus diterima oleh seorang bayi
agar terhindar dari kehinaan dan ketelantaran.
Terlepas dari hak anak, nasab dalam perkawinan menjadi salah
satu faktor yang perlu di pertimbangkan untuk memilih pasangan,
yang mana dikenal dengan istilah kafa’ah. Hal ini dimaksudkan agar
tujuan perkawinan bisa tercapai, yaitu ketenangan hidup berdasarkan
cinta dan kasih sayang. Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda: “Wanita dinikahi karena empat hal, karena harta,
kemuliaan (keturunan), kecantikan, dank arena agamanya. Maka
pilihlah agamanya sebab akan menguntungkan kamu”. Konsep ini
adalah salah satu keniscayaan yang menjadi tujuuan hukum Islam. Al-
„Amiri menyebutkan hal tersebut pada awal usahanya untuk
menggambarkan teori Maqāṣid Al-Syāri’ah kebutuhan dengan istilah
„hukum bagi tindakan melanggar kesusilaan‟. Al-Juwairi
mengembangkan “teori hukum pidana”(mazajir) versi Al-„Amiri
menjadi “teori penjagaan” („ismah) yang diekspresikan oleh Al-
Juwaini dengan istilah “hifz al-furuj” yang berarti menjaga kemaluan.
Selanjutnya, Abu hamid Al-Gazali yang membuat istilah hifz al-nasl
11

(hifzunnasli) sebagai Maqāṣid Al-Syāri’ah hukum Islam pada


tingkatan keniscayaan, yang kemudian diikuti oleh Al-Syatibi. Pada
abad ke XX (dua puluh) Masehi para penulis Maqāṣid Al-Syāri’ah
secara signifikan mengembangkan “perlindungan keturunan” menjadi
teori berorientasi keluarga. Seperti Ibn „Asyur menjadikan “peduli
keluarga” sebagai Maqāṣid Al-Syāri’ah hukum Islam.
Hal ini dijelaskan dalam monografinya, „Usul Al-Nizam
AlIjtima‟i fi Al-Islam (Dasar-dasar Sistem Sosial dalam Islam) yang
berorientasi pada keluarga an nilai-nilai mora dalam hukum Islam.
Kontribusi Ibn „Asyur membuka pintu bagi para cedekiaan
kontemporer untuk mengembangkan teori Maqasd dalam berbagai
cara baru. Orientasi pandangan yang baru tersebut bukanlah teori
hukum pidana (muzajirr) versi AlAmiri maupun konsep perlindungan
(hifz) versi Al-Gazali, melainkan konsep “nilai dan sistem” menurut
terminologi Ibn Asyur.11
5) Menjaga harta (hifz mall)
Memperoleh harta yang halal, Islam memperbolehkan berbagai
macam bentuk muamalah antara lain jual beli, sewa menyewa, gadai.
Syariat Islam mengharamkan umatnya memakan harta yang batil,
antara lain mencuri, riba, menipu, mengurangi timbangan, korupsi,
sebagaimana dijelaskan dalam (QS An Nisa:29).12
B. Pernikahan Dalam Islam
1. Pengertian Pernikahan
Nikah dalam kamus lisanul ‘Arab berakar kata - ‫ينكح‬- ‫ نكاحا‬-‫ نكح‬diartikan
sama dengan ‫زوج‬ss‫ت‬. Akad nikah dinamakan ‫اح‬ss‫ النك‬, dalam Al-Qur’an Allah
berfirman: ‫وا‬ss‫( منكم األيمي وانكح‬maka nikahkanlah/kawinkanlah anak yatim yang
kalian asuh) maka jelas bahwa ayat ini tidak diragukan lagi bermakna ‫زويج‬ss‫ت‬
(Perkawinan).13

11
M. Lutfi Khakim dan Mukhlis Ardiyanto, MENJAGA KEHORMATAN SEBAGAI PERLINDUNGAN
NASAB PERSPEKTIF MAQASHID SYARI’AH, NIZHAM, Vol. 8, No. 01 (Januari-Juni 2020), 37.
12
Atiqi Chollisni, Analisis Maqashid Syariah Dalam Keputusan Memilih Hunian Islami Pada
Perumahan Ilhami Tangerang, Vol.7 Np,1, (April 2016), 50.
13
Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, Juz XIV, 307
12

