Anda di halaman 1dari 24

1.

Pertanyaan diskusi
1. Jelaskan mengenai anamnesis psikiatri 3,8,5
Wawancara psikiatrik yang baik merupakan salah satu modal dasar yang harus dimiliki oleh
psikiater karena wawancara selain merupakan alat untuk mendapatkan data juga harus
bersifat terapetik Selama melakukan wawancara, kita harus mengidentifikasi psikopatologi
yang terdapat pada pasien, menginterpretasikan psikopatologi itu ke dalam suatu gejala atau
sindroma klinik yang esensial untuk dapat menegakkan diagnosis (dalam hal ini diagnosis
multiaksial dengan menggunakan kriteria PPDGJIII) melalui suatu proses yang efisien.
WAWANCARA
Proses wawancara dapat dilakukan pada pasien sendiri (autoanamnesa) maupun dengan
orang lain yang mengantar/keluarganya (heteroanamnesa) atas seijin pasien dan sesuai
indikasi. Dahulukan autoanamnesa secara terpisah sebagai penghargaan terhadap penderita
dan tidak menimbulkan kecurigaan, terutama pada penderita dengan kepribadian agak curiga.
Pendahuluan
Mulailah dengan memperkenalkan diri. Jelaskan secara jujur status dan kapasitas
anda, bangun kepercayaan tunjukkan sikap penuh pengertian dan minat, serta selalu waspada
jangan sampai mengganggu rasa harga diri penderita mengingat cara pemeriksaan dan
keadaan lingkungan waktu pemeriksaan mempengaruhi reaksi penderita.
Anamnesis, bertujuan untuk menggali data subyektif dengan menanyakan alasan
berobat dari keluhan utama pasien, riwayat gangguan sekarang, gangguan dahulu, riwayat
perkembangan diri, latar belakang sosial, keluarga, pendidikan, pekerjaan, dan perkawinan.
Jangan terlalu berharap pada wawancara yang pertama, tapi pupuklah kepercayaan pelanpelan sehingga dengan pertanyaan-pertanyaan yang halus kita dapat membuka rahasia hidup
penderita tanpa menimbulkan rasa cemas yang berlebihan. Penderita yang sangat terganggu
secara akut harus diperiksa secepat mungkin sebab keadaannya mungkin cepat berubah.
Klarifikasi Riwayat
Tiap pasien mempunyai cara menjawab yang berbedabeda. Beberapa pasien menjawab
pertanyaan dengan jelas, yang lainnya menjawab secara sempit, tidak sesuai dengan
pertanyaan, tidak jelas, atau sirkumstansial. Dalam beberapa situasi, pewawancara perlu
membantu pasien untuk dapat memberi jawaban yang lebih jelas. Teknik yang dapat
membantu pasien memperjelas jawabannya adalah specification, generalization, checking
symptom, leading question, probing, interrelation, dan summarizing. Spesifikasi dilakukan
bila pasien yang memberikan jawaban tidak jelas maka pertanyaan bias ubah menjadi lebih
tertutup, generalisasi dilakukan bila pasien hanya memberikan informasi yang spesifik saat
pewawancara memerlukan penjelasan mengenai pola perilaku secara keseluruhan.
Pewawancara dapat mengajukan beberapa daftar gejala (checking symptom) kepada pasien
untuk membentu menilai adanya psikopatologi, hal tersebut dilakukan jika cerita yang
disampaikan pasien tidak jelas. Leading question mengarahkan pasien pada jawaban yang
spesifik. Pasien kadang menyampaikan makna dan pentingnya suatu situasi yang ia alami

tanpa menjelaskan alasannya. Pewawancara harus mencoba untuk menemukan alasan


tersebut dengan teknik yang disebut probing. Pewawancara harus melakukan eksplorasi
mengenai hubungan (interrelation) yang tidak logis yang disampaikan oleh pasien dalam
wawancara. Teknik summaries berguna pada pasien yang memberikan jawaban yang tidak
jelas atau sirkumstansial, asosiasi longgar, flight of ideas, seperti pada pasien bipolar atau
siklotimia. Teknik ini membantu memfokuskan perhatian pasien. Dengan teknik ini
pewawancara juga dapat merefleksikan kembali pada pasien apa yang dipikirkan oleh
pewawancara mengenai kata-kata pasien. Pewawancara perlu berhati-hati dalam
menggunakan teknik ini karena dapat mengarahkan pasien dan pewawancara meletakkan
kata-katanya pada pasien.
2.1.1. Identifikasi
Meliputi pertanyaan tentang identitas dan orientasi. Bermanfaat untuk administrasi dan agar
tidak salah mengenali pasien. Selain itu, komponen-komponen ini ada kaitannya dengan
penyakit tertentu. Misalnya schizophrenia serangan pertamanya biasanya pada usia kurang
dari 45 tahun, depresi lebih banyak terjadi pada wanita. Daerah Blitar secara epidemiologis
banyak penduduknya yang terkena schizophrenia.
Identifikasi pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, suku bangsa/latar belakang,
kebudayaan, status sipil, pendidikan, dan pekerjaannya. Orientasi dinilai dengan menanyakan
posisi pasien sekarang dalam ruang dan waktu.
2.1.2. Keluhan utama
Sebab utama yang menyebabkan seseorang secara aktif/pasif datang/dibawa berobat (tidak
harus ke dokter) menurut pasien dan/atau keluarganya. Misalnya, tertawa sendiri tanpa sebab,
nangis tanpa sebab, gaduh gelisah, bingung, kemudian dikaitkan dengan fungsi mental yang
mana. Lakukan autoanamnesa terlebih dahulu dengan menanyakan alasan pasien
datang/berobat, berapa lama ia mengalami gangguan tersebut, apakah ada pencetus yang
berhubungan dengan awal keluhannya, dan bagaimana pasien memahami gangguannya.
Heteroanamnesa yang ditanyakan meliputi sejak kapan tampak perilaku tidak yang wajar
tersebut, perkiraan mengapa hal tersebut terjadi, dan berapakali kambuhnya.
2.1.3. Riwayat Penyakit Sekarang
Bertitik tolak dari keluhan utama yaitu permulaan gangguan (gejala/tanda pertama) hingga
keadaan sekarang. Susun secara sistematis dan kronologis. Didapatkan dari anamnesa baik
secara heteroanamnesa atas ijin penderita (bila diindikasikan agar secara cepat tahu gambaran
gejala) maupun autoanamnesa (dahulukan) dengan prinsip 5W+How. Tanyakan fungsi jiwa
secermat mungkin antara lain:

nilailah bentuk dan isi pikiran, sedangkan arus pikiran tidak bisa dinilai karena tidak direkam
saat itu.
k dilihat/didengar orang lain
2.1.4. Riwayat Penggunaan Obat-obatan
Tanyakan pola penggunaan obat-obatan terlarang termasuk intake alkohol dan penggunaan
mariyuana, kokain, heroin dan halusinogen.

