KELUARGA
Dosen Pengampu :
Ulwiyyah, M.Ed
Disusun Oleh :
FAKULTAS SYARIAH
2021/2022
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai
salah satu acuan petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan.
Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca. Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
saya miliki sangat kurang dan terbatas.
Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-
masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini. Sehingga saya dapat
memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini agar kedepannya dapat lebih baik.
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.......................................................................................................... 3
KESIMPULAN ..................................................................................................... 18
3
BAB I
PENDAHULUAN
Diagnosis adalah analisis dan penjelasan masalah klien. Diagnosis dapat mencakup
penjelasan penyebab kesulitan yang dihadapi klien, perkembangan masalah dari waktu ke waktu,
klasifikasi masalah, spesifikasi prosedur treatment yang dipilih, dan prediksi peluang penyembuhan
terhadap masalah tersebut. Tujuan diagnosis dalam konseling perkawinan dan keluarga adalah untuk
mengidentifikasi gangguan dalam perilaku dan gaya hidup klien sebagai pribadi dan sebagai anggota
keluarga, dan permasalahan- permasalahan perkawinan dan keluarga sebagai suatu sistem. Setelah
masalah teridentifikasi secara jelas, konselor dan klien bekerjasama menentukan tujuan konseling,
kemudian menyusun rencana treatment sesuai kebutuhan unik klien dan kebutuhan unik suatu keluarga.
Diagnosis dalam konseling perkawinan dan keluarga bukanlah akhir dari sebuah proses
pemberian bantuan, melainkan sebagai sebuah titik awaldalam bentuk memberi hipotesis kerja yang
akan mengarahkan konselor dalam memahami anggota keluarga selaku klien dan sistem keluarga
selaku klien. Sesi-sesi konseling perkawinan dan keluarga akan memberikan petunjuk yang
bermanfaat dalam mengenal sifat permasalahan klien dalam kehidupan perkawinan dan keluarga.
Oleh karena itu, diagnosis dimulai dariwawancara utuh dan dilanjutkan selama proses konseling.
Walaupun sebagian konselor memandang diagnosis sebagai pusat proses konseling, sebagian
lainnya, justru berpendapat bahwa diagnosis tidak perlu. Diagnosis dipandang sebagai suatu yang
merugikan, dan bias genderkarena bertindak deskriminatif terhadap etnis minoritas dan wanita. Irvin
(2005) seorang psikiatris, menyarankan agar konselor menghindari diagnosis dengan argumentasi
diagnosis sering kontra produktif pada klien yang permasalahannya tidak parah. Selain itu, diagnosis
dapat membatasi visi dan mengurangi kemampuan konselor untuk mengaitkan permasalahan yang
dialami klien sebagai seorang pribadi. Konselor hanya fokus pada masalah bukan pada pribadi yang
sedang memerlukan bantuan. Bahkan praktik diagnosis tradisional sering bersifat menekan karena
praktik semacam itu bias budaya, karena berpusat pada kulit putih, sesuai dengan gagasan barat
mengenai kesehatan mental dan penyakit mental. Baik perspektif feminis dan pendekatan postmodern
menganggap bahwa diagnosis mengabaikan konteks kemasyarakatan. Konselor dengan orientasi feminis,
4
konstruksi sosial, berfokus pada solusi, atau terapi naratif banyak mempertanyakan diagnosis.
Meskipun begitu, para praktisi ini juga sejatinya membuat assesemen dan menarik kesimpulan
mengenai kelemahan dan kekuatan anggota keluarga selaku klien, dan kelemahan dan kekuatan sistem
keluarga selaku klien.
Sekaitan dengan uraian tersebut pada bab ini akan dibahas uraian tentang diagnosisi dan
asesmen dalam konseling perkawinan dan keluarga, dengan sistematika: budaya dalam diagnosis dan
asesmen; diagnosis dalam konseling perkawinan dan keluarga, dan metode evaluasi keluyarga.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana diagnosis dalam konseling perkawinan dan keluarga?