Kamis kontemporer Arab Indonesia menjelaskan bahwa kata ‫وطء = نكاح‬


artinya : stubuh, ‫اح‬sss‫ زواج = نك‬artinya : pernikahan, kawin.14 Kamus bahasa
Indonesia mengartikan nikah sebagai ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan
sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama : hidup sebagai suami istri
tanpa merupakan pelanggaran terhadap agama. Sedangkan kata “kawin”
membentuk keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau beristri. Diartikan juga
melakukan hubungan kelamin : bersetubuh.15
UU No. 1 Tahun 1974 pasal 1 dinyatakan bahwa “perkawinan ialah iktan
lahir batin, antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.16 Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2 dinyatakan
bahwa “perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Selanjutnya pasal 3 menjelaskan bahwa
“Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawadah, dan rahmah.17
Secara bahasa, nikah artinya menghimpun. Nikah juga berarti bersetubuh
dan akad. Menurut ahli usul dan bahasa, bersetubuh merupakan makna hakiki dari
nikah, sementara akad merupakan makna majazi. Dengan demikian, jika dalam
ayat Al-Qur’an atau hadis Nabi muncul lafadz nikah dengan tanpa disertai
indikator apa pun, berarti maknanya adalah bersetubuh, sebagaimana Q.S. Al-
Nisa’ [4] : 22 :
‫آاَبُؤ ُك ْم ِم َن الِّنَس اِء ِإَّال َم ا َقْد َس َلَفَو َال تَـْنِك ُحوا َم ا َنَك َح‬
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu,
terkecuali pada masa yang telah lampau”.
Ayat tersebut menurut pemahaman kelompok ini, menunjukkan keharaman
seseorang menikahi wanita yang sudah berzina dengan bapaknya. Sementara itu,
keharama menikahi yang sudh menikah dengan bapaknya ditetapkn berdasarkan
ijma'. Berbeda dengan pandangan di atas, menurut ahli fiqh, makna hakiki nikah

14
Atabik, Ali, dkk, Kamus Kontenporer Arab Indonesia (Cet. IX, Yogyakarta : Multi Karya Grafika), 1943.
15
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi IV (Cet. VII : Jakarta :
Gramedia, 2013), 962 & 639.
16
Undang- Undang RI. Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
17
Departemen Agama R.I. Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagan Agama Islam, Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia.2000 14.
13

adalah akad, sementara makna majazinya adalah bersetubuh, karena makna itulah
yang masyhur dalam Al-Qur’an dan hadis.18
Adapun secara istilah, Hanafiyah mendefinisikan nikah dengan “akad yang
menghasilkan faidah dapat melakukan hubungan suami istri secara sengaja,
artinya tidak ada halangan shara’. Sementara itu ulama dari kalangan Shaf’iyah
mendefinisikan nikah dengan “akad yang mengandung kebolehan melakukn
hubungan suami istri dengan lafadz nikah/kawin atau yang memiliki makna yang
sama dengan nikah/kawin.19
2. Dasar Hukum Pernikahan
Dasar hukum pernikahan adalah Q.S. al-Nisa’ [4] : 3 dan beberapa hadis

Nabi serta ijma’ ulama :

‫َو ِإْن ِخ ْفُت ْم َأاَّل ُتْق ِس ُط و۟ا ِفى ٱْلَي َٰت َم ٰى َفٱنِكُحو۟ا َم ا َط اَب َلُك م ِّم َن ٱلِّن َس ٓاِء َم ْث َنٰى َو ُث َٰل َث َو ُر َٰب َع َف ِإْن ِخ ْفُتْم َأاَّل َت ْع ِد ُلو۟ا َف َٰو ِحَد ًة َأْو‬
‫َم ا َم َلَكْت َأْي َٰم ُنُك ْم ۚ َٰذ ِلَك َأْد َن ٰٓى َأاَّل َت ُعوُلو۟ا‬

Artinya: "Dan Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Namun demikian, menurut jumhur, hukum nikah bagi masingmasing
orang dapat berbeda, sebagai berikut:
a. Wajib hukum ini berlaku bagi mereka yang telah mampu melaksanakan
nikah, mampu memberi nafkah pada isteri serta hak dan kewajiban lainnya
dan dikhawatirkan jatuh pada perbuatan maksiat jika tidak melakukannya.
b. Sunnah. Hukum ini berlaku bagi mereka yang mampu dan tidak
dikhawatirkan jatuh pada perbuatan maksiat jika tidak melakukannya. Dasar
hukum ke-sunnah-an adalah : Nabi dan para sahabat menikah. Demikian pula
para ulama serta umat Islam. Berbeda dengan pandangan di atas, menurut
Syafi’i, dalam kondisi seperti yang disebut di atas (mampu dan tidak
dikhawatirkan jatuh pada perbuatan maksiat jika tidak menikah), hukum
menikah adalah mubah. Jika seseorang sibuk beribadah dan mencari ilmu,

18
Wahbah al-Zuhāilī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, vol. 9, (Damaskus: Dār al-Fikr, 2004), 6514.
19
Abd al-Raḥmān al-Jazīrī, al-Fiqh, vol. 4, 8
14

