Anda di halaman 1dari 40

DIALECTICAL BEHAVIOR THERAPY (DBT)

MAKALAH

Makalahini Disusun Dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Tugas


Dalam Menempuh Mata Kuliah Teori Konseling & Psikoterapi II

Yang Diampu Oleh: Gian Sugiana Sugara, M. Pd

Disusun Oleh:
ANDRI UBAIDILLAH C1886201058
NABILA SALSABILA C1886201057
SRI NURRIZKI PUTRI C1886201050

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan hidayah-Nya kepada seluruh
umat manusia untuk dijadikan pedoman dan acuan dalam meraih keselamatan
dunia dan akhirat. Shalawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW, sebagai pembawa rahmat dan hidayah-
Nya, tidak lupa kepada keluarganya, para sahabatnya, dan sampailah kepada kita
selaku umatnya yang senantiasa meneruskan perjuangannya demi tegaknya Islam
di muka bumi ini.

Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Illahi Rabbi, karena berkat iradah-


Nya kami diberikan kemudahan sehingga kami mampu melalui hambatan-
hambatan yang datang selama penyusunan makalah ini, tentunya dengan ridha
Allah SWT, terwujudlah makalah ini yang berjudul “Dialectical Behavior
Therapy”.

Makalah ini merupakan hasil dari tugas kelompok, untuk belajar dan
mempelajari lebih lanjut tentang mata kuliah Teori Konseling & Psikoterapi II.
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk menumbuhkan proses belajar kepada
mahasiswa, agar kreativitas dan penguasaan materi kuliah dapat optimal sesuai
dengan yang diharapkan.

Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam


mengetahui tentang latar belakang dan ruang lingkup pembahasan dalam mata
kuliah Teori Konseling & Psikoterapi II.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan senantiasa menjadi sahabat dalam
belajar untuk meraih prestasi yang gemilang. Kritik dan saran dari dosen
pengampu mata kuliah dan juga teman-teman sangat kami harapkan untuk
perbaikan dan penyempurnaan dalam belajar pada masa mendatang.

i
Dengan segala kerendahan hati, kami haturkan Jazakumullah Khairan
Katsiiraa, dan mudah-mudahan kebaikan mereka menjadi amal shaleh di sisi
Allah SWT.

Tasikmalaya, 10 Mei 2020

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………….. i

DAFTAR ISI ………………………………………………………… iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ………..…………………………… 1

B. Ruang Lingkup Pembahasan …………………. 3

C. Tujuan Penulisan …………………………………. 3

BAB II TEORI KONSELING DBT

A. Pengantar …………………………………………. 4

B. Riwayat Hidup …………………………………. 5

C. Pokok-Pokok Bahasan …………………………. 7

D. Proses Konseling …………………………………. 11

E. Prosedur dan Teknik Konseling …………………. 20

BAB III APLIKASI KASUS

A. Kasus Jimy …..……………………………… 33

B. Analisis Kasus Jimy dalam Perspektif Konseling

Dialectical Behavior Therapy (DBT) …………. 33

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan …………………………………. 35

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Manusia selama hidupnya akan mengalami pertumbuhan dan


perkembangan. Manusia lahir disertai dengan akal, untuk memecahkan
beberapa permasalahan yang akan dihadapi nantinya. Individu dituntut
untuk mengikuti segala perkembangan yang terjadi. Terjadinya
perkembangan di berbagai bidang menunjukkan bahwa sifat manusia salah
satunya adalah tidak pernah puas. Manusia akan selalu membuat sesuatu
yang baru guna memenuhi kebutuhannya dan juga sebagai upaya
membahagiakan, melindungi individu di sekitarnya. Namun seringkali
sifat tidak pernah puas yang dimiliki manusia menjadi hal yang dapat
melukai diri sendiri. Dalam upaya pencapaian hidupnya, terkadang
manusia akan menerima saran dari orang lain. Ketika saran yang diberikan
kurang memuaskan atau orang tersebut terlalu segan dan malu untuk
menceritakan masalahnya, saat itulah konseling merupakan pilihan yang
sangat tepat.
American Counseling Association mengartikan konseling sebagai
hubungan profesional yang memberdayakan beragam individu, keluarga,
dan kelompok untuk mencapai kesehatan mental, kesejahteraan,
pendidikan dan tujuan karir. Konseling melibatkan pemberian bantuan
pada individu dalam membuat perubahan yang diperlukan dalam cara
berpikir, merasakan dan berperilaku. Konseling melibatkan dua pihak,
konselor (pemberi bantuan) dan konseli (yang meminta bantuan).
Konseling juga merupakan proses kolaborasi berbasis tujuan, yang
melibatkan konselor suportif yang tidak menghakimi konseli dalam
menceritakan kisahnya, menetapkan tujuan yang layak, dan
mengembangkan strategi dan rencana yang diperlukan untuk mencapai
tujuan ini.
Dalam menangani masalah individu, sebagai alternatif pilihan salah
satunya pendekatan DBT. Pendekatan DBT dikembangkan oleh Marsha
Linehan pada tahun 1970 dan 1980an, pada saat itu ia mencoba untuk
mengaplikasikan standar Terapi Behavior (misalnya Goldfried & Davison,
1976) yang telah mendemonstrasikan. Dalam perkembangannya, DBT
dapat digunakan dalam berbagai permasalahan pada individu, khususnya
pada permasalahan emosi. Teori konseling DBT perlu untuk diketahui dan
dipelajari karena dapat membantu permasalahan emosi pada remaja yang
umumnya ada pada usia sekolah.
Individu dalam perjalanan hidupnya tidak bisa terlepas dari masalah.
Semakin bertambahnya usia individu juga semakin kompleks pula masalah
yang dialaminya. Misalnya masalah pribadi yang berhubungan dengan
emosi diri. Ketika individu memasuki masa remaja yang seringkali disebut
dengan istilah “badai dan tekanan”, yang artinya suatu kondisi saat
ketegangan emosi mengalami peningkatan sebagai akibat dari perubahan
fisik dan kelenjar. Selain itu, meningkatnya emosi pada anak laki-laki dan
perempuan yang berada dibawah tekanan social dan menghadapi kondisi
baru. Sedangkan selama masa kanak-kanak mereka kurang
mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan-keadaan tersebut.
Terkadang, emosi pada remaja sangat kuat, tidak terkendali dan
tampak irrasional. Sebagian besar remaja mungkin dapat mengalami
ketidakstabilan emosi dari waktu ke waktu, sebagai konsekuensi dari
usaha penyesuaian diri terhadap lingkungan, tetapi pada umumnya dari
tahun ke tahun terjadi perbaikan perilaku emosional dalam diri setiap
remaja. Remaja berada pada masa banyak mengalami masalah
pertumbuhan dan perkembangan khususnya mengenai penyesuaian diri
terhadap tuntutan lingkungan dan masyarakat serta orang dewasa.
Banyak fenomena yang terjadi di lapangan yang disebabkan karena
emosi diri. Dalam hal ini, dibutuhkan peran orang tua dan guru (sekolah)
dalam memberikan pengawasan yang baik bagi individu. Karena dalam
keseharian siswa menghabiskan beberapa waktunya disekolah, disinilah

2
guru (konselor) harus berperan. Konselor yang bertugas untuk membatu
siswa dalam menjalankan tugas perkembangannya baik itu dalam bidang
pribadi, sosial, belajar ataupun karir. Salah satu tugas perkembangan yang
harus dicapai siswa adalah kematangan emosi. Semakin berkembangnya
jaman, semakin kompleks pula faktor – faktor yang menyebabkan sulitnya
mengontrol emosi. Disinilah seorang konselor sekolah dituntut untuk tetap
professional mengikuti dinamika perkembangan jaman.

B. Ruang Lingkup Pembahasan

Adapun Ruang Lingkup yang dikaji dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Pengantar Teori Dialectical Behavior Therapy
2. Riwayat Hidup
3. Pokok-Pokok Bahasan
4. Proses Konseling
5. Prosedur dan Teknik Konseling

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui Pengantar Teori Dialectical Behavior Therapy


2. Untuk mengetahui Riwayat Hidup
3. Untuk mengetahui Pokok-Pokok Bahasan
4. Untuk mengetahui Proses Konseling
5. Untuk mengetahui Prosedur dan Teknik Konseling

3
BAB II

Teori Konseling Dialectical Behavior Therapy

A. Pengantar

Dalam studi postdoctoral di Suicide Prevention and Crisis Service di


Buffalo, New York, Linehan melihat bahwa CBT tradisional
mengecewakan klien dengan BPD (Linehan, 1993). Dia pertama kali
mengamati bahwa untuk klien di tengah-tengah rasa sakit luar biasa, fokus
konstan CBT pada perubahan terasa tidak valid. Di antara individu yang
sudah peka terhadap penolakan dan kesalahan, fokus yang kuat pada
distorsi kognitif dapat mengirim pesan bahwa semua masalah ada di
kepala seseorang. Klien merasa disalah pahami dan bahkan disalahkan
oleh konselor mereka, yang kadang-kadang menganggap klien tidak
termotivasi untuk berubah. Akibatnya, tingkat dropout klien tinggi,
hubungan klien-konselor tegang, dan kadang-kadang klien terlibat dalam
tindakan merugikan diri sendiri dalam menanggapi anggapan kelonggaran
oleh konselor (Linehan, 1997). Meskipun dia mengakui kenyataan bahwa
seseorang yang berjuang dengan perilaku bunuh diri harus mengubah
hidupnya, Linehan melihat perlunya sepenuhnya menerima diri sendiri
sebagaimana adanya, sebuah ide yang disebutnya sebagai penerimaan
radikal (Shearin & Linehan, 1992). Konsep ini menjadi aspek mendasar
dari DBT.
Linehan lebih lanjut mencatat bahwa gerakan bunuh diri klien yang
sering dan cedera diri nonsuicidal (NSSI) menciptakan situasi di mana
konselor menghabiskan sebagian besar sesi konseling mereka berfokus
pada mengurangi bahaya daripada mengatasi penyebab yang
mendasarinya, yaitu bahwa klien ini tidak memiliki perilaku koping yang
efektif untuk klien. Emosionalitas mereka yang kuat (Lynch, Chapman,
Rosenthal, Kuo, & Linehan, 2006). Menanggapi keprihatinan ini, Linehan
memastikan bahwa DBT akan mencakup pelatihan eksplisit dalam
keterampilan perilaku dengan cara kelompok keterampilan mingguan yang

