A. Maqāṣid Al-Syāri’ah
1. Pengertian Maqāṣid Al-Syāri’ah
Maqāṣid al-sharī‘ah adalah dua kata yang terdiri dari maqāṣid dan
alsharī‘ah. Maqāṣid merupakan bentuk jamak (plural) dari kata maqṣid yang
berarti “tempat yang dituju atau dimaksudkan” atau maqṣad yang berarti “tujuan
atau arah”. Dalam ilmu ṣarf maqāṣid berasal dari timbangan يقصد – قصد- قصدا
memiliki makna yang bermacam-macam. Di antaranya diartikan “jalan yang
lurus atau fokus, berpegang teguh, adil, maksud atau tujuan, keinginan yang
kuat”, “menyengaja atau bermaksud kepada sesuatu (qaṣada ilayh)”.
Selanjutnya kata al-sharī‘ah awalnya digunakan untuk menunjukkan air
yang mengalir dan keluar dari sumbernya, kemudian digunakan untuk
menunjukkan kebutuhan semua makhluk hidup terhadap air. Eksistensi air
menjadi sangat penting dan merupakan kebutuhan primer bagi kehidupan,
sehingga untuk memenuhi kebutuhan ini diperlukan jalan atau metode. Metode
tersebut disebut al-shir’ah karena memiliki arti yang sama dengan al-shar’ dan
al-sharī‘ah yang bermakna agama Allah. Kata al-sharī‘ah secara etimologi
adalah “agama, millah, metode, jalan, dan sunnah”. Secara terminologi “aturan-
aturan yang telah disyariatkan Allah berkaitan dengan akidah dan hukum-hukum
amal perbuatan (‘amalīyah)”. Kata al-sharī‘ah juga diartikan “sejumlah atau
sekumpulan hukum-hukum amal perbuatan yang terkandung dalam Islam. Islam,
melalui al-Qur’an dan sunnah mengajarkan tentang akidah dan legislasi hukum
(tashrī’iyan ‘imliyan).1
Maqāṣid Al-Syāri’ah merupakan istilah gabungan dari dua kata maqashid
dan al syariah. Maqashid adalah bentuk plural dari maqsud, qasd, maqsid atau
qusud yang merupakan derivasi dari kata kerja qasada yaqsudu, dengan beragam
makna seperti menuju suatu arah, tujuan. Syariah, secara etimologi bermakna
jalan menuju mata air, jalan menuju mata air ini dapat pula dikatakan sebagai
jalan
1
Dr. H. Abdul Helim, MAQĀṢID AL-SHARĪ‘AH versus UṢŪL AL-FIQH, (Jogjakarta : Pustaka Pelajar,
2019), 7.
1
2
2
Moh. Toruquddin, Teori Maqashid Syariah Perspektif Ibnu Ashur (Jurnal), 2
3
ada yang sia-sia. Semuanya mempunyai hikmah yang mendalam, yaitu sebagai
rahmat bagi umat manusia, sebagaimana yang ditegaskan dalam beberapa ayat
Al-Qur'an, di antaranya dalam surat AlAnbiya' :107, tentang tujuan Nabi
Muhammad diutus :
budaya, dan peradaban yang mulia, karena dakwah Islam merupakan rahmat
bagi semua manusia.
Dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa yang menjadi bahasan
utama dalam maqashid al-syari'ah adalah hikmah dan illatditetapkan suatu
hukum. Dalam kajian ushul fiqh, hikmah berbeda dengan illat. Illat adalah sifat
tertentu yang jelas dan dapat diketahui secara objektif (zahir), dan ada tolak
ukurnya (mundhabit), dan sesuai dengan ketentuan hukum (munasib) yang
keberadaannya merupakan penentu adanya hukum. Sedangkan hikmah adalah
sesuatu yang menjadi tujuan atau maksud disyariatkannya hukum dalam wujud
kemaslahatan bagi manusia.3
2. Konsep Maqāṣid Al-Syāri’ah
Maqāṣid Al-Syāri’ah ialah tujuan atau rahasia yang di tetapkan oleh
syari’ (pembuat hukum) pada setiap hukum dari hukum-hukum syariah. Menurut
Alal al-Fasi, maqashid syariah ialah tujuan akhir yang ingin dicapai oleh syariah
dan rahasia-rahasia dibalik setiap ketetapan hukum syariah. Abdul wahab khalaf
menyimpulkan bahwa tujuan syariah ialah untuk membawa manusia kepada
kebahagiaandunia dan akhirat. Konsep maqashid syariah merupakan lanjutan
dari konsep maslahah. Maslahah, menurut syara’ dibagi menjadi tiga, yaitu
maslahah mu‟tabarah (didukung oleh syara’), maslahah mulghah (ditolak syara’)
dan maslahah mursalah (tidak didukung dan tidak pula ditolak syara’, namun
didukung oleh sekumpulan makna nash al-Qur’an dan al-Hadist). Konsep ini
merupakan pengembangan dari konsep maslahah, jamaknya masalih. Dalam
bahasa Indonesia berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan (keutamaan).