maka kesibukan itu lebih utama baginya daripada menikah. Argumen Shāfi’ī
adalah QS ali ‘imrān [3]:39; 14 ; al-nisa’ [4]:3.20
c. Makruh. Hukum ini berlaku bagi mereka yang merasa bahwa dirinya akan
berbuat zalim pada istrinya jika menikah, namun tidak sampai pada tingkatan
yakin, misalnya karena ia tidak memiliki nafsu yang kuat, khawatir tidak
mampu menafkahi, tidak begitu menyukai isterinya, dan lain-lain. Dalam
pandangan Shafi’i, hukum makruh berlaku jika yang bersangkutan punya
cacat seperti pikun, sakit menahun, dan lain-lain. Hukum makruh menurut
Shāfi’iyah juga berlaku bagi mereka yang menikahi wanita yang sudah
menerima pinangan orang lain, pernikahan muhallil yang tidak dikemukanan
dalam akad.
d. Haram, berlaku bagi mereka yang tidak mampu lahir batin dan jika tetap
menikah, akan menyebabkan madarat bagi istrinya secara pasti.
e. Mubah, berlaku bagi mereka yang tidak ada faktor penghalang maupun
pendorong untuk menikah.21
2. Rukun dan Syarat Pernikahan
Masalah perkawinan dalam hukum Islam sudah diatur sedemikian rupa,
berikut ini akan dikemukakan pendapat ualama mengenai rukun dan syarat
perkawinan. Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan terdiri atas:
a. Calon mempelai pengantin pria,
b. Calon mempelai pengantin wanita,
c. Wali dari pihak calon penganting wanita,
d. Dua orang saksi
e. dan ijab qabul.22

Tentang jumlah rukun para ulama berbeda pendapat:

a. Imam Malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam:
1) Wali dari pihak perempuan
2) Mahar (mas kawin)
3) Calon pengantin laki-laki
20
Muḥammad Nāṣir al-Dīn al-Albānī, Irwā’ al-Ghalīl fī Takhrīj Aḥadīth Manār alSabīl, vol.6, (Beirut: Maktab
al-Islami, 1985), 193.
21
Sayyid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, vol. 2, (Beirut: Dār al-Fikr, 2008), 458-459.
al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī, vol. 9, 6516-6518.
22
Rusdaya, Fiqih Munakahat 4 Mazhab dan Kebijakan Pemerintah, (Sulawesi Selatan: CV Kaaffah Learning
Center, 2019) 20.
15

4) Calon pengantin perempuan


5) Sighat aqad nikah23
b. Imam Syafi’i mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam:
1) Calon pengantin laki-laki
2) Calon pengantin perempuan
3) Wali
4) Dua orang saksi
5) Sighat akad nikah67
c. Menurut ulama Hanafiyah rukun nikah itu hanya ijab dan qabul.
d. Menurut segolongan yang lain rukun nikah itu ada empat. Pendapat yang
mengatakan bahwa rukun nikah itu ada empat karena calon pengantin laki-
laki dan calon pengantin perempuan di gabung satu rukun:
a) Dua orang yang saling melakukan akad perkawinan
b) Adanya wali
c) Adanya dua orang saksi
d) Dilakukan dengan sighat tertentu.24

Syarat-syarat pernikahan merupakan dasar bagi sahnya pernikahan. Apabila


syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka sahlah pernikahan dan menimbulkan
kewajiban dan hak sebagai suami istri. Pada garis besarnya, syarat sah pernikahan
itu ada dua, yaitu :

a. Laki-laki dan perempuannya sah untuk dinikahi. Artinya kedua calon


pengantin adalah orang yang bukan haram dinikahi, baik karena haram untuk
sementara atau selamanya.
b. Akad nikahnya dihadiri oleh para saksi.

Dalam syarat pernikahan ini terdapat beberapa pendapat diantara para madzhab
fikih, yaitu sebagai berikut :

b. Ualama Hanafiyah, menbatakan bahwa sebagian syarat-syarat pernikahan


berhubungan dengan sighot, dan sebagian lagi berhubungan dengan ad, serta
sebagian linnya berkaitan dengan saksi.
1) Sighat, yaitu ibarat dari ijab dan kabul, dengan syarat sebagai berikut :

23
Hikmatullah, FIQH MUNAKAHAT Pernikahan dalam Islam, (Jakarta : EDU PUSTAKA, 2021), 33.
24
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), 46-48.
16

a) Menggunakan lafadz tertentu, baik dengan lfal sarih .isalnya :


Tazwij, atau inkahin. Maupun dengan lfad kinayah seperti :
Lafadz yang mengandung arti akd untuk memiliki, misalnya: saya
sedekahkan anak saya kepada kamu, saya hibahkan anak
b) Ijab dan qabul, dengan sya6yang dilakukan dalam salah satu majelis.
c) Sighat didengar oleh orang-orang yang menyaks.
d) Antara ijab dan kabul tidak berbeda maksud dan tujuannya.
e) Lafadz sighat tidak disebutkan untuk waktu tertentu.
2) Akad, dapat dilaksanakan dengan syarat apabila kedua calon pengantin
berakal, baligh, dan merdeka.
3) Saksi, harus terdiri atas dua orang. Maka tidak sah apabila akad nikah
hanya disaksikan oleh satu orang. Dan tidak disyaratkan keduanya
harus laki-laju dan dua orang perempuan. Namun demikian apabila
saksi terdiri dari dua orang perempuan, maka nikahnya tidak sah.
Adapun syarat saksi adakah sebagi berikut;
a) Berakal, bukan orang gila
b) Baligh, buakan anak-anak
c) Merdeka, bukan budak
d) Islam,
e) Kedua orang saksi itu mendengar
c. As-Syafi’i berpendapat bahwa, syarat-syarat pernikhan itu ada yang
berhubungan dengan wali, serta ada yang berhub6dengan kedua calon
pengantin, dan ada lgi yang berhubungan dengan saksi25