4
didedikasikan semata-mata untuk belajar dan memperkuat keterampilan
perilaku.
Variabel lain yang ditemukan Linehan dalam bekerja dengan risiko
tinggi, yang disebut klien tidak termotivasi yang putus asa untuk
kehangatan tetapi pada saat yang sama menolaknya adalah bahwa konselor
sering mengalami kelelahan dan kadang-kadang diri mereka menarik diri
dari konseling atau bertindak dengan cara menghukum klien (Koerner &
Linehan, 1997). Linehan menyimpulkan bahwa konselor yang bekerja
dengan klien bunuh diri kronis membutuhkan dukungan mereka sendiri.
Dengan demikian, tim konsultasi lahir untuk membantu para konselor
tetap termotivasi dan mampu memberikan perawatan yang efektif.

B. Riwayat Hidup

Marsha Linehan, PhD, lahir di Tulsa, Oklahoma, dan lulus dari Loyola
University di Chicago. Pada awal karirnya sebagai psikolog pada 1970-an,
Linehan bekerja terutama dengan klien bunuh diri dan mereka yang
didiagnosis dengan gangguan kepribadian borderline (BPD), klien yang
menghadapi masalah yang tidak dapat diatasi dan yang hidupnya penuh
dengan rasa sakit dan keputusasaan (Haddock, 2016). BPD adalah Manual
Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental, Edisi Kelima, gangguan
kepribadian yang ditandai oleh pola labilitas emosional yang sudah lama
meresap, perasaan diri yang tidak stabil, hubungan pribadi yang tidak
stabil. Klien dengan BPD sering bergumul dengan ketakutan akan
ditinggalkan, perasaan hampa, tindakan impulsif dalam kaitannya dengan
stresor (termasuk tetapi tidak terbatas pada tindakan melukai diri sendiri
seperti memotong), dan paranoia.

Misinya adalah mengembangkan pendekatan perawatan yang sukses


yang memberi klien ini alasan untuk hidup. Dari pengalaman pribadinya
dan pekerjaan klinisnya, ia menyimpulkan bahwa individu dengan BPD
akan memerlukan program konseling yang mengajarkan penerimaan

5
sebanyak perubahan. Terinspirasi oleh filosofi Timur dan iman
Katoliknya, Linehan memasukkan perhatian dan praktik-praktik dan
konsep-konsep Zen lainnya sebagai dasar untuk penerimaan. Sebagai
behavioris, dia menganut gagasan bahwa perubahan perilaku akan
mengarah pada perubahan kondisi mental dan, sebagai dasar untuk
perubahan, termasuk pelatihan eksplisit dalam keterampilan perilaku.
Selama 30 tahun terakhir, DBT telah menjadi standar emas untuk merawat
individu-individu dengan BPD, dan itu terus dimodifikasi untuk digunakan
pada populasi lain seperti mereka yang mengalami depresi yang resisten
terhadap pengobatan, gangguan bipolar, kecemasan, penyalahgunaan zat,
gangguan stres pascatrauma, dan gangguan makan (Bedics, Atkins,
Harned, & Linehan, 2015). Ini dapat digunakan dalam berbagai
pengaturan seperti pusat perawatan rawat inap, pengaturan rawat jalan
intensif, atau pengaturan komunitas.

Pada 2011 Linehan pertama kali secara terbuka mengakui


perjuangannya sendiri dengan penyakit mental dalam pidatonya di
Institute of Living, sebuah klinik di mana dia telah menerima perawatan
psikiatris pada akhir masa remajanya. Kemudian menceritakan kisahnya
dalam sebuah wawancara New York Times (Carey, 2011), ia
mengungkapkan latar belakang apa yang diisyaratkan bekas luka memudar
di lengannya: Linehan sendiri telah berjuang dengan BPD, perilaku bunuh
diri, dan melukai diri sendiri. Dia telah menghabiskan lebih dari 2 tahun
dilembagakan untuk perawatan psikiatrik dan dirawat dengan obat
antipsikotik, analisis Freudian, dan terapi kejut listrik. Sebagian besar
sebagai tanggapan terhadap apa yang dia lihat sebagai pengobatan yang
tidak sesuai untuk penyakit mentalnya sendiri, dia memulai studinya di
bidang psikologi di Universitas Loyola, yang darinya dia akhirnya
menerima gelar doktor dalam psikologi sosial dan eksperimental.

Dalam kehidupan profesionalnya, Linehan mencari klien yang


berjuang melawan gejala BPD yang paling parah, seperti melukai diri

6
sendiri dan perilaku bunuh diri (Linehan, 1993). Meskipun dia mengakui
kenyataan bahwa seseorang yang berjuang dengan perilaku bunuh diri
harus mengubah hidupnya, dia melihat dari pengalamannya sendiri dan
pekerjaan klinisnya perlunya menerima sepenuhnya diri sendiri, sebuah
ide yang dia sebut sebagai penerimaan radikal (Shearin & Linehan, 1992).
Gagasan yang tampaknya saling bertentangan ini membentuk tulang
punggung dialektis dalam DBT yang sepenuhnya merangkul penerimaan
dan perubahan. Dengan wawasan Linehan, DBT berevolusi dari terapi
perilaku kognitif standar (CBT) menjadi pengobatan yang telah terbukti
berhasil dalam mengatasi kerentanan khusus klien dengan BPD serta klien
dengan gangguan lainnya.

Linehan adalah pendiri nirlaba The Linehan Institute, yang


selanjutnya mendukung dan meneliti perawatan kesehatan mental, dan
Behavioral Tech, yang melatih para penyedia DBT (The Linehan Institute,
n.d.). Saat ini ia adalah profesor psikologi, asisten psikiatri dan ilmu
perilaku, dan direktur Behavioral Research and Therapy Clinics di
University of Washington. Linehan telah menjabat sebagai presiden
sebelumnya dari Asosiasi untuk Kemajuan Konseling Perilaku dan telah
menerima banyak penghargaan untuk penelitian dan kerja klinisnya,
termasuk beberapa penghargaan prestasi seumur hidup dan karier.

C. Pokok-Pokok Bahasan
1. Pandangan Manusia

Linehan mulai melihat BPD terutama sebagai masalah disregulasi


emosi. Ketika ia mengembangkan DBT, ia juga mengembangkan model
transaksional BPD di mana kecenderungan biologis untuk kerentanan
emosional diperkuat dan diperburuk melalui lingkungan sosial yang tidak
valid (Crowell, Beauchaine, & Linehan, 2009; Linehan, 1993). Orang
dengan kerentanan ini terlahir dengan sensitivitas dan reaktivitas tinggi
terhadap rangsangan emosional dan kembali lebih lambat ke garis dasar
emosional daripada orang lain. Akibatnya, mereka merasa lebih sulit untuk

7
mentolerir tekanan dan untuk mengalihkan perhatian dari rangsangan
emosional, oleh karena itu bereaksi intens terhadap rangsangan emosional,
yang kadang-kadang menghasilkan tindakan impulsif dan berisiko. Pada
gilirannya, ekspresi emosi yang tidak teratur menarik karena perilaku yang
tidak valid dari orang tua (dan orang lain) yang mereka sendiri tidak dapat
mengatur emosi mereka sendiri, tidak mengerti mengapa orang itu begitu
kesal, atau kurang keterampilan untuk mengajar orang itu bagaimana
mengelola emosi yang luar biasa. Reaksi individu yang rentan akan
dihukum dengan berbagai cara (mis., Meremehkan, mengabaikan, atau
mengkritik). Dalam beberapa kasus, perilaku batal dapat mengambil
bentuk pelecehan (Hernandez, Arntz, Gaviria, Labad, & Gutiérrez-Zotes,
2012; Wagner & Linehan, 1997). Lingkungan yang tidak valid juga
sesekali memperkuat ekspresi tampilan emosional yang di luar kendali
dengan memberi mereka lebih banyak perhatian daripada ekspresi emosi
normal.

Individu akhirnya belajar untuk tidak mempercayai emosinya dan


tidak pernah belajar bagaimana mengelolanya, menghasilkan disregulasi
emosi yang terus meningkat. Dia masuk ke dalam siklus penghambat
emosi diikuti oleh serangan ledakan emosi ekstrem yang berkontribusi
pada konflik sosial dan disiplin yang sulit, semakin memperburuk
kecenderungan biologis terhadap kerentanan emosional (Fruzzetti, Shenk,
& Hoffman, 2005). Dukungan empiris untuk model biososial dan konstruk
terkait telah tumbuh dalam dekade terakhir, terutama untuk efek negatif
dari lingkungan masa kanak-kanak yang tidak valid dan dalam transaksi
antara lingkungan dan kerentanan emosional (Arens, Grabe, Spitzer, &
Barnow, 2011; Kuo, Khoury, Metcalfe, Fitzpatrick, & Goodwill, 2015;
Sturrock, Francis, & Carr, 2009).