Menurut al-Syatibi, ada dua aspek ketentuan hukum yang merupakan bentuk
pemeliharaan kemaslahatan manusia, yaitu aspek positif (ijabiyyah) dan aspek
negatif (salbiyah).4
Ada dua konsep berfikir konsumen muslim yang hadir dalam dunia
ekonomi hingga saat ini. Konsep pertama adalah utilitas, konsep utilitas
diartikan sebagai konsep kepuasan konsumen dalam konsumsi barang atau jasa.
Konsep kedua adalah maslahah diartikan sebagai konsep pemetaan perilaku
3
Ghofar Shidiq, TEORI MAQASHID AL-SYARI'AH DALAM HUKUM ISLAM, SULTAN AGUNG VOL
XLIV NO. 118 JUNI – AGUSTUS (2009), 119.
4
Kuat Ismanto, Asuransi Perspektif Maqashid Asy-Syariah, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2016), 125
5
5
Agil Bahsoan, Maslahah Sebagai Maqashid Al Syariah “Tinjauan dalam Perspektif
Ekonomi Islam”, (Jurnal : INOVASI, Volume 8, Nomor 1, Maret 2011 ISSN 1693-9034), 118
6
b. Maqasyid Al-Mukallaf
1) Al-syathibi menekankan pada dua hal antara lain : Tujuan Syar‟i pada
subjek hukum merupakan sebagai niat dalam perbuatan yang akandi
arus dengan tuntunan syariah. Sehingga dalam hal “niat” yang menjadi
dasar suatu amal perbuatan.
2) Siapayang menjalankan perintah Allah yang mempunyai maksut tidak
sesuai dengan syariah, maka perbuatannya dianggap batal
c. Unsur Maqāṣid Al-Syāri’ah
Sebagaimana diketahui bahwa lima unsur atau disebut uṣūl al-
khamsah merupakan bagian dari kebutuhan al-ḍarurīyah, sehingga
memelihara kelima unsur itu adalah mutlak dilakukan. Di antara ulama ada
yang berbeda mengurutkan kelima unsur (uṣūl al-khamsah) pokok itu.
Imam al-Ghazālī memulai dari pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan
dan harta. Imam al-Rāzi memiliki versi yang berbeda. Ia mengurutkan
kelima unsur pokok di atas yang dimulai dari memelihara jiwa, harta,
keturunan, agama, dan akal. Al-Amidī mengurutkan mulai dari
pemeliharaan agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Beda lagi dengan
alShātībī, ia mengurutkan kelima pokok tersebut yaitu memelihara agama,
jiwa, keturunan, harta, dan akal.
Terlepas dari perbedaan urutan penyebutan kelima pokok itu, yang
jelas perbedaan ini menunjukkan bahwa kelima pokok tersebut memiliki
kedudukan yang sama dan peran yang sama pula, sehingga tidak ada yang
lebih diutamakan dari yang lainnya. Semuanya tergantung dengan
persoalan-persoalan yang dihadapi yang terikat dengan situasi dan kondisi
tertentu, sehingga berpikir dan berpaham kontekstual mutlak dimiliki
6
Dr. H. Abdul Helim, MAQĀṢID AL-SHARĪ‘AH versus UṢŪL AL-FIQH, (Jogjakarta : Pustaka Pelajar,
2019), 19.
7
seorang pengkaji hukum Islam (mujtahid). Hal ini tidak lain agar
kemaslahatan yang hakiki dan universal dapat diwujudkan.7
1) Menjaga agama (hifz diin)
Allah telah memerintahkan kepada hambanya untuk beribadah.