Adapun syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:

a. syarat pengantin laki-laki adalah, a) Islam, b)ridho terhadap pernikahan


tersebut, c) orangnya jelas, d) tidak ada halangan shara’, misalnya tidak
sedang ihram Haji atau umroh. Menurut Hanafiah, baligh dan berakal bukan
syarat sahnya nikah, melainkan syarat sahnya pelaksanaan akad nikah,
sementara syarat sahnya nikah cukup mumayyix, yakni berusaha berusia 7
tahun. Malikiyah memperbolehkan ayah dan hakim atau orang yang
mendapatkan wasiat untuk menikahkan orang gila dan anak kecil untuk

25
Slamet, Aminudin, Fiqih Munakahat 1 Untuk Fakultas Syariah Kompenen MKDK, (Bandung : CV PUSTAKA
SETIA, 1999), 63.
17

kepentingan maslahah seperti dikhawatirkan zina. Syafi’iyah Juga


memperbolehkan ayah dan kakeknya menikahkan anaknya yang mumayyiz,
sekalipun lebih dari satu istri jika hal tersebut membawa maslahah. Hambali
memperbolehkan seorang ayah menikahkan anak laki-lakinya yang masih
kecil, atau kita walaupun yang bersangkutan sudah tua.26
b. Syarat pengantin wanita adalah a) ridho terhadap pernikahan tersebut, b)
Islam atau Ahl al-Kitab, c) orangnya jelas, d) tidak ada halangan shar’i
untuk dinikahi, baik yang bersifat muabbadb(selamanya) karena mahram,
atau muaqqat (sementara) misalnya sedang terikat pernikahan dengan orang
lain.
c. Syarat wali, wali ada dua, yakni wali nasab dan wali hakim. Syarat wali
adalah a) cakap bertindak hukum (baligh dan berakal), b) merdeka c)
seagama antara wali dan mempelai yang diakadkan, d) laki-laki e) adil.
Dalam pandangan Hanafi, perempuan daoat menjadi wali sebagi wali
pengganti atau mewakili. Seorang yang fasol dapt bertindak sebagai wali.
d. Syarat saksi adalah a) cakap bertindak hukum, minimal dua orang laki-laki,
c) muslim, d) melihat, e) mendengar, f) adil, g)faham terhadap maksud
akad, I) merdeka. Menurut Hambali, kesaksian budak, sah, karena tidak ada
pernyataan naas yang menolak kesaksian Meraka.

Hanafi memperbolehkan saksi seorang laki-laki dan 2 orang


perempuan sebagaimana dalam muamalah. Hanafi suka memperbolehkan
orang buta dan orang fasik menjadi saksi. Sekalipun memandang bahwa
saksi merupakan syarat pernikahan, namun Maliki berpendapat bahwa saksi
tidak harus ada pada saat berlangsungnya akad. Menurut mereka saksi boleh
datang setelah selesai akad, sepanjang belum terjadi dukhul (bersetubuh).
Dengan demikian dalam pandangan Maliki saksi merupakan syarat sahnya
kebolehan dukhul (hubungan suami istri), bukan syarat sahnya akad.27

Berbeda dengan pandangan jumhur, beberapa ulama diantaranya Abu


Thaur, IBN Abi Laila, Abu Bakr al-Asam, Menyatakan sah pernikahan
tanpa saksi, karena ayat-ayat Alquran yang menyatakan sah pernikahan
tanpa saksi, karena ayat-ayat Alqur’an yang membicarakan tentang

26
Al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī, vol. 9, 6534.
27
Ibid, 6561
18

pernikahan tidak menyebutkan persyaratan adanya saksi, misalnya Al-


Qur’an surat an-nisa ayat 3 :

‫َو ِإْن ِخ ْفُتْم َأاَّل ُتْق ِس ُط و۟ا ِفى ٱْلَي َٰت َم ٰى َف ٱنِكُحو۟ا َم ا َط اَب َلُك م ِّم َن ٱلِّن َس ٓاِء َم ْث َنٰى َو ُثَٰل َث َو ُر َٰب َع ۖ َف ِإْن ِخ ْفُتْم َأاَّل َت ْع ِد ُلو۟ا َف َٰو ِحَد ًة َأْو َم ا‬
‫َم َلَكْت َأْي َٰم ُنُك ْم ۚ َٰذ ِلَك َأْد َن ٰٓى َأاَّل َت ُعوُلو۟ا‬

Artinya : “Dan Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-
wanita lain yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian Jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak
yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya”.