2.1.5. Riwayat Psikiatri terdahulu


Tanyakan apakah pasien sebelumnya pernah mengalami gangguan yang sejenis, termasuk
apakah sudah pernah menemui dokter dan mendapat pengobatan. Bila sudah, rinci jumlah,
warna obat yang pernah diterima dan hasil pengobatan serta riwayat perawatan di rumah
sakit.
2.1.6. Riwayat Perkembangan dan Sosial
Riwayat pribadi ditanyakan antara lain mengenai perkembangan fisik dan mental, hubungan
antar manusia, hidup, emosi, sifat, minat, kemampuan, prestasi, ketrampilan, pengalaman
penting, kepercayaan, gangguan jiwa yang pernah dialami yang dapat dibagi dalam masamasa : graviditas ibunya, kelahiran bayi, kanak-kanak, pubertas, adolesens, dewasa, tua/senja
usia. Misalnya menanyakan penderita anak ke berapa dari berapa bersaudara (predesposisi
anak ke-1 dan terakhir atau anak tunggal), masa kelahiran, pertumbuhan, dididik, tinggal
dengan siapa, riwayat perkembangan pendidikan, riwayat pekerjaan (suka pindah? kenapa?),
bakat, minat, penggunaan waktu luang dan riwayat pernikahan.
2.1.7. Faktor Premorbid
Untuk mengetahui penyebab dan prognosa penyakit. Mulai dari lahir, balita, sekolah dasar,
hingga sekarang. Berhubungan dengan keturunan, riwayat perkembangan dan stressor
psikososial. Kepribadian premorbid, diperlukan untuk mengetahui prognosa. Tentukan sifatsifat sebelum timbulnya gangguan bila tidak ditemukan gangguan kepribadian sebutkan ciriciri kepribadian. Jika ditemukan sesuaikan dengan kriteria PPDGJ III.
2.1.8. Faktor Keturunan
Riwayat keluarga orang tua, saudara, susunan keluarga, susunan anggota rumah tangga dalam
rumah yang ditempatinya, anggota keluarga yang pernah atau sedang menderita gangguan
jiwa atau penyakit fisik lain. Apakah ada keluarga (ayah, ibu, saudara, suami/istri) yang
menderita gangguan jiwa dan apakah pernah sampai MRS.
2.1.9. Faktor Pencetus
Faktor pencetus/stressor psikososial, peristiwa apa yang mendahului gejala, untuk
mengetahui prognosa dan cara terapi.
2.1.10. Faktor Organik/Riwayat penyakit medis terdahulu
Pernahkah mengalami penyakit fisik misalnya kejang (mulai lahir sampai sekarang), DM,
stroke, Hipertensi.
2.1.11. Riwayat Pengobatan
Tanyakan obat-obatan yang sering ia gunakan baik yang dengan resep atau tanpa resep.
Linda B. Andrews, 2009, The Psychiatric Interview and Mental Status Examination, in
The American Psychiatric Publishing Textbook of Clinical Psychiatry, 5th Edition. Edited by
Robert E. Hales, Stuart C. Yudofsky, Glen O. Gabbard, American Psychiatric Publishing,
Inc, www.psychiatryonline.com, akses 03-11-2009

2. Gangguan jiwa
a. Konsep gangguan jiwa 5,2,7
Istilah yang digunakan dalam PPDGJ adalah gangguan Jiwa atau gangguan
mental (mental disorder), tidak mengenal istilah penyakit Jiwa (mental illness/mental
desease).
Gangguan jiwa merupakan kondisi terganggunya kejiwaan manusia sedemikian
rupa sehingga mengganggu kemampuan individu itu untuk berfungsi secara normal
didalam masyarakat maupun dalam menunaikan kewajibannya sebagai insan dalam
masyarakat itu
Gangguan jiwa adalah perubahan perilaku yang terjadi tanpa alasan yang masuk
akal, berlebihan, berlangsung lama dan menyebabkan kendala terhadap individu tersebut
atau orang lain .
Konsep Gangguan Jiwa
1. Konsep gangguan jiwa tersebut ada 2 versi, yaitu:
Menurut PPDGJ II: Gangguan jiwa adalah sindrom atau perilaku tertentu atau
kondisi psikologis seseorang yang secara klinis cukup bermakna, dan secara khusus
berkaitan dengan distress (gejala penderitaan) dan disability (keterbatasan
kemampuan normal pada aktivitas normal pada tingkat personal).
Kata DSM IV: Gangguan jiwa itu adalah perilaku penting yang signifikan
secara klinis atau sindrom psikologis atau pola acuan tertentu yang terjadi pada
individu yang dihubungkan dengan kondisi distress dan disabilitas atau dihubungkan
dengan peningkatan resiko untuk menderita nyeri, disability, hilangnya kemampuan
bergerak bebas, bahkan kematian.
Butir-butir pada konsep gangguan jiwa:
1. Adanya gejala klinis yang bermakna, berupa:
- Sindrom atau pola prilaku
- Sindrom atau pola psikologik
2. Gejala klinis tersebut menimbulkan penderitaan (distress), antara lain dapat
berupa rasa nyeri, tidak nyaman, tidak tenteram, terganggu dan disfungsi organ tubuh.
3. Gejala klinis tersebut menimbulkan disability yaitu keterbatasan atau
kekurangan kemampuan untuk melaksanakan suatu aktivitas pada tingkat personal,
yaitu melakukan kegiatan hidup sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk
perawatan diri dan kelangsungan hidup seperti mandi, berpakaian, makan, kebersihan
diri, buang air besar dan kecil.
Departemen Kesehatan. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. Pedoman penggolongan dan
diagnosis gangguan jiwa di Indonesia III. Jakarta: Departemen Kesehatan; 1993.

b. Klasifikasi menurut PPDGJ 8,5,10


1) F00-F09: Gangguan Mental Organik (ermasuk Gangguan Mental Simtomatik)
Gangguan Mental Organik adalah gangguan mental yang berkaitan dengan
penyakit/gangguan
sistemik
atau
otak.
Gangguan
mental

simtomatik adalah pengaruh terhadap otak merupakan akibat sekunder


penyakit/gangguuan sistemik di luar otak.
Gambaran utama:
Gangguan fungsi kongnitif
Gangguan sensorium kesadaran, perhatian
Sindrom dengan manifestasi yang menonjol dalam bidang persepsi (halusinasi),
isi pikir (waham), mood dan emosi
F00 Demensia pada penyakit alzeimer
F00.0 demensia pada penyakit alzeimer dengan onset dini
F00.1 demensia pada penyakit alzeimr dengan onset lambat
F00.2 demensia pada penyakit alzeimer, tipe tak khas atau tipe campuran
F00.9 demensia pada penyakit alzeimer YTT
F01 Demensia vaskuler
F01.0 demensia vaskuler onset akut
F01.1 demensia multi infark
F01.2 demensia vaskuler subkortikal
F01.3 demensia vaskuler campuran kortikal dan subkortikal
F01.8 demensi vaskuler lainnya
F01.9 demensia vaskuler YTT
F02 Demensia pada penyakit lain YDK
F02.0 demensia pada penyakit pick
F02.1 demensia pada penyakit creutzfeldt-jakob
F02.2 demensia pada penyakit huntington
F02.3 demensia pada penyakit parkinson
F02.4 demensia pada penyakit HIV
F02.8 demensia pada penyakit lain YDT YDK
F03 Demensia YTT
Karakter kelima dapat digunakan untuk menentukan demensia pada F00-F03 sebagai
berikut:
.x0 tanpa gejala tambahan
.x1 gejala lain terutama waham
.x2 gejala lain terutama halusinasi
.x3 gejala lain terutama depresi
.x4 gejala campuran lain
F04 Sindrom amnestik organik bukan akibat alkohol dan zat psikoaktif lainnya
F05 Delirium bukan akibat alkohol dan zat psikoaktif lainnya
F05.0 delirium tak bertumpangtintid dengan demsia
F05.1 delirium bertumpangtindih dengan demensia
F05.8 delirium lainnya
F05.9 delirium YTT
F06 Gangguan mental lainnya akibat kerusakan dan disfunsi otak dan penyakit fisik
F06.0 halusinosis organik
F06.1 gangguan katatonik organik

F06.2 gangguan waham organik (lir-skizoprenia)