Bentuk ibadah yang dimaksud yaitu shalat, zakat, puasa, haji, zikir,
doa. Dengan cara menjalankan perintah Allah maka tegaklah din
seseorang. Islam menjaga hak dan kebebasan. Kebebasan yang
pertama yaitu kebebasan berkeyakinan dan beribadah, setiap pemeluk
agama berhak atas agama dan mazhabnya, tidak boleh dipaksa untuk
meninggalkannya menuju agama atau mazhab lain serta tidak boleh
ditekan untuk berpindah dari keyakinan untuk masuk Islam.8
2) Menjaga jiwa (hifz al-nafs)
Islam adalah risalah langit yang terakhir, sejak empat belas abad
yang lalu telah mensyariatkan (mengatur) hak-hak asasi manusia
secara komprehensif dan mendalam. Islam mengaturnya dengan
segala macam jaminan yang cukup untuk menjaga hak-hak tersebut.
Islam membentuk masyarakatnya di atas fondasi dan dasar yang
menguatkan dan memperkokoh hakhak asasi manusia ini. Hak
pertama dan paling utama yang diperhatikan islam ialah hak hidup,
hak yang disucikandan tidak boleh dihancurkan kemuliaannya.9
3) Menjaga akal (hifz aql)
Islam memandang akal manusia adalah anugrah terbersar dari
Allah. Syariat mewajibkan seseorang untuk memelihara akal dari apa
saja yang merusak fungsinya. Sebagaimana dalam hadits Rasulullah
“Abu Darda berkata Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa
menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan menuntunnya
menuju surga dan para malaikat akan meletakkan sayap-sayapnya
karena senang kepada pencari ilmu, sesungguhnya orang berilmu itu
akan dimintakan ampunan oleh makhluk yang di langit dan di bumi
7
Dr. H. Abdul Helim, MAQĀṢID AL-SHARĪ‘AH versus UṢŪL AL-FIQH, (Jogjakarta : Pustaka Pelajar,
2019), 24.
8
Jauhar, A. A, Maqshid Syariah, (Jakarta: Penerbit Amzah, 2009).
9
Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, (Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2013), 22.
8
hingga ikan di air, keutamaan orang yang berilmu atas ahli ibadah
laksana keutamaan rembulan atas bintang” (HR.Tirmidzi:2606).
4) Menjaga keturunan (hifz nasl)
Islam menjamin kehormatan manusia dengan memberikan
perhatian yang sangat besar. Menjaga keturunan dapat di gunakan
untuk memberikan spesialisasi kepada hak asasi mereka. Sebagai
alasan diwajibakannya memperbaiki keturunan, membina sikap
mental agar terjalin persahabatan sesama umat manusia. Allah
mengharamkan zina dan perkawinan sedarah serta menyifatkan zina
sebagai kejadian yang keji. Islam menjamin kehormatan manusia
dengan memberikan perhatian yang sangat besar, dapat digunakan
untuk memberikan spesialisasi kepada hak asasi mereka. Perlindungan
ini terlihat dalam sanksi berat yang dijatuhkan dalam masalah zina,
masalah menghancurkan kehormatan orang lain.10
Islam mengarahkan kadar perhatianya yang besar untuk
mengukuhkan aturan dan membersihkan keluarga dari cacat lemah,
serta mengayominyadengan perbaikan dan ketenangan yang menjamin
kehidupanya. Islam tidak meninggalkan satu sisi pun melainkan
mendasarkanya di atas peraturan yang bijaksana, serta menghapus
cara cara yang tidak lurus dan rusak yang dijalani syariat-syariat
terdahulu dalam masalah ini.Ketika nasab merupakan fondasi
kekerabatan dalam keluarga dan penopang yang ,yaitu akidah, akhlak,
dan syariat. antar anggotanya, maka Islam memberikan perhatianya
yang sangat besar untuk melindungi nasab dari segala sesuatu yang
menyebabkan pencampuran atau yang menghinakan kemuliaan nasab
tersebut. Nasab yang telah menjadi bahasa Indonesia dan telah masuk
dalam kamus besar bahasa Indonesia itu diartikan sebagai keturunan
atau pertalian keluarga.
Sedangkan dalam ensiklopedia Islam, nasab diartikan sebagai
keturunan atau kerabhat, yaitu pertalian keluarga melalui akad nikah
perkawinan yang sah. Nasab secara terminology adalah pertalian
kekeluargaan berdasarkan hubungan darah, baik ke atas, ke bawah,
10
Atiqi Chollisni, Analisis Maqashid Syariah Dalam Keputusan Memilih Hunian Islami Pada
Perumahan Ilhami Tangerang, Vol.7 Np,1, (April 2016), 50.