Mereka juga mengajukan argumen bahwasanya Hasan bin Ali pernah melakukan
pernikahan tanpa saksi, namun kemudian mengumumkannya.28

e. Syarat ijab Qabul adalah a) lafadz yang diucapkan harus bersifat pasti
menggunakan fi'il mati, b) tidak mengandung makna yang melakukan, c) lafal
akad bersifat tuntas bersamaan dengan tuntasnya akad. Artinya apa tidak
digantungkan pada syarat tertentu misalnya, “saya nikahkan Anak saya jika nanti
sudah diterima menjadi pegawai negeri”, d) ijab dan qobul diusahakan dalam satu
majelis, artinya ijab dan Qabul berada dalam situasi dan kondisi yang
menunjukkan adanya kesatuan akad. Jika salah satu pihak tidak hadir dalam
majelis akad, namun mengirimkan surat yang berisi terhadap akad, maka ketika
surat tersebut dibacakan dihadapan saksi kesediaan maka itulah satu majelis e)
qabul tidak berbeda dengan ijab. Jika jumlah mahar tersebut dalam akad, maka
jumlah mahar yang disebut dalam qabul harus sama dengan jumlah yang disebut
dalam ijab kecuali jika dalam qobul (pihak suami) menyebut jumlah mahar yang
melebihi jumlah yang disebut dalam ijab. Dalam hal ini, akad, sah. Sekalipun
perlu sumur ulama mahar bukan rukun, namun jika disebut dalam akad dan
qabul, maka menjadi bagian akad, f) antara ijab dan qabul harus bersifat segera
(al-faur), Artinya, tidak ada jarak yang lama antara ijab dan qabul yang
menunjukkan adanya perubahan atau pemalingan dari tujuan akad, g) kedua
pihak mendengar ijab dan qobus secara jelas, h) orang yang mengajukan ijab
tidak mencabut ijabnya, i) harus disampaikan secara lisan, kecuali orang bisu dan
orang yang tidak berada di tempat, j) akad bersifat abadi tidak dibatasi oleh
waktu, misalnya bahwa pernikahan hanya selama satu bulan, dan lain-lain.
28
Abū al-Walīd Muḥammad b. Aḥmad b. Rush al-Qurṭubī, Bidāyat al-Mujtahid, vol. 2, (T.t.: Dār al-Kutub al-
Islamiyah, t.th.), 13. Lihat juga al-Zuḥailī, al-Fiqh alIslāmī, vol. 9, 6559.
19

Menurut Syafi’i dan Hambali lafadz yang digunakan dalam akad,


harus lompat nikah dan tazwij atau terjemahannya dalam bahasa lain.
sementara itu diperbolehkan ijab menggunakan selain nikah dan tazwij,
seperti hibah, tamlil, sadaqah, dan lain-lain. Di antara alasan Hanafi QS.
Al-Ahzab ayat 50 :
‫ّٰل‬
‫ٰٓيَاُّيَها الَّنِبُّي ِاَّنٓا َاْح َلْلَنا َلَك َاْز َو اَج َك ا ِتْٓي ٰا َتْيَت ُاُجْو َر ُهَّن َوَم ا َم َلَك ْت َيِم ْيُنَك ِمَّم ٓا َاَفۤا َء ُهّٰللا َع َلْيَك َو َبٰن ِت َع ِّم َك َو َبٰن ِت‬
‫َع ّٰم ِتَك َو َبٰن ِت َخ اِلَك َو َبٰن ِت ٰخ ٰل ِتَك اّٰل ِتْي َهاَج ْر َن َم َع َۗك َو اْمَر َاًة ُّم ْؤ ِم َنًة ِاْن َّوَهَبْت َنْفَسَها ِللَّنِبِّي ِاْن َاَراَد الَّنِبُّي َاْن‬
‫َّيْسَتْنِكَحَها َخ اِلَص ًة َّلَك ِم ْن ُد ْو ِن اْلُم ْؤ ِمِنْيَۗن َقْد َعِلْم َنا َم ا َفَر ْض َنا َع َلْيِهْم ِفْٓي َاْز َو اِج ِهْم َوَم ا َم َلَك ْت َاْيَم اُنُهْم ِلَكْياَل َيُك ْو َن‬
‫َع َلْيَك َح َر ٌۗج َو َك اَن ُهّٰللا َغ ُفْو ًرا َّر ِح ْيًم ا‬

Artinya : “Wahai Nabi! Sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-


istrimu yang telah engkau berikan maskawinnya dan hamba sahaya yang engkau
miliki, termasuk apa yang engkau peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan
Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki
bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak
perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara
perempuan ibumu yang turut hijrah bersamamu, dan perempuan mukmin yang
menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi ingin menikahinya, sebagai
kekhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Kami telah mengetahui
apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba
sahaya yang mereka miliki agar tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan Allah
Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Ayat tersebut menunjukkan lafadz hibah dapat digunakan dalam


akad pernikahan Nabi sehingga ia juga dapat digunakan sebagai lafaz akad
dalam pernikahan umat Islam secara keseluruhan.29