2. Konsep Dasar
DBT unik dalam banyak hal tetapi berbagi kesamaan dengan berbagai
paradigma psikoterapi (untuk ulasan, lihat Neacsiu & Linehan, 2014).

8
Dalam paradigma psikodinamik, misalnya, pemindahan dan
pemeriksaannya sangat penting untuk kemajuan konseling. Demikian pula,
dalam DBT hubungan terapi positif dan asli sangat penting untuk
perubahan klien. Baik perawatan psikodinamik dan DBT melibatkan
analisis transferensi dalam beberapa hal, seperti berfokus pada pola
hubungan, meningkatkan kapasitas untuk mengenali emosi, dan
mengendalikan impuls dan kecemasan. Pendekatan yang berpusat pada
klien juga berbagi berbagai hal penting, khususnya hal positif tanpa syarat
dan penekanan pada kehangatan dan empati. Dalam DBT ini paling baik
dicerminkan dalam penerimaan radikal dan dalam keterampilan validasi
(Linehan, 1993, 1997).
Pengaruh praktik Zen terjalin di seluruh DBT, tidak hanya dalam
prinsip keseimbangannya tetapi juga dalam teknik konseling seperti
memasuki paradoks dan memperluas serta dalam keterampilan perilaku
klien seperti penerimaan dan perhatian (Heard & Linehan, 1994). Sebagai
salah satu dari empat perangkat keterampilan perilaku, mindfulness
memiliki peran yang sangat menonjol, seperti halnya pada CBT lain
seperti konseling penerimaan dan komitmen (Hayes, Strosahl, & Wilson,
1999) dan konseling kognitif berbasis mindfulness (Segal, Teasdale, &
Williams, 2002). Namun, sementara konseling penerimaan dan komitmen
dan konseling kognitif berbasis kesadaran mengkonseptualisasikan
perhatian sebagai alat untuk menjauhkan diri dari saat ini, DBT
mengkonseptualisasikan perhatian dalam gaya Thich Nhat Hanh —
sebagai cara untuk sepenuhnya terlibat dengan momen saat ini
(sebagaimana dikutip). Oleh Lynch et al., 2006, p. 463).
DBT telah terbukti bekerja di berbagai budaya Barat di luar Amerika
Serikat, termasuk Jerman (Stiglmayr et al., 2014) dan Norwegia
(Torgersen, Kringlen, & Cramer, 2001). DBT juga telah diadaptasi untuk
bahasa utama (misalnya, DBT untuk digunakan dengan klien tuli;
O'Hearn, Pollard, & Haynes, 2010) dan untuk digunakan dengan populasi
tertentu seperti orang Indian Amerika / Alaska Asli dan remaja Latina

9
(Beckstead, Lambert, DuBose , & Linehan, 2015; Germán et al., 2015).
Namun, mirip dengan terapi lain, metode DBT bersarang dalam
pemahaman khusus budaya komunikasi antara klien dan konselor. Sebagai
contoh, dalam DBT, konselor didorong untuk menggunakan komunikasi
yang tidak sopan ketika kemajuan klien terhenti; namun apa yang
dianggap tidak sopan oleh satu budaya mungkin tidak sopan di budaya
lain. Penting untuk menekankan bahwa suatu perlakuan tidak responsif
secara budaya berdasarkan fakta bahwa ia berakar pada filsafat Timur.
Bahkan, dapat dikatakan bahwa semua pendekatan berbasis kesadaran
yang lebih baru masih tegas berada dalam konseptualisasi Barat kesehatan
mental (Hall, Hong, Zane, & Meyer, 2011).
DBT dikembangkan sebagai respons terhadap kebutuhan spesifik
individu dengan BPD. Meskipun BPD telah menjadi subjek penelitian
lebih banyak perhatian daripada gangguan kepribadian lainnya, BPD
masih tidak dapat lepas dari dasar budaya yang menginformasikan
bagaimana masyarakat mengkonseptualisasikan gangguan kepribadian dan
kepribadian. Gangguan kepribadian sebagai kategori telah banyak dikritik
sebagai bias budaya, terutama mengingat perbedaan gender yang jelas
dalam diagnosis mereka (Bhugra & Bhui, 2001). BPD cenderung paling
sering didiagnosis pada wanita Kaukasia, dengan laki-laki hanya 30% dari
mereka yang didiagnosis dengan BPD (Simmons, 1992). Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa psikopatologi yang mendasari yang sama
yang terjadi pada pria lebih sering didiagnosis sebagai gangguan
kepribadian antisosial daripada BPD karena stereotip gender dan
perbedaan gender terkait dalam ekspresi emosi (Nehls, 1998; Paris & Lis,
2013). Meskipun tidak semua negara memasukkan BPD dalam sistem
diagnostik mereka, penelitian dari seluruh dunia mendukung keberadaan
BPD di masyarakat Barat dan Timur (Distel et al., 2008; Ono & Okonogi,
1988; Pinto, Dhavale, Nair, Patil, & Dewan, 2000; Wang & Xiao, 2012).
Sampai DBT diuji secara empiris di masyarakat yang mulai mempelajari

10
BPD dalam populasi mereka, generalisasi tidak dapat dibuat tentang
kemanjuran DBT untuk budaya tersebut.
D. Proses Konseling
1. Tujuan Konseling
DBT bertujuan untuk mengurangi disregulasi emosi dan perilaku
coping yang tidak efektif, tetapi tujuan yang lebih tinggi adalah untuk
membantu klien mencapai kehidupan yang tidak ingin ia hindari -
kehidupan yang layak dijalani (Dimeff & Linehan, 2001). Ketika seorang
klien berkomitmen untuk menjalani perawatan di DBT, ia diminta untuk
menyebutkan tujuan-tujuan spesifik dalam hidup yang akan membuat
hidup lebih berharga baginya. Tujuan bawahan dari kontrol perilaku,
perolehan keterampilan dan generalisasi, manajemen diri, mencapai
kebahagiaan dan ketidakbahagiaan biasa, dan transendensi semua
melayani untuk membuat kehidupan yang layak dijalani. Masing-masing
tujuan dibahas secara bertahap.
Sebelum perawatan, tujuannya adalah membuat dan melakukan
konseling yang sangat intensif dan memakan waktu ini. Sasaran Tahap 1
adalah stabilitas, koneksi, dan keamanan. Untuk terlibat dalam konseling,
klien harus tetap dalam konseling, yang berarti tetap hidup dan keluar dari
rumah sakit. Konseling pada Tahapan 2 hingga 4 menjadi kurang
terstruktur (misalnya, tidak ada kelompok keterampilan perilaku) ketika
klien berkembang melalui pemrosesan masa lalu yang menyakitkan secara
emosional untuk dapat mengalami perasaan tanpa memisahkan atau
menghindar (Tahap 2), meningkatkan harga diri dan citra diri positif dan
mulai fokus pada masalah yang terlibat dengan kehidupan sehari-hari
(Tahap 3), dan menemukan makna dan tujuan hidup yang lebih tinggi agar
merasa lebih lengkap dan terhubung (Tahap 4; Haddock, 2016). Sebagian
besar fokus penelitian di DBT adalah pada Tahap 1, yang merupakan
fokus utama bab ini.

11
Pada Tahap 1, klien dan konselor menggunakan hierarki target
perawatan berikut untuk menentukan urutan masalah yang harus diatasi
(dari yang paling mendesak hingga yang paling mendesak):
1. Menghilangkan perilaku yang mengancam jiwa (Eliminate life-
threatening behaviors), termasuk ancaman bunuh diri, gerakan, upaya;
perilaku pembunuhan; dan NSSI.
2. Hilangkan perilaku yang mengganggu terapi (Eliminate therapy-
interfering behaviors), seperti sesi yang hilang, tidak melakukan
pekerjaan rumah, mengganggu sesi kelompok, atau tidak menggunakan
obat-obatan sesuai resep.
3. Mengurangi perilaku yang mengganggu kualitas hidup (Decrease
quality-of-life-interfering behaviors). Masalah-masalah ini akan
disesuaikan dengan perilaku disfungsi klien dan tujuan hidup tetapi
dapat mencakup masalah-masalah seperti penggunaan narkoba dan
alkohol, berkelahi dengan orang lain, masalah keuangan, depresi, dan
pesta makan berlebihan.
4. Tingkatkan keterampilan perilaku (behavioral skills) dalam empat ranah
mindfulness inti (mengendalikan konsentrasi agar dapat fokus pada
masa kini dan bukannya mengkhawatirkan masa lalu atau masa depan),
toleransi tertekan (mengalami rasa sakit emosional tanpa merugikan diri
sendiri), efektivitas interpersonal (memulai hubungan baru) atau
mengakhiri yang tidak sehat), dan regulasi emosi (memahami emosi
dan cara menanganinya; Haddock, 2016).
5. Meningkatkan manajemen diri (Increase self-management). Bantu klien
beralih dari bertindak dalam kehidupan mereka dengan cara yang
tergantung suasana hati alih-alih bertindak dengan cara yang diarahkan
pada tujuan, dari tempat kearifan intuitif (Linehan, 1993).
Perilaku konseling-intervensi mengambil keunggulan sekunder untuk
memastikan bahwa klien menerima dosis penuh DBT. Apa pun yang
menghalangi konselor dan klien bekerja bersama secara efektif dianggap
sebagai perilaku yang mengganggu konseling dan harus diselesaikan