9
ataupun ke samping yang semua itu merupakan salah satu akibat dari
perkawinan yang sah, perkawinan yang fasid dan hubungan badan
yang subhat. Para ulama sepakat bahwa hukum Islam dibentuk dalam
rangka mewujudkan dan memelihara kemaslahatan manusia, baik
secara individu maupun secara koolektif. Maslahat yang ingin
diwujudkan adalah keseluruhan aspek kepentingan manusia.
Maslahat yang berarti damai dan tentrram. Damai berorientasi
pada fisik. Sedangkan tentram berorentasi pada psikis. Artinya
maslahat secara terminologi adalah perolehan manfaat dan penolakan
terhadap kerusakan. Maslahah terdapat tiga macam, yakni maslahah
mu’tabarah, maslahah mursalah, dan maslahah mulgat.
Maslahah mu’tabarah diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan,
dhoruriyah, hajiyah, dan tahsiniyah. Maslahah yang masuk pada
kelompok pertama adalah lima tujuan agama (maqashid syari’ah),
yaitu dalam rangka menjaga agama, jiwa, akal, harta dan keturunan.
Hal yang menjadi prinsip yang akan dibahas kali ini ialah nasab atau
keturunan. Dalam rangka menjaga nasab inilah agama Islam melarang
segala bentuk perzinaan dan porstitusi serta sangat menganjurkan
nikah untuk melangsungkan keturunan umat manusia agar tidak punah
dan mempunyai hubungan kekerabatan yang sah dan jelas.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa tujuan terakhir dari
disyariatkannya ajaran agama Islam adalah untuk memelihara dan
menjaga keturunan atau nasab, ulama fiqh mengatakan bahwa nasab
adalah merupakan salah satu fondasi yang kokoh dalam membina
suatu kehidupan rumah tangga yang bisa mengikat antara pribadi
berdasarkan kesatuan darah. Dalam rangka menjjaga nasab atau
keturunan inilah ajaran agama Islam mensyariatkan niukah sebagai
cara dipandang sah untuk menjaga dan memelihara kemurnian nasab.
Islam memanddang bahwa kemurnian nasab sangat penting, karena
hukum Islam sangat terkait dengan struktur keluarga, baik hukum
perkawinan, maupun kewarisan dengan berbagai derivasinya yang
meliputi hak hak perdata dalam hukum Islam, baik menyangkut hak
nasab, hak perwalian, hak memperoleh nafkah dan hak mendapatkan
10
11
M. Lutfi Khakim dan Mukhlis Ardiyanto, MENJAGA KEHORMATAN SEBAGAI PERLINDUNGAN
NASAB PERSPEKTIF MAQASHID SYARI’AH, NIZHAM, Vol. 8, No. 01 (Januari-Juni 2020), 37.
12
Atiqi Chollisni, Analisis Maqashid Syariah Dalam Keputusan Memilih Hunian Islami Pada
Perumahan Ilhami Tangerang, Vol.7 Np,1, (April 2016), 50.
13
Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, Juz XIV, 307
12
14
Atabik, Ali, dkk, Kamus Kontenporer Arab Indonesia (Cet. IX, Yogyakarta : Multi Karya Grafika), 1943.
15
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi IV (Cet. VII : Jakarta :
Gramedia, 2013), 962 & 639.
16
Undang- Undang RI. Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
17
Departemen Agama R.I. Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagan Agama Islam, Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia.2000 14.