2. Bagaimana kedudukan asesmen dalam bimbingan dan konseling?
3. Bagaimana bentuk-bentuk asesmen dalam bimbingan dan konseling?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui disgnosis dalam konseling perkawinan dan keluarga
2. Untuk mengetahui kedudukan asesmen dalam bimbingan dan konseling
3. Bentuk-bentuk asesmen dalam bimbingan dan konseling
5
BAB II
PEMBAHASAN
Pada umumnya konseling perkawinan dan keluarga dimulai dengan menginterviu salah
seorang dari anggota keluarga yang sedang mengalami masalah atau diduga mengalami gangguan
atau kelainan. Dengan asumsi bahwa konselor dapat dan mampu memberikan layanan khusus kepada
orang yang mengalami gangguan dengan indikasi gejala-gejala maladaptive atau sikap yang tidak bisa
menyesuaikan diri. Misalnya, seorang isteri yang mengalami kecemasan sehingga ia tidak mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Persoalannya, dengan berdasar pada asumsi saja, belum
tentu menjamin konseling akan efektif, karena itu masih dibutuhkanpengamatan yang sistematik
terhadap kehidupan keluarga untuk mendapatkan data keadaan keluarga yang lebih akurat.
Pengamatan sistematik diperlukan karena terkadang suatu keluarga kelihatan harmonis, tetapi dibalik
keharmonisan itu ada masalah yang terpendam. Misalnya, mungkin saja si isteri bisa menyesuaikan
diri terhadap suami sehingga hubungan interaksi dengan suaminya kelihatan berjalan lancar, tetapi
semuaitu dilakukannya karena ingin mempertahankan keutuhan rumah tangga atau keutuhan keluarga.
Sebagian konselor konseling perkawinan dan keluarga selalu menyarankan agar sebelum
melakukan konseling, terlebih dahulu dilakukan diagnosis keluarga yang direncanakan secara formal
dan sistematik sebagaibagian dari strategi konseling. Diagnosis penting untuk mengetahui lokasi atau letak
permasalahan perkawinan dan keluarga. Howell dalam praktiknya sebagai psikiater melakukan
6
penelitian untuk memperoleh gambaran yang utuh mengenai kekuatan dan kelemahan suatu keluarga.
Dengan menggunakan pendekatan yang berorientasi medis, Howell mengawali penelitiannya dengan
mencoba menentukan secara langsung gangguan yang terjadi dalam keluarga. Kemudian, Howell
mencoba mencari penyebab gangguan keluarga tersebut dengan cara mempresentasikan keluhan-
keluhan setiap anggota keluarga. Misalnya, dengan menanyakan beberapa gejala-gejala terjadinya
problem dalam keluarga, seperti gangguan komunikasi dalam keluarga, gangguan hubungan seksual,
dan masalah- masalah yang terjadi pada anak. Jawaban-jawaban yang dikumpulkan Howell menunjukkan
bahwa hampir semua anggota keluarga mengatakan keluargakami berantakan, terjadi pertengkaran, dan
tidak ada hubungan seksual dalam beberapa tahun. Selain dengan wawancara, pada waktu yang sama
Howell juga mengobservasi pola interaksi keluarga untuk memperoleh gejala-gejalapsikopatologis.
Akhirnya, Howell menyimpulkan bahwa diagnosis keluarga bukan hanya sekedar pemberian nama
yang sederhana, seperti keluarga cemas, keluarga nakal (delinquent), tetapi juga mencakup penetapan
tingkatgangguan dari setiap anggota keluarga.
Dari hasil penelitian tersebut, Howell menggambarkan tingkat pola-pola interaksi dalam
kehidupan perkawinan dan keluarga, sebagai berikut.
3. Umum: Ayah mengisolasi diri dari anggota keluarga dengan beristirahat/ menyendiri,
menghindarkan diri dari ancaman keluarga.
4. Interaksi eksternal: Kegagalan pekerjaan karena bangkrut, kegagalan sekolah anak perempuan,
anak laki-laki nakal (delinquent), dan terjadi isolasi dalam keluarga.
5. Fisik: Masalah tidak mau makan pada anak perempuan, enuresis pada anak laki-laki, gangguan
7
pernafasan pada ayah, dan ibu mengalami kehilangan kemampuan koordinasi gerakan motorik.
Dengan merujuk pada sistem praktik klinik Howell, dapat disimpulkan bahwa pekerjaan
konselor dalam konseling perkawinan dan keluarga dapat berjalan dengan satu individu atau salah
seorang anggota keluarga, berpasangan atau suami isteri, dan bisa juga melibatkan semua anggota
keluarga. Tentu saja bergantung pada kompleksitas permasalahan dalam kehidupan perkawinan dan
keluarga yang ditangani oleh seorang konselor.1
1
Kustiah Sunarty dan Alimuddin Mahmud, Konseling Perkawinan dan Keluarga, (Makassar: Badan Pnerbit
Universitas Negeri Makassar,2016)
2
Departemen Pendidikan Nasional, Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan LayananBimbingan
dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal, (Bandung: UPI, 2008)
8
C. Bentuk-Bentuk Asesmen Dalam Bimbingan dan Konseling
a. Tes Prestasi
9
Tes bakat bisa didefinisikan sebagai sifat yang mencirikan
kemampuan individu melakukan performa di wilayah tertentu atau
mencapai pembelajaran yang dibutuhkan bagi perporma di wilayah
tertentu. Ini mengasumsikan suatu kemampuan inheren atau bawaan
yang bisa dikembangkan hingga maksimum lewat pembelajaran atau
pengalaman tertentu. Secara teoritis, tes bakat adalah untuk mengukur
potensi seseorang mencapai aktivitas tertentu, akan kemampuannya
belajar mencapai aktivitas tersebut.
Tes bakat banyak digunakan para konselor dan pengguna lain
karena sanggup: (a) mengidentifikasi kemampuan potensial yang tidak
didasari individu; (b) mendukung pengembangan kemampuan istimewa
atau potensial individu tertentu; (c) menyediakan informasi untuk
membantu individu membuat keputusan pendidikan dan karir atau
pilihan lain diantara alternatif- alternatif yang ada; (d) membantu
memprediksi tingkat sukses akademis atau pekerjaan yang bisa
diantipasi individu; (e) berguna untuk mengelompokkan individu-
individu dengan bakat yang serupa bagi tujuan perkembangan
kepribadian dan pendidikan.6
c. Tes Minat
10
bertujuan untuk membantu orang muda dalam memilih macam
pekerjaan yang kiranya paling sesuai baginya (test of vokasional
interest).7
3
Robert L. Gibson & Marianne H. Mitchell, Bimbingan dan Konseling, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011)
11
2. Asesmen Teknik non tes
Assessment teknik non tes paling banyak digunakan oleh konselor. Prosedur
perancangan, pengadministrasian, pengolahan, analisis, dan penafsirannya relatif
lebih sederhana sehingga mudah untuk dipelajari dan dipahami.
Adapun jenis-jenis asesmen teknik nontes sebagai berikut:
12
format 4 untuk SD, format 5 untuk masyarakat. Untuk mendukung efektifitas
layanan bimbingan dan konseling di sekolah, frekuensi pengadministrasian
sebaiknya dilakukan pada semester pertama dimana hasilnya dapat digunakan
sebagai dasar penyusunan program layanan yang sesuai dengan kebutuhan
konseli. Sedangkan untuk melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan layanan
pada semester satu, maka pada semester berikutnya dapat dilakukan lagi
pengisian AUM umum sehingga dapat diketahui apakah masalah sudah
terentaskan. Bila pada pelaksanaan, memiliki banyak kendala maka sebaiknya
pengisian AUM umum minimal dilakukan satu tahun sekali.14
13
yang membantu (konselor).15
d. Wawancara (interview)
14
Pengembangannya didasarkan pada pemikiran bahwa kelompok
mempunyai struktur yang terdiri dari hubungan-hubungan interpersonal
yang kompleks. Posisi setiap individu dan hubungan-hubungan yang
terjadi dalam struktur kelompoknya dapat diukur secara kuantitatif dan
kualitatif. Hasil sosiometri merupakan gambaran jumlah skor yang
diperoleh setiap orang, pola hubungan, intensitas hubungan, dan posisi
individu dalam kelompoknya.
15
Angket merupakan salah satu alat pengumpul data dalam
assessment non tes, berupa serangkaian pertanyaan atau pernyataan yang
diajukan pada responden. Winkel mendefinisikan angket sebagai suatu
daftar atau kumpulan pertanyaan tertulis yang harus dijawab secara
tertulis juga.
16
dan konseling di sekolah harus berdasarkan pada kebutuhan dan
perkembangan individu. Pengembangan instrument mengacu pada teori
perkembangan diri dari Loevinger yang terdiri dari tujuh tingkatan.
4
Gantina Komalasari, dkk, Asesmen Teknik Nontes dalam Perspektif BK Komprehensif,
(Jakarta:Indeks, 2011
17
KESIMPULAN
a. Tes prestasi
b. Tes bakat
c. Tes minat
d. Tes kepribadian
d. Wawancara
e. Sosiometri
f. Observasi
g. Angket
18
DAFTAR PUSTAKA
Sunarty, Kustiah dan Mahmud, Alimuddin. 2016. Konseling Perkawinan dan Keluarga,
(Makassar: Badan Pnerbit Universitas Negeri Makassar)
19