Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN HASIL DISKUSI

MODUL KARDIOVASKULAR
PEMICU 3

KELOMPOK DISKUSI 1

1. Aditya Islami

I11112009

2. Karolus Sangarta K.

I11112026

3. Fawaid Akbar

I11112029

4. Irene Olivia S.

I11112030

5. Sekar Fatmadyani T.

I11112035

6. Syf. Rizka Maulida

I11112059

7.

Lodi Salim

I11112060

8. Novia Rosita M.

I11112074

9. Ridhallah

I11112079

10. Elok Nur Farida A.

I11111041

11. M. Erwan Syuryaja

I11111073

12. Gandra Wahyudi

I11110064

13. Risnawati Wahab

I11108080

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2014

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pemicu
Seorang pria berusia 55 tahun datang ke IGD RS UNTAN dibawa oleh
keluarganya dengan keluhan sesak nafas. Sesak nafas dirasakan terutama pada
malam hari sehingga pasien sering terbangun. Pasien mengaku nyaman jika
tidur dengan posisi agak tinggi dengan 2-3 bantal sebagai penahan. Sesak juga
dirasakan saat berganti posisi dari tidur ke duduk atau duduk ke posisi berdiri
sehingga sangat mengganggu aktivitas fisik sehari-hari pasien. Pasien
mengeluh mudah lelah, berdebar, dan batuk pada malam hari.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sesak. Kesadaran compos
mentis. Tekanan darah 165/90 mmHg, denyut nadi 135x/menit, pernafasan
22x/menit, suhu 36,6oC. Tekanan vena jugularis 5+4 CmH2O. Pada auskultasi
jantung didapatkan s1-s2 irreguler, s3 (+). Pemeriksaan paru : ronki basah
halus di basal paru kanan dan kiri, pemeriksaan abdomen : hepar teraba
membesar dengan konsistensi keras, lien dan ren tidak teraba. Pemeriksaan
ekstermitas : edema pada kedua tungkai.

1.2 Klarifikasi Dan Definisi Masalah


1.3 Kata Kunci
a. Pria 55 tahun
b. Sesak nafas
c. Edema kedua tungkai
d. Batuk pada malam hari
e. S3 (+)

1.4 Rumusan Masalah


Pria 55 tahun mengeluh sesak nafas, mudah lelah, berdebar, dan batuk pada
malam hari.

1.5 Analisis Masalah


Pria, 55 tahun

Anamnesis:

Pemeriksaan fisik :

Sesak Nafas

- Kesadaran compos mentis

Berdebar

- TD : 165/90 mmHg

Mudah Lelah

- Denyut nadi : 135x/menit

Batuk pada malam hari

Pernafasan : 22x/menit

- Pasien terbanngun karena sesak

- Suhu : 36,6oC
- JVP : 5+4 CmH2O
- s1-s2 irreguler, s3 (+)
- ronki basah halus
- hepar membesar

Diagnosis Kerja
(Gagal jantung kongestif)

Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis

Tatalaksana

1.6 Hipotesis
Pria 55 tahun mengalami gagal jantung kongestif

1.7 Pertanyaan Diskusi


1. Gagal jantung
-

Definisi

Etiologi

Patofisiologi

Diagnosis

Manifestasi klinis

Pemeriksaan penunjang

Klasifikasi

Tatalaksana

Faktor risiko

2. Apa yang menyebabkan edema pada kedua tungkai?


3. Mengapa sesak nafas dan batuk terjadi pada kasus?
4. Mengapa terjadi hepatomegali pada kasus
5. Bagaimana cara pemeriksaan auskultasi jantung dan interpretasinya?
6. Bagaimana pengaruh hipertensi terhadap kasus?
7. Mengapa dapat terjadi bunyi gallop pada pasien?
8. Kriteria framingham pda gagal jantung
9. Apa hubungan edema paru pada penyakit kv
10. Jelaskan mengenai dyspnea
11. Bagaimana tatalaksana kegawatdaruratan pada jantung?

BAB II
PEMBAHASAN

Gagal jantung
2.1 Definisi
Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi
mampu memompakan darah ke jaringan untuk memenuhi metabolism tubuh
walaupun darah balik masih normal. Keadaan ini dapat timbul dengan atau
tanpa penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan
fungsi diastolik atau sistolik, gangguan irama jantung, atau ketidak sesuaian
preload dan afterload. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian pada pasien.1
Gagal

jantung dapat dibagi menjadi gagal

jantung kiri dan gagal

jantung kanan. Gagal jantung juga dapat dibagi menjadi gagal jantung
akut, gagal jantung dekompensasi, serta gagal jantung kronis.1

2.2 Klasifikasi Gagal Jantung


Beberapa sistem klasifikasi telah dibuat untuk mempermudah dalam
pengenalan dan penanganan gagal jantung. Sistem klasifikasi tersebut antara
lain pembagian berdasarkan Killip yang digunakan pada Infark Miokard
Akut, klasifikasi berdasarkan

tampilan klinis

yaitu klasifikasi Forrester,

Stevenson dan NYHA.2


A. Klasifikasi fungsional NYHA ( New York Heart Assoaciation )
Klasifikasi fungsional gagal jantung berdasakan kelugah sesak nafas
menurut New York Heart Association dapat dilihat pada Tabel 1 berikut :

Kelas Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktivitas fisik. Aktifitas


fisik sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi, atau

sesak
Kelas Terdapat batas aktivitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat
istirahat, namun aktivitas fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan,

II

palpitasi, atau sesak nafas


Kelas Terdapat batasan aktivitas bermakna. Tidak terdapat keluhan saat
istirahat tetapi aktifitas fisik ringan menyebabkan kelelahan,

III

paplpitasi atau sesak.


Kelas Tidak terdapat batasan aktifitas fisik tanpa keluhan, terdapat gejala
saat istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan aktivitas

IV

Tabel 1. Klasifikasi gagal jantung menurut New York Heart Association2

B. Klasifikasi Killip
Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita infark miokard
akut, dengan pembagian2 :
Derajat I

: tanpa gagal jantung

Derajat II

: gagal jantung dengan ronki basah halus di basal paru, S3 galop

dan peningkatan tekanan vena jugularis


Derajat III

: gagal jantung berat dengan edema paru di seluruh lapangan

paru.
Derajat IV

: syok kardiogenik dengan hipotensi ( tekanan darah sistolik <

90 mmHg) dan vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan diaforesis)


C. Klasifikasi Stevenson
Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat
tanda kongesti dan kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan adanya ortopnea,
distensi vena juguler, ronki basah, refluks hepato jugular, edema perifer, suara
jantung pulmonal yang berdeviasi ke kiri, atau square wave blood pressure pada

manuver valsava. Status perfusi ditetapkan berdasarkan adanya tekanan nadi


yang sempit, pulsus alternans, hipotensi simtomatik, ekstremitas dingin dan
penurunan kesadaran. Pasien yang mengalami kongesti disebut basah (wet)
yang tidak disebut kering (dry). Pasien dengan gangguan perfusi disebut
dingin (cold) dan yang tidak disebut panas (warm). Berdasarkan hal tersebut
penderita dibagi menjadi empat kelas, yaitu:2
Kelas I (A)

: kering dan hangat (dry warm)

Kelas II (B)

: basah dan hangat (wet warm)

Kelas III (C)

: kering dan dingin (dry cold)

Kelas IV (D)

: basah dan dingin (wet cold)

2.3

Etiologi
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi

cukup penting untuk mengetahui penyebab dari gagal jantung, di Negara


berkembang penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab
terbanyak sedangkan di negara berkembang yang menjadi penyebab terbanyak
adalah penyakit jantung katup dan penyakit jantung akibat malnutrisi.4 Pada
beberapa keadaan sangat sulit untuk menentukan penyebab dari gagal jantung.
Terutama pada keadaan yang terjadi bersamaan pada penderita.3
Penyakit jantung koroner pada Framingham Study dikatakan sebagai
penyebab gagal jantungpada 46% laki-laki dan 27% pada wanita.4 Faktor risiko
koroner seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang dapat
berpengaruh pada perkembangan dari gagal jantung. Selain itu berat badan serta
tingginya rasio kolesterol total dengankolesterol HDL juga dikatakan sebagai
faktor risiko independen perkembangan gagal jantung.3
Hipertensi telah dibuktikan meningkat-kan risiko terjadinya gagal jantung
pada beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui
beberapa mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri
dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan
risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk terjadinya aritmia baik
itu aritmia atrial maupun aritmia ventrikel. Ekokardiografi yang menunjukkan

hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan perkembangan gagal


jantung.Kardiomiopati didefinisikan sebagai penyakit pada otot jantung yang
bukan disebabkan oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung
kongenital, katup ataupun penyakit pada perikardial.
Kardiomiopati dibedakan menjadi empat kategori fungsional : dilatasi
(kongestif), hipertrofik, restriktif dan obliterasi. Kardiomiopati dilatasi merupakan
penyakit otot jantung dimana terjadi dilatasi abnormal pada ventrikel kiri dengan
atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Penyebabnya antara lain miokarditis virus,
penyakit pada jaringan ikat seperti SLE, sindrom Churg-Strauss dan poliarteritis
nodosa. Kardiomiopati hipertrofik dapat merupakan penyakit keturunan
(autosomal dominan) meski secara sporadik masih memungkinkan. Ditandai
dengan adanya kelainan pada serabut miokard dengan gambaran khas hipertrofi
septum yang asimetris yang berhubungan dengan obstruksi outflow aorta
(kardiomiopati hipertrofik obstruktif). Kardiomiopati restriktif ditandai dengan
kekakuan

sertacompliance ventrikel

yang

buruk,

tidak

membesar

dan

dihubungkan dengan kelainan fungsi diastolic (relaksasi) yang menghambat


pengisian ventrikel.
Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik, walaupun
saat ini sudah mulai berkurang kejadiannya di negara maju. Penyebab utama
terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta. Regusitasi
mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan kelebihan beban volume (peningkatan
preload)

sedangkan

stenosis

aorta

menimbulkan

beban

tekanan

(peningkatan afterload).
Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan
dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertofi ventrikel kiri pada
penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul
bersamaan. Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan
gagal jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia (tersering atrial fibrilasi).
Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi
(penyakit otot jantung alkoholik). Alkohol menyebabkan gagal jantung 2 3%
dari kasus. Alkohol juga dapat menyebabkan gangguan nutrisi dan defisiensi

tiamin. Obat obatan juga dapat menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi
seperti doxorubicin dan obat antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan
gagal jantung akibat efek toksik langsung terhadap otot jantung.3

2.4

Patofisiologi
Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi gangguan

pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta
perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi
gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac
output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal,
sistem Renin Angiotensin Aldosteron (system RAA) serta kadar vasopresin
dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung
sehingga aktivitas jantung dapat terjaga. Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan
pada baroreseptor menjaga cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung,
meningkatkan

kontraktilitas

serta

vasokons-triksi

perifer

(peningkatan

katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyeababkan


gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat
menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal.4
Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin,
angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor
renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang
pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan
merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium
dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek
pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung.Terdapat
tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yeng memiliki efek
yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic
Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan
menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia Brain Natriuretic
Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel, kerjanya
mirip dengan ANP.C-type natriuretic peptide terbatas pada endotel pembuluh

darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal.
Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi
volume dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada
tonus vaskuler, sekresi ladosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena
peningkatan natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang
menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan telah
digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung.5
Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya
pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didapatkan pada
pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia. Endotelin disekresikan
oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide vasokonstriktor yang
poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang
bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin plasma akan
semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung.
Gagal Jantung Kiri
Kongestif paru terjadi pada venterikel kiri, karena venterikel kiri tidak mampu
memompa darah yang datang dari paru. Peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru
menyebabkan cairan terdorong ke jaringan paru. Manifestasi klinis yang dapat
terjadi meliputi dispnu, batuk, mudah lelah, denyut jantung cepat (takikardi)
dengan bunyi S3, kecemasan dan kegelisahan.
Gagal Jantung Kanan
Bila venterikel kanan gagal memompakan darah, maka yang menonjol adalah
kongestif visera dan jaringan perifer. Hal ini terjadi karena sisi kanan jantung
tidak mampu mengosongkan volume darah dengan adekuat sehingga tidak dapat
mengakomodasi semua darah yang secara normal kembali dari sirkulasi vena.
Manifestasi klinis yang tampak meliputi edema ekstremitas bawah (edema
dependen), yang biasanya merupakan pitting edema, pertambahan berat badan,
hepatomegali (pembesaran hepar), distensi vena jugularis (vena leher), asites
(penimbunan cairan di dalam rongga peritoneal), anoreksia dan mual, nokturia
dan lemah.5

2.6

Diagnosis
Kriteria Firmingham dapat digunakan untuk diagnosis gagal jantung

kongestif. Menurut Framingham kriterianya gagal jantung kongestif ada 2 kriteria


yaitu kriteria mayor dan kriteria minor. Adapun kriterianya adalah sebagai
berikut:6
Kriteria Mayor

Kriteria Minor

Paroxysmal nocturnal dyspnea

Bilateral ankle edema

Neck vein distension

Nighttime cough

Rales

Dyspnea on ordinary exertion

Cardiomegaly on chest radiograph

Hepatomegaly

Pulmonary edema on chest radiograph

Pleural effusion

S3 gallop

Heart rate > 120 bpm

Central venous pressure > 16 cm H2O


Hepatojugular reflux
Weight loss > 4.5 kg in 5 days in
response to treatment

2.6.2 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis adanya
gagal jantung antara lain foto thorax, EKG 12 lead, ekokardiografi, dan
pemeriksaan darah,
Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran
jantung (cardio thoraxic ratio > 50%), gambaran kongesti vena pulmonalis
terutama di zona atas pada tahap awal, bila tekanan vena pulmonal lebih dari 20
mmHg dapat timbul gambaran cairan pada fisura horizontal dan garis Kerley B
pada sudut

kostofrenikus. Bila tekanan lebih dari 25 mmHg didapatkan

gambaran batwing pada lapangan paru yang menunjukkan adanya udema paru
bermakna. Dapat pula tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila
unilateral, yang lebih banyak terkena adalah bagian kanan.7

Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada


hampir seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal dapat
dijumpai pada 10% kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara lain
gelombang Q, abnormalitas ST T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch
block dan fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada keduanya
menunjukkan gambaran yang normal, kemungkinan gagal jantung sebagai
penyebab dispneu pada pasien sangat kecil kemungkinannya.8
Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna
pada gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif
mengenai struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan
ekokardiografi adalah semua pasien dengan tanda gagal jantung, susah bernafas
yang berhubungan dengan murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi
atrium, serta penderita dengan risiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard
anterior,

hipertensi

tak

terkontrol,atau

aritmia).

Ekokardiografi

dapat

mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi diastolik, mengetahui adanya


gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli.8
Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai
penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta
komplikasi. Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan
mengeluarkan air sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional, karena itu
adanya hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang berat. Pemeriksaan
serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya gangguan ginjal,
juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi peningkatan serum
kreatinin setelah pemberian angiotensin converting enzyme inhibitor dan diuretik
dosis tinggi.8

2.7

Penatalaksanaan

2.7.1 Penatalaksanaan Gagal Jantung Kongestif


a.

Penatalaksanaan Nonfarmakologis

Tabel 2.5 Topik Keterampilan Merawat Diri yang perlu dipahami penderita Gagal
Jantung Kongestif.9

Topik Edukasi

Keterampilan dan Perilaku Perawatan Mandiri

Definisi dan etiologi

Memahami penyebab gagal jantung dan mengana

gagal jantung

keluhan-keluhan timbul

Gejala-gejala dan

Memantau tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung

tanda-tanda gagal

Mencatat berat badan setiap hari

jantung

Mengetahui kapan menghubungi petugas kesehatan


Menggunakan terapi diuretik secara fleksibel sesuai
anjuran

Terapi farmakologik

Mengerti indikasi, dosis dan efek dari obat-obat


digunakan
Mengenal efek samping yang umum obat

Modifikasi faktor risiko Berhenti merokok, memantau tekanan darah


Kontrol gula darah (DM), hindari obesitas
Rekomendasi diet

Restriksi garam, pantau dan cegah malnutrisi

Rekomendasi olah raga

Melakukan olah raga teratur

Kepatuhan

mengikuti anjuran pengobatan

Prognosis

Mengerti pentingnya faktor-faktor prognostik dan


membuat keputusan realistik

b.

Penatalaksanaan Farmakologis 10
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACEI)
ACEI harus digunakan pada semua pasien dengan gagal jantung yang

simtomatik dan LVEF < 40%. Pasien yang harus mendapatkan ACEI :
LVEF < 40%, walaupun tidak ada gejala.
Pasien gagal jantung disertai dengan regurgitasi
Kontraindikasi yang patut diingat antara lain :
Riwayat adanya angioedema
Stenosis bilateral arteri renalis
Konsentrasi serum kalsium > 5.0 mmol/L
Serum kreatinin > 220 mmol/L (>2.5 mg/dl)
Stenosis aorta berat

Angiotensin Receptor Blocker (ARB)


Pada pasien dengan tanpa kontraindikasi dan tidak toleran dengan ACE,
ARB direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung dan LVEF < 40% yang
tetap simtomatik walau sudah mendapatkan terapi optimal dengan ACEI dan BB,
kecuali telah mendapat antagonis aldosteron.
Pasien yang harus mendapatkan ARB:
Left ventrikular ejection fraction (LVEF)< 40%
Sebagai pilihan lain pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas
fungsional II-IV NYHA) yang tidak toleran terhadap ACEI.
Pasien dengan gejala menetap (kelas fungsionaal II-IV NYHA) walaupun
sudah mendapatkan pengobatan dengan ACEI dan bete bloker.
-bloker / Penghambat sekat- (BB)
Alasan penggunaan beta bloker (BB) pada pasien gagal jantung adalah
adanya gejala takikardi dan tingginya kadar katekolamin yang dapat
memperburuk kondisi gagal jantung. Pasien dengan kontraindikasi atau tidak
ditoleransi, BB harus diberikan pada pasien gagal jantung yang simtomatik, dan
dengan LVEF < 40%.
Manfaat beta bloker dalam gagal jantung melalui:
Mengurangi detak jantung : memperlambat fase pengisian diastolik
sehingga memperbaiki perfusi miokard.
Meningkatkan LVEF
Menurunkan tekanan baji kapiler pulmonal
Pasien yang harus mendapat BB:
LVEF < 40%
Gejala gagal jantung sedang-berat (NYHA kelas fungsional II-IV), pasien
dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri setelah kejadian infark miokard.
Dosis optimal untuk ACEI dan/atau ARB (dan aldosterone antagonis jika
diindikasikan).
Pasien harus secara klinis stabil (tidak terdapat perubahan dosis diuresis).
Inisiasi terapi sebelum pulang rawat memungkinkan untuk diberikan pada
pasien yang baru saja masuk rawat karena gagal jantung akut, selama

pasien telah membaik dengan terapi lainnya, tidak tergantung pada obat
inotropik intravenous, dan dapat diobservasi di rumah sakit setidaknya 24
jam setelah dimulainya terapi BB.
Kontraindikasi :
Asthma (COPD bukan kontranindikasi).
AV blok derajat II atau III, sick sinus syndrome (tanpa keberadaan
pacemaker), sinus bradikardi (<50 bpm).
Diuretik
Penggunaan diuretik pada gagal jantung :
Periksa selalu fungsi ginjal dan serum elektrolit.
Kebayakan pasien diresepkan loop diuretik dibandingkan thiazid karena
efektivitasnya yang lebih tinggi dalam memicu diuresis dan natriuresis.
Selalu mulai dengan dosis rendah dan tingkatkan hingga terrdapat
perbaikan klinis dari segi tanda dan gejala gagal jantung. Dosis harus
disesuaikan, terutama setelah berat badan kering normal telah tercapai,
hindari risiko disfungsi ginjal dan dehidrasi. Upayakan untuk mencapai hal
ini dengan menggunakan dosis diuretik serendah mungkin.
Penyesuaian dosis sendiri oleh pasien berdasarkan pengukuran berat badan
harian dan tanda-tanda klinis lainnya dari retensi cairan harus selalu
disokong pada pasien gagal jantung rawat jalan. Untuk mencapai hal ini
diperlukan edukasi pasien.
Antagonis Aldosteron
Pasien yang seharusnya mendapat antagonis aldosteron :

LVEF < 35%

Gejala gagal jantung sedang- berat ( kelas fungsional III-IV NYHA)

Dosis optimal BB dan ACEI atau ARB


Memulai pemberian spironolakton :

Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum


Pertimbangkan

peningkatan

dosis

setelah

4-8

minggu.

Jangan

meningkatkan dosis jika terjadi penurunan fungsi ginjal atau hiperkalemia.

Hydralizin & Isosorbide Dinitrat (ISDN)


Pasien yang harus mendapatkan hidralizin dan ISDN berdasarkan banyak uji
klinis adalah
Sebagai alternatif ACEI/ARB ketika keduanya tidak dapat ditoleransi.
Sebagai terapi tambahan terhdap ACEI jika ARB atau antagonis
aldosteron tidak dapat ditoleransi.
Manfaat pengobatan lebih jelas ditemukan pada keturunan AfrikaAmerika.
Kontraindikasinya antara lain hipotensi simtomatik, sindroma lupus, gagal ginjal
berat (pengurangan dosis mungkin dibutuhkan).
Glikosida Jantung (Digoxin)
Digoksin memberikan keuntungan pada terapi gagal jantung dalam hal :
Memberikan efek inotropik positif yang menghasilkan perbaikan dan
fungsi ventrikel kiri.
Menstimulasi baroreseptor jantung
Meningkatkan

penghantaran

natrium

ke

tubulus

distal

sehingga

menghasilkan penekanan sekresi renin dari ginjal.


Menyebabkan aktivasi parasimpatik sehingga menghasilkan peningkatan
vagal tone.
Pasien atrial fibrilasi dengan irama ventrikular saat istirahat> 80x/menit,
dan saat aktivitas > 110-120x/ menit harus mendapatkan digoksin.
Pasien dengan irama sinus dan disfungsi sistolik ventrikel kiri (LVEF <
40%) yang mendapatkan dosis optimal diuretik, ACEI atau/ dan ARB,
beta bloker dan antagonis aldosteron jika diindikasikan, yang tetap
simtomatis, digoksin dapat dipertimbangkan.
Antikoagulan (Antagonis Vit-K)
Temuan yang perlu diingat :
Pada pasien atrial fibrilasi yang dilibatkan pada serangkaian uji klinis
acak, termasuk pada pasien dengan gagal jantung, warfarin ditemukan
dapat mengurangi risiko stroke dengan 60-70%.

Warfarin juga lebih efektif dalam mengurangi risiko stroke dibanding


terapi antiplatelet, dan lebih dipilih pada pasien dengan risiko stroke yang
lebih tinggi, seperti yang ditemukan pada pasien dengan gagal jantung.
Tidak terdapat peranan antikoagulan pada pasien gagal lainnya, kecuali
pada mereka yang memiliki katup prostetik.
Pada analisis dua uji klinis skala kecil yang membandingkan efektifitas
warfarin dan aspirin pada pasien dangan gagal jantung, ditemukan bahwa
risiko perawatan kembali secara bermakna lebih besar pada pasien yang
mendapat terapi aspirin, dibandingkan warfarin.

2. Apa yang menyebabkan edema pada kedua tungkai?


Edema merupakan terkumpulnya cairan di dalam jaringan interstisial lebih
dari jumlah yang biasa atau di dalam berbagai rongga tubuh mengakibatkan
gangguan sirkulasi pertukaran cairan elektrolit antara plasma dan jaringan
interstisial. Jika edema mengumpul di dalam rongga maka dinamakan efusi,
misalnya efusi pleura dan pericardium. Penimbunan cairan di dalam rongga
peritoneal dinamakan asites. Pada kasus penyakit gagal jantung terjadinya edema
disebabkan terjadinya dekompensasi jantung (pada kasus payah jantung),
bendungannya bersifat menyeluruh. Hal ini disebabkan oleh kegagalan venterikel
jantung untuk memopakan darah dengan baik sehingga darah terkumpul di daerah
vena atau kapiler, dan jaringan akan melepaskan cairan ke intestisial.
Edema pada tungkai kaki terjadi karena kegagalan jantung kanan dalam
mengosongkan darah dengan adekuat sehingga tidak dapat mengakomodasi
semua darah yang secara normal kembali dari sirkulasi vena. Edema ini di mulai
pada kaki dan tumit (edema dependen) dan secara bertahap bertambah keatas
tungkai dan paha dan akhirnya ke genitalia eksterna dan tubuh bagian bawah.
Edema sakral jarang terjadi pada pasien yang berbaring lama, karena daerah
sakral menjadi daerah yang dependen. Bila terjadinya edema maka kita harus
melihat kedalaman edema dengan pitting edemaPitting edema adalah edema yang
akan tetap cekung bahkan setelah penekanan ringan pada ujung jari , baru jelas

terlihat setelah terjadinya retensi cairan paling tidak sebanyak 4,5 kg dari berat
badan normal selama mengalami edema.
3.

Mengapa sesak nafas dan batuk terjadi pada kasus?


Ortopnea, yaitu gejala dispnea dalam posisi berbaring dan dispnea

nocturnal paroksismal yaitu serangan sesak napas yang biasanya timbul di malam
hari serta membuat pasien terbangun dari tidurnya, merupakan cirri khusus untuk
bentuk yang lebih lanjut dari keadaan gagal jantung yang disertai kenaikan
tekanan vena dan kapiler pulmonalis. Ortopnea terjadi akibat perubahan gaya
gravitasi ketika pasien berbaring. Penambahan volume darah intratorakal ini
menaikkan tekanan vena dan kapiler pulmonals yang kemudian meningkatkan
tekanan volume penutupan pulmonalis serta menurunkan kapasitas vital. Factor
tambahan yang menyertai posisi berbaring adalah elevasi diafragma yang
membuat end-expiratory lung volume menjadi lebih rendah.
Dispnea (nocturnal) paroksismal, keadaan ini dikenal sebagai asma kardiale
yang ditandai dengan serangan sesak napas yang berat dan umumnya terjadi pada
malam hari serta biasanya membangunkan pasien dari tidur. Serangan tersebut
dicetuskan oleh stimulus yang memperburuk kongesti paru yang sudah terjadi
sebelumnya, kerap kali volume total darah menjadi lebih besar di malam hari
karena reabsorpsi edema dari bagian tubuh yang tergantung (ekstremitas) ketika
pasien berbaring. Redistribusi volume darah yang terjadi akan mengakibatkan
peninkatan volume darah intratorakal dan dengan demikian menimbulkan
kongesti paru. Pasien yang dalam keadaan tidur menenggang kongesti paru yang
relative berat dan hanya kalau sudah terjadi edema paru serta bronkospasme yang
sebenarnya dengan disertai rasa terkecik dan suara wheezing respirasi.7

4. Hubungan Gagal Jantung dengan Hepatomegali


Pada keadaan gagal jantung akut karena ventrikel kanan tidak bisa
berkontraksi dengan optimal, terjadi bendungan di atrium kanan dan vena kava
superior dan inferior. Dalam keadaan ini gejala edema perifer, hepatomegali,
splenomegali belum sempat terjadi, tetapi yang mencolok adalah tekanan darah

akan menurun dengan cepat sebab darah balik berkurang. Pada gagal jantung
kanan yang kronis, ventrikel kanan pada saat sistol tidak mampu memompakan
darah keluar, sehingga seperti pada gagal jantung kiri pada saat berikutnya
tekanan akhir diastole ventrikel kanan akan meninggi. Dengan demikian maka
tekanan di atrium kanan juga akan meninggi dan hal ini akan diikuti bendungan
darah di vena kava superior, vena kava inferior serta seluruh sistem vena. Hal ini
secara klinis dapat dilihat dengan adanya bendungan di vena hepatica, sehingga
menimbulkan hepatomegali. Bila kongesti pasif ini keras, maka sering
menimbulkan pecahnya sinusoid centrolobulus dan nekrosis sel hati sekitarnya,
yang dinamai nekrosis hemoragik sentral (CHN). Nekrosis hati mungkin
disebabkan dan sebagian oleh tekanan sinusoid yang meninggi. CHN sering
ditemukan pada payah jantung yang cepat menjadi progresif, insufisiensi katup
jantung kanan, pericarditis constrictiva. CHN yang berlangsung lama dapat
menimbulkan fibrosis di sekitar vena centralis yang kadang-kadang menjalar ke
lobulus sekelilingnya membentuk trabekel jaringan ikat. Makroskopik hati
menjadi lisut dengan tonjolan-tonjolan kecil dikenal sebagai sklerosis/sirosis
kardiak.
Jadi hepatomegali merupakan salah satu gejala yang timbul pada gagal
jantung kanan dan gagal jantung kongestif.8

5. Bagaimana cara pemeriksaan auskultasi jantung dan interpretasinya?


Auskultasi memberikan kesempatan mendengarkan perubahan-perubahan
dinamis akibat aktivitas jantung. Auskultasi jantung berguna untuk menemukan
bunyi-bunyi yang diakibatkan oleh adanya kelainan struktur jantung dan
perubahan-perubahan aliran darah yang ditimbulkan selama siklus jantung11
Bunyi jantung diakibatkan karena getaran dengan masa amat pendek.
Bunyi yang timbul akibat aktifitas jantung dapat dibagi dalam : 11
1. BJ1 : disebabkan karena getaran menutupnya katup atrioventrikuler
terutama katup mitral, getaran karena kontraksi otot miokard serta aliran
cepat saat katup semiluner mulai terbuka. Pada keadaan normal terdengar
tunggal.

2. BJ2 : disebabkan karena getaran menutupnya katup semilunaris aorta


maupun pulmonalis. Pada keadaan normal terdengar pemisahan (splitting)
dari kedua komponen yang bervariasi dengan pernafasan pada anak-anak
atau orang muda.
3. BJ3 : disebabkan karena getaran cepat dari aliran darah saat pengisian
cepat (rapid filling phase) dari ventrikel. Hanya terdengar pada anak-anak
atau orang dewasa muda (fisiologis) atau keadaan dimana komplians otot
ventrikel menurun (hipertrofi/ dilatasi).
4. BJ4 : disebabkan kontraksi atrium yang mengalirkan darah ke ventrikel
yang kompliansnya menurun. Jika atrium tak berkontraksi dengan efisien
misalnya fibrilasi atrium maka bunyi jantung 4 tak terdengar.
Bunyi jantung sering dinamakan berdasarkan daerah katup dimana bunyi
tersebut didengar. M1 berarti bunyi jantung satu di daerah mitral, P2 berarti bunyi
jantung kedua di daerah pulmonal. Bunyi jantung 1 normal akan terdengar jelas di
daerah apeks, sedang bunyi jantung 2 dikatakan mengeras jika intensitasnya
terdengar sama keras dengan bunyi jantung 1 di daerah apeks. 11
Bunyi jantung 1 dapat terdengar terpisah (split) jika asinkroni penutupan
katup mitral dan trikuspid lebih mencolok, misalnya pada RBBB (Right Bundle
Branch Block) atau hipertensi pulmonal. Bunyi jantung 2 akan terdengar terpisah
pada anak-anak dan dewasa muda. Pada orang dewasa bunyi jantung 2 akan
terdengar tunggal karena komponen pulmonalnya tak terdengar disebabkan aerasi
paru yang bertambah pada orang tua. Jika bunyi jantung 2 terdengar terpisah pada
orang dewasa ini menunjukkan adanya hipertensi pulmonal atau RBBB. Bunyi
jantung 2 yang terdengar tunggal pada anak-anak mungkin merupakan tanda
adanya stenosis mitral. Bunyi tambahan, merupakan bunyi yang terdengar akibat
adanya kelainan anatomis atau aliran darah yang dalam keadaan normal tidak
menimbulkan bunyi atau getaran. Bunyi tambahan dapat berupa : 11

Klik ejeksi : disebabkan karena pembukaan katup semilunaris pada


stenosis/ menyempit.

Ketukan perikardial : bunyi ekstrakardial yang terdengar akibat getaran/


gerakan perikardium pada perikarditis/ efusi perikardium.

Bising gesek perikardium : bunyi akibat gesekan perikardium dapat


terdengar dengan auskultasi dan disebut friction rub. Sering terdengar jika
ada peradangan pada perikardium (perikarditis).

Bising jantung : merupakan bunyi akibat getaran yang timbul dalam masa
lebih lama. Jadi perbedaan antara bunyi dan bising terutama berkaitan
dengan lamanya bunyi /getaran berlangsung. Untuk mengidentifikasi dan
menilai bising jantung, beberapa hal harus diperhatikan : di mana bising
paling jelas terdengar, fase terjadinya bising (saat sistole atau diastole) dan
kualitas bising.

Auskultasi dimulai dengan meletakkan stetoskop pada sela iga II kanan di


dekat sternum, sepanjang tepi kiri sternum dari sela iga II sampai V dan di apeks.
Bagian diafragma stetoskop dipergunakan untuk auskultasi bunyi jantung dengan
nada tinggi seperti BJ1 dan BJ2, bising dari regurgitasi aorta dan mitral serta
bising gesek perikardium. Bagian mangkuk stetoskop (bell) yang diletakkan
dengan tekanan ringan lebih sensitif untuk suara-suara dengan nada rendah seperti
BJ3 dan BJ4 serta bising pada stenosis mitral. Letakkan bagian mangkuk stetostop
pada apeks lalu berpindah ke medial sepanjang tepi sternum ke arah atas. 11
Cara askultasi :
1. Lakukan auskultasi di seluruh prekordium dengan posisi pasien terlentang.
2. Pasien berbaring miring ke kiri (left lateral decubitus) sehingga ventrikel
kiri lebih dekat ke permukaan dinding dada.
Tempatkan bagian mangkuk dari stetoskop di daerah impuls apeks
(iktus).
Posisi ini membuat bising-bising area katub mitral (misalnya pada
stenosis mitral) dan bunyi jantung akibat kelainan bagian kiri
jantung (misalnya BJ3 dan BJ4) lebih jelas terdengar.
3. Pasien diminta untuk duduk dengan sedikit membungkuk ke depan
Mintalah pasien untuk melakukan inspirasi dan ekspirasi maksimal
kemudian sejenak menahan nafas.

Bagian diafragma dari stetoskop diletakkan pada permukaan


auskultasi dengan tekanan ringan.
Lakukan auskultasi di sepanjang tepi sternum sisi kiri dan di apeks,
dengan secara periodik memberi kesempatan pasien untuk
mengambil nafas.
Posisi ini membuat bising-bising yang berasal dari daerah aorta
lebih jelas terdengar.
Yang harus dinilai bila terdengar bising jantung adalah kapan terdengar,
bentuk, lokasi di mana bising terdengar paling keras, radiasi/ transmisi bising dari
tempatnya paling keras terdengar, intensitas bising, nada dan kualitas bising.
A. Kapan bising terdengar
Bising sistolik terdengar antara BJ1 dan BJ2. Bising diastolik
terdengar antara BJ2 dan BJ1. Palpasi nadi karotis sambil mendengarkan
bising jantung dapat membantu menentukan bising terjadi saat sistolik
atau diastolik. Bising yang terdengar bersamaan dengan denyut karotis
adalah bising sistolik. Bising sistolik terjadi pada penyakit katub, namun
dapat juga terjadi pada jantung tanpa kelainan anatomis, sementara bising
diastolik terjadi pada gangguan katub.
Penting untuk mengidentifikasi kapan bising terdengar selama fase
sistolik dan diastolik (hanya pada awal, di tengah, pada akhir atau selama
sistolik dan diastolik).

Bising midsistolik : mulai terdengar setelah BJ1, menghilang


sebelum BJ2 terdengar (ada gap antara bising dan bunyi jantung).
Bising midsistolik sering berkaitan dengan aliran darah yang
melalui katub-katub semilunaris.

Bising holosistolik (pansistolik) : mengisi seluruh fase sistolik,


tidak ada gap antara bising dan bunyi jantung. Biasanya berkaitan
dengan regurgitasi darah melalui katub atrioventrikuler. pada MI
atau VSD

Bising late systolic : mulai terdengar pada pertengahan atau akhir


sistolik. Biasanya terjadi pada prolaps katub mitral. Sering
didahului dengan klik sistolik.

Bising early diastolic : terdengar segera setelah BJ2, tanpa adanya


gap yang jelas. Menghilang sebelum terdengar BJ1. Biasanya
terjadi

pada

semilunaris,

regurgitasi
misal

karena

Aortic

inkompetensi

Insufficiency

atau

katub-katub
Pulmonal

Insufficiency.

Bising mid diastolik : terdengar setelah BJ2 (ada gap dengan BJ2).
Bising makin melemah atau menyatu dengan bising late diastolic. Bising late diastolic (presistolik) : mulai terdengar pada akhir fase
diastolik, dan biasanya berlanjut dengan BJ1. Bising mid diastolik
dan bising late diastolic (presistolik) mencerminkan turbulensi
aliran darah yang melewati katub atrioventrikularis, misalnya
stenosis mitral.

Bising sistolik sering ditemukan pada stenosis aorta, stenosis


pulmonal, Ventricle Septum Defect (VSD), insufisiensi mitral
(Mitral Insufficiency/ MI). Bising diastolik sering terjadi pada
insufisiensi aorta (Aortic Insufficiency/ AI).

Bising menerus atau continuous murmur : bising terdengar terus


menerus, baik pada fase sistolik maupun diastolik. Sering terdapat
pada Patent Ductus Arteriosus (PDA).

B. Bentuk
Bentuk atau konfigurasi bising adalah intensitas bising dari waktu
ke waktu selama terdengar. a.Bising crescendo : intensitas makin keras
(misalnya bising presistolik pada stenosis mitral). b.Bising decrescendo :
intensitas makin berkurang (misalnya bising early diastolic pada
regurgitasi katub aorta) c Bising crescendo-decrescendo : mula-mula
intensitas bising makin meningkat, kemudian menurun (misalnya bising

midsistolik pada stenosis aorta atau bising innocent) d.Bising plateau :


intensitas bising tetap (misalnya bising pansistolik pada regurgitasi mitral).
C. Lokasi di mana bising terdengar paling keras
Tempat di mana bising terdengar paling jelas berkaitan dengan asal
bising. Dideskripsikan menggunakan komponen sela iga keberapa dan
hubungannya dengan sternum, apeks, linea midsternalis, midklavikularis
atau aksilaris anterior, misalnya bising paling jelas terdengar di sela iga
ke-2 kanan, dekat tepi sternum menunjukkan asal bising dari katub aorta.

D. Radiasi/ transmisi bising dari tempatnya terdengar paling keras


Transmisi bising tidak saja menunjukkan asal bising tetapi juga
intensitas bising dan arah aliran darah. Lakukan auskultasi di beberapa
area di sekeliling lokasi di mana bising paling jelas terdengar dan tentukan
sampai di mana bising masih dapat didengar. Misalnya bising pada
stenosis aorta bisa terdengar demikian jauh sampai ke leher (mengikuti
aliran darah).
E. Intensitas bising
Gradasi intensitas bising dibagi dalam 6 skala dan dinyatakan dalan bentuk
pecahan (misalnya grade 2/6)
Grade 1 : sangat lembut, baru terdengar setelah pemeriksa
sungguh-sungguh berkonsentrasi, tidak terdengar pada semua
posisi.
Grade 2 : lembut, tapi dapat segera terdengar begitu stetostop
diletakkan pada area auskultasi.
Grade 3 : cukup keras
Grade 4 : keras, teraba thrill
Grade 5 : sangat keras, disertai thrill, dapat terdengar dengan
sebagian stetoskop diangkat dari permukaan auskultasi.
Grade 6 : sangat keras, disertai thrill, dapat didengar dengan
seluruh bagian stetostok sedikit diangkat dari permukaan
auskultasi.

F. Nada, dikategorikan sebagai nada tinggi, sedang dan rendah.


G. Kualitas bising
Kualitas bising dideskripsikan sebagai blowing, harsh, rumbling, dan
musikal.
Karakteristik yang lain yang harus dinilai dari bunyi jantung dan bising
adalah pengaruh perubahan posisi tubuh, respirasi atau manuver
pemeriksaan terhadap bunyi jantung dan bising. Bising yang berasal dari
sisi kanan jantung biasanya cenderung berubah bila ada perubahan posisi
pasien.
Sehingga deskripsi lengkap pelaporan bising adalah sebagai
berikut : misalnya pada regurgitasi aorta : pada auskultasi terdengar
bising decrescendo dengan kualitas bising seperti tiupan (blowing),
terdengar paling keras pada sela iga ke-4 kiri, dengan penjalaran ke arah
apeks 11

6. Bagaimana pengaruh hipertensi terhadap kasus?


Pada penderita hipertensi, beban kerja jantung akan meningkat, otot jantung
akan menyesuaikan sehingga terjadi pembesaran jantung dan semakin lama otot
jantung akan mengendor dan

berkurang elastisitasnya, yang

disebut

dekompensasi. Akibatnya, jantung tidak mampu lagi memompa dan menampung


darah dari paru sehingga banyak cairan tertahan di paru maupun jaringan tubuh
lain yang dapat menyebabkan sesak nafas atau oedema. Kondisi ini disebut
Gagal Jantung.12
Hipertensi dan tak terkontrol dan berkepanjangan dapat menyebabkan
berbagai perubahan dalam struktur miokard, pembuluh darah koroner, dan sistem
konduksi jantung. Perubahan ini pada

gilirannya dapat menyebabkan

perkembangan hipertrofi ventrikel kiri (LVH), penyakit arteri koroner (CAD),


berbagai penyakit sistem konduksi, serta disfungsi sistolik dan diastolik dari
miokardium, yang

bermanifestasi klinis sebagai angina atau infark miokard,

aritmia jantung ( terutama fibrilasi atrium), dan gagal jantung kongestif (CHF).
Dengan demikian, penyakit jantung hipertensi adalah istilah yang diterapkan

secara umum untuk penyakit jantung, seperti LVH, penyakit arteri koroner,
aritmia jantung,

dan CHF, yang disebabkan oleh efek langsung atau tidak

langsung dari hipertensi.12


Hipertensi telah dibuktikan meningkat-kan risiko terjadinya gagal jantung
pada beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui
beberapa mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri
dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan
risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk terjadinya aritmia
baik itu aritmia atrial maupun aritmia

ventrikel. Ekokardiografi yang

menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan perkembangan


gagal jantung.12

7.

Mengapa dapat terjadi bunyi gallop pada pasien?

Bunyi jantung ketiga, yang dikenal sebagai S3 gallop, adalah getaran yang
bernada rendah yang terjadi pada awal diastole. bunyi jantung ketiga tersebut
terdengar lemah dan bergemuruh pd awal 1/3 bagian tengah diastol. Bunyi ini
timbul karena adanya ketegangan korda tendinae dan mengembangnya ventrikel
pada fase pengisian. Kecepatan pengisian ventrikel dan besarnya amplitudo dari
getaran dinding ventrikel mempengaruhi bunyi yang terdengar. Bunyi jantung
ketiga sisi kiri dapat didengar pada apeks jantung dgn posisi pasien berbaring
miring ke kiri. Sebaliknya bunyi jantung ketiga sisi kanan dapat didengar pada
batas bawah sternal kiri. S3 gallop (protodiastolic gallop) telah lama digunakan
secara klinis sebagai indikator disfungsi sistolik ventrikel kiri. S3 gallop ini terjadi
pada saat awal pengisian cepat, terdapat pada jantung normal anak -anak dan
dewasa muda, sedangkan S3 gallop yang abnormal terdapat pada gagal jantung.13

8. Kriteria framingham pda gagal jantung


Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung 14
Kriteria Mayor:
Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea

Distensi vena leher


Rales paru
Kardiomegali pada hasil rontgen
Edema paru akut
S3 gallop
Peningkatan tekanan vena pusat > 16 cmH2O pada atrium kanan
Hepatojugular reflux
Penurunan berat badan 4,5 kg dalam kurun waktu 5 hari sebagai respon
pengobatan gagal jantung
Kriteria Minor:
Edema pergelangan kaki bilateral
Batuk pada malam hari
Dyspnea on ordinary exertion
Hepatomegali
Efusi pleura
Takikardi 120x/menit
Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan jika terdapat minimal 1 kriteria
mayor dan 2 kriteria minor

9.

Apa hubungan edema paru pada penyakit kardiovaskular?

Edema Paru Kardiogenik15


tahanan pada pembuluh napas yang kecil meningkat, dan terdapat kenaikan
Peningkatan tekanan vena paru yang akan menimbulkan kongesti pada pembuluh
darah paru, sering ditemukan pada sebagian besar kasus dispnea(sesak napas)
yang

menyertai

gagal

jantung

kongestif.

Paru

menjadi

kurang

compliance(selaras), aliran limfe yang berfungsi mempertahankan volume cairan


ektravaskular paru yang konstan. Pada keadaan ini biasanya terdapat takipnea
(pernapasan abnormal) ringan. Bila keadaan ini berlanjut maka peningkatan
intravaskular akan mengakibatkan penumpukan cairan di ruangan ekstravaskular
sehingga timbul edema interstitial. Pada saat ini maka gejala memburuk, takipneu
meningkat, penurunan pertukaran gas lebih lanjut, dan terdapat perubahan

radiologi seperti garis Kerley B dan hilangnya batas vaskular yang jelas. Pada
stadium ini, taut antarsel endotel kapiler melebar dan dapat dilewati
makromolekul ke interstisium.
Kenaikan lebih lanjut tekanan intravaskular mengakibatkan disrupsi hubungan
antara sel-sel lapisan alveoli, sehingga timbul edema alveoli dengan cairan yang
mengandung sel darah merah dan makro molekul. Dengan disrupsi membrana
alveoli kapiler yang semakin hebat, cairan edematous akan menggenangi alveoli
dan saluran napas. Pada saat ini akan terjadi edema paru yang full blown, secara
klinis pasien tampak cemas dan mengeluarkan keringat dingin, sputumnya
berbuih dan mengandung bercak darah, terdengar ronki basah bilateral sedangkan
pada foto thoraks tampak gambaran paru yang berkabut dengan peningkatan
densitas pada hilus proksimal.

Gangguan pertukaran gas semakin bertambah

berat dengan keadaan hipoksia yang memburuk. Tanpa penanganan yang efektif
akan terjadi asidemia progresif, hiperkapnia dan henti pernapasan.
Edema Paru NonKardiogenik15
Beberapa

keadaan

klinis

yang

disertai

edema

paru

terjadi

karena

ketidakseimbangan gaya Starling dan bukan terutama melalui peningkatan


tekanan pulmonalis. Meskipun berkurangnya tekanan onkotik plasma pada
keadaan hipoalbuminemia (misalnya penyakit hepar yang berat, sindroma
nefrotik, protein losing enteropathy) diperkirakan menimbulkan edema paru,
namun keseimbangan berbagai tekanan biasanya sangat mendukung resobsi cairan
sehingga pada keadaan ini diperlukan peningkatan tekanan kapiler sebelum terjadi
edema interstisial. Peningkatan negativitas tekanan interstisial terjadi pada edema
paru unilateral sesudah pengeluaran secara cepat pada pneumotoraks. Dalam
situasi ini, temuan tersebut mungkin hanya terlihat pada pemeriksaan radiografi,
tetapi terkadang pasien mengalami dispnea dengan kelainan jasmani yang
terlokalisir pada paru yang edema. Timbulnya tekanan intrapleura negatif yang
besar selama serangan asma berat yang akut dapat disertai dengan timbulnya
edema interstisial. Hambatan aliran cairan limfe yang terjadi sekunder akibat
penyakit fibrotik dan inflamatorik atau karsinomatosis limfangitik dapat

menimbulkan edema interstisial. Pada kasus semacam itu, baik manifestasi klinis
maupun radiologik didominasi oleh proses penyakit yang mendasarinya.
Keadaan lain yang juga ditandai adanya peningkatan cairan interstisial di
dalam paru namun dimulai bukan dengan terjadinya gangguan keseimbangan
tekanan kapiler ataupun oleh perubahan dalam aliran cairan limfe, tetapi timbul
karena adanya disrupsi membran alveoli-kapiler. Keadaan ini timbul pada
keadaan toksis karena faktor lingkungan ataupun terjadi spontan, termasuk infeksi
paru difus, aspirasi dan syok. Edema paru yang terjadi difus dan tidak disebabkan
karena hemodinamik. Keadaan ini dapat menimbulkan acute respiratory distress
syndrome (ARDS). 15
Edema paru dibedakan oleh karena sebab kardiogenik dan nonkardiogenik. Hal
ini penting diketahui oleh karena pengobatannya sangat berbeda. Edema paru
kardiogenik disebabkan oleh adanya payah jantung kiri apapun sebabnya. Edema
paru kardiogenik yang akut disebabkan oleh adanya payah jantung kiri akut.
Tetapi dengan adanya faktor presipitasi, dapat terjadi pula pada penderita payah
jantung kiri khronik. Edema paru dapat terjadi oleh karena banyak mekanisme.
Edema Paru dapat terjadi oleh karena banyak mekanisme yaitu :
Ketidakseimbangan (Starling Forces)
Pertamanya, ketidakseimbangan dapat mengakibatkan peningkatan
tekanan kapiler paru. Peningkatan tekanan kapiler paru pula terbagi menjadi
tiga yaitu peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi
ventrikel kiri (stenosis mitral), peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh
karena gangguan fungsi ventrikel kiri, dan peningkatan tekanan kapiler paru
sekunder oleh karena peningkatan tekanan arteria pulmonalis (over perfusion
pulmonary edema). Keduanya, penurunan tekanan onkotik plasma juga bisa
terjadi karena disebabkan oleh ketidakseimbangan tadi. Penurunan ini
menimbulkan hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati,
protein-losing enteropaday, penyakit dermatologi atau penyakit nutrisi.
Ketiganya,

berlaku

pula

peningkatan

tekanan

negative

intersisial

mengakibatkan pengambilan pneumotorak atau efusi pleura (unilateral) yang


terlalu cepat dan juga tekanan pleura yang sangat negative oleh karena

obstruksi saluran napas akut bersamaan dengan peningkatan end-expiratory


volume (asma). Terakhirnya, ketidakseimbangan juga bisa mengakibatkan
peningkatan tekanan onkotik intersisial. Namun sampai sekarang belum ada
contoh secara percobaan maupun klinik.

Diagnosis Penyakit Edema Paru


Edema paru kardiogenik akut merupakan keluhan yang paling berat dari
penderita dengan payah jantung kiri. Gangguan fungsi sistolik dan atau fungsi
diastolik ventrikel kiri, stenosis mitral atau keadaan lain yang menyebabkan
peningkatan tekanan atrium kiri dan kapiler paru yang mendadak dan tinggi
akan menyebabkan edema paru kardiogenik dan mempengaruhi pula
pemindahan oksigen dalam paru sehingga tekanan oksigen arteri menjadi
berkurang. Di lain pihak rasa seperti tercekik dan berat pada dada menambah
ketakutan penderita sehingga denyut jantung dan tekanan darah meningkat
yang menghambat lebih lanjut pengisian ventrikel kiri. Adanya kegelisahan
dan napas yang berat menambah pula beban jantung yang selanjutnya lebih
menurunkan fungsi jantung oleh karena adanya hipoksia. Apabila lingkaran
setan ini tidak segera diputus penderita akan meninggal.
Edema paru kardiogenik akut berbeda dengan orthopnea dan
paroxysmal nocturnal dyspnea pada edema paru kardiogenik khronik akibat
payah jantung kiri khronik, karena timbulnya hipertensi kapiler paru sangat
cepat dan tinggi. Pada edema paru kardiogenik akut sesak timbul mendadak,
penderita sangat gelisah, batuk berbuih kemerahan, penderita merasa seperti
tenggelam. Posisi penderita biasanya lebih enak duduk, kelihatan megapmegap. Terdapat napas yang cepat, pernapasan cuping hidung, retraksi
interkostal dan fosa supraklavikularis saat inspirasi yang menunjukkan adanya
tekanan intrapleura yang sangat negatif saat inspirasi. Penderita sering
berpegangan pada samping tempat tidur atau kursi supaya dapat menggunakan
otot pernapasan sekunder dengan baik. Penderita mengeluarkan banyak
keringat dengan kulit yang dingin dan sianotik menunjukkan adanya isi
semenit yang rendah dan peningkatan rangsang simpatik.

Auskultasi pada permukaan terdengar ronkhi basah basal halus yang


akhimya ke seluruh paru-paru apabila keadaan bertambah berat: mungkin
terdengar pula wheezing. Auskultasi jantung mungkin sukar karena suara napas
yang ramai, tetapi sering terdengar suara 3 dengan suara pulmonal yang
mengeras.
Penderita mungkin merasa nyeri dada hebat terdapat edema paru
sekunder akibat infark miokard akut. Bila tidak terdapat cardiogenic shock,
biasanya tekanan darah melebihi normal akibat kegelisahan dan peningkatan
rangsang simpatik. Karena itu sering keliru diduga edema paru disebabkan
penyakit jantung hipertensi. Untuk mengetahui hal ini pemeriksaan fundoskopi
mata sangat membantu. Apabila tak cepat diobati akhirnya tekanan darah akan
turun sebelum penderita meninggal.

10. Jelaskan mengenai dyspnea


Definisi Sesak Napas 18
Dispnea (breathless) adalah keluhan yang sering memerlukan penanganan
darurat tetapi intensitas dan tingkatannya berbeda-beda. Ada yang berupa rasa
tidak nyaman di dada yang bisa membaik sendiri, atau yang membutuhkan
bantuan nafas yang serius, hingga yang dapat berakibat fatal. Sesak nafas juga
dapat diartikan sebagai merupakan suatu pengalaman subjektif seseorang akan
ketidaknyamanan bernapas yang terdiri dari sensasi yang intensitasnya berbeda.
Pengalaman itu merupakan interaksi dari fisiological, psikologikal, sosial, dan
faktor lingkungan, dan dapat diinduksi secara respon psikologikal dan kelakuan.
Keluhan dispnea tidak selalu disebabkan karena penyakit; sering pula terjadi pada
keadaaan sehat tetapi terdapat stres psikologis.
Mekanisme 17
Dispnea atau sesak napas bisa terjadi dari berbagai mekanisme seperti jika ruang
fisiologi meningkat maka akan dapat menyebabkan gangguan pada pertukaran gas
antara O2 dan CO2 sehingga menyebabkan kebutuhan ventilasi makin meningkat

sehingga terjadi sesak napas. Pada orang normal ruang mati ini hanya berjumlah
sedikit dan tidak terlalu penting, namun pada orang dalam keadaan patologis pada
saluran pernapasn maka ruang mati akan meningkat. Begitu juga jika terjadi
peningkatan tahanan jalan napas maka pertukaran gas juga akan terganggu dan
juga dapat menebab kan dispnea.
Dispnea juga dapat terjadi pada orang yang mengalami penurunan
terhadap compliance paru, semakin rendah kemampuan terhadap compliance paru
maka semakin besar gradien tekanan transmural yang harus dibentuk selama
inspirasi untuk menghasilkan pengembangan paru yang normal. Penyebab
menurunnya compliance paru bisa bermacam salah satu nya adalah digantinya
jaringan paru dengan jaringan ikat fibrosa akibat inhalasi asbston atau iritan yang
sama.
Sumber penyebab dispnea termasuk: 18
1. Reseptor-reseptor mekanik pada otot-otot pernapasan, paru, dinding dada dalam
teori tegangan panjang, elemen- elemen sensoris, gelendong otot pada khususnya
berperan penting dalam membandingkan tegangan otot dengan derajat elastisitas
nya. Dispnea dapat terjadi jika tegangan yang ada tidak cukup besar untuk satu
panjang otot.
2. Kemoreseptor untuk tegangan CO2 dan O2.
3. Peningkatan kerja pernapasan yang mengakibatkan sangat meningkat nya rasa
sesak napas.
4. Ketidak seimbangan antara kerja pernapasan dengan kapasitas ventilasi

Patofisiologi
Dispnea mungkin disebabkan gangguan fisiologis akut seperti asma bronchial,
emboli paru, pneumotoraks, atau infark miokard. Serangan berkepanjangan
selama berjam-jam hingga berhari-hari lebih disebabkan akibat eksaserbasi
penyakit paru yang kronik atau prosesif dari efusi pleura atau gagal jantung
kongestif.18

Penggambaran Patofisiologi 18
1. Konstriksi atau sensasi dada terjepit Bronkokonstriksi, edema
interstitial (asma, iskemi miokardial)
2. Meningkatnya kerja dan usaha untuk bernapas. Obstruksi jalan napas,
penyakit neuromuskular (PPOK, asma sedang sampai parah, miopati,
kiposkoliosis)
3. Lapar udara, membutuhkan pernapasan, urge to breathe. Meningkatnya
gerakan untuk bernapas (CHF, embolisme pulmonary, obstruksi aliran
udara yang sedang hingga parah)
4. Tidak dapat bernapas dalam, bernapas yang tidak memuaskan.
Hiperinflasi (asma, PPOK) dan terbatasnya volume tidal (fibrosis
pulmonal, restriksi dinding dada)
5. Pernapasan yang berat dan cepat Deconditioning.

Sebuah presentasi kronik (selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun)


sering diindikasikan sebagai penyakit paru obstruksi kronik, penyakit paru
interstisial kronik, atau penyakit jantung kronik.Pasien seharusnya ditanya
penggambaran dari ketidaknyamanannya seperti efek dari posisi mereka, infeksi,
dan stimulus lingkungan pada dyspnea, contohnya adalah:18

Orthopnea, yakni Dispnea yang terjadi pada posisi berbaring. Pada


umumnya merupakan indikator dari CHF, perusakan mekanikal dari
diafragma diasosiasikan dengan obesitas, atau asma dipicu reflux
esofageal dan paralisis diafragma bilateral.

Platipneu, yaitu Dispnea yang terjadi pada posisi tegak dan akan
membaik jika penderita dalam posisi berbaring. Keadaan ini terjadi pada
abnormalitas vaskularisasi paru seperti pada COPD berat.

Trepopneu, yakni Jika dengan posisi bertumpu pada sebuah sisi,


penderita dispnea dapat bernafas lebih enak. Hal ini dapat ditemui pada
penyakit jantung.

Exertional Dispnea, yakni dispnea yang disebabkan karena melakukan


aktivitas. Intensitas aktivitas dapat dijadikan ukuran beratnya gangguan
nafas.

Nocturnal dyspnea, yakni sesak nafas pada malam hari, biasnaya pasien
akan terbangun tengah malam. Hal ini mengindikasikan CHF atau asma.

Intermittent episodes of dyspnea, yakni menunjukkan episode dari


iskemi miokard, bronkospasme, atau embolisme pulmonary.

Keluhan sesak nafas juga dapat disebabkan oleh keadaan psikologis. Jika
seseorang mengeluh sesak nafas tetapi dalam exercise tidak timbul maka dapat
dipastikan keluhan sesak nafasnya disebabkan oleh keadaan psikologis. Jangan
lupa untuk menanyakan kebiasaan merokok, minuman keras, penggunaan jarum
suntik pada pasien, riwayat penyakit dahulu, dan apakah pasien dalam waktuwaktu dekat ini pergi daerah yang terdapat penyakit endemik paru.

Pemeriksaan Fisik
Tekanan darah, temperatur, frekuensi nadi, dan frekuensi nafas menentukan
tingkat keparahan penyakit. Seorang pasien sesak dengan tanda-tanda vital normal
biasanya menderita penyakit kronik atau ringan, sementara pasien yang
memperlihatkan perubahan nyata pada tanda-tanda vital biasanya mengalami
gangguan akut yang memerlukan evaluasi dan pengobatan segera.
1. Temperatur: <35C atau >41C atau sistolik dibawah 90 mmHg
menandakan hal gawat
2. Pulsus Paradoksus: pada fase inspirasi terjadi peningkatan tekanan arteri
>10mmHg yang menyebabkan kemungkinan udara terperangkap (air
trapping). Contoh pada asma, PPOK eksaserbasi akut. Ketika obstruksi
saluran nafas menurun, variasi itu meningkat; dan ketika obstruksi
membaik, pulsus paradoksus menurun.
3. Frekuensi Napas: < 5kali/menit menunjukan hipoventilasi; kemungkinan
respiratory arrest. Jika frekuensi napas 35 kali/menit, diduga ada gangguan

parah. Frekuensi yang lebih cepat dapat terlihat beberapa jam sebelum
otot-otot nafas menjaid lelah dan terjadi gagal nafas.
Pemeriksaan Umum 15

Tampilan Umum.
o

Pasien mengantuk dengan napas lambat dan pendek. Bisa


disebabkan

obat-obatan

tertentu,

retensi

CO2,

gangguan

SSP(stroke, edema serebral,dan lainnya).


o

Pasien gelisah dengan napas cepat dan dalam disebabkan


hipoksemia berat karena penyakit paru/saluran napas, jantung,
serangan cemas (anxiety attack), histerical attack.

Kontraksi otot bantu napas. Otot bantu napas di leher dan otot-otot
interkostal akan berkontraksi pada keadaan obstruksi moderat hingga
parah. Asimetri gerakan dinding dada/deviasi trakea juga dapat dideteksi.
Pada Tension Pneumotorax-suatu keadaan gawat darurat-sisi yang terkena
akan membesar pada tiap inspirasi dan trake terdorong ke sisi sebelahnya.

Tekanan vena jugularis. peninggiannya menandakan adanya peningkatan


tekanan atrium kanan.

Palpasi
o

Palpasi dimulai dengan memeriksa telapak tangan dan jari, leher,


dada, dan abdomen. Jari tabuh bisa didapatkan pada kanker paru,
abses paru, emfisema, serta bronkoelaktasis.

Palpasi dada akan memberikan informasi tentang penonjolan di


dinding dada, nyeri tekan, gerakan pernafasan yang simetris atau
asimetris, derajat ekspansi dada, dan untuk menentuka tactile vocal
fremitus.

Pemeriksaan tactile vocal fremitus berdasarkan persepsi telapak


tangan terhadap vibrasi di dada yang disebabkan oleh adanya
transmisi getara suara dari laring ke dinding dada.2 Tertinggalnya
hemitoraks pada lateral bawah rib cage paru menunjukan gangguan

perkembangan hemitoraks tersebut. Dapat diakibatkan: obstruski


bronkus utama, pneumothorax, atau efusi pleura.21
o

Menurunnya fremitus traktil dengan meminta pasien menyebut


tujuh

tujuh

berulang-ulang

palpasi

pada

area

atelektasis

menunjukan bronkus tersumbat atau efusi pleura. Meningktanya


fremitus

disebabkan konsolidasi

parenkim

pada

area

yang

inflamasi.

Perkusi
o

Hipersonor. Terjadi pada hiperinflasi pada serangan asma akut,


emfisema,pneumotoraks.

Redup(dullness). Terjadi akibat konsolidasi paru atau efusi pleura.

Auskultasi
o

Ronki kasar dan nyaring (coarse rales dan wheezing) menunjukan


obstruksi parsial atau penyempitan saluran napas.

Ronki basah dan halus (fine, moist rales) berarti parenkim paru
berisi cairan.

Ronki bilateral (bilateral rales) disertai irama gallop menunjukan


gagal jantung kongestif

Sesak napas dengan sakit dada, kemungkinan friction rub.

11. Bagaimana tatalaksana kegawatdaruratan pada gagal jantung akut?


Tujuan Penatalaksanaan Gagal Jantung Akut
Tujuan dalam penanganan gagal jantung akut adalah untuk memperbaiki
keluhan dan menstabilkan hemodinamik. Terapi perawatan pasien dengan GJA
harus memiliki objektif yang realistik dan rencana untuk follow up harus dimulai
sebelum pasien dipulangkan. Banyak pasien dengan GJA akan membutuhkan
menanganan jangka pajang jika episode akut mengarah pada timbulnya gagal
jantung kronis. Terapi GJA harus diikuti dengan program managemen gagal
jantung kronis jika tersedia.9

TERAPI INISIAL PADA GAGAL JANTUNG AKUT


TERAPI OKSIGEN
Direkomendasikan untuk memberikan oksigen sedini mungkin pada
pasien hipoksemia untuk mencapai saturasi oksigen > 95% (90% pada pasien
dengan COPD). Harus hati-hati pada pasien COPD agar jangan sampai terjadi
hiperkapnia. Rekomendasi Kelas I, Tingkat Bukti C
Ventilasi Non-Invasif
Ventilasi non infasif (VNI) adalah semua modalitas yang membantu
ventilasi tanpa menggunakan tube endotrakeal, hal ini misalnya dapat dicapai
dengan masker yang menutupi seluruh wajah. Pada tiga meta-analisis dilaporkan
bahwa aplikasi dini VNI pada edema pulmoner akut kardiogenik mengurangi
kemungkinan perlunya intubasi dan menurunkan mortalitas jangka pendek. Walau
demikian pada, 3CPO, sebuah uji klinis acak yang besar VNI ditemukan
memperbaiki parameter klinis saja, dan tidak menurunkan mortalitas. Ventilasi
dengan tekanan akhir respirasi positif (PEEP) harus dipikirkan sedini mungkin
pada pasien dengan edema paru kardiogenik akut dan semua pasien dengan GJA
hipertensif karena dapat memperbaiki parameter klinis termasuk keluhan sesak.
Harus digunakan secara berhati-hati pada shock kardiogenik dan gagal jantung
kanan.Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B. Kontraindikasi :
Pasien yang tidak dapat bekerjasama (pasien yang tidak sadar, gangguan
kognitif berat, atau cemas)
Pasien yang membutuhkan intubasi endotraheal karena hipoksia progresif
yang mengancam jiwa.
Harus hati-hati pada pasien dengan obstruksi jalan nafas kronis.
Bagaimana memberikan NVI :
Inisiasi : berikan PEEP 5-7.5 cmH2O harus diberikan pada mulanya dan
dititrasi hingga didapat respon klinis hingga 10cmH2O, pengiriman FiO2 harus >
0.40.
Durasi : biasanya tiap 30 menit/jam hingga sesak pasien dan saturasi oksigen
meningkat tanpa tekanan airway positif kontinyu (CPAP)
Potensi Efek Samping :

- Perburukan gagal jantung kanan


- Mengeringnya membran mukosa pada penggunaan jangka panjang.
- Hiperkapnia
- Timbulnya rasa cemas atau klausrofobia
- Pneumothorax
- Aspirasi
Morfin
Morfin dan analognya pada GJA harus dipertimbangkan pada stadium
awal terapi pasien yang masuk dengan gagal jantung berat, terutama bila disertai
dengan gelisah, sesak, cemas, atau nyeri dada. Morfin mengurangi keluhan sesak
dan gejala lain pada pasien dengan GHA dan dapat membuat pasien lebih mau
bekerjasama jika diberikan ventilasi non invasif. Bukti yang menyokong
penggunaan morfin pada GJA masih terbatas. Dosis bolus intravena sebesar 2,5
5 dapat diberikan secepat mungkin setelah dipasang akses intravena pada pasien
dengan GJA. Dosis ini dapat diulang sesuai kebutuhan.
Respirasi harus selalu dimonitor.
Keluhan mual umum ditemukan, terapi antiemetik mungkin dipertlukan.
Hati-hati pada pasien dengan hipotensi, bradikardi, blok Atrio-ventrikular
derajat tinggi, atau retensi CO2.
DIURETIK
Pemberian

diuretik

secara

intravena

pada

pasien

dengan

GJA

direkomendasikan bila terdapat gejala akibat kongesti dan overload cairan.Kelas


Rekomendasi I, Tingkat Bukti B
VASODILATOR
Vasodilator direkomendasikan saat fase awal gagal jantung akut tanpa
adanya gejala hipotensi. Vasodilator akan mengurangi gejala kongesti pulmonal
tanpa mengganggu isi sekuncup atau peningkatan kebutuhan oksigen, terutama
pada pasien sindroma koroner akut. Indikasi vasodilator parenteral pada gagal
jantung akut sangat bermanfaat. Indikasi dan dosis pemberian vasodilator
parenteral pada gagal jantung akut dapat dilihat pada Tabel: 9

Pemberian obat-obatan inotropik atau vasokontrikor menjadi pilihan pada


pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil.
NITROGLISERIN
Terapi nitrogliserin merupakan terapi kerja cepat yang efektif dan dapat
diprediksi hasilnya dalam mengurangi preload. Data menunjukkan bahwa
nitrogliserin intravena juga dapat mengurangi afteroload. Oleh karena itu,
nitrogliserin intravena merupakan terapi tunggal yang baik untuk pasien dengan
gagal jantung dekompensasi berat dengan edema paru yang besar.
INOTROPIK
Obat- obatan inotropik dipertimbangkan pada gagal jantung akut dengan
lowoutput states, adanya gejala dan tanda hipoperfusi dan kongesti disamping
pemberian vasodilator dan atau diuretik. Penggunaan obat inotropik dapat
menyebabkan peningkatan aritmia atrial dan ventrikular. Oleh karena itu
pemantauan irama jantung melalui EKG harus dilakukan. Dobutamin merupakan
positif obat inotropik yang bekerja melalui perangsangan receptor 1 untuk
menghasilkan efek inotropik dan kronotropik positif. Dopamin juga dapat
merangsang reseptor adrenergic. Dopamin dosis rendah dapat merangsang
stimulasi reseptor dopaminergik dan mempunyai efek diuresis yang terbatas.

Dosis tinggi dopamin dapat digunakan untuk mempertahankan tekanan darah


dengan menimbulkan efek takikardi, aritmia dan stimulasi reseptor adrenergic
yang dapat mengakibatkan vasokonstriksi. Dopamin dosis rendah sering
dikombinasikan dengan dobutamin dosis tinggi. Penggunaan vasopresor
(noradrenalin) tidak direkomendasikan sebagai terapi lini pertamapada gagal
jantung. Dan hanya diindikasikan pada syok kardiogenik ketika kombinasi dari
inotropik dan fluid challenge test gagal dalam mengembalikan tekanan darah yang
adekuat. Pasien dengan sepsis dengan komplikasi gagal jantung akut dapat
menggunