Anda di halaman 1dari 23

Paper

Konseling keluarga gangguan skizofrenia

Oleh :

Masa KKM : 11 Juni 2018 – 08 Juli 2018

Pembimbing :
Dr. dr. Theresia M.D. Kaunang, Sp.KJ(K)

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Paper yang berjudul

“Konseling keluarga gangguan skizofrenia”

telah dibacakan, dikoreksi dan disetujui pada Juni 2018.

Oleh:

Angelic Tesha Rumajar


17014101325
Masa KKM : 11 Juni 2018 – 08 Juli 2018

Pembimbing

Dr. dr. Theresia M.D. Kaunang, Sp.KJ(K)


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI…………………………………………………………….........i

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................3

A. Konseling…..……………………….…………………………………….3

B. Konseling Keluarga pada gangguanSkizofrenia.……....……….…….…6

BAB III PENUTUP...........................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................19

BAB I
PENDAHULUAN

Pusat dari sistem interpersonal dalam tiap kehidupan seseorang adalah

keluarga. Seorang bayi belajar bagaimana hidup dan menerima kehidupan itu

melalui interaksinya dalam keluarga. Interaksi seseorang di masa depan

memperlihatkan intensitas ikatan emosi dan kepercayaan dasar terhadap diri dan

dunia luar yang dihasilkan pada interaksi awal dalam keluarga.1

Keluarga merupakan kesatuan yang terkecil di dalam masyarakat tetapi

menempati kedudukan yang primer dan fundamental. Faktor keluarga sangatlah

penting karena merupakan lingkungan pertama bagi seorang anak, dimana

keluarga memiliki peranan di dalam pertumbuhan dan perkembangan pribadi

seorang anak.2

Di dalam keluarga seringkali terjadi permasalahan yang muncul baik dari

luar mapun dari dalam keluarga itu sendiri. Salah satu dari adanya masalah

keluarga adalah anak. Banyak faktor yang menyebabkan seorang anak menjadi

masalah di dalam sebuah keluarga. Kesalahan pendidikan dari orang tua meupun

faktor lingkungan anak yang kurang kondusif dapat mengakibatkan permasalahan

di dalam keluarga. Sebuah keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khususpun

seringkali menjadi sebuah masalah dalam keluarga. Layanan konseling sangat

dibutuhkan dalam membantu menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam

keluarga. Dalam konseling keluarga mengupayakan pemberian bantuan kepada

para individu sebagai pemimpin atau anggota keluarga agar mereka mampu

menciptakan keluarga yang utuh dan harmonis, memberdayakan diri secara


produktif, dapat menciptakan dan menyesuaikan diri dengan norma keliarga, serta

berperan atau berpartisipasi aktif dalam mencapai keluarga yang bahagia. Paper

ini akan membahas tentang konseling keluarga gangguan skizofrenia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konseling

Konseling adalah sebuah aktivitas yang muncul ketika seseorang bermasalah

dan mengizinkan orang lain untuk memasuki hubungan tertentu diantara

mereka. Seseorang mencari hubungan jenis ini ketika menemukan “problem

dalam kehidupan” yang tidak dapat mereka pecahkan sendiri dan hal tersebut

membuat mereka terasing dari beberapa aspek kehidupan sosial. Seseorang

membutuhkan konseling dengan mengundang orang lain untuk menyediakan

ruang dan waktunya yang ditandai sejumlah keadaan yang berbeda dalam

kehidupan sehari-hari seperti izin untuk berbicara, menghargai perbedaaan,

kerahasiaan dan afirmasi.1,2

Izin untuk berbicara, konseling adalah tempat seseorang dapat

menceritakan kisah mereka, tempat mereka disemangati untuk menyuarakan

pengalaman mereka yang dipendam, dalam jangka waktu dan cara yang

mereka tentukan termasuk pengekspresian perasaan dan emosi. Penghargaan

terhadap perbedaan, para konselor akan berusaha menempatkan diri mereka

sejauh mungkin dari isu yang dibawa oleh klien, dan juga keinginan mereka

pada saat itu, memfokuskan diri semaksimal mungkin untuk menolong klien

untuk mengartikulasi dan bertindak berdasarkan hasrat dan nilai pribadinya.2,3

Kerahasiaan, apapun yang didiskusikan dalam konseling bersifat

rahasia, konselor bertanggung jawab untuk tidak menyampaikan apa yang

mereka pelajari dari klien kepada orang lain yang ada dalam dunia si klien.1

Afirmasi, konselor melaksanakan hubungan yang merupakan ekspresi


dari serangkaian nilai inti seperti kejujuran, integritas, perhatian, keyakinan

akan nilai individual, komitmen untuk berdialog dan kolaborasi, refleksivitas,

pribadi yang interdependen, dan perasaan sehat.1,2

John mc leod mengatakan bahwa tujuan konseling secara eksplisit maupun

implisit terdapat beberapa tujuan yaitu :3,4,5

1. Pemahaman

Adanya pemahaman terhadap akar dan perkembangan kesulitan emosional

yang mengarah kepada peningkatan kapasitas untuk lebih memilih kontrol

rasional ketimbang perasaan dan tindakan ( freud mengatakan where id was,

shall ego be. (dimana ada id, maka disitu ada ego)

2. Berhubungan dengan orang lain

Menjadi lebih mampu membentuk dan memperthanakan hubungan yang

bermakna dan memuaskan dengan orang lain misalnya dalam keluarga atau di

tempat kerja.

3. Kesadaran diri

Menjadi lebih peka terhadap pemikiran dan perasaan yang selama ini ditahan

atau ditolak atau mengembangkan perasaan yang lebih akurat berkenaan

dengan bagaimana penerimaan orang lain terhadap diri.

4. Penerimaan diri

Pengembangan sikap positif terhadap diri yang ditandai oleh kemampuan

untuk menjelaskan pengalaman yang selalu menjadi subjek kritik diri dan

penolakan.

5. Aktualisasi diri atau individuasi


Pergerakan ke arah pemenuhan potensi atau penerimaan integrasi bagian diri

yang sebelumnya saling bertentangan.

6. Pencerahan

Membantu klien mencapai kondisi kesadaran spiritual yang lebih tinggi.

7. Pemecahan masalah

Menemukan pemecahan problem tertentu yang tak bisa di pecahkan oleh klien

seorang diri. Menuntut kompetensi umum dalam pemecahan masalah.

8. Pendidikan psikologi

Membuat klien mampu menangkap ide dan teknik untuk memahami dan

mengontrol tingkah laku.

9. Memiliki ketrampilan social

Mempelajari dan menguasai keterampilan sosial dan interpersonal seperti

mempertahankan kontak mata, tidak menyela pembicaraan, asertif atau

pengendalian kemarahan.

10. Perubahan kognitif

Modifikasi atau mengganti kepercayaan yang tak rasional atau pemikiran yang

tidak dapat di adaptasi, yang di asosiasikan dengan tingkah laki penghancuran

diri.

11. Perubahan tingkah laku

Modifikasi atau pengganti pola tingkah laku yang maladaptif atau merusak

12. Perubahan sistem

Memperkenalkan perubahan dengan cara beroperasinya sistem sosial.

13. Penguatan

Berkenaan dengan ketrampilan, kesadaran, dan pengetahuan yang akan


membuat klien mengontrol kehidupannya.

14. Restitusi

Membantu klien membuat perubahan kecil terhadap perilaku yang merusak.

15. Reproduksi dan aksi social

Menginspirasikan dalam diri seseorang hasrat dan kapasitas untuk peduli

terhadap orang lain, membagi pengetahuan dan mengkontribusikan kebaikan

bersama (collective good) melalui kesepakatan politik dan kerja komunitas.

Jhon menyatakan bahwa jarang sekali para konselor yang berusaha

untuk melingkupi semua tujuan tersebut. Secara garis besar, konselor secara

psikodinamik mencurahkan fokusnya pada pemahaman, praktisi humanistis

yang memiliki tujuan untuk mempromosikan penerimaan diri dan kebebasan

personal, terapis kognitif-behavioural memberikan sebagian besar

perhatiannya untuk manajemen dan kontrol tingkah laku. Tetapi setiap

pendekatan konseling yang valid harus cukup fleksibel agar memungkinkan

klien menggunakan hubungan terapeutik sebagi arena eksplorasi dimensi

hidup yang paling relevan terhadap eksistensi mereka saat itu.4,5

B. Konseling Keluarga pada gangguan Skizofrenia

Penderita skizofrenia sering mendapat stigma dan diskriminasi yang lebih besar

dari masyarakat disekitarnya dibandingkan individu yang menderita penyakit

medis lainnya. Persepsi yang salah dari masyarakat akan mempengaruhi sikap

penerimaan keluarga terhadap penderita skizofrenia mengatakan bahwa keadaan


seperti ini akan menimbulkan beban dan penderitaan bagi keluarga. Keluarga

sering kali mengalami tekanan mental karena gejala yang ditampilkan oleh

penderita dan juga ketidaktahuan keluarga dalam menghadapi gejala tersebut.

Sebagian keluarga penderita menggunakan cara-cara non medis untuk menangani

penderita skizofrenia. Salah satunya adalah dengan memasung penderita

skizofrenia dengan tujuan mempersempit ruang gerak penderita sehingga

penderita skizofrenia tidak bisa berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.6,7,8

Kondisi inilah yang akan memunculkan sikap dan emosi yang keliru dan

berdampak negatif pada penderita. Biasanya keluarga menjadi emosional, kritis,

dan bahkan bermusuhan jauh dari sikap hangat yang dibutuhkan oleh penderita.

Sedangkan penderita skizofrenia membutuhkan penerimaan lingkungan untuk

mengurangi risiko kekambuhan dan menekan munculnya halusinasi serta

waham.5,7

Rasmun mengatakan dukungan keluarga merupakan salah satu faktor

penting dalam upaya meningkatkan motivasi sehingga dapat berpengaruh positif

terhadap kesehatan psikologis. Menurut WHO konsep kesehatan psikologis

memiliki beberapa faktor, diantaranya strategi coping, kemampuan bahasa,

pengalaman masa lalu, konsep diri, dan motivasi. Faktor-faktor yang ikut

mempengaruhi keberfungsian sosial pada pasien skizofrenia pasca perawatan

antara lain: lingkungan, budaya, genetik, pengobatan, dan keparahan dari

penyakit. Akan tetapi hasil penelitian sebelumnya menyatakan bahwa terdapat

hubungan yang kuat antara dukungan sosial oleh keluarga dengan keberfungsian

sosial pasien skizofrenia pasca perawatan rumah sakit dengan sumbangan efektif

69,9%.3,4,8
Hal ini terjadi karena ketidakpahaman atau pengertian yang salah dari

keluarga atau anggota masyarakat mengenai skizofrenia. Family coping

merupakan cara untuk menghadapi atau menangani penderita skizofrenia remisi

sempurna sehingga tidak terjadi relapse. Family coping merupakan respons

positif, afektif, persepsi, dan respons perilaku yang digunakan oleh keluarga

untuk memecahkan masalah dan mengurangi stres.8

Kepedulian masyarakat akan kesehatan khususnya kesehatan jiwa akan

meningkatkan peran serta mereka untuk bertanggung jawab terhadap program

pelayanan kesehatan jiwa masyarakat. Penggunaan sumberdaya yang tersedia di

masyarakat dapat memberdayakan individu, keluarga, kelompok dan masyarakat

sehingga kesehatan jiwa menjadi tanggung jawab masyarakat bukan hanya

tanggung jawab para professional. Keberhasilan pelayanan pada pasien

skizofrenia tergantung dari kerjasama tim kesehatan jiwa di masyarakat (dokter,

perawat, pekerja sosial) dengan pasien dan keluarganya . Anggota keluarga

diperlukan memberikan perawatan di rumah khususnya pencegahan tersier pada

skizofrenia serta melakukan fungsinya. 2,4,9

Pada mulanya keluarga diartikan sebagai kumpulan individu yang diikat

oleh perkawinan, hubungan darah atau adopsi yang tinggal bersama dalam satu

keluarga. Setiap individu pasti mempunyai keluarga baik secara legal melalui

perkawinan antara suami dan istri, hubungan darah yaitu hubungan anak dan

orangtua serta saudara, atau melalui adopsi yang disahkan secara hukum menjadi

hubungan anak dan orangtua. Pada tahap selanjutnya pengertian keluarga

berkembang menjadi dua atau lebih individu yang bersama-sama diikat olah

kedekatan emosi dan kepedulian sesama dan tidak terbatas pada anggota keluarga
yang ada hubungan perkawinan, hubungan darah atau adopsi.

Keluarga merupakan sistem yang paling dekat dengan individu dan merupakan

tempat individu belajar, mengembangkan nilai, keyakinan, sikap dan perilaku

Agar keluarga memberikan dampak terhadap individu yang menjadi anggota

keluarga tersebut, maka diharapkan anggota keluarga dapat berfungsi dan

berperan secara kondusif. Friedman mengidentifikasi 5 (lima) fungsi keluarga

:5,7,9,10,11

1) Fungsi afektif, berhubungan erat dengan pemenuhan aspek psikososial yang

ditandai dengan keluarga yang gembira , bahagia, akrab, merasa dimiliki,

gambaran diri yang positif, yang semua didapatkan melalui interaksi didalam

keluarga. Setiap anggota keluarga saling mengasihi, menghargai, dan mendukung.

Kepedulian dan pengertian antar anggota keluarga merupakan pemenuhan

kebutuhan psikologis dalam keluarga. Perceraian, kenakalan anak, masalah

psikososial dan gangguan jiwa sering dijumpai pada keluarga yang fungsi

afektifnya tidak terpenuhi. Pasien perilaku kekerasan mungkin berasal dari

keluarga yang kurang saling menghargai, adanya permusuhan, kegagalan yang

dipandang negatif. Kondisi afektif keluarga yang dapat menimbulkan

kekambuhan adalah ekspresi emosi yang tinggi seperti kritik negatif, usil,

permusuhan, atau terlalu mengatur . Penelitian yang dilakukan di rumah sakit jiwa

Bogor menunjukkan bahwa sikap menerima, toleransi dan mengkritik dari

keluarga berhubungan dengan periode kekambuhan pasien.

2) Fungsi sosialisasi adalah proses interaksi dengan lingkungan sosial yang

dimulai sejak lahir dan berakhir setelah meninggal. Anggota keluarga belajar

disiplin, budaya, norma melalui interaksi dalam keluarga sehingga individu


mampu berperan di masyarakat. Kegagalan bersosialisasi dalam keluarga,

terutama jika norma dan perilaku yang dipelajari berbeda dengan yang ada di

masyarakat dapat menimbulkan kegagalan bersosialisasi di masyarakat. Pasien

dengan perilaku kekerasan, mungkin mendapat penguatan yang didapat dari

anggota keluarga. Peristiwa kekerasan dalam keluarga juga merupakan faktor

risiko lain bagi perilaku kekerasan pasien.

3) Fungsi perawatan kesehatan adalah praktek merawat anggota keluarga,

termasuk kemampuan keluarga meningkatkan dan memelihara kesehatan.

Keluarga menentukan apa yang harus dilakukan jika sakit, kapan meminta

pertolongan dan kepada siapa minta pertolongan. Penelitian yang dilakukan

dirumah sakit jiwa Lawang dan Menur menunjukkan bahwa 119 orang (68 %)

pasien pernah berobat ke dukun, orang pintar, kiai, atau peramal sebelum dirawat

di rumah sakit. Hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan keluarga tentang

cara merawat pasien. Keluarga umumnya membawa pasien kerumah sakit jiwa

karena perilaku kekerasan. Oleh karena itu selama dirawat di rumah sakit,

keluarga perlu diberikan pendididkan kesehatan agar dapat merawat pasien

setelah pulang dari rumah sakit. Tomczyk mengatakan ada dua terapi yang perlu

dilakukan pada keluarga yaitu psikoedukasi dan terapi sistemik keluarga agar

keluarga mampu merawat pasien. Keduanya bertujuan memberdayakan keluarga

agar mampu merawat pasien.

4) Fungsi reproduksi adalah fungsi keluarga untuk meneruskan kelangsungan

keturunan. Belum ada penelitian tentang faktor perilaku kekerasan yang terkait

dengan jumlah saudara kandung dalam keluarga.


5) Fungsi ekonomi adalah fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Asumsi krisis ekonomi meningkatkan perilaku kekerasan secara kasat mata dapat

dibuktikan. Demikian pula jika keluarga mempunyai kemampuan merawat pasien

di rumah akan mengurangi biaya perawatan dirumah sakit. Penghasilan keluarga

akan berkurang dengan adanya anggota keluarga yang sakit (tidak produktif)

ditambah anggota keluarga yang harus menemani atau merawat pasien (tidak

produktif). Seluruh fungsi keluarga ini akan difasilitasi dalam mendukung

perawatan pasien di rumah sakit dan setelah pulang ke rumah. Perlu dikaji siapa

yang utama akan memberikan perawatan kepada pasien setelah pasien pulang dari

rumah sakit. Pada penelitian di rumah sakit jiwa Lawang dan Menur ditemukan

bahwa anggota keluarga yang paling banyak merawat pasien adalah saudara

kandung 62 orang (44,9 %) dan orang tua 28 orang (20,2 %).

Psikoedukasi keluarga merupakan salah satu bentuk dari intervensi

keluarga yang merupakan bagian dari terapi psikososial. Pada psikoedukasi

keluarga terdapat kolaborasi dari klinisi dengan anggota keluarga pasien yang

menderita gangguan jiwa berat. Tujuan dari program psikoedukasi adalah

menambah pengetahuan tentang gangguan jiwa anggota keluarga sehingga

diharapkan dapat menurunkan angka kambuh, dan meningkatkan fungsi keluarga

Tujuan ini akan dicapai melalui serangkaian kegiatan edukasi tentang penyakit,

cara mengatasi gejala, dan kemampuan yang dimiliki keluarga.

Pekkala dan Merinder menemukan bahwa program psikoedukasi menurunkan

kambuh atau rawat ulang dari 9 bulan menjadi 18 bulan. Sedangkan Dyck, et al

menemukan bahwa kelompok keluarga yang mendapat program psikoedukasi

lebih efektif merawat gejala negatif daripada kelompok standar. Selain itu
program psikoedukasi berhasil mengurangi reaksi negatif dan kejenuhan keluarga

yang merawat.11,12,13

Secara umum, program komprehensif dari psikoedukasi adalah sebagai

berikut:6,8,10,12

a. Komponen didaktik, berupa pendidikan kesehatan, yang menyediakan

informasi tentang penyakit dan sistem kesehatan jiwa

b. Komponen ketrampilan, yang menyediakan pelatihan tentang komunikasi,

penyelesaian konflik, pemecahan masalah, asertif, manajemen perilaku dan

manajemen stress

c. Komponen emosional, memberi kesempatan ventilasi dan berbagi perasaan

disertai dukungan emosional. Mobilisasi sumber daya yang dibutuhkan, khusus

pada keadaan krisis

d. Komponen sosial, peningkatan penggunaan jejaring formal dan non formal.

Peningkatan kontak dengan jejaring sumber daya dan sistem pendukung yang ada

di masyarakat akan menguntungkan keluarga dan klien

Hal – hal yang dilakukan pada saat melakukan konseling keluarga antara

lain:2,4,8,10

• Mengidentifikasi bagaimana reaksi anggota keluarga terhadap keadaan pasien

yang menderita gangguan jiwa.

• Mengidentifikasi faktor penyebab gangguan jiwa yang diderita oleh pasien.

• Mengidentifikasi tanda dan gejala prodormal gangguan jiwa yang terjadi pada
pasien.

• Mengajarkan kepada keluarga bagaimana strategi koping yang dapat diterapkan.

• Menjelaskan kepada keluarga tentang psikobiologi penyakit jiwa, diagnosis dan

pengobatannya, reaksi keluarga, trauma keluarga, pencegahan kambuh, guideline

keluarga.

• Melakukan pemecahan masalah secara terstruktur

Pada skizofrenia terdapat gangguan kemampuan individu untuk berpikir,

mera-sakan dan menerima serta memahami infor-masi sensorik, yang selanjutnya

menyebab-kan terjadinya gangguan perilaku. Gejala-gejala skizofrenia ini dapat

dikendalikan de-ngan pengobatan. Walaupan demikian geja-la-gejala yang kurang

jelas seperti kehilang-an minat, kehangatan energi, dan humor ti-dak berespon

baik dengan pengobatan. Ge-jala ini menyebabkan terjadinya hambatan yang

cukup berarti bagi penyandang skizo-frenia dan keluarganya.1-3,6,7

Rehabilitasi penyandang skizofrenia mencoba untuk meningkatkan fungsi

indi-vidu. Tujuannya adalah untuk membangun kekuatan dan asset, sekaligus

mengurangi defisit fungsi sehari-hari. Penyandang ski-zofrenia memerlukan

kekuatan dan keca-kapan hidup secara mandiri dalam masya-rakat. Untuk

mencapai rehabilitasi yang efektif, maka harus dilakukan secara efektif,

komprehensif, terus menerus, serta terkoor-dinasi, yang melibatkan terapis,

keluarga, dan penyandang skizofrenia sendiri.1,3,8

Memberikan obat antipsikotik pada pasien skizofrenia merupakan langkah

pertama untuk mengobati pasien tetapi sekarang ini semakin disadari bahwa
perawatan yang komprehensif membutuhkan integrasi antara obat-obatan,

pencegahan relaps dan rehabilitasi psikososial. Psikoedukasi keluarga merupakan

terapi psikososial yang paling efektif. Psikoedukasi dapat mengurangi angka

rawat dan mengurangi biaya pengobatan pada pasien skizofrenia. 7

Beberapa studi tentang konseling keluarga yang telah dilakukan ditunjukkan di

bawah ini :13,14,15

• Goldstein dkk. melakukan penelitian pada 104 pasien skizofrenia (terutama

kunjungan pertama) membandingkan antara psikoedukasi keluarga (orientasi

enam krisis, sesi mingguan cepat; pendidikan, membangun penerimaan,

merencanakan masa depan) dengan pengobatan dengan dosis rendah dan sedang

dan hasilnya secara bermakna menurunkan relaps pada grup psikoedukasi

keluarga selama 6 bulan

• Falloon dkk. melakukan penelitian pada 36 pasien skizofrenia yang tinggal

dengan keluarga yang HEE atau dinyatakan sebagai resiko tinggi untuk terjadinya

relaps membandingkan psikoedukasi keluarga ( pemecahan masalah dan latihan

kemampuan komunikasi pada keluarga di rumah. Terapi intensif selama 3 bulan

yang diteruskan dengan 6 bulan sesi follow up ) dengan psikoterapi suportif

individual dengan konseling keluarga yang cepat dan hasilnya Secara bermakna

menurunkan relaps pada grup terapi keluarga selama 9 bulan

• Leff dkk. melakukan penelitian pada 24 pasien skizofrenia yang tinggal dengan

keluarga yang HEE membandingkan pendidikan pada keluarga, anggota keluarga,

terapi keluarga di rumah dengan kontrol teratur ke rumah sakit dengan kontak

yang sedikit pada keluarga dan hasilnya secara bermakna menurunkan relaps pada
grup terapi keluarga selama 9 bulantidak bermakna pada terapi 2 tahun.

• Glick dkk. Haas dkk. melakukan penelitian pada 80 pasien dengan skizofrenia

atau gangguan skizofreniform dan 60 pasien dengan gangguan afektif mayor

disorder membandingkan intervensi pada keluarga yang dirawat selama 6 sesi:

pendidikan, identifikasi stresor kini dan akan datang dengan Perawatan intensif

pasien rawat yang standar dan hasilnya terapi memiliki efek positif yang

bermakna pada gejala yang terdapat pada pasien perempuan dan kelurga pasien

pada subgrup tsb

• Hogarty dkk. melakukan penelitian pada 103 pasien skizofrenia yang tinggal

dengan keluarga yang HEE membandingkan pendidikan, diskusi, komunikasi dan

latihan pemecahan masalah selama 2 tahun dengan Perawatan harian saja , latihan

ketrampilan sosial dan hasilnya Secara bermakna menurunkan relaps pada grup

terapi keluarga pada follow up tahun 1 dan 2.

• McFarlane dkk. melakukan penelitian pada 172 pasien skizofrenia dengan

kontak keluarga 10 jam per minggu dan menghadiri 3 sesi program pendidikan /

terapi membandingkan psikoedukasi pada grup keluarga secara bersama dengan

Psikoedukasi pada grup keluarga sendiri sendiri dan hasilnya Secara bermakna

terdapat penurunan relaps pada multifamily.

Dari penelitian-penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa konseling keluarga

dapat secara efektif dan efisien mengurangi kejadian relaps pada pasien

skizofrenia dan memperbaiki fungsional dari pasien.


BAB III

PENUTUP
Didalam keluarga tentunya banyak permasalahan yang akan dialami, baik

itu antar pribadi ,aupun antar kelompok di dalam keluarga. Bila dikaitkan dengan

pendidikan luar biasa, konseling keluarga sangat dibutuhkan dalam membantu

penyelesaian masalah-masalah yang timbul. Bila diambil sebuah contoh, misalnya

sebuah keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Memiliki anak

merupakan harapan dan anugrah yang sangat dinanti sebuah keluarga, tetapi tidak

sedikit orang tua dan anggota keluarga lain yang menolak atau justru merasa

mendapatkan masalah dengan lahirnya anak berkebutuhan khusus. Sikap

penolakan dari anggota keluarga, akan menimbulkan permasalahan baik pada

anak maupun pada keseimbangan kehidupan keluarga tersebut. Dari kasus ini,

tentunya konseling keluarga sangat dibutuhkan dalam membantu permasalahan

tersebut. Begitupun peran konselor dan pendekatan serta proses konseling. Dari

uraian materi yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, bahwa keluarga

merupakan tempat pertama dalam perkembangan seorang yang menderita

gangguan jiwa seperti skizofrenia . Keluarga memiliki peranan yang penting

dalam membantu mengembangkan potensi pasien. Jika di dalam keluarga terdapat

permaslahan-permasalahan yang terjadi maka hal tersebut akan mempengaruhi

kondisi di dlaam keluarga tersebut.

Permasalahan-permaslahan yang timbul di dalam keluarga sangat

dipengaruhi oleh bagaimana perkembangan keluarga tersebut baik dari segi

ekonomi, sosial, dan budaya. Hal ini merupakan salah satu faktor bagaimana

dalam sebuah keluarga ketika memandang sebuah persoalan. Begitupun dnegan

bagaimana keluarga memandang anak berkebutuhan khsusus. Bagi keluarga yang


memiliki statuts ekonomi yang tinggi serta memiliki nilai-nilai yang luhur di

dalam keluarga, mungkin penolakan terhadap hadirnya seorang anak

berkebutuhan khusus tidak akan terjadi, disini mereka malah berusaha untuk

meberikan yang terbaik bagi anak berkebutuhan khusus tersebut. Dalam konseling

keluarga banyak pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam membantu

permasalahan yang terjadi di dalam keluarga.

DAFTAR PUSTAKA
1. A.T., Andi Mappiare. 2004. Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Jakarta:

Rajawali Pers.

2. Aswori. 2012. Pengembangan Program Keterampilan Konseling untuk

Meningkatkan Efektifitas Konseling Individual Para Guru Bimbingan dan

Konseling. Disertasi Doktor pada SPs UPI. Bandung: tidak diterbitkan.

3. Carkhuff, Robert R. 2008. The Art of Helping. Ninth Edition. Amherst, MA:

Possibilities Publishing, Inc.

4. Cavanagh, Michael E. & Levitov, Justin E. 2002. The Counseling Experience:

A Theoretical and Practical Approach. (2nd Edition). Long Grove, Illinois:

Waveland Press.

5. Clark, Arthur J. 2010. "Empathy: An Integral Model in the Counseling

Process". Journal of Counseling and Development. Vol.88 (Summer),

halaman 348- 358.

6. Schmerler S. Lessons Learned: Risk Management Issues in Genetic

Counseling. New York: Springer. 2008. Pg. 127.

7. Hull D, Johnston DI. Dasar-dasar Pediatri. Ed. 3th. Jakarta: EGC. 2008. Pg.

31.

8. What are the types of genetic tests? Diunduh dari:

http://ghr.nlm.nih.gov/handbook/testing/uses (2 Maret 2011

9. Ambari, M., & Prinda, K. (2010). Hubungan antara dukungan keluarga

dengan keberfungsian sosial pada pasien skizofrenia pasca perawatan

di Rumah Sakit. Universitas Diponegoro. Retrieved fro

http://eprints.undip.ac.id/10956/
10. Amelia, D. (2013). Relaps pada pasien skizofrenia. Universitas

Muhammadiyah Malang. Retrieved From

http://ejournal.umm.ac.id/index.php/jipt/article/viewFile/1357/1452

11. Bhurga D. Schizophrenia. The Nice Guide- line on core interventions in the

treat- ment and management of schizophrenia in adults in primary and

secondary care. Updated edition. National Clinical Gu- ideline Number 82.

National collaborat- ing centre for mental health and clinical excellence.

London: The British Psycho- logical Society and the Royal College of

Psychiatrists, 2010.

12. Caton CLM, Hasin DS, Shrout PE, Drake RE, Dominguez B, First MB et al.

Stability of early-phase primary psycho- tic disorders with concurrent

substance use and substance-induced psychosis. Br J Psychiatry

2007;190:105-11

13. Thornicroft G, Bebbington P. Deinstitu- tionalisation-from hospital closure to

service development. Br J Psychiatry 1989;155:739-53.

14. Lloyd C, Tse S, Deane FP. Community participation and social inclusion:

How practitioners can make a difference. AeJAMH 2006;5(3):1-10.

15. Thomson LDG. Management of schizo- phrenia in conditions of high security.

Advances in Psychiatric treatment. Jour- nal of continuing professional

develop- ment. Adv. Psychiatr. Treat. 2000;6: 252-60.

Anda mungkin juga menyukai