12
sebelum bergerak maju. Dalam banyak kasus, perilaku terapi-campur
adalah perilaku klien juga terlibat di luar terapi (Swales & Heard, 2007).
Dalam hal menyelesaikan konflik, DBT unik dalam menekankan sikap
dialektis terapeutik di mana konselor secara aktif mencari kebijaksanaan
dalam posisi atau perilaku klien dan tidak bersikeras untuk menjadi benar,
yang meningkatkan aliansi terapeutik (Linehan, 1993).
Menyelesaikan konflik klien-konselor secara aktif bermanfaat karena
beberapa alasan. Ini menormalkan kesulitan dalam hubungan interpersonal
dan bertindak sebagai model yang baik untuk bagaimana menggunakan
cara yang efektif untuk menyelesaikannya; itu membangun kepercayaan
klien dalam kemampuannya untuk mengelola stres antarpribadi dengan
cara yang konstruktif; dan itu membantu klien dan konselor untuk merasa
baik tentang hubungan tim (Lynch et al., 2006).
Pada intinya, DBT adalah konseling yang digerakkan oleh prinsip,
yang memungkinkan fleksibilitas tinggi. Ini juga sangat terstruktur.
Prosedur terapeutik disesuaikan dengan kebutuhan klien individu
berdasarkan risiko, tingkat keparahan, dan kompleksitas gangguan (Van
Nuys & Linehan, 2007). Meskipun klien perlu menentukan pada tahap apa
dan di mana pada hierarki klien dimulai, semua klien berpartisipasi dalam
kurikulum pelatihan keterampilan. Empat komponen dalam Tahap 1 DBT
standar adalah kelompok pelatihan keterampilan, perawatan individu,
panggilan pelatihan, dan tim konsultasi konselor (Linehan, 1993).
2. Proses Konseling
a. Struktur Komprahensif (Comprehensive Structure)
Pada intinya, DBT adalah konseling yang digerakkan oleh
prinsip, yang memungkinkan fleksibilitas tinggi. Ini juga sangat
terstruktur. Prosedur terapeutik disesuaikan dengan kebutuhan klien
individu berdasarkan risiko, tingkat keparahan, dan kompleksitas
gangguan (Van Nuys & Linehan, 2007). Meskipun klien perlu
menentukan pada tahap apa dan di mana pada hierarki klien dimulai,
semua klien berpartisipasi dalam kurikulum pelatihan keterampilan.

13
Empat komponen dalam Tahap 1 DBT standar adalah kelompok
pelatihan keterampilan, perawatan individu, panggilan pelatihan, dan
tim konsultasi konselor (Linehan, 1993).
Dalam DBT standar, klien menghadiri dua sesi setiap minggu:
satu sesi individu untuk membahas target perilaku spesifik yang
relevan untuk mereka dan satu sesi kelompok untuk pelatihan
keterampilan (Linehan, 1993). Kelompok pelatihan keterampilan
adalah nonprocess dan terstruktur seperti kelas, dengan pemimpin
kelompok atau pemimpin yang mengajar pada empat set keterampilan
perilaku DBT. Diskusi pribadi dibuat singkat sehingga semua anggota
kelompok dapat memperoleh manfaat dari pengalaman belajar.
Pekerjaan rumah ditugaskan untuk mempromosikan perolehan dan
penguatan keterampilan. Grup muncul setiap minggu selama 2 hingga
2,5 jam selama 24 minggu, dengan masing-masing dari empat set
tersebut mencakup periode 6 minggu. Banyak klien mengulangi
modul lengkap dua kali, kembali ke belakang.
Perawatan individu diperlukan setidaknya selama klien tetap
dalam kelompok pelatihan keterampilan. Klien dan konselor bertemu
seminggu sekali, dengan fokus pada menjaga komitmen klien,
motivasi, dan penerapan keterampilan perilaku dalam kehidupan
sehari-hari (Linehan & Dexter-Mazza, 2008). Sepanjang minggu,
klien mengisi kartu buku harian setiap hari untuk melacak emosi,
dorongan, dan perilaku koping yang tidak efektif dan efektif serta
perilaku kualitas hidup tertentu. Perilaku masalah kemudian ditangani
sesuai dengan hirarki target. Konselor dan klien menggunakan
berbagai strategi, seperti analisis rantai perilaku, pelatihan in vivo,
paparan dan pencegahan respons, dan dialog dialektik, untuk
membantu klien mencapai tujuan yang dinyatakan (Linehan, 1993).
Karena klien dengan BPD memiliki kebutuhan yang kuat untuk
kontak dan sering menghadapi kesulitan dalam kehidupan sehari-hari,
mereka membutuhkan panduan yang sering untuk tetap stabil

14
sepanjang minggu. Untuk memfasilitasi aplikasi yang tepat dan
generalisasi keterampilan perilaku, klien diharapkan untuk melakukan
panggilan pelatihan kepada konselor masing-masing di antara sesi via
telepon.
Pekerjaan konseling dengan klien yang memiliki jumlah tinggi
dan tingkat keparahan perilaku bermasalah sulit untuk klien dan
konselor yang sama (Koerner & Linehan, 1997). Konselor
membutuhkan dukungan untuk mencegah kelelahan dan tetap efektif
dalam pendekatan terapeutik mereka. Tim konsultasi konselor seperti
konseling untuk konselor yang berbagi tanggung jawab untuk
perawatan klien, termasuk konselor individu dan pemimpin kelompok.
Diperlukan untuk bertemu seminggu sekali, tim konsultasi membahas
kasus-kasus, mempraktikkan keterampilan DBT (mis., Perhatian),
menghibur dan memuji satu sama lain, mempromosikan pemeliharaan
sikap dialektis dengan klien, dan dialog dialektika drama peran.
b. Membuat kontrak (Contracting)
Setelah konselor mengarahkan klien ke struktur DBT dan
mengukur minat, konselor dan klien membuat kontrak perawatan yang
menetapkan tujuan klien. Menetapkan tujuan eksplisit dengan klien
memberikan beberapa manfaat selama program perawatan (Linehan,
1993).
Setelah tujuan eksplisit telah ditetapkan, konselor harus membuat
klien berkomitmen untuk tujuan dan rencana perawatan, termasuk
partisipasi penuh selama 24 minggu seluruh pelatihan keterampilan.
Penting untuk disadari bahwa komitmen tidak ada orang yang
sempurna (Linehan, 1993). Tidak ada yang bisa memprediksi masa
depan dengan sempurna atau menunjukkan kontrol diri yang
sempurna. Oleh karena itu, komitmen hanyalah niat - bukan janji -
untuk mengambil tindakan spesifik menuju tujuan. Motivasi dalam
DBT adalah keadaan (bukan sifat) yang diarahkan pada pilihan

15
manfaat yang lebih besar dan biaya lebih rendah dalam konteks
tertentu (McMain, Sayrs, Dimeff, & Linehan, 2007).
DBT tidak menawarkan jaminan kesuksesan dan mungkin gagal
klien (mis., Klien tidak gagal dalam perawatan). Konselor harus dapat
mengenali ketika kontrak perawatan tidak melayani klien dan terbuka
terhadap kemungkinan bahwa perubahan diperlukan, baik dengan
menyesuaikan tingkat perawatan atau mencoba pendekatan konseling
yang berbeda sama sekali (Linehan, 1993). Kegagalan pengobatan
tidak harus sepenuhnya negatif; setiap kegagalan yang disebut dapat
dilihat sebagai pengalaman belajar yang menginformasikan
pengobatan di masa depan.
c. Proses Pengakhiran (The Termination Process)
Pada akhir sesi pertama, kontrak antara konselor dan klien harus
dibuat yang menyatakan harapan dan tanggal akhir spesifik dari
bagian pelatihan keterampilan (Ben-Porath, 2004). Karena banyak
klien mendapat manfaat dari pelatihan keterampilan putaran kedua,
konselor dan klien harus bersama-sama mencapai keputusan apakah
klien akan mendapat manfaat dari dan mampu berkomitmen untuk
putaran kedua sebagai pendekatan tanggal akhir (Linehan, 1993). Jika
klien tidak perlu atau tidak dapat berkomitmen untuk putaran kedua
pelatihan keterampilan kelompok, klien dan konselor dapat
memutuskan untuk melanjutkan konseling secara individual (beralih
ke DBT Tahap 2), atau, tergantung pada pengaturan, konselor dapat
merujuk klien ke program intensitas yang lebih rendah untuk terus
bekerja pada target Tahap 1.
d. Pemikiran dialektis (Dialectical Thought)
Untuk sepenuhnya menghargai metode DBT, kita harus
memahami pendekatan dialektik terhadap realitas itu sendiri: Realitas
itu dinamis dan selalu berubah; semua keseluruhan terdiri dari bagian
yang dinamis dan saling terkait; dan setiap keseluruhan dinamis lebih
besar dari jumlah bagian-bagiannya (Bopp & Weeks, 1984; Houlgate,