Dari penjelasan tentang syarat nikah di atas, disebutkan bahwa tidak ada
persyaratan baligh dan berakal bagi calon mempelai. Namun demikian kok mati
sisi lain jemur sepakat bahwasanya jika seseorang menikahi wanita sementara
dapat dipastikan bahwa pernikahan itu akan melahirkan mudarat maka hukum
pernikahan itu haram. Seorang laki-laki yang belum mencapai usia baligh, dan
laki-laki gila, mustahil dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami
dengan baik sehingga dapat dipastikan bahwa pernikahan itu hanya akan

29
Seluruh rukun dan syarat tersebut dirangkum dari al-Jazīrī, al-Fiqh ‘alā alMadhāhib al-Arba’ah, vol. 4, 14 dst.
Lihat juga Sayyid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, vol. 2, 469 dst. Lihat juga al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī, vol. 9, 6534
dst. Lihat juga Ibnu Rushd, Bidāyat al-Mujtahid, vol. 2, 3 dst.
20

mendatangkan madharat. Demikian pula sebaliknya, wanita yang belum mencapai


usia baligh dan berakal mustahil pula dapat menjalankan kewajibannya sebagai
seorang istri dengan baik sehingga dapat dipastikan bahwa pernikahan itu hanya
akan melahirkan medarat. Oleh sebab itu faktor usia dan kesehatan lahir batin
harus dijadikan persyaratan dalam pernikahan sebagaimana amanat UU
perkawinan nomor 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat 1 : pernikahan hanya diizinkan oleh
pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16
tahun.

Beberapa kalangan menilai bahwa undang-undang tersebut saat ini tidak


cukup memadai. Oleh sebab itu, banyak yang merekomendasikan agar supaya
batas minimal usia nikah dinaikkan, sebagaimana yang direkomendasikan oleh
KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) dalam kongres di Cirebon 25-27
April 2017. Dalam rekomendasi narkoma KUPI mengusulkan agar supaya batas
usia minimal bagi wanita adalah 18 tahun. Rekomendasi tersebut tidak semata
berdasarkan pandangan keagamaan tapi juga berdasarkan fakta di lapangan bahwa
pernikahan anak banyak menimbulkan kemadaratan.30

3. Tujuan Pernikahan

Hasbi al Shiddieqy, mengemukakan faedah-faedah pernikahan sebagai


berikut:

a. Lahirnya anak yang akan mengekalkan keturunan seseorang dan memelihara


jenis manusia.
b. Memenuhi hajat biologis. Pernikahan memelihara diri dari kerusakan akhlak
dan keburukan yang merusak masyarakat. Tanpa pernikahan, maka hajat
biologis disalurkan lewat cara-cara yang tidak dibenarkan agama dan akal
yang sehat serta kesusilaan.
c. Menciptakan kesenangan dan ketenangan ke dalam diri masing-masing suami
isteri. Membangun dan mengatur rumah tangga atas dasar rahmah dan
mawaddah antara dua orang yang telah dijadikan satu itu.
d. Menjadi motivasi untuk sungguh-sungguh berusaha mencari rezki yang
halal.31

30
Iffah Muzammil, FIQH MUNAKAHAT (Hukum Pernikahan dalam Islam), (Tangerang : Tira Smart, 2019), 15.
31
Hasbi al-Shiddieqy, Al- Islam 2, Edisi ke 2 (Cet. I; Semarang: Pustaka Rezki Putra, 1987), 238
21

Tujuan pernikahan menurut agama Islam adalah untuk memenuhi petunjuk


agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.
Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga; sejahtera
artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan
hidup lahir dan batinnya, sehingga timbulnya kebahagiaan, yakni kasih sayang
antar anggota keluarga. Manusia diciptakan Allah SWT. Mempunyai ? manusiawi
yang perlu mendapat pemenuhan. Dalam pada itu manusia diciptakan oleh Allah
SWT. Untuk mengabdikan dirinya kepada Khaliq penciptanya dengan segala
aktivitas hidupnya. Pemenuhan naluri manusiawi manusia yang antara lain
keperluan biologisnya termasuk aktivitas hidup, agar manusia menuruti tujuan
kejadiannya, Allah SWT. Mengatur hidup manusia dengan aturan pernikahan.

Jadi aturan pernikahan menurut Islam merupakan tuntunan agama yang


perlu mendapat perhatian, sehingga tujuan melangsungkan pernikahan pun
hendaknya ditunjukkan untuk memenuhi petunjuk agama. Sehingga kalau
diringkas ada dua tujuan orang melangsungkan pernikahan ialah memenuhi
nalurinya dan memenuhi petunjuk agama. Mengenali naluri manusia seperti
tersebut pada surat Ali Imran ayat 14 :

‫ُز ِّي َن ِللَّن اِس ُحُّب ٱلَّش َه َٰو ِت ِمَن ٱلِّن َس ٓاِء َو ٱْلَب ِنيَن َو ٱْلَقَٰن ِط يِر ٱْلُم َقنَط َر ِة‬

Artinya : “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-


apa yang diinginkan, yaitu: wanita-wanita anak-anak harta yang banyak...”

Dari ayat ini jelas bahwa manusia mempunyai kecenderungan terhadap cinta
wanita, cinta anak keturunan dan cinta harta kekayaan. Dan dalam diri manusia
mempunyai fitrah mengenal kepada Tuhan sebagaimana tersebut pada surat ar-
rum ayat 30:

- ‫َف َاِقْم َو ْج َهَك ِللِّدْي ِن َح ِنْي ًفۗا ِفْط َر َت ِهّٰللا اَّلِتْي َف َط َر الَّن اَس َع َلْي َه ۗا اَل َت ْبِدْي َل ِلَخ ْلِق ِهّٰللاۗ ٰذ ِلَك الِّد ْيُن اْلَقِّي ُۙم َو ٰل ِكَّن َاْك َث َر الَّن اِس اَل َي ْع َلُمْو َۙن‬
٣٠

Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah)


(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui”32

32
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), 16.
22

Melihat dua tujuan di atas, dan memperhatikan uraian Imam Al Ghazali


dalam ikhtiarnya tentang kaidah melangsungkan pernikahan maka tujuan
pernikahan itu dapat dikembangkan menjadi lima, yaitu:

e. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan


Seperti telah diungkapkan di muka bawah naluri manusia mempunyai
kecenderungan untuk mempunyai keturunan yang sah keabsahan anak
keturunan yang diakui oleh dirinya sendiri negara dan kebenaran keyakinan
agama Islam memberi jalan untuk itu. Agama memberi jalan hidup manusia
agar hidup bahagia di dunia dan akhirat. Kebahagiaan dunia dan akhirat
dicapai dengan hidup berbakti kepada Tuhan secara sendiri-sendiri,
berkeluarga, dan bermasyarakat. Kehidupan keluarga bahagia, umumnya
antara lain ditentukan oleh kehadiran anak-anak. Anak merupakan buah hati
dan belahan. Banyak hidup rumah tangga kandas karena tidak mendapat
karunia anak. Nanti memberi petunjuk agar dalam memilih jodoh
mengutamakan istri yang tidak mandul :
Artinya : “perempuan hitam yang beranak lebih baik daripada perempuan
cantik tetapi mandul” (HR. Ibnu Hibban).
Alquran juga menganjurkan agar manusia selalu berdoa agar
dianugerahi Putra yang menjadi mutiara dari istrinya, sebagaimana tercantum
dalam surat al-furqon ayat 74 :

‫َو اَّلِذ ْيَن َيُقْو ُلْو َن َر َّبَنا َهْب َلَنا ِم ْن َاْز َو اِج َنا َو ُذ ِّر ّٰي ِتَنا ُقَّرَة َاْع ُيٍن َّو اْج َع ْلَنا ِلْلُم َّتِقْيَن ِاَم اًم ا‬

Artinya : “dan orang-orang yang berkata : ya Tuhan kami, anugerahkanlah


kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyayang hati
(kami) dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”

Anak sebagai keturunan bukan saja menjadi buah hati, tetapi juga sebagai
penolong dalam hidup di dunia bahkan akan memberi tambahan amal kebajikan di akhirat
nanti, manakala dapat mendidiknya menjadi anak yang sholeh Sholehah. Begitu besarnya
peranan anak terhadap amal orang tuanya, sehingga diterangkan bahwa seseorang yang
kehilangan putranya yang masih kecil akan dimasukkan ke dalam surga dan akan terlepas
dari api neraka.

f. Penyaluran syahwat dan penumpahan kasih sayang berdasarkan tanggung jawab


23

Sudah menjadi kodrat irodah Allah SWT; manusia diciptakan berjodoh-jodoh dan
diciptakan oleh Allah SWT. Mempunyai keinginan untuk berhubungan antara pria dan
wanita firman Allah subhanahu wa ta’ala pada surat al-imran ayat 14. Oleh Alquran
dilukiskan bahwa pria dan wanita bagaikan pakaian, artina yang satu memerlukan yang
lain.

‫ُاِح َّل َلـُک ۡم َلۡي َلَة الِّص َياِم الَّر َفُث ِاٰل ى ِنَس ٓإِٮُك ۡمؕ‌ ُهَّن ِلَباٌس َّلـُك ۡم َو َاۡن ـُتۡم ِلَباٌس َّلُهَّن‬

Artinya : “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur
dengan istri-istri kamu, maka itu adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah
pakaian bagi mereka...”.

Allah SWT. Mengetahui bahwa kalau saja wanita dan pria tidak diberi
kesempatan untuk menyalurkan nalurinya itu akan berbuat pelanggaran.

Di samping pernikahan untuk pengaturan harus seksual juga untuk


menyalakan cinta dan kasih sayang di kalangan pria dan wanita secara harmonis
dan bertanggung jawab penyaluran cinta dan kasih sayang yang dikor pernikahan
tidak akan menghasilkan keharmonisan dalam tanggung jawab yang layak, karena
didasarkan atas kebebasan yang tidak terikat oleh satu norma. Satu-satunya norma
ialah yang ada pada dirinya masing-masing, sedangkan masing-masing orang
mempunyai kebebasan. Pernikahan mengikat adanya wawasan penembakan cinta
dan kasih sayang dan secara harmonis dan bertanggung jawab melaksanakan
kewajiban.

d. Memlihara diri dari kerusakan


Sesuai dengan surat ar-rum ayat 2 di atas bahwa ketenangan hidup dan cinta
serta kasih sayang keluarga dapat ditunjukkan melalui pernikahan. Orang-orang
yang tidak melakukan penyalurannya dengan pernikahan akan mengalami
ketidakwajaran dan dapat menimbulkan kerusakan entah kerusakan dirinya sendiri
ataupun orang lain bahkan masyarakat, karena manusia mempunyai nafsu,
sedangkan nafsu itu condong untuk mengajak kepada perbuatan yang tidak baik.
Dorongan langsung yang utama ialah nafsu seksual, karenanya perlulah
menyalurkannya dengan baik yakni pernikahan pernikahan dapat mengurangi
dorongan yang kuat atau dapat mengembalikan gejolak nafsu seksual.
e. Menimbulkan kesungguhan bertanggung jawab dan mencari harta yang halal
24

Hidup sehari-hari menunjukkan bahwa orang-orang yang belum


berkeluarga tidaknya sering masih dipengaruhi oleh emosinya sehingga kurang
mantap dan kurang bertanggung jawab. Kita lihat software yang sudah
berkeluarga dalam cara mengendalikan kendaraannya lebih tertib, para pekerja
yang sudah berkeluarga lebih rajin dibanding dengan para pekerja yang bujangan.
Demikian pula dalam menggunakan hartanya, orang-orang yang telah berkeluarga
lebih efektif dan hemat, karena mengingat kebutuhan keluarga di rumah. Hanya
sedikit pemuda-pemudi yang belum berkeluarga memikirkan hari kedepannya,
mereka berpikir untuk hari ini, barulah setelah mereka menikah aku mah
memikirkan Bagaimana caranya mendapatkan bekal untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya.
Demikian pula calon ibu setelah memasuki jenjang pernikahan mengetahui
bagaimana cara menggunakan uang agar dapat untuk mencukupi kebutuhan
rumah tangganya. Rasa tanggung jawab akan kebutuhan itu mendorong semangat
untuk mencari rezeki sebagai bekal hidup keluarga dan hidupnya tidak hanya
untuk dirinya tetapi untuk diri dan keluarganya. Suami istri yang pernikahannya
didasarkan pada pengalaman agama, ciri bahaya dalam usahanya, dan upayanya
menjadi keperluan hidupnya kurma dan keluarga yang dibinanya dapat
digolongkan ibadah dalam arti luas. Dengan demikian melalui rumah tangga dapat
ditimbulkan gairah bekerja dan bertanggung jawab serta berusaha mencari harta
yang halal.
f. Membangun rumah tangga dalam rangka membentuk masyarakat yang sejahtera
berdasarkan cinta dan kasih sayang.
Suatu kenyataan bahwa manusia di dunia tidaklah berdiri sendiri melainkan
bermasyarakat yaitu terdiri dari unit-unit yang terkecil yaitu keluarga yang
terbentuk melalui pernikahan. Dalam hidupnya manusia memerlukan ketahanan
dan ketentraman hidup. Ketenangan dan ketentraman untuk mencapai
kebahagiaan. Kebahagiaan masyarakat dapat dicapai dengan adanya ketenangan
dan ketentraman anggota keluarga dalam keluarganya. Keluarga merupakan
bagian masyarakat menjadi faktor terpenting dalam penentuan ketenangan dan
ketenteraman masyarakat. Ketenangan dan ketentraman keluarga tergantung
dalam keberhasilan pembinaan yang harmonis antara suami istri dalam suatu
25

rumah tangga. Harmonisan diciptakan oleh adanya kesadaran anggota keluarga


dalam menggunakan hak dan pemenuhan kewajiban.
Allah menjadikan unit keluarga yang dibina dengan pernikahan antara
suami istri dalam membentuk ketenangan dan ketentraman serta membangun cinta
dan kasih sayang sesama warganya. Demikian diungkap dalam Alquran surat ar-
rum ayat 21:

‫َوِم ْن ٰا ٰي ِتٖٓه َاْن َخ َلَق َلُك ْم ِّم ْن َاْنُفِس ُك ْم َاْز َو اًجا ِّلَتْس ُك ُنْٓو ا ِاَلْيَها َو َجَعَل َبْيَنُك ْم َّمَو َّد ًة َّوَر ْح َم ًة ِۗاَّن ِفْي ٰذ ِلَك ٰاَل ٰي ٍت ِّلَقْو ٍم َّيَتَفَّك ُرْو َن‬

Artinya : “Dam diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan


untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tentram kepadanya, dan dijadikannya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berpikir”. 33

33
Lihat Ilmu Fiqh II, 62. Lihat Zakiah Daradjat, Op. City., 48.

Anda mungkin juga menyukai