13
adalah akad, sementara makna majazinya adalah bersetubuh, karena makna itulah
yang masyhur dalam Al-Qur’an dan hadis.18
Adapun secara istilah, Hanafiyah mendefinisikan nikah dengan “akad yang
menghasilkan faidah dapat melakukan hubungan suami istri secara sengaja,
artinya tidak ada halangan shara’. Sementara itu ulama dari kalangan Shaf’iyah
mendefinisikan nikah dengan “akad yang mengandung kebolehan melakukn
hubungan suami istri dengan lafadz nikah/kawin atau yang memiliki makna yang
sama dengan nikah/kawin.19
2. Dasar Hukum Pernikahan
Dasar hukum pernikahan adalah Q.S. al-Nisa’ [4] : 3 dan beberapa hadis
َو ِإْن ِخ ْفُت ْم َأاَّل ُتْق ِس ُط و۟ا ِفى ٱْلَي َٰت َم ٰى َفٱنِكُحو۟ا َم ا َط اَب َلُك م ِّم َن ٱلِّن َس ٓاِء َم ْث َنٰى َو ُث َٰل َث َو ُر َٰب َع َف ِإْن ِخ ْفُتْم َأاَّل َت ْع ِد ُلو۟ا َف َٰو ِحَد ًة َأْو
َم ا َم َلَكْت َأْي َٰم ُنُك ْم ۚ َٰذ ِلَك َأْد َن ٰٓى َأاَّل َت ُعوُلو۟ا
Artinya: "Dan Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Namun demikian, menurut jumhur, hukum nikah bagi masingmasing
orang dapat berbeda, sebagai berikut:
a. Wajib hukum ini berlaku bagi mereka yang telah mampu melaksanakan
nikah, mampu memberi nafkah pada isteri serta hak dan kewajiban lainnya
dan dikhawatirkan jatuh pada perbuatan maksiat jika tidak melakukannya.
b. Sunnah. Hukum ini berlaku bagi mereka yang mampu dan tidak
dikhawatirkan jatuh pada perbuatan maksiat jika tidak melakukannya. Dasar
hukum ke-sunnah-an adalah : Nabi dan para sahabat menikah. Demikian pula
para ulama serta umat Islam. Berbeda dengan pandangan di atas, menurut
Syafi’i, dalam kondisi seperti yang disebut di atas (mampu dan tidak
dikhawatirkan jatuh pada perbuatan maksiat jika tidak menikah), hukum
menikah adalah mubah. Jika seseorang sibuk beribadah dan mencari ilmu,
18
Wahbah al-Zuhāilī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, vol. 9, (Damaskus: Dār al-Fikr, 2004), 6514.
19
Abd al-Raḥmān al-Jazīrī, al-Fiqh, vol. 4, 8
14
maka kesibukan itu lebih utama baginya daripada menikah. Argumen Shāfi’ī
adalah QS ali ‘imrān [3]:39; 14 ; al-nisa’ [4]:3.20
c. Makruh. Hukum ini berlaku bagi mereka yang merasa bahwa dirinya akan
berbuat zalim pada istrinya jika menikah, namun tidak sampai pada tingkatan
yakin, misalnya karena ia tidak memiliki nafsu yang kuat, khawatir tidak
mampu menafkahi, tidak begitu menyukai isterinya, dan lain-lain. Dalam
pandangan Shafi’i, hukum makruh berlaku jika yang bersangkutan punya
cacat seperti pikun, sakit menahun, dan lain-lain. Hukum makruh menurut
Shāfi’iyah juga berlaku bagi mereka yang menikahi wanita yang sudah
menerima pinangan orang lain, pernikahan muhallil yang tidak dikemukanan
dalam akad.
d. Haram, berlaku bagi mereka yang tidak mampu lahir batin dan jika tetap
menikah, akan menyebabkan madarat bagi istrinya secara pasti.
e. Mubah, berlaku bagi mereka yang tidak ada faktor penghalang maupun
pendorong untuk menikah.21
2. Rukun dan Syarat Pernikahan
Masalah perkawinan dalam hukum Islam sudah diatur sedemikian rupa,
berikut ini akan dikemukakan pendapat ualama mengenai rukun dan syarat
perkawinan. Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan terdiri atas:
a. Calon mempelai pengantin pria,
b. Calon mempelai pengantin wanita,
c. Wali dari pihak calon penganting wanita,
d. Dua orang saksi
e. dan ijab qabul.22
a. Imam Malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam:
1) Wali dari pihak perempuan
2) Mahar (mas kawin)
3) Calon pengantin laki-laki
20
Muḥammad Nāṣir al-Dīn al-Albānī, Irwā’ al-Ghalīl fī Takhrīj Aḥadīth Manār alSabīl, vol.6, (Beirut: Maktab
al-Islami, 1985), 193.
21
Sayyid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, vol. 2, (Beirut: Dār al-Fikr, 2008), 458-459.
al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī, vol. 9, 6516-6518.
22
Rusdaya, Fiqih Munakahat 4 Mazhab dan Kebijakan Pemerintah, (Sulawesi Selatan: CV Kaaffah Learning
Center, 2019) 20.