16
1991). (Dalam DBT, setiap keseluruhan dapat didefinisikan sebagai
suatu sistem, seseorang, atau bahkan beberapa fenomena tentang
seseorang [misalnya, gangguan seperti BPD].) Perspektif nonreduksi
ini menyatakan bahwa setiap fenomena hanya dapat dipahami sebagai
bagian dari keseluruhan, dan keseluruhan hanya dapat dipahami
dengan mengetahui bagian-bagiannya yang terpisah. Dari garis logika
inilah DBT memperlakukan bukan gangguan tetapi seluruh klien
(Linehan, 1993; Linehan & Schmidt, 1995). Orang-orang, lingkungan
mereka, kepribadian mereka, dan gejala mereka selalu berubah ketika
mereka mempengaruhi orang lain dan orang lain mempengaruhi
mereka. Seseorang tidak dapat secara efektif mengobati gejala klien
tanpa memahami klien dan konteks di mana klien berperilaku.
e. Metode dialektik (Dialectical Methods)
DBT menggunakan metode dialektik yang disempurnakan oleh
filsuf Jerman Georg Hegel pada akhir abad ke-18 (Linehan &
Schmidt, 1995). Metode ini menyediakan proses tiga langkah untuk
penalaran sering hanya disebut oleh tiga langkahnya: tesis-antitesis-
sintesis. Dengan tesis, seseorang memulai dengan proposisi
intelektual. Berikutnya memeriksa negatif proposisi itu, yang
merupakan antitesis. Akhirnya, seseorang mencari kebenaran yang
lebih tinggi — sintesis — yang merekonsiliasi kebenaran dari tesis
dan antitesis. Dalam DBT orang akan sering menemukan dialektika
tesis dan antitesis yang berlawanan di mana keduanya dianggap sama-
sama valid.
Untuk memfasilitasi kemajuan konseling, konselor menggunakan
metode dialektik untuk menantang pemikiran klien. Sebagai contoh,
seorang klien mungkin terombang-ambing di antara berpikir bahwa ia
seharusnya tidak memerlukan bantuan dalam menangani masalah
dalam hidup dan menyalahkan orang lain karena tidak membantunya
menangani masalah tersebut. Ide dialektis itu dari tesis-antitesis-
sintesis menyediakan alat untuk copot pemikiran dan menemukan

17
jalan tengah transenden ekstrem di antara keduanya. Dalam contoh
ini, satu sintesis mungkin bahwa klien terkadang perlu meminta
bantuan dari orang lain untuk menjadi lebih mandiri.
 Tiga Dilema Dialektis
Pemikiran dialektis membantu konselor membuat konsep
perilaku disfungsional klien sebagai akibat dari berosilasi antara
pasangan ekstrem yang berlawanan dari pasangan dialektik. Linehan
menyebut pasangan dialektik ini sebagai dilema dialektik dan
mengidentifikasi tiga kesamaan pada individu dengan BPD
(Linehan, 1993; Linehan & Schmidt, 1995).
Dilema pertama adalah kerentanan emosional versus
penyangkalan diri. Ketika dalam keadaan yang rentan secara
emosional, klien sangat sensitif dan karenanya rentan terhadap
ledakan emosi, yang mungkin termasuk agresi. Klien kemudian
dapat berayun ke kutub berlawanan dari selfinvalidation dengan
meremehkan diri mereka sendiri untuk ledakan, yang selanjutnya
mengikis kepercayaan diri dan konsepsi identitas. Klien tidak
mempercayai intuisi emosional mereka dan mencari orang lain untuk
menentukan bagaimana merespons situasi.
Dilema kedua yang diidentifikasi Linehan adalah kepasifan aktif
versus kompetensi nyata. Ketika mengalami masalah, kadang-
kadang klien merespons dengan kepasifan aktif dengan menyatakan
ketidakmampuan dan menuntut orang lain untuk memperbaiki
masalah mereka. Di lain waktu, mereka dapat merespons dengan
kompetensi yang jelas dengan mengungkapkan kepercayaan dan
kemampuan dalam menerapkan keterampilan memecahkan masalah
sendiri. Namun, tingkat kompetensi bervariasi dan dapat sangat
tergantung pada suasana hati dan situasi untuk klien dengan BPD
(Linehan & Schmidt, 1995). Dalam dilema ini, klien berganti-ganti
antara menuntut bantuan dari orang lain dan memancarkan

18
kompetensi, yang membuat reaksi mereka terhadap situasi yang
penuh tekanan sulit diprediksi.
Dilema umum ketiga adalah krisis yang tak henti-hentinya
dibandingkan dengan kesedihan yang terhambat. Krisis yang tak
henti-hentinya mengacu pada kecenderungan klien dengan BPD untuk
berpindah dari satu krisis ke krisis lainnya tanpa cukup waktu untuk
kembali ke garis dasar emosional di antara berbagai peristiwa.
Menghabiskan waktu yang lama dalam kondisi emosional yang terus-
menerus melelahkan adalah melelahkan secara emosional dan dapat
menimbulkan kesedihan yang terhambat. Klien kemudian dengan
sengaja menghindari mengalami emosi negatif, yang menghasilkan
perilaku disfungsional seperti melukai diri sendiri atau bahkan upaya
bunuh diri.
Ketika konselor mengenali bahwa klien beroperasi dalam
dilema, mereka lebih mampu memprediksi perilaku klien dan
menghindari perangkap konseling (Koerner & Linehan, 1997).
Jebakan terapeutik adalah respons umum yang menghambat
kemajuan atau memperburuk suatu situasi (mis., Membuat klien
tidak valid atau tidak cukup merencanakan hambatan yang dapat
diprediksi). Konselor dapat menghindari jebakan-jebakan ini dengan
mendorong sintesis melalui metode dialektik dan dengan mengambil
posisi konseling spesifik sebagai respons terhadap dilema dialektik
ini.
 Tiga Posisi Konseling Dialektik

Untuk memfasilitasi sintesis dan perkembangan konseling,


konselor bergantian antara kutub yang berlawanan dari posisi
dialektik dalam menanggapi dilema yang disajikan oleh klien. DBT
mengidentifikasi tiga pasang posisi dialektik yang perlu digunakan
konselor selama sesi (Linehan, 1993; Linehan & Schmidt, 1995).
Pasangan pertama adalah orientasi terhadap penerimaan versus

19
orientasi untuk berubah. Dalam pasangan ini, terapis terombang-
ambing antara penerimaan radikal dari klien dan mendorong
perubahan dalam perilaku klien. Pasangan kedua adalah dialektika
dari fleksibilitas welas asih versus keterpusatan yang tak
tergoyahkan. Ketika mengambil posisi fleksibilitas penuh kasih,
terapis bersedia mengambil informasi baru tentang klien atau situasi
dan memperbarui posisinya. Sebaliknya, ketika konselor mengambil
posisi keterpusatan yang tak tergoyahkan, dia melihat ke arah jangka
panjang dan mempertahankan keyakinannya pada pengobatan
terlepas dari kesulitan atau argumen sebaliknya. Pasangan dialektika
ketiga adalah pengasuhan versus tuntutan yang murah hati.
Sementara dalam posisi pengasuhan, konselor bertindak sebagai
pelatih dan pemandu sorak untuk klien. Ketika beralih ke posisi yang
penuh tuntutan, konselor membuat tuntutan pada klien dengan
perhatian penuh pada kemampuan klien untuk memenuhi tuntutan
tersebut.

Interaksi bisa sangat rumit, tetapi mengetahui dilema dan posisi


terapeutik ini dapat membantu terapis mempertahankan arah dan
menjaga terapi tetap berjalan (Koerner & Linehan, 1997). Sebagai
contoh, jika seorang klien hadir dalam keadaan yang rentan secara
emosional, konselor akan tahu untuk memenuhi klien dengan
orientasi untuk penerimaan emosi terlebih dahulu sebelum
mendorong untuk perubahan keterampilan. Konselor juga harus siap
untuk kemungkinan klien berayun ke pembatalan diri, di mana
konselor akan bereaksi dengan orientasi untuk perubahan (misalnya,
menyarankan keterampilan validasi diri). Respons cepat terhadap
keadaan klien ini membantu menjaga pergerakan, kecepatan, dan
aliran sesi.

E. Prosedur dan Teknik Konseling

20
DBT berbasis prinsip tetapi juga memiliki protokol yang jelas untuk
digunakan dalam pengobatan. Sebagian besar strategi ada dalam kerangka
dialektik, dengan beberapa strategi terutama yang mencerminkan
penerimaan dan perubahan.
1. Aliansi Terapi (The Therapeutic Alliance)

Dalam DBT, peran konselor adalah sebagai motivator, pemandu


sorak, pemandu, dan yang paling penting, mitra sejajar dalam sebuah tim
(Swales & Heard, 2007). Jadi, ketika bekerja dengan klien, konselor
mengadopsi bahasa yang memperkuat bahwa mereka adalah anggota tim
dan bukan figur otoritas, menggunakan kata ganti seperti kami daripada
Anda. Konselor mengadopsi nada yang akrab dengan klien dan
mendorong nada yang sama dari mereka. DBT mendorong hubungan
yang tulus, sehingga para konselor harus mampu menghibur dan
berbicara dengan jujur kepada klien, tidak menghindar dari menunjukkan
perilaku merusak diri sendiri (Linehan, 1997).

Membangun aliansi terapeutik yang kuat adalah kunci efektivitas


DBT, tetapi ini bisa sulit dengan klien yang tidak hanya kekurangan
keterampilan dalam efektivitas interpersonal tetapi juga menderita
disregulasi emosi yang parah (Ben-Porath, 2004). Klien dengan BPD dan
fitur garis batas telah lama difitnah dalam pengaturan konseling, tidak
adil diremehkan sebagai tidak termotivasi dan manipulatif (Aviram,
Brodsky, & Stanley, 2006). (Jarang terjadi bahwa klien dengan BPD
sengaja dimanipulasi sebagai lawan untuk merespons konflik dengan
perilaku krisis karena disregulasi emosi yang parah.) Klien semacam itu -
yang sudah secara alami sensitif terhadap penolakan antarpribadi - akan
lebih peka terhadap penolakan dan kepura-puraan dan mudah rawan
pembatalan.

2. Strategi Komunikasi (Communication Strategies)

21
Gaya komunikasi ada sebagai pasangan dialektis yang mencerminkan
penerimaan dan perubahan: komunikasi timbal balik versus tidak sopan,
masing-masing (Linehan, 1993). Komunikasi timbal balik ditandai
dengan gaya responsif, hangat, menarik, dan ramah yang bahkan
mungkin mencakup pengungkapan diri. Komunikasi yang tidak sopan
dicirikan oleh gaya datar yang datar dan sering kali mengandung humor.
Irreverence sangat membantu ketika seorang konselor ingin mengubah
respons afektif klien, mengarahkan kembali klien ke sudut pandang baru,
atau membatalkan yang tidak valid. Bergantian gaya ini dalam
menanggapi dilema klien membuat konseling terus mengalir dan klien
bergerak menuju sintesis (Dimeff & Linehan, 2001). Karena klien sering
terombang-ambing di antara ekstrem dialektik, konselor harus
mempertahankan kemampuan untuk merespons dengan cara yang sama.
Bergerak antara posisi terapeutik dan gaya komunikasi dalam
menanggapi osilasi klien adalah seperti tarian, dan konselor harus cepat
berdiri untuk menjaga klien dari jatuh terlalu jauh ke satu arah atau yang
lain (Linehan, 1993).

3. Strategi Komitmen (Commitment Strategies)


Sebelum memulai konseling atau meminta seseorang untuk mencoba
keterampilan, terapis harus memeriksa komitmen. Jika tidak ada atau
menghilang, konselor kembali ke orientasi dan strategi komitmen untuk
meningkatkan motivasi dan mendapatkan komitmen untuk bertindak
dengan cara yang efektif. Strategi-strategi ini meliputi, tetapi tidak
terbatas pada, yang berikut: mengevaluasi pro dan kontra, advokat iblis,
kaki di pintu dan pintu di muka, kebebasan untuk memilih dan tidak
adanya alternatif, membentuk perilaku, dan menghasilkan harapan (Ben
-Porath, 2004). Penting untuk diingat bahwa kurangnya penggunaan
keterampilan klien tidak menunjukkan kurangnya motivasi. Klien
mungkin kurang memiliki kemampuan, memiliki kemampuan yang
lemah, atau tidak dapat menerapkan keterampilan dalam konteks yang
berbeda. Mungkin juga ada pikiran, emosi, atau lingkungan yang

22
mencegah penggunaan keterampilan yang perlu ditangani terlebih
dahulu.
4. Strategi Dialektik (Dialectical Strategies)

Untuk menemukan sintesis, terapis melibatkan klien dalam


argumentasi dialektik (Linehan, 1993). Salah satu manfaat dari
pendekatan ini adalah bahwa klien sering menemukan diri mereka
berdebat untuk antitesis dari keyakinan awal mereka (Lynch et al., 2006).
Praktik ini membantu klien melihat alternatif untuk keyakinan
disfungsional dan meningkatkan fleksibilitas berpikir secara umum.
Wacana dialektik sangat menarik dalam percakapan, dan konselor dapat
menggunakan sejumlah strategi untuk mendorong klien menemukan
sintesis. Misalnya, metafora menggunakan cerita dengan moral paralel
tetapi konteks yang tidak mengancam, menggambarkan keengganan
klien dan kebutuhan untuk perubahan. Mengaktifkan pikiran bijak
mengembangkan pernyataan yang menghormati pikiran rasional dan
pikiran emosi. Memasuki paradoks mengidentifikasi dan merangkul
kebenaran yang sama validnya dari pernyataan yang bertentangan, dan
pendukung iblis berpendapat di sisi klien tersirat atau menyuarakan
keengganan klien. Penilaian dialektik secara aktif mencari kebijaksanaan
dalam posisi klien, terutama ketika terapis dan klien berselisih, dan
mencari sintesis dari dua posisi (Linehan, 1993).

5. Strategi Penerimaan (Acceptance Strategies)


a. Perhatian Penuh (Mindfulness)

Berlawanan dengan mitos populer, perhatian tidak mengosongkan


pikiran dari semua pikiran. Mindfulness didefinisikan sebagai
“memperhatikan dengan cara tertentu: dengan sengaja, pada saat ini,
dan tanpa menghakimi (Kabat-Zinn, 1994, hal. 4). Mempraktikkan
perhatian dalam DBT tidak sama dengan meditasi perhatian, juga
tidak memerlukan pelatihan meditasi formal. Alih-alih, DBT
memecah praktik perhatian menjadi keterampilan diskrit dari "apa"

23
(mengamati, menggambarkan, dan berpartisipasi) dan "bagaimana"
(tanpa penilaian, seseorang yang penuh perhatian, dan efektif).
Banyak pengaturan DBT mendorong praktik singkat keterampilan ini
sebelum memulai sesi sebagai cara agar klien berlatih dan
memperkuat keterampilan dan membantu klien fokus pada sesi yang
sedang berlangsung (Linehan, 1993).

Latihan mindfulness dapat memfasilitasi kemajuan klien dalam


banyak hal. Mindfulness mendorong klien untuk menerima dan
mengalami emosi sebagaimana adanya daripada berusaha
mengubahnya. Praktik ini dapat meredakan situasi di mana klien
menjadi semakin frustrasi hingga mereka tidak dapat mengubah
keadaan emosional mereka (Lynch, Robins, Morse, & Krause, 2001).
Mindfulness juga menekankan mengamati pikiran sebagai pikiran
daripada kebenaran literal atau pikiran baik atau buruk (KabatZinn,
1990). Dengan demikian, perhatian dapat mengurangi kecemasan dan
ketidaknyamanan yang dialami seseorang ketika memiliki pikiran
negatif. Selain itu, perhatian memperkuat kemampuan klien untuk
mengendalikan fokusnya, termasuk kemampuan untuk mengalihkan
fokus dari pikiran yang menyusahkan secara emosional, yang sangat
membantu selama sesi konseling (Linehan, 1993). Mindfulness juga
mengajarkan klien untuk hidup dengan dan mengalami emosi dan
impuls yang kuat tanpa kehilangan kendali atau memperburuk situasi
(Swales & Heard, 2007).

b. Penerimaan Radikal (Radical Acceptance)


Terkadang kehidupan menghadirkan kendala yang tidak dapat
segera diperbaiki (mis., Bank tidak buka sampai jam 9 pagi) atau
pernah diperbaiki (misalnya, kehilangan orang yang dicintai).
Penerimaan radikal adalah menerima — tidak menyetujui atau
menyukai — realitas saat ini, termasuk pikiran, emosi, dan
pengalaman yang menyakitkan (Heard & Linehan, 1994). Diakui

24
bahwa rasa sakit adalah bagian dari kehidupan dan kadang-kadang
harus bertahan sampai hilang. Pengunduran diri atau toleransi,
sebaliknya, menyiratkan penolakan terhadap rasa sakit sebagai bagian
dari kehidupan (mis., "Kehidupan seharusnya tidak seperti ini tetapi
saya tidak bisa melakukan apa-apa"; Hayes et al., 2004).
Dikombinasikan dengan kewaspadaan, latihan penerimaan
memfasilitasi kemajuan pasien dengan memungkinkan klien untuk
hanya berada di saat ini sebagai lawan terjebak memikirkan masa lalu
yang menyakitkan atau mengkhawatirkan masa depan.
c. Sikap Tidak Menghakimi (A Nonjudgmental Stance)

Agar benar-benar penuh perhatian, seseorang harus mengambil


sikap tidak menghakimi hingga saat ini. Mengambil sikap yang tidak
menghakimi berarti menghapus evaluasi atau penilaian (misalnya,
benar / salah, baik / buruk, adil / tidak adil, harus / tidak seharusnya)
dari pengalaman kami dan hanya mengamati pengalaman itu
sebagaimana adanya, bukan seperti yang kita inginkan (Linehan ,
2015). Untuk klien, sikap tidak menghakimi mempromosikan
objektivitas (Lynch et al., 2006); untuk konselor, ini mempromosikan
empati (Heard & Linehan, 1994).

Sangat penting bahwa konselor memandang klien mereka


nonpejoratif, karena hal itu akan meningkatkan hasil konseling dan
bahkan mengurangi bunuh diri klien (Shearin & Linehan, 1992).
Bekerja dengan orang-orang yang memiliki disregulasi emosi berat
adalah stres, dan meskipun menetapkan batas dapat membantu dalam
mencegah kelelahan profesional, konselor tetap berisiko untuk
mengembangkan kebencian ketika menghadiri krisis yang sering
terjadi (Gunderson, 1996). Sebagai tindakan pencegahan, tim
konsultasi secara teratur meninjau asumsi perawatan DBT (misalnya,
klien melakukan yang terbaik yang bisa mereka lakukan; klien ingin
meningkatkan; klien mungkin tidak menyebabkan semua masalah

25
mereka sendiri, tetapi mereka harus menyelesaikannya sendiri; klien
perlu lakukan lebih baik, coba lebih keras, dan lebih termotivasi untuk
berubah) yang mengingatkan terapis untuk mencari sintesis dan
mempertahankan sikap tidak menghakimi dengan klien mereka
(Linehan, 1993).

6. Strategi Validasi (Validation Strategies)

Validasi adalah alat konseling pusat di DBT. Dengan memvalidasi


lebih awal dan sering, seorang terapis dapat membangun hubungan yang
tulus berdasarkan kepercayaan tanpa harus setuju dengan semua pikiran
atau tindakan klien (Linehan, 1993). Validasi sangat membantu ketika
konselor dan klien mandek atau berselisih. Keterampilan validasi
membantu terapis memahami sudut pandang klien tanpa membuat
asumsi yang memalukan tentang pikiran, emosi, atau pengalamannya.
Untuk klien, validasi mengurangi emosi negatif dan perasaan agresi dan
menumbuhkan perasaan memiliki (Shenk & Fruzzetti, 2011),
menciptakan ruang emosional untuk melanjutkan kegiatan konstruktif
selama sesi. Menerima validasi per se dapat berfungsi sebagai kekuatan
pendorong bagi klien untuk menghadiri konseling (Linehan, 1997).

Sebagai keterampilan perilaku, validasi membantu klien membangun


pandangan diri yang stabil, yang meningkatkan kemampuan untuk
berfungsi dalam interaksi sosial (Swann, 1983). Sebagai strategi
konseling, validasi mengkomunikasikan kepada klien bahwa beberapa
bagian dari perilakunya atau pengalamannya masuk akal atau dapat
dipahami dalam konteks kehidupan orang itu (Linehan, 1993). Secara
khusus, validasi bukanlah pujian, umpan balik positif, atau bahkan
penguatan positif. Itu juga bukan pemandu sorak (mis., "Kita bisa
melakukan ini!"), Meskipun semua strategi ini penting dalam DBT juga.
Berbicara secara dialektis, konselor harus mengakui bahwa beberapa
bagian dari perilaku atau pengalaman klien itu memegang validitas atau
kebijaksanaan dan karenanya harus mencari sintesis antar posisi.

26
Seseorang harus belajar bagaimana memvalidasi, apa dan kapan
memvalidasi, apa yang tidak untuk divalidasi, dan bagaimana bangkit
kembali dari pembatalan yang tidak disengaja. Yang penting adalah,
validasi adalah keterampilan yang sulit untuk diterapkan, dan kadang-
kadang mungkin tampak sulit untuk menemukan apa pun untuk
divalidasi. Untungnya, ada banyak sumber untuk validasi yang mungkin:
emosi, legitimasi dalam keinginan, pendapat, nilai, prioritas kesulitan
tugas, upaya yang dilakukan untuk mencapai tujuan, atau tindakan untuk
meningkatkan hubungan (Axelrod & Lee, 2013). Konselor juga
memastikan untuk mencocokkan nada suaranya, bahasa tubuhnya, dan
ekspresi wajahnya dengan isi pernyataan yang sah. DBT menguraikan
enam tingkat validasi untuk membantu konselor dan klien, dengan
masing-masing tingkat menjadi tingkat validasi yang lebih tinggi
(Linehan, 1997). Selama terapi, konselor secara aktif mencari peluang
validasi dan menerapkan level setinggi mungkin pada setiap belokan.

Dasar dari lima level berikutnya, level pertama validasi adalah


tindakan mendengarkan dengan penuh perhatian dan secara mental hadir
sepenuhnya. Saat mendengarkan, seseorang seharusnya tidak terlihat
terganggu atau seolah-olah sedang merumuskan tanggapan atau penilaian
daripada secara aktif memfokuskan perhatian penuh pada pembicara.
Tingkat validasi kedua melibatkan kemampuan untuk secara akurat
mencerminkan apa yang dikatakan klien tanpa penilaian tambahan.
Penting untuk tidak meniru kata-kata klien yang eksak, melainkan untuk
mengulangi pernyataan dengan cara yang menunjukkan mendengarkan
dan memahami. Tingkat validasi ketiga adalah membaca pikiran, yang
mengacu pada konselor yang menyatakan apa yang dia yakini sebagai
emosi dan pikiran klien yang tak terucapkan. Meskipun konselor
terkadang salah, ketika dia benar, itu adalah alat yang ampuh
menunjukkan perhatian dan pemahaman. Tingkat validasi keempat
melibatkan memvalidasi berdasarkan riwayat masa lalu klien atau
kecenderungan psikologis, bahwa tindakannya dapat dipahami dalam

27
konteks yang diberikan. Tingkat validasi kelima melibatkan
membandingkan pikiran dan tindakan klien dengan orang-orang pada
umumnya. Sangat valid untuk mendengar bahwa tindakan seseorang
mirip dengan bagaimana kebanyakan orang akan merespons. Tingkat
validasi keenam dan terakhir disebut sebagai keaslian radikal. Keaslian
radikal mengacu pada memecah jarak buatan yang dapat terjadi antara
terapis dan klien. Konselor berusaha untuk membuat klien merasa setara
dengan berkomunikasi dengan cara yang akan dilakukan dengan teman,
berbicara secara alami dan menunjukkan minat, ketulusan, dan rasa
hormat (Robins & Koons, 2000). Sebagai setara, klien saya bebas untuk
bertanya apa yang dipikirkan atau dialami oleh konselor.

Keaslian radikal adalah tingkat validasi tertinggi dan sangat penting


untuk mempertahankan hubungan yang tulus dengan klien. Hal ini
mendorong penggunaan pengungkapan diri konselor secara sengaja, yang
sering tidak disarankan dalam pendekatan lain. Untuk menguntungkan
klien, seorang konselor dapat berbagi situasi di mana ia berhasil
memecahkan masalah dengan menggunakan keterampilan perilaku yang
diajarkan di DBT. Dengan cara ini, terapis menyampaikan bahwa mereka
juga manusia dan mampu membuat kesalahan (Linehan, 1993).

7. Ubah Strategi (Change Strategies)

Banyak strategi perubahan dalam DBT mencerminkan yang


digunakan dalam CBT lain, seperti analisis perilaku / analisis rantai,
catatan pemikiran, paparan, pengkondisian operan, pembentukan, dan
kepunahan (Linehan, 1993). Beberapa metode, seperti modifikasi
kognitif, mengalami deemphasized karena kerentanan klien dengan BPD,
yang sangat sensitif untuk disalahkan (Lynch et al., 2006). Dalam DBT,
terapis menghindari penyampaian gagasan bahwa masalahnya ada di
kepala klien dengan menghindari bahasa seperti terdistorsi atau tidak
rasional demi bahasa seperti tidak efektif dan nondialectical. Penekanan
ditempatkan pada klarifikasi kontingensi, seperti efek suasana hati pada

28
kognisi dan perilaku (Linehan & Dexter-Mazza, 2008). Banyak waktu
dihabiskan untuk mengklarifikasi efek jangka pendek dan jangka panjang
dari perilaku tertentu dan membuat keputusan pikiran yang efektif atau
bijak bahkan ketika berada di bawah tekanan. Jika klien merasa di luar
kendali, alih-alih mengevaluasi pemikiran untuk kesalahan berpikir atau
distorsi kognitif, ia didorong untuk menggunakan keterampilan perilaku
tertentu yang pertama-tama akan membantunya menoleransi kesulitan,
mengubah intensitas emosi, atau mengubah emosi. diri. Setelah klien
diatur, terapis dapat melanjutkan dengan modifikasi dengan hati-hati
bahwa terapis DBT menggunakan validasi lebih dari modifikasi.

 Analisis Rantai (Chain Analysis)

Analisis rantai adalah mekanisme perubahan yang sangat penting


(Lynch et al., 2006). Selama analisis rantai, seorang klien menceritakan
detail peristiwa dan emosi yang menyebabkan perilaku yang tidak
berfungsi selama seminggu terakhir sebagaimana ditunjukkan pada
kartu buku harian (Rizvi & Ritschel, 2014). Manfaat yang paling jelas
adalah kesempatan untuk mengubah insiden negatif menjadi peluang
untuk memecahkan masalah dalam penerapan keterampilan perilaku
yang efektif. Konselor kemudian dapat memberikan pelatihan in vivo,
yang mungkin termasuk paparan dan pencegahan respons, atau
melakukan permainan peran dalam persiapan untuk minggu berikutnya
(Linehan, 1993). Manfaat lain adalah bahwa dengan bekerja melalui
analisis rantai yang sangat terperinci, klien menjadi lebih sadar akan
kerentanan dan situasi apa yang mendahului perilaku disfungsional,
yang membuatnya lebih mudah baginya untuk melihat dan menghindari
situasi serupa di masa depan (Lynch et al., 2006). Selain itu, mengingat
bahwa analisis rantai mengharuskan klien untuk secara menyeluruh
mendiskusikan perilaku disfungsional dan karena itu kemungkinan
memalukan, persyaratan melakukan analisis rantai itu sendiri dapat
berfungsi sebagai pencegah perilaku disfungsional.

29
8. Pelatihan Keterampilan (Skills Training)
Salah satu tujuan utama DBT adalah untuk mengurangi perilaku
coping yang tidak efektif dan meningkatkan yang efektif melalui akuisisi,
penguatan, dan generalisasi (Linehan, 1993). Untuk mencapai tujuan ini,
DBT mengajarkan empat perangkat keterampilan dalam kelas pelatihan
keterampilan kelompok: mindfulness inti, toleransi tekanan, regulasi
emosi, dan efektivitas interpersonal. Keterampilan ini juga seimbang
dalam dialektika dasar penerimaan (perhatian dan toleransi tekanan) dan
perubahan (regulasi emosi dan efektivitas antarpribadi). Dalam
mindfulness inti, klien belajar bagaimana tetap terjaga dan sadar
sepenuhnya pada saat ini. Toleransi marabahaya mengajarkan
kemampuan untuk menoleransi marabahaya tanpa mencoba
mengubahnya atau berkubang di dalamnya. Dalam regulasi emosi, klien
belajar bagaimana meningkatkan atau mengurangi intensitas emosi atau
bagaimana mengubahnya secara bersamaan. Dalam efektivitas
interpersonal, klien mengembangkan keterampilan untuk berkomunikasi
dengan orang lain dengan cara yang secara efektif efektif, menjaga
hubungan, dan menjaga dan membangun harga diri. Klien juga belajar
manajemen diri, yang merupakan keterampilan menyeluruh untuk
mengetahui kapan harus menggunakan keterampilan dari masing-masing
set.
 Metode Pemecahan Masalah (Problem-Solving Method)

Keterampilan istilah sebenarnya dapat merujuk pada perilaku yang


diperlukan untuk mempengaruhi hasil yang diinginkan dan
meminimalkan yang tidak diinginkan (Linehan, 1993). Klien dapat
menggunakan keterampilan mereka untuk mengatasi masalah apa pun
yang mungkin terjadi dengan mengikuti metode penyelesaian masalah
bertahap di DBT, sebagaimana tercermin di sini. Ada empat cara untuk
menanggapi masalah apa pun, tetapi seseorang harus berhati-hati untuk
dapat membuat pilihan (itulah sebabnya modul ini disebut core

30
mindfulness). Seseorang dapat memilih untuk menyelesaikan masalah
(menggunakan efektivitas interpersonal), mengubah perasaan seseorang
tentang masalah (pengaturan emosi), menerima atau menoleransi
masalah dan bagaimana perasaan seseorang (toleransi tertekan), atau
tetap sengsara dan / atau memperburuk keadaan (apa pun) itu bukan
salah satu dari pilihan sebelumnya; Linehan & Dexter-Mazza, 2008,
hlm. 396).

9. Strategi Manajemen Kasus (Case Management Strategies)


Strategi manajemen kasus juga mencerminkan dialektika fundamental
dari intervensi penyeimbangan atas nama klien (penerimaan) dan
konsultasi kepada klien (perubahan; Linehan & Schmidt, 1995). Karena
konselor dan klien adalah tim, klien termasuk dalam masalah manajemen
kasus, dan DBT sangat tertimbang untuk berkonsultasi dengan klien. Ini
berarti bahwa konselor berkonsultasi dengan klien daripada dengan
penyedia perawatan lain klien saja dan mencoba untuk membuat klien
mengatur pertemuan mengenai perawatannya sendiri. Panggilan
konferensi dilakukan dengan klien di kamar. Ini mengajarkan klien
bagaimana cara merawat diri sendiri dan mengelola urusan mereka secara
efektif. Ini juga mengurangi pemisahan staf karena semua pelaksana
terlibat dalam proses pengambilan keputusan (Linehan, 1993). Konselor
hanya akan melakukan intervensi atas nama klien jika keuntungan jangka
pendek lebih besar daripada keuntungan jangka panjang sebagai situasi
pembelajaran (misalnya, untuk menyelamatkan kehidupan klien, ketika
itu adalah hal yang manusiawi untuk dilakukan, ketika masalah sangat
kecil, atau ketika klien tidak dapat melakukan kontak dengan
penyedianya).

10. Keluarga dan Sistem Pendukung (Family and Support Systems)

Klien dengan BPD membutuhkan sistem pendukung yang kuat.


Sayangnya, bahkan ketika klien dengan BPD memiliki keterampilan
interpersonal yang baik, mereka mungkin mengalami kesulitan

31
menerapkannya secara tepat karena mengganggu emosi yang tinggi
(Linehan & Schmidt, 1995). Kesulitan dengan regulasi emosi dan dengan
menerapkan keterampilan efektivitas interpersonal dapat berkontribusi
untuk ketegangan dalam hubungan keluarga. Selain itu, mengingat
bahwa model biososial berpendapat bahwa klien dengan BPD tumbuh
dalam lingkungan yang tidak valid, mungkin beberapa anggota keluarga
memiliki peran masa lalu atau saat ini dalam melanggengkan perilaku
disfungsional klien (Sturrock & Mellor, 2014). Beberapa keterampilan
yang biasanya diajarkan selama sesi pelatihan keterampilan kelompok
sangat membantu untuk berinteraksi dengan anggota keluarga. Misalnya,
penerimaan kenyataan dapat membantu klien menerima bahwa kadang-
kadang anggota keluarga akan terus tidak valid dan memandang situasi
itu sebagai peluang belajar.

Sering bermanfaat bagi keluarga dan orang yang dicintai klien untuk
mempelajari apa itu DBT dan untuk melihat apa yang klien lakukan
untuk mencapai kehidupan yang layak dijalani (Rathus & Miller, 2014).
Sesi keluarga dapat mengurangi kecemasan anggota keluarga dengan
menunjukkan bahwa ada kemajuan dan bahwa anggota keluarga tidak
disalahkan. Selain itu, dapat konstruktif untuk mengundang anggota
keluarga ke sesi pelatihan keterampilan kelompok untuk mempelajari
keterampilan DBT untuk diri mereka sendiri (Fruzzetti, Santisteban, &
Hoffman, 2007). Misalnya, penerimaan radikal dapat membantu anggota
keluarga untuk berdamai dengan penyakit mental klien.
Menginstruksikan anggota keluarga dalam pengaturan validasi dan batas
dapat mengurangi jumlah dan tingkat keparahan konflik selama interaksi
dengan klien.

32
BAB III

APLIKASI KASUS

A. Kasus Jimy

Jimy adalah seorang laki-laki berusia 24 tahun. Dia pengangguran dan


mengikuti sesi konseling karena memiliki beberapa permasalahan yang
menggangunya. Masalah pertama adalah dia merasa depresi dan frustrasi
dengan hidupnya karena dia tida mempunyai pekerjaan. Pernah dia kuliah,
akan tetapi tidak tamat karena tidak serius dan banyak bolos sehingga dia
Drop Out (DO) oleh kampusnya. Dia merasa hidupnya sudah tidak berarti
dan tidak memiliki tujuan hidup yang jelas. Ia mengatakan dalam dirinya
bahwa dia tidak layak untuk hidup bahagia seperti orang lain. Ada
keinginan dalam hatinya untuk menikah dan hidup bahagia bersama
wanita pilihannya akan tetapi melihat kondisinya sekarang, dia merasa
frustrasi terhadap dirinya. Ia mengatakan setiap kali mendekati perempuan,
dia merasa cemas dan dalam pikirannya seringkali muncul pikiran bahwa
perempuan itu pasti berpikir jelek tentang kondisinya yang buruk dan tidak
punya pekerjaan. Ketika dihadapkan pada pemikiran terhadap masalah
yang ia hadapi, ia langsung mabuk dengan meminum alcohol dengan
tujuan supaya menghilangkan pikirannya yang stres. Akan tetapi
kadangkala ia berpikir untuk bunuh diri agar terbebas dari tekanan yang ia
rasakan. Ia merasa hidupnya tidak berarti. Satu-satunya yang ia rasakan
berarti adalah ia memiliki ibu yang baik hati. Akan tetapi, setiap kali
melihat ibunya, seringkali muncul pikiran bahwa dirinya tidak berguna dan
tidak bisa membahagiakan ibunya.

B. Analisis Kasus Jimy dalam Perspektif Konseling Dialectical Behavior

Therapy

Dari kasus tersebut, kami dapat menganalisis dari ke empat tahap


perawatan yang dimana kami menggunakan tahap 1 untuk menganalisis
kasus ini.

33
1. Menghilangkan perilaku yang mengancam jiwa (Eliminate life-
threatening behaviors)
Jadi yang kita lakukan pertama kali untuk kasus ini yaitu
menghilangkan perilaku dan pikirannya jimmy dalam keinginannya
untuk bunuh diri.
2. Mengurangi perilaku yang mengganggu kualitas hidup (Decrease
quality-of-life-interfering behaviors)
Lalu langkah selanjutnya yaitu membicarakan tentang kebiasaan
buruknya dan berbicara baik-baik kepada jimmy untuk mengurangi
perilaku tersebut seperti frustasi dan mengkonsumsi alkohol.
3. Meningkatkan keterampilan perilaku (behavioral skills)
Lalu dalam langkah ini kita memfokuskan jimmy pada mindfullnes
inti, toleransi kesusahan, efektivitas interpersonal, dan regulasi emosi.
4. Meningkatkan manajemen diri (Increase self-management)
Dalam langkah ini, kita sebagai konselor membantu Jimmy beralih
dari perilaku kebiasaan dalam kehidupannya yang biasanya dengan
cara tergantung mood bukan bertindak dengan cara yang diarahkan
pada tujuan.

34
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sejak didirikan pada akhir tahun 1970-an, DBT telah mendapatkan


reputasi sebagai pengobatan definitif untuk klien yang sulit diobati dan
mengalami gangguan parah. Awalnya dikembangkan oleh Marsha Linehan
untuk mengobati wanita dengan bunuh diri kronis dan perilaku melukai
diri sendiri, itu berkembang dari akar kognitif-perilaku menjadi program
konseling komprehensif yang menyeimbangkan prinsip-prinsip behavioris
dengan praktik Zen dan filosofi dialektis. Ini adalah pengobatan standar
emas untuk orang dewasa dengan BPD, yang terutama ditandai dengan
disregulasi emosi yang parah. Untuk klien yang menderita disregulasi
emosi parah, DBT menawarkan kerangka kerja yang sangat terstruktur dan
mendukung di mana klien dapat bekerja menuju kehidupan yang layak
dijalani. Setelah dirawat di program DBT, klien terlibat dalam sesi
konseling individu mingguan; panggilan pelatihan telepon; dan pelatihan
keterampilan intensif dalam perhatian, toleransi marabahaya, regulasi
emosi, dan efektivitas interpersonal. Konseling DBT terlibat dalam versi
konseling mereka sendiri, tim konsultasi terapis — untuk membantu
mereka mempertahankan perilaku terapeutik yang efektif dengan klien.
Para peneliti telah menemukan DBT berkhasiat untuk mengobati beberapa
gangguan dan populasi lain (seperti remaja dengan bunuh diri), tetapi
karena itu adalah pengobatan yang relatif baru, penelitian yang lebih
terkontrol dan berkualitas tinggi diperlukan.

35
DAFTAR PUSTAKA

Vernon, Ann dan Kristine A. Doyle. 2018. CBT A Guidebook For Practitioners.
America: American Counseling Association

Evita Roesnilam Syafitri. Studi Kepustakaan Teori Konseling “Dialectical


Behavior Therapy”. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya

36

Anda mungkin juga menyukai