F06.3 gangguan suasana perasaan (mood afektif) organik
.30 gangguan manik oranik
.31 gangguan bipolar organik
.32 gangguan defresif organik
.33 gangguan afektif organik campuran
F06.4 gangguan axietas organik
F06.5 gangguan disosiatif organik
F06.6 gangguan astenik organik
F06.7 gangguan kognitif ringan
F06.8 gangguan mental lain YDK akibat kerusakan dan disfunsi otak dan penyakit
fisik
F06.9 ganggguan mental YTT akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit
fisik
F07 Gangguan kepribadian dan prilaku akibat penyakit, kerusakan dan disfunsi otak
F07.0 gangguan kepribadian organik
F07.1 sindrom pasca-ensefalitis
F07.2 sindrom pasca-contusio
F07.8 gangguan kepribadian dan prilaku organik lain akibat penyakit, kerusakan
dan disfungsi otak
F07.9 gangguan kepribadian dan prilaku organik YTT akibat penyakit, kerusakan
dan disfungsi otak
F09 Gangguan mental organik atau simtomatik YTT
KET: YDT= yang di tentukan
YTT= yang tidak tergolongkan
YDK= yang diklasifikasi di tempat lain
YTK= yang tidak diklasifikasi di tempat lain
2) F10-F19: Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif
F10 Gangguan mental dan prilaku akibat penggunaan alkohol
F11 Gangguan mental dan prilaku akibat penggunaan opioida
F12 Gangguan mental dan prilaku akibat penggunaan kanabionoida
F13 Gangguan mental dan prilaku akibat penggunaan sedativa atau hipnotika
F14 Gangguan mental dan prilaku akibat penggunaan kokain
F15 Gangguan mental dan prilaku akibat penggunaan stimulansia lain termasuk
kafein
F16 Gangguan mental dan prilaku akibat penggunaan halusinogenika
F17 Gangguan mental dan prilaku akibat penggunaan tembakau
F18 Gangguan mental dan prilaku akibat penggunaan pelarut yang mudah
menguap
F19 Gangguan mental dan prilaku akibat penggunaan multiple dan penggunaan zat
psikoaktif lainnya
3) F20-F29: Skizofrenia, Gangguan Skizotipal dan Gangguan Waham
Skizofrenia ditandai dengan penyimpangan fundamental dan karakteristik
dari pikiran dan persepsi, serta oleh efek yang tidak wajar atau tumpul. Kesadaran

jernih dan kemampuan intelektual tetap, walaupun kemunduran kognitif dapat


berkembang kemudian.
F20 Skizoprenia
F20.0 Skizoprenia paranoid
F20.1 Skizoprenia hibefrenik
F20.2 Skizoprenia katatonik
F20.3 Skizoprenia tak terinci
F20.4 depresi pasca-Skizoprenia
F20.5 Skizoprenia residual
F20.6 Skizoprenia simpleks
F20.8 Skizoprenia lainnya
F20.9 Skizoprenia YTT
F21 Gangguan skizopital
F22 Gangguan waham menetap
F22.0 gangguan waham
F22.8 gangguan waham menetap lainnya
F22.9 gangguan waham menetap
F23 Gangguan psikotik akut dan sementara
F23.0 gangguan psikotik polimorfik akut tanpa gejala skizoprenia
F23.1 gangguan psikotik polimorfik akut dengan gejala skizoprenia
F23.2 gangguan psikotik lir-skizoprenia akut
F23.3 gangguan psikotik akut lainnya dengan predominan waham
F23.8 gangguan psikotik akut dan sementara lainnya
F23.9 gangguan psikotik akut dan sementara YTT
F24 Gangguan waham induksi
F25 Gangguan skizoafektif
F25.0 gangguan skizoafektif tipe manik
F25.1 gangguan skizoafektif tipe depresif
F25.2 gangguan skizoafektif tipe campuran
F25.8 gangguan skizoafektif lainnya
F25.9 gangguan skizoafektif YTT
F28 Gangguan psikotik non organik lainnya
F29 Gangguan psikotik non organik YTT
4) F30-F39: Gangguan Suasana Perasaan (Mood [afektif])
Kelainan fundamental perubahan suasana perasaan (mood) atau afek,
biasanya kearah depresi (dengan atau tanpa anxietas), atau kearah elasi (suasana
perasaan yang meningkat). Perubahan afek biasanya disertai perubahan
keseluruhan tingkat aktivitas dan kebanyakan gejala lain adalah sekunder terhadap
perubahan itu.
F30 Efisode manik
F30.0 hipomania
F30.1 mania tanpa gejala psikotik
F30.2 mania dengan gejala psikotik

F30.8 efisode manik lainnya


F30.9 efisode manik YTT
F31 Gangguan afektif bipolar
F31.0 gangguan afektif bipolar, episode kini hipomanik
F31.1 gangguan afektif bipolar, episode kini manik tanpa gejala psikotik
F31.2 gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala psikotik
F31.3 gangguan afektif bipolar, episode kini depresif ringan atau sedang
.30 tanpa gejala somatik
.31 dengan gejala somatik
F31.4 gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat tanpa gejala
psikomatik
F31.5 gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat dengan gejala
psikomatik
F31.6 gangguan afektif bipolar, episode kini campuran
F31.7 gangguan afektif bipolar, episode kini dalam remisi
F31.8 gangguan afektif bipolar lainnya
F31.9 gangguan afektif bipolar YTT
F32 Episode depresif
F32.0 episode depresif ringan
.00 tanpa gejala somatik
.01 dengan gejala somatik
F32.1 episode depresif sedang
.10 tanpa gejala somatik
.11 dengan gejala somatik
F32.2 episode depresif berat tanpa gejala somatik
F32.3 episode depresif berat dengan gejala somatik
F32.8 episode depresif lainnya
F32.9 episode depresif YTT
F33 Gangguan depresif berulang
F33.0 gangguan depresif berulang, episode kini ringan
.00 tanpa gejala somatik
.01 dengan gejala somatik
F33.1 gangguan depresif berulang, episode kini sedang
.10 tanpa gejala somatik
.11 dengan gejala somatik
F33.2 gangguan depresif berulang, episode kini berat tanpa gejala psikotik
F33.3 gangguan depresif berulang, episode kini berat dengan gejala psikotik
F33.4 gangguan depresif berulang, episode kini dalam remisi
F33.8 gangguan depresif berulang lainnya
F33.9 gangguan depresif berulang YTT
F34 Gangguan suasana perasaan (mood [apektif] menetap)
F34.0 siklotimia
F34.1 distimia
F34.8 gangguan suasana perasaan (mood [apektif] menetap) lainya

F34.9 gangguan suasana perasaan (mood [apektif] menetap) YTT


F38 Gangguan suasana perasaan (mood [apektif]) lainnya
F38.0 gangguan suasana perasaan (mood [apektif]) tunggal lainnya
.00 episode afektif campuran
F38.1 gangguan suasana perasaan (mood [apektif]) berulang lainya
.10 gangguan depresi singkat berulang
F38.8 gangguan suasana perasaan (mood [apektif]) lainnya YDT
F39 Gangguan suasana perasaan (mood[afektif]) YTT
5) F40-F48: Gangguan Neurotik, Gangguan Somatoform dan Gangguan Terkait Stres
F40 Gangguan axietas fobik
F40.0 agorafobia
.00 tanpa gangguan panik
.01 dengan gangguan panik
F40.1 fobia sosial
F40.2 fobia khas (terisolasi)
F40.8 gangguan axietas fobik lainnya
F40.9 gangguan axietas fobik YTT
F41 Gangguan axietas lainnya
F41.0 gangguan panik (axietas proksimal episodik)
F41.1 gangguan axietas menyeluruh
F41.2 gangguan campuran axietas dan depresif
F41.3 gangguan axietas campuran lainnya
F41.8 gangguan axietas lainnya YDT
F41.9 gangguan axietas YTT
F42 Gangguan obsesif-kompulsif
F42.0 predominan pikiran obsesif atau pengulangan
F42.1 predominan tindakan kompulsif (obsessional ritual)
F42.2 campuran pikran dan tindaka obsesif
F24.8 gangguan obsesif-kompulsif lainnya
F42.9 gangguan obsesif-kompulsif YTT
F43 Reaksi terhadap stres berat dan gangguan penyesuaian
F43.0 reaksi stres akut
F43.1 gangguan stres pasca truma
F43.2 gangguan penyesuaian
.20 reaksi depresif singkat
.21 reaksi depresif berkepanjangan
.22 reaksi campuran axietas dan depresif
.23 dengan predominan gangguan emosi lainnya
.24 dengan predominan gangguan tingkah laku
.25 dengan gangguan campuran dari emosi dan tingkah laku
.28 dengan gejala predominan lainnya YDT
F43.8 reaksi stres berat lainnya
F43.9 reaksi stres berat YTT
F44 Gangguan disosiatif (konversi)

F44.0 amnesia disodiatif


F44.1 fugue disosiatif
F44.2 stupor disosiatif
F44.3 ganngaun trans dan kesurupan
F44.4 gangguan motorik disosiatif
F44.5 konvulsi disosiatif
F44.6 anestesia dan kehilangan sensorik disosiatif
F44.7 gangguan disosiatif (konversi) campuran
F44.8 gangguan disosiatif (konversi) lainnya
.80 sindrom ganser
.81 gangguan kepribadian multipel
.82 gangguan disosiatif (konversi) sementara terjadi pada masa kanak dan
remaja
.83 gangguan disosiatif (konversi) YDT
F44.9 gangguan disosiatif (konversi) YTT
F45 Gangguan somatoform
F45.0 gangguan somatisasi
F45.1 gangguan somatoform tak terinci
F45.2 gangguan hipokondrik
F45.3 disfungsi otonomik somatoform
.30 jantung dan kardiovaskuler
.31 saluran pencernaan bagian atas
.32 saluran pencernaan bagian bawah
.33 sistem pernafasan
.34 sistem genitourinaria
.38 sistem atau organ lainnya
F45.4 gangguan nyeri somatoform menetap
F45.8 gangguan somatoform lainnya
F45.9 gangguan somatoform YTT
F48 Gangguan neurotik lainnya
F48.0 neurastenia
F48.1 sindrom depresonalisasi-derealisasi
F48.8 gangguan neurotik lainnya YDT
F48.9 gangguan neurotik YTT
6) F50-F59: Sindrom Perilaku yang Berhubungan dengan Gangguan Fisiologis dan
Faktor Fisik.
F50 Gangguan makan
F50.0 anoreksia nervosa
F50.1 anoreksia nervosa tak khas
F50.2 bulimia nervosa
F50.3 bulimia nervosa tak khas
F50.4 makan berlebihan yang berhubungan dengan psikologis lainnya
F50.5 muntah yang berhubungan dengan psikologis lainnya
F50.8 gangguan makan lainnya

F50.9 gangguan makan YTT


F51 Gangguan tidur non organik
F51.0 insomnia non organnik
F51.1 hipersomnia non organik
F51.2 gangguan jadwal tidur jaga non organik
F51.3 somnabulisme (sleep walking)
F51.4 teror tidur (night terrors)
F51.5 mimpi buruk (nightmares)
F51.8 gangguan tidur non organik lainnya
F51.9 gangguan tidur non organik YTT
F52 Disfungsi seksual bukan disebabkan oleh gangguan atau penyakit organik
F52.0 kurang atau hilangnya nafsu seksual
F52.1 penolakan dan kurangnya kenikmatan seksual
.10 penolakan seksual
.11 kurangnya kenikmatan seksual
F52.2 kegagalan dari respon genital
F52.3 disfungsi orgasme
F52.4 ejakulasi dini
F52.5 vaginismus non organik
F52.6 dispareunia non organik
F52.7 dorongan seksual yang berlebihan
F52.8 disfungsi seksual lainnya, bukan disebabkan gangguan atau penyakit
organik
F52.9 disfungsi seksual YTT, bukan disebabkan gangguan atau penyakit
organik
F53 Gangguan mental dan prilaku yang berhubungan dengan masa nifas YTK
F53.0 gangguan mental dan prilaku ringan yang berhubungan dengan masa
nifas YTK
F53.1 gangguan mental dan prilaku berat yang berhubungan dengan masa
nifas YTK
F53.8 gangguan mental dan prilaku lainnya yang berhubungan dengan masa
nifas YTK
F53.9 gangguan jiwa masa nifas YTT
F54 Faktor psikologis dan prilaku yang berhubungan dengan gangguan atau
penyakit YDK
F55 Penyalahgunaan zat yang tidak menyebabkan ketergantungan
F55.0 anti depresan
F55.1 pencahar
F55.2 analgetika
F55.3 antasida
F55.4 vitamin
F55.5 steroida atau hormon
F55.6 jamu
F55.8 zat lainnya yang tidak menyebabkan ketergantungan

F55.9 YTT
F59 Sindrom prilaku YTT yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor
fisik
7) F60-69: Gangguan kepribadian dan prilaku masa dewasa
F60 Gangguan kepribadian khas
F60.0 gangguan kepribadian paranoid
F60.1 gangguan kepribadian skizoid
F60.2 gangguan kepribadian dissosial
F60.3 gangguan kepribadian emosional tak stabil
.30 tipe impulsif
.31 tipe ambang
F60.4 gangguan kepribadian hestrionik
F60.5 gangguan kepribadian anankastik
F60.6 gangguan kepribadian cemas (menghindar)
F60.7 gangguan kepribadian dependen
F60.8 gangguan kepribadian khaslainnya
F60.9 gangguan kepribadian YTT
F61 Gangguan kepribadian campuran dan lainnya
F61.0 gangguan kepribadian campuran
F61.1 gangguan kepribadian yang bermasalah
F62 Perubahan kepribadian yang berlangsung lama yang tidak diakibatkan oleh
kerusakan atau penyakit otak
F62.0 Perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami
katastrofa
F62.1 Perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah menderita
gangguan jiwa
F62.8 Perubahan kepribadian yang berlangsung lama lainnya
F62.9 Perubahan kepribadian yang berlangsung lama YTT
F63 Gangguan kebiasaan dan impuls
F63.0 judi patologis
F63.1 bakar patologis (piromania)
F63.2 curi patologis (kleptomannia)
F63.3 trikotilomania
F63.8 gangguan kebiasaan dan impuls lainnya
F63.9 gangguan kebiasaan dan impuls YTT
F64 Gangguan identitas jenis kelamin
F64.0 transeksualisme
F64.1 transvestisme peran ganda
F64.2 gangguan identitas jenis kelamin masa kanak
F64.8 gangguan identitas jenis kelamin lainnya
F64.9 gangguan identitas jenis kelamin YTT
F65 Gangguan preferensi seksual
F65.0 fetishisme
F65.1 transvestisme fetishistik

F65.2 ekshibisionisme
F65.3 voyeursme
F65.4 pedofilia
F65.5 sadomasokisme
F65.6 gangguan preferensi seksual multipel
F65.8 gangguan preferensi seksual lainnya
F65.9 gangguan preferensi seksual YTT
F66 Gangguan psikologis dan prilaku yang berhubungan dengan perkembangan
orientasi seksual
F66.0 gangguan maturitas seksual
F66.1 orientasi seksual egodistonik
F66.2 gangguan jalinan seksual
F66.8 gangguan perkembangan psikoseksual lainny
F66.9 gangguan perkembangan psikoseksual YTT
F68 Gangguan kepribadian dan prilaku masa dewasa lainnya
F68.0 elaborasi gejala fisik karena alasan psikologis
F68.1 kesengajaan atau berpura-pura membuat gejala atau disabilitas, baik
fisik maupun psikologis
F68.8 Gangguan kepribadian dan prilaku dewasa lainnya YDT
F69 Gangguan kepribadian dan prilaku masa dewasa YTT
8) F70-79: Retardasi mental
F70 Retardasi mental ringan
F71 Retardasi mental sedang
F72 Retardasi mental berat
F73 Retardasi mental sangat berat
F78 Retardasi mental lainnya
F79 Retardasi mental YTT
9) F80-F89: Gangguan perkembangan psikologis
F80 Gangguan perkembangan khas berbicara dan berbahasa
F80.0 gangguan artikulasi berbicara khas
F80.1 gangguan berbahsa ekspresif
F80.2 gangguan berbahsa reseptif
F80.3 afasia didapat dengan epilepsi
F80.8 gangguan perkembangan berbicara dan berbahasa lainnya
F80.9 gangguan perkembangan berbicara dan berbahasa YTT
F81 Gangguan perkembangan belajar khas
F81.0 gangguan membaca khas
F81.1 gangguan mengeja khas
F81.2 gangguan berhitung khas
F81.2 gangguan belajar campuran
F81.8 gangguan perkembangan belajar lainnya
F81.9 gangguan perkembangan belajar YTT
F82 Gangguan perkembangan motorik khas
F83 Gangguan perkembangan khas campuran

F84 Gangguan perkembangan pervasif


F84.0 autisme pada kanak
F84.1 autisme tak khas
F84.2 sindrom rett
F84.3 gangguan desintegratif masa kanak lainnya
F84.4 gangguan aktivitas berlebihan yang berhubungan dengan retardasi
mental dan gerakan stereotipik
F84.5 sindrom asperger
F84.8 gangguan perkembangan pervasif lainnya
F84.9 gangguan perkembangan pervasif YTT
F88 Gangguan perkembangan psikologis lainnya
F89 Gangguan perkembangan psikologis YTT
10) F90-F98: Gangguan prilaku dan emosional dengan onset biasanya pada masa
kanak dan remaja
F90 Gangguan hiperkinetik
F90.0 gangguan aktivitas dan perhatian
F90.1 gangguan tingkah laku hiperkinetik
F90.8 gangguan hiperkinetik lainnya
F90.9 gangguan hiperkinetik YTT
F91 Gangguan tingkah laku
F91.0 gangguan tingkah laku yang terbatas pada lingkungan keluarga
F91.1 gangguan tingkah laku tak berkelompok
F91.2 gangguan tingkah laku berkelompok
F91.3 gangguan sikap menentang (membangkang)
F91.8 gangguan tingkah laku lainnya
F91.9 gangguan tingkah laku YTT
F92 Gangguan campuran tingkah laku dan emosi
F92.0 gangguan tingkah laku defresif
F92.8 gangguan campuran tingkah laku dan emosi lainnya
F92.9 gangguan campuran tingkah laku dan emosi YTT
F93 Gangguan emosional dengan onset khas pada masa kanak
F93.0 gangguan anxietas perpisahan masa kanak
F93.1 gangguan anxietas fobik masa kanak
F93.2 gangguan anxietas sosial masa kanak
F93.3 gangguan persaingan antar saudara
F93.8 gangguan emosional masa kanak lainnya
F93.9 gangguan emosional masa kanak YTT
F94 Gangguan funsi sosial dengan onset khas pada masa kanak dan remaja
F94.0 mutisme elektif
F94.1 gangguan kelekatan reaktif masa kanak
F94.2 gangguan kelekatan tak terkendali masa kanak
F94.8 gangguan funsi sosial masa kanak lainnya
F94.9 gangguan funsi sosial masa kanak YTT
F95 Gangguan TIC

F95.0 gangguan tic sementara


F95.1 gangguan tic motorik atau vokal kronik
F95.2 gangguan kombinasi tic vokal dan motorik multipel
F95.8 gangguan tic lainnya
F95.9 gangguan tic YTT
F98 Gangguan prilaku dan emosional lainnya dengan onset biasanya pada masa
kanak dan remaja
F98.0 enuresis non organik
F98.1 enkopresis non organik
F98.2 gangguan makan masa bayi dan kanak
F98.3 pika masa bayi dan kanak
F98.4 gangguan gerakan stereotipik
F98.5 gagap (stuttering/stammering)
F98.6 berbicara cepet dan tersendat (cluttering)
F98.8 gangguan prilaku dan emosional lainnya YDT dengan onset biasanya
pada masa kanak dan remaja
F98.9 gangguan prilaku dan emosional lainnya YTT dengan onset biasanya
pada masa kanak dan remaja
F99 Gangguan mental YTT
F99 gangguan mental YTT

3. Jelaskan mengenai conversion disorder


a. Prognosis 3,10,5

Gangguan Konversi
Gangguan konversi mencakup gejala-gejala yang menandakan adanya gangguan
ataupun defisit pada fungsi sensorik dan fungsi motorik voluntary yang dinilai telah
diakibatkan oleh faktor-faktor psikologis karena telah didahului dengan konflik ataupun
stressor-stresor kehidupan lainnya. Kumpulan gejala ini dikenal dengan sebutan hysteria,
reaksi konversi atau reaksi disosiatif.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rasio perempuan dibandingkan dengan lakilaki dapat bervariasi dari 2:1 hingga 10:1 pada gangguan konversi. Gangguan ini banyak
terjadi pada populasi pedesaan, individu dengan pendidikan rendah, kelompok sosioekonomi
rendah, dan anggota militer yang pernah terpapar dengan situasi peperangan. Gangguan ini
juga sering disertai dengan gangguan depresi, cemas, skizofrenia, dan frekuensi gangguannya
meningkat pada seseorang dengan anggota keluarga yang memiliki gangguan konversi juga4.
2.5.2.1. Etiologi
Faktor
Psikoanalitik
Menurut teori ini, gangguan konversi disebabkan oleh represi konflik-konflik
intrapsikik yang tidak disadari dan konversi dari kecemasan ke dalam gejala fisik.

Gejala-gejala pada gangguan konversi memiliki hubungan simbolik dengan konflik


yang tidak disadari oleh pasien. Berbagai gejala ini juga memberikan peluang bagi
pasien untuk menunjukkan bahwa mereka membutuhkan perhatian dan penanganan
yang khusus.
Dengan begitu, gejala-gejala tersebut telah berfungsi sebagai
pemberitahuan secara nonverbal bahwa pasien memiliki control dan manipulasi
terhadap orang lain.
Teori
Pembelajaran
Di dalam teori ini, gejala-gejala pada gangguan konversi diyakini berasal dari perilaku
yang dipelajari sejak kecil. Sebagai contoh, gejala fisik dari penyakit yang dialami
pasien sewaktu kecil dapat digunakan sebagai coping mechanism dalam situasi-situasi
sulit yang dihadapinya ketika sudah dewasa.
Faktor
Biologis
Pemeriksaan pencitraan otak menunjukkan adanya hipometabolisme pada daerah
hemisfer otak yang dominan dan hipermetabolisme pada daerah hemisfer yang nondominan. Hal ini dapat mengganggu komunikasi antara kedua hemisfer otak dan
berujung pada gejala konversi.
Rangsangan kortikal yang berlebih dapat
mengakibatkan timbulnya umpan balik negatif antara korteks dan formasi retikuler
batang otak sehingga menimbulkan gejala konversi. Sebaliknya, output kortikofugal
yang meningkat justru akan menghambat kesadaran pasien akan sensasi-sensasi yang
terjadi di tubuhnya. Tes neuropsikologis terkadang menunjukkan gangguan serebral
ringan pada daya ingat, kewaspadaan, afek, dan atensi di pasien dengan gangguan
konversi.

2.5.2.2. Gambaran Klinis


Pada gangguan konversi, gejala yang paling sering terlihat adalah paralisis, buta, dan
mutisme. Gejala-gejala ini juga tidak jarang disertai dengan gejala depresi dan cemas,
dengan resiko tinggi pasien mengalami bunuh diri. Gangguan konversi umumnya berkaitan
dengan gangguan kepribadian pasif-agressif, dependen, antisocial, dan histrionik.
a. Gejala
Sensorik
Contoh dari gejala ini adalah anastesi dan parestesi terutama bagian ekstrimitas.
Gejala-gejala ini tidak sesuai dengan penyakit saraf pusat maupun tepi. Gejala yang
melibatkan organ sensorik khusus dapat menimbulkan ketulian, kebutaan, dan tunnel
vision walaupun evaluasi neurologis menunjukkan jaras sensorik yang intact ataupun
pupil yang bereaksi terhadap cahaya.
b. Gejala
Motorik
Gejala ini terdiri dari gerakan abnormal, gangguan gaya berjalan (cth: astasia abasia),
kelemahan dan paralisis. Dapat juga ditemukan tremor ritmik kasar, gerak koreoform,
tik, dan menghentak-hentak yang memburuk bila pasien mendapat perhatian.
c. Gejala
Bangkitan
Pseudo-seizures merupakan gejala yang dapat terlihat pada gangguan konversi.
Namun, hanya sekitar 1/3 pasien dengan gejala tersebut yang disertai dengan
gangguan epilepsy.
d. Gambaran klinis lainnya:

Keuntungan primer : pasien memperoleh keuntungan primer dengan


mempertahankan konflik internal di luar kesadarannya.
Keuntungan sekunder: keuntungan nyata yang diperoleh pasien dengan
menjadi sakit misalna dibebaskan dari kewajiban kehidupan yang sulit,
bimbingan yang tak akan didapatkannya dalam situasi normal, dsb.
La belle indifference: merupakan sikap angkuh yang tak sesuai terhadap gejala
serius yang dialaminya. Pasien tampak tak peduli dengan hendaya berat yang
dialaminya. Walaupun begitu, ada tidaknya la belle indifference bukan dasar
penilaian yang akurat untuk menegakkan gangguan konversi.
Identifikasi: pasien secara tidak sadar meniru gejalanya dari seseorang yang
bermakna bagi dirinya seperti orangtua atau seseorang yang menjadi model
bagi pasien7.

2.5.2.3. Pedoman Diagnosis


Pedoman diagnosis gangguan konversi menurut DSM IV-TR adalah sebagai berikut:
A. Satu atau lebih gejala atau defisit yang mengenai fungsi motorik volunter atau
sensorik yang mengarahkan pada kondisi neurologis atau kondisi medis lain.
B. Faktor psikologis dipertimbangkan berhubungan dengan gejala atau defisit karena
awal atau eksaserbasi gejala atau defisit adalah didahului oleh konflik atau stresor
lain.
C. Gejala atau defisit tidak ditimbulkkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada
gangguan buatan atau berpura-pura).
D. Gejala atau defisit tidak dapat, setelah penelitian yang diperlukan, dijelaskan
sepenuhnya oleh kondisi medis umum, atau oleh efek langsung suatu zat, atau sebagai
perilaku atau pengalaman yang diterima secara kultural.
E. Gejala atau defisit menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain atau memerlukan
pemeriksaan medis.
F. Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual, tidak terjadi
semata-mata selama perjalanan gangguan somatisasi, dan tidak dapat diterangkan
dengan lebih baik oleh gangguan mental lain.
tipe spesifik dari gejala atau defisit:

Dengan gejala atau defisit motorik

Dengan gejala atau defisit sensorik

Dengan kejang atau konvulsi

Dengan gambaran campuran4

2.5.2.4. Perjalanan Penyakit dan Prognosis


Lebih dari 90% gejala awal pada pasien dengan gangguan konversi membaik dalam
waktu beberapa hari hingga hampir satu bulan. Sebanyak 75% pasien tidak pernah
mengalami gangguan ini lagi, namun 25% mengalami episode tambahan pada saat
mengalami tekanan. Semakin lama gejala gangguan konversi ini berjalan, maka semakin
buruk juga prognosisnya. Sebanyak 25-50% pasien akan mempunyai gangguan neurologis
ataupun kondisi non-psikiatrik lain yang akan mempengaruhi sistem persarafan di kemudian
harinya. Oleh karena itu, pasien dengan gangguan tersebut harus segera dievaluasi secara
neurologis pada saat diagnosis ditegakkan.
2.5.2.5. Terapi
Resolusi gejala gangguan konversi biasanya berlangsung spontan. Pasien dengan
gangguan ini dapat diberikan psikoterapi suportif berorientasi tilikan atau terapi perilaku.
Terapi hypnosis, anticemas, dan relaksasi sangat efektif dalam beberapa kasus. Pemberian
amobarbital atau lorazepam parenteral dapat membantu memperoleh riwayat penyakit,
terutama ketika pasien baru saja mengalami peristiwa yang traumatis.
Pendekatan psikoanalisis dan psikoterapi berorientasi tilikan dapat menuntun pasien
menahami konflik intrapsikik dan symbol dari gejala-gejala yang dimilikinya. Semakin lama
pasien menghayati peran sakit, maka pasien semakin regresi, sehingga pengobatan akan
semakin sulit
Kaplan, B.J., Sadock, V.A. 2007, Kaplan & Sadocks Synopsis of Psychiatry Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry. 10th Edition.
4. Jelaskan mengenai malingering! 5,2,7
Berdasarkan American Psychiatric Association (2000), malingering didefinisikan
sebagai pembuatan gejala-gejala yang palsu atau gejala-gejala fisik dan psikis yang
dilebih-lebihkan dalam rangka untuk mencapai beberapa insentif eksternal. Insentif
eksternal tersebut dapat berupa menghindar dari tugas wajib militer, menghindari
pekerjaan, mendapatkan kompensasi finansial, menghindari tuntutan hukum ( kasus
kriminal ), atau ingin mendapatkan obat-obatan.1,2,3
Malingering atau berpura-pura sakit adalah suatu perilaku yang disengaja untuk
tujuan eksternal. Hal ini tidak dianggap sebagai bentuk penyakit mental atau
psikopatologi, meskipun penyakit mental dapat disertai dengan malingering.
Malingering dapat dinyatakan dalam beberapa bentuk yaitu, pure malingering di mana
individu memalsukan semua gejala, dan partial malingering di mana individu
memiliki gejala yang nyata tetapi melebih-lebihkan gejala yang nyata tersebut.
Bentuk lain dari malingering adalah simulasi. Di mana individu tersebut meniru gejala
cacat tertentu, dalam hal ini individu paling sering meniru gejala-gejala penderita
penyalahgunaan obat. Selain itu ada bentuk lain lagi dari berpura-pura sakit yaitu
tuduhan palsu, di mana individu memiliki gejala yang nyata tetapi tidak jujur
mengenani penyebab gejala tersebut, misalnya individu mengalami suatu gejala yang

dikatakannya akibat kecelakaan mobil padahal sebenarnya individu tersebut jatuh dari
tangga. Malingering tidak dianggap sebagai penyakit mental. Dalam Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR).
Malingering diberi kode V sebagai salah satu kondisi yang bisa menjadi fokus
perhatian klinis.2
I. ETIOLOGI
Faktor-faktor etiologi yang dapat menjadi sebab dari terjadinya malingering
sangatlah luas dan banyak berkaitan dengan motivasi dalam sifat manusia. Masalah
perkembangan dan perbaikan kognitif, introspeksi, wawasan, mekanisme pertahanan
ego, adaptasi, keterbukaan diri, kejujuran, dan kapasitas untuk berbohong semuanya
memainkan peranan dalam terjadinya malingering pada seseorang. Malingering sering
muncul pada penderita dengan gangguan kepribadian antisosial dan apabila ditelusuri
tidak ditemukan adanya hubungan kausal dengan faktor biologis. Hal-hal yang dapat
memicu perilaku malingering antara lain adalah adanya permasalahan kriminal serta
tuntutan hukum yang berat, kewajiban terhadap negara dalam melaksanakan tugas
wajib militer, pekerjaan yang menyita waktu dan membutuhkan suatu kompensasi,
keinginan atau kecanduan terhadap obat-obatan. Hal-hal tesebut di atas terjadi pada
seseorang bergantung pada keadaan dan lingkungannya, sebagai contoh seseorang
yang menghadapi masalah hukum mungkin mencoba untuk menghindari untuk masuk
penjara di mana orang ini ketika telah masuk penjara mungkin akan berpura-pura
sakit dengan maksud untuk mendapatkan kondisi hidup yang lebih baik.2,3,6
II. DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis malingering, sampai sekarang tidak ada studi telah
memberikan hasil yang konsisten dan dokter sebagian besar harus menggunakan
pertanyaan terbuka. Pertanyaan harus diungkapkan tanpa memberikan petunjuk, dan
semakin lama wawancara yang dilakukan maka semakin sulit bagi penderita untuk
berpura-pura. Ada beberapa point penting yang harus diperhatikan pada penderita
untuk menegakkan diagnosis malingering antara lain :
- Cerita yang terlalu berlebihan.
- Penampakan lemas.
- Adanya keganjilan antara apa yang dikeluhkan oleh pasien dengan temuan
objektif.
- Jawaban yang tidak jelas ketika diajukan pertanyaan yang seharusnya jawabannya
jelas, hal ini dapat ditemukan bila penderita tidak yakin mana jawaban yang
menunjukkan suatu psikopatologi.
- Mudah menerima sugesti dan induksi dengan maksud untuk menambah keyakinan
orang lain bahwa dirinya sakit.
- Kurangnya pengetahuan tentang apakah peristiwa aneh seperti tidur atau
kebisingan dapat mempengaruhi gejala, misalnya suara-suara yang didengarkan
bahkan pada saat tidur.
- Lebih cenderung untuk mengalami halusinasi yang berupa perintah, yang dalam
pengaturan forensik mungkin meringankan hukuman atau di ruang gawat darurat
dapat memfasilitasi rawat inap.

Permusuhan terhadap dokter dan perilaku tidak kooperatif terutama bila dokter
telah menampakkan keraguan pada keluhan penderita.6

Kriteria dari DSM-IV-TR menambahkan beberapa faktor tambahan yang dapat


digunakan untuk seseorang yang diduga kuat berpura-pura sakit ( malingering ) yaitu
antara lain: (1) Penderita datang dengan adanya surat penyerta dari pihak kepolisian
atau penderita datang sementara proses hukum terhadap dirinya masih sementara
berjalan, (2) Ada ketidaksesuaian antara keluhan yang secara subjektif dipaparkan
oleh penderita dengan temuan objektif yang dilihat oleh pemeriksa, (3) Penderita
sering menampakkan kesan sebagai penderita yang tidak kooperatif selama
pemeriksaan dan tidak mengeluh ketika telah diberikan resep pengobatan, (4)
Penderita dengan gangguan personal antisosial.3
III.

KLINIS
Motivasi untuk berpura-pura (malingering) dapat dikategorikan dalam 3
kelompok: (1) Untuk menghindarkan diri dari tanggung jawab, bahaya atau hukuman,
(2) Untuk mendapatkan kompensasi, misalnya bebas dari pembiayaan, (3) Untuk
membalas suatu kehilangan.3
Karakterisitik khas malingering :
- Jawaban psikotik akan berkurang bila individu sudah kelelahan. Inilah salah satu
alasan untuk membuat jadwal wawancara yang lebih panjang pada pasien yang
dicurigai malingering.
- Pemunculan gejala positif daripada negatif. Delusi dan halusinasi dapat dibuat,
tetapi perilaku katatonik atau afek yang inappropriate jarang dapat disimulasikan.
- Lebih memperhatikan delusi.
- Penyimpangan lebih terjadi pada isi pikir daripada bentuk pemikiran. Bicara tidak
teratur, asosiasi longgar, dan flight of idea yang menjadi gangguan arus pikir
hampir mustahil palsu dalam wawancara panjang.
- Adanya waktu jeda di mana penderita berpikir sebelum menjawab.
- Respon positif terhadap gejala yang disarankan. Seseorang yang malingering lebih
mungkin untuk diberi sugesti ketika mereka percaya bahwa sugesti tersebut akan
mendukung penampilan psikopatologi.
- Sekumpulan gejala tidak konsisten dengan penyakit mental. Seorang yang
malingering cenderung mengeluhkan banyak gejala tanpa pandang bulu. Mereka
percaya bahwa gejala yang lebih banyak akan ditafsirkan sebagai adanya
gangguan yang lebih parah.2,3,6
Gejala malingering seringkali amat samar, subjektif, lokalisasinya tidak nyata dan
tidak dapat diukur secara objektif. Gejala fisik yang khas termasuk nyeri di kepala, di
leher, di dada, atau di punggung, pusing, amnesia, hilangnya daya penglihatan, daya
perabaan, pingsan, kejang, dan halusinasi serta gejala psikotik lainnya. Pasien sering
marah ketika dokter bertanya tentang gejalanya. Orang yang berpura-pura dapat pula
mencederai diri sendiri, atau berpura-pura cedera atau kecelakaan disengaja agar

mendapat kompensasi, pasien mungkin berupaya dengan segala cara untuk


memalsukan data atau catatan medik untuk mendukung keluhan palsunya itu.2,3
DIFFERENTIAL
GANGGUAN
GANGGUAN
MALINGERING
DIAGNOSIS
BUATAN
KONVERSI
Tujuan
Tidak ada niat Bisa ada niat atau Manfaat sekunder
atau
manfaat manfaat
sekunder
Prevalensi
Sering
pada Sering pada umur Sering pada lakiperempuan umur 20-40
tahun, laki utamanya yang
20-40
tahun. sosioekonomi
memiliki masalah
Sering
pada rendah.
hukum, pekerjaan,
orang
yang
dan ketergantungan
bekerja
di
obat.
lapangan
kesehatan.
Gejala klinis
Gejala
tidak Lebih
sering Gejala bervariasi,
konsisten,
gejala neurologis. biasanya
dengan
memiliki
gejala
psikotik
berbagai
jenis
yang dipalsukan.
penyakit
yang
susah dipercaya
kebenarannya.
Kesadaran
akan Produksi gejala Produksi gejala Produksi
gejala
gejala
disadari
tanpa disadari
disadari
1. Maramis, A. A., Maramis, W. F. Catatan ilmu kedokteran jiwa, Edisi ke-2.
Surabaya: Airlangga University Press; 2009, 314-5.
2. Bienenfeld D. Malingering. Psychosomatic, Psychiatry. Wright State Unversity.
Diunduh dari : http://emedicine.medspace.com/article/293206-overview [Diakses
19 November 2014]
3. Duffy S. Malingering psychological symptoms an empirical review. Illinois State
University; 2011, 1-35
4. Satiadarma P.M. Pura-pura sakit untuk mencari simpati ( sinfroam munchausen ).
Edisi 1. Jakarta. Pustaka Populer Obor; 2002, 12-15.
5. Kouka N. Psychiarty for medical students and residents. New Jersey, USA; 2009,
41.
6. Adetunji B, Basil B, Mathews M. Detection and management of malingering in a
clinical setting. Primary Psychiatry. 2006; 13(1): 68-73.

5. Bagaimana pemeriksaan malingering pada kasus ini?1,5


Okular malingering adalah berpura-pura sakit berkaitan dengan mata atau penglihatan
seseorang. Pasien sering berpura-pura buta. Malingering adalah, sengaja menipu dan
berpura-pura atau melebih-lebihkan gejala penyakit atau cedera untuk manfaat yang

diinginkan. Manfaat yang dirasakan mungkin termasuk menghindari pekerjaan, memperoleh


obat, mendapatkan hukuman pidana ringan, menghindari sekolah, atau hanya menarik
perhatian atau simpati.Malingering dikaitkan dengan beban sosial ekonomi yang
berhubungan dengan efek sebagai berikut: 1
Hilangnya produktivitas dalam industri sebagai akibat dari ketidakhadiran
Penurunan dari manfaat asuransi, jaminan sosial swasta dan pemerintah, dan
penyandang cacat dan kompensasi pekerja

Berkurangnya sistem medis dari sumber daya


Untuk mendiagnosa pasien dengan malingering, seseorang harus memiliki kecurigaan
ke arah itu. Kecurigaan ini lebih kuat dalam kasus kasus medicolegal, ditandai perbedaan
dalam sejarah seseorang dan temuan okular, dan ketika pasien tidak kooperatif.
Pasien okular malingering biasanya orang dewasa muda ( remaja, terutama laki-laki
muda) yang memiliki tekanan mental di rumah atau di tempat kerja dan riwayat cedera mata
sepele.
PEMERIKSAAN MALINGERING 1
Sikap pasien
Orang buta berjalan dengan hati-hati untuk menghindari rintangan. Orang yang
berpura-pura dengan sengaja menabrak hambatan untuk membuktikan dia buta dan akan
menghindari kontak mata atau memakai kacamata hitam bahkan ketika ia tidak memiliki
keluhan fotofobia.
Refleks Pupil
Adanya refleks langsung dan tidak langsung menunjukkan bahwa tidak ada kelainan
pada jalur penglihatan.
Refleks pupil tidak akurat pada :
o Kebutaan kortikal dan subkortikal
o Pada pasien hysteria, midriasis dan miosis berlebihan, serta spasme otot
o Penggunaan tetes mata midriatic
Menace reflex
Pergerakan tiba-tiba tangan pemeriksa kearah pasien menimbulkan respon mengedip
Menace reflex dapat berkurang pada pasien malingering yang sudah terlatih.
Schmidt-Rimpler test
Pasien diminta melihat tangannya yang diletakkan di depan matanya
Pasien yang dicurigai berpura-pura buta tidak akan melihat kearah tangannya
Pada pasien dengan agnosia, kebutaan tidak dapat dibuktikan dengan pemeriksaan ini.
Tes telunjuk
Pasien diminta menyentuhkan kedua telunjuknya
secara horizontal dengan kedua mata tetap terbuka.
Pasien dengan riwayat berpura-pura memiliki hasil
test yang negatif.

Pasien degan kebutaan dapat melakukan test ini kecuali jika disertai agnosia

Tes Tanda Tangan


Pasien dengan kebutaan dapat menandatangani namanya tanpa kesulitan, sedangkan
Pasien yang berpura-pura buta akan membuat tanda tangan yang sangat aneh.
Tes ini positif palsu pada orang agnosia dengan kebutaan
Optokinetic nystagmus test
Ketika drum optokinetic ini digulirkan di
depan mata pasien, secara otomatis
menyebabkan nystagmus.
Tes ini membuka kedok baik histeria dan
malingering.
Uji Cermin
Dengan kedua mata terbuka, pasien
diinstruksikan untuk melihat lurus ke depan ke
cermin, dan cermin itu kemudian diputar dan berbalik dari sisi ke sisi.
Perkembangan nystagmus atau gerakan nystagm oid dari mata menunjukkan bahwa
pasien dapat melihat gambar bergerak di cermin dan dengan demikian tidak buta.
Tes nystagmus dengan rotasi kepala :
Kepala secara pasif diputar sekitar 30 derajat ke kedua sisi, adanya nystagmus
menunjukkan kebutaan.

Jika nistagmus tidak ada, itu berarti ada mekanisme fiksasi.


Electroencephalogram
Catatan ritme basal occipital : jika dengan stimulasi cahaya terdapat perubahan ritme,
menandakan adanya proses melihat. 2
Electroencephalogram ( EEG) adalah suatu test untuk mendeteksi kelainan aktivitas
elektrik otak. Jadi Aktivitas otak berupa gelombang listrik, yang dapat direkam melalui
kulit kepala disebut Elektro-Ensefalografi (EEG). Amplitudo dan frekuensi EEG
bervariasi, tergantung pada tempat perekaman dan aktivitas otak saat perekaman.
Saat subyek santai, mata tertutup, gambaran EEG nya menunjukkan aktivita sedang
dengan gelombang sinkron 8-14 siklus/detik, disebut gelombang alfa. Gelombang alfa
dapat direkam dengan baik pada area visual di daerah oksipital. Gelombang alfa yang
sinkron dan teratur akan hilang, kalau subyek membuka matanya yang tertutup.
Gelombang yang terjadi adalah gelombang beta (> 14 siklus/detik). Gelombang beta
direkam dengan baik di regio frontal, merupakan tanda bahwa orang terjaga, waspada dan
terjadi aktivitas mental. Meski gelombang EEG berasal dari kortek, modulasinya
dipengaruhi oleh formasio retikularis di subkorteks. 2

Electroretinogram 2
Electroretinogram adalah tes obyektif fungsi
retina secara
keseluruhan, respon yang
dimunculkan visual yang dapat dipengaruhi
oleh berbagai faktor selain penyakit organik
dari jalur visual pusat. Beberapa faktor ini
berhubungan dengan cara dilakukannya tes ini
dan termasuk ukuran dan warna dari
rangsangan dan frekuensi yang akan disajikan,
pencahayaan latar belakang, dan keadaan
adaptasi gelap. Faktor-faktor lain yang berhubungan dengan pasien, termasuk usia,
konsentrasi, ukuran pupil, dan kelelahan. 2
Elektroretinogram menghasilkan suatu rekaman potensial aksi yang diproduksi retina
ketika distimuli oleh cahaya dengan intensitas adekuat. 2
Elektroretinogram biasa disingkat dengan ERG adalah tes mata yang mengevaluasi
fungsi retina. Selama uji ERG, sel-sel retina (batang dan kerucut) melepaskan sejumlah
kecil listrik ketika ada kilatan cahaya. Jika kita tahu persis seberapa banyak cahaya
memasuki mata dan berapa banyak listrik keluar, kita bisa mengetahui bagaimana batang
dan kerucut bekerja. Untuk mengambil listrik dari retina, lensa kontak khusus ditempatkan
pada permukaan mata.2
Pada uji ERG, pasien akan memakai tambalan mata dan duduk dalam ruangan gelap
selama 30 menit. Kemudian peneliti akan menempel elektroda ke dahi pasien dan tidak
menimbulkan rasa sakit, begitu juga semua penggunaan elektroda dalam tes ini. setelah itu
tambalan pada mata dilepaskan. Permukaan mata pasien akan mati rasa dengan tetes mata,
dan lensa kontak yang akan ditempatkan pada mata pasien. Pasien tidak dapat melihat,
kemudian disorotkan cahaya, dan mata akan berkedip. Yang berkedip adalah lensa kontak
pada mata ketika disorot cahaya. 2

1. Gandhi, Rashmin. Malingering in Ophtalmology. medscape reference. 2012


2. Ilyas, Sidarta. DSM. Ilmu Penyakit Mata, Balai Penerbit FKUI, Jakarta: 2001.124
126.

Anda mungkin juga menyukai