15
Dalam syarat pernikahan ini terdapat beberapa pendapat diantara para madzhab
fikih, yaitu sebagai berikut :
23
Hikmatullah, FIQH MUNAKAHAT Pernikahan dalam Islam, (Jakarta : EDU PUSTAKA, 2021), 33.
24
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), 46-48.
16
25
Slamet, Aminudin, Fiqih Munakahat 1 Untuk Fakultas Syariah Kompenen MKDK, (Bandung : CV PUSTAKA
SETIA, 1999), 63.
17
26
Al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī, vol. 9, 6534.
27
Ibid, 6561
18
َو ِإْن ِخ ْفُتْم َأاَّل ُتْق ِس ُط و۟ا ِفى ٱْلَي َٰت َم ٰى َف ٱنِكُحو۟ا َم ا َط اَب َلُك م ِّم َن ٱلِّن َس ٓاِء َم ْث َنٰى َو ُثَٰل َث َو ُر َٰب َع ۖ َف ِإْن ِخ ْفُتْم َأاَّل َت ْع ِد ُلو۟ا َف َٰو ِحَد ًة َأْو َم ا
َم َلَكْت َأْي َٰم ُنُك ْم ۚ َٰذ ِلَك َأْد َن ٰٓى َأاَّل َت ُعوُلو۟ا
Artinya : “Dan Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-
wanita lain yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian Jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak
yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya”.
Mereka juga mengajukan argumen bahwasanya Hasan bin Ali pernah melakukan
pernikahan tanpa saksi, namun kemudian mengumumkannya.28
e. Syarat ijab Qabul adalah a) lafadz yang diucapkan harus bersifat pasti
menggunakan fi'il mati, b) tidak mengandung makna yang melakukan, c) lafal
akad bersifat tuntas bersamaan dengan tuntasnya akad. Artinya apa tidak
digantungkan pada syarat tertentu misalnya, “saya nikahkan Anak saya jika nanti
sudah diterima menjadi pegawai negeri”, d) ijab dan qobul diusahakan dalam satu
majelis, artinya ijab dan Qabul berada dalam situasi dan kondisi yang
menunjukkan adanya kesatuan akad. Jika salah satu pihak tidak hadir dalam
majelis akad, namun mengirimkan surat yang berisi terhadap akad, maka ketika
surat tersebut dibacakan dihadapan saksi kesediaan maka itulah satu majelis e)
qabul tidak berbeda dengan ijab. Jika jumlah mahar tersebut dalam akad, maka
jumlah mahar yang disebut dalam qabul harus sama dengan jumlah yang disebut
dalam ijab kecuali jika dalam qobul (pihak suami) menyebut jumlah mahar yang
melebihi jumlah yang disebut dalam ijab. Dalam hal ini, akad, sah. Sekalipun
perlu sumur ulama mahar bukan rukun, namun jika disebut dalam akad dan
qabul, maka menjadi bagian akad, f) antara ijab dan qabul harus bersifat segera
(al-faur), Artinya, tidak ada jarak yang lama antara ijab dan qabul yang
menunjukkan adanya perubahan atau pemalingan dari tujuan akad, g) kedua
pihak mendengar ijab dan qobus secara jelas, h) orang yang mengajukan ijab
tidak mencabut ijabnya, i) harus disampaikan secara lisan, kecuali orang bisu dan
orang yang tidak berada di tempat, j) akad bersifat abadi tidak dibatasi oleh
waktu, misalnya bahwa pernikahan hanya selama satu bulan, dan lain-lain.
28
Abū al-Walīd Muḥammad b. Aḥmad b. Rush al-Qurṭubī, Bidāyat al-Mujtahid, vol. 2, (T.t.: Dār al-Kutub al-
Islamiyah, t.th.), 13. Lihat juga al-Zuḥailī, al-Fiqh alIslāmī, vol. 9, 6559.
19
Dari penjelasan tentang syarat nikah di atas, disebutkan bahwa tidak ada
persyaratan baligh dan berakal bagi calon mempelai. Namun demikian kok mati
sisi lain jemur sepakat bahwasanya jika seseorang menikahi wanita sementara
dapat dipastikan bahwa pernikahan itu akan melahirkan mudarat maka hukum
pernikahan itu haram. Seorang laki-laki yang belum mencapai usia baligh, dan
laki-laki gila, mustahil dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami
dengan baik sehingga dapat dipastikan bahwa pernikahan itu hanya akan
29
Seluruh rukun dan syarat tersebut dirangkum dari al-Jazīrī, al-Fiqh ‘alā alMadhāhib al-Arba’ah, vol. 4, 14 dst.
Lihat juga Sayyid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, vol. 2, 469 dst. Lihat juga al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī, vol. 9, 6534
dst. Lihat juga Ibnu Rushd, Bidāyat al-Mujtahid, vol. 2, 3 dst.
20
3. Tujuan Pernikahan
30
Iffah Muzammil, FIQH MUNAKAHAT (Hukum Pernikahan dalam Islam), (Tangerang : Tira Smart, 2019), 15.
31
Hasbi al-Shiddieqy, Al- Islam 2, Edisi ke 2 (Cet. I; Semarang: Pustaka Rezki Putra, 1987), 238
21
ُز ِّي َن ِللَّن اِس ُحُّب ٱلَّش َه َٰو ِت ِمَن ٱلِّن َس ٓاِء َو ٱْلَب ِنيَن َو ٱْلَقَٰن ِط يِر ٱْلُم َقنَط َر ِة
Dari ayat ini jelas bahwa manusia mempunyai kecenderungan terhadap cinta
wanita, cinta anak keturunan dan cinta harta kekayaan. Dan dalam diri manusia
mempunyai fitrah mengenal kepada Tuhan sebagaimana tersebut pada surat ar-
rum ayat 30:
- َف َاِقْم َو ْج َهَك ِللِّدْي ِن َح ِنْي ًفۗا ِفْط َر َت ِهّٰللا اَّلِتْي َف َط َر الَّن اَس َع َلْي َه ۗا اَل َت ْبِدْي َل ِلَخ ْلِق ِهّٰللاۗ ٰذ ِلَك الِّد ْيُن اْلَقِّي ُۙم َو ٰل ِكَّن َاْك َث َر الَّن اِس اَل َي ْع َلُمْو َۙن
٣٠
32
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), 16.
22
َو اَّلِذ ْيَن َيُقْو ُلْو َن َر َّبَنا َهْب َلَنا ِم ْن َاْز َو اِج َنا َو ُذ ِّر ّٰي ِتَنا ُقَّرَة َاْع ُيٍن َّو اْج َع ْلَنا ِلْلُم َّتِقْيَن ِاَم اًم ا
Anak sebagai keturunan bukan saja menjadi buah hati, tetapi juga sebagai
penolong dalam hidup di dunia bahkan akan memberi tambahan amal kebajikan di akhirat
nanti, manakala dapat mendidiknya menjadi anak yang sholeh Sholehah. Begitu besarnya
peranan anak terhadap amal orang tuanya, sehingga diterangkan bahwa seseorang yang
kehilangan putranya yang masih kecil akan dimasukkan ke dalam surga dan akan terlepas
dari api neraka.
Sudah menjadi kodrat irodah Allah SWT; manusia diciptakan berjodoh-jodoh dan
diciptakan oleh Allah SWT. Mempunyai keinginan untuk berhubungan antara pria dan
wanita firman Allah subhanahu wa ta’ala pada surat al-imran ayat 14. Oleh Alquran
dilukiskan bahwa pria dan wanita bagaikan pakaian, artina yang satu memerlukan yang
lain.
ُاِح َّل َلـُک ۡم َلۡي َلَة الِّص َياِم الَّر َفُث ِاٰل ى ِنَس ٓإِٮُك ۡمؕ ُهَّن ِلَباٌس َّلـُك ۡم َو َاۡن ـُتۡم ِلَباٌس َّلُهَّن
Artinya : “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur
dengan istri-istri kamu, maka itu adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah
pakaian bagi mereka...”.
Allah SWT. Mengetahui bahwa kalau saja wanita dan pria tidak diberi
kesempatan untuk menyalurkan nalurinya itu akan berbuat pelanggaran.
َوِم ْن ٰا ٰي ِتٖٓه َاْن َخ َلَق َلُك ْم ِّم ْن َاْنُفِس ُك ْم َاْز َو اًجا ِّلَتْس ُك ُنْٓو ا ِاَلْيَها َو َجَعَل َبْيَنُك ْم َّمَو َّد ًة َّوَر ْح َم ًة ِۗاَّن ِفْي ٰذ ِلَك ٰاَل ٰي ٍت ِّلَقْو ٍم َّيَتَفَّك ُرْو َن
33
Lihat Ilmu Fiqh II, 62. Lihat Zakiah Daradjat, Op. City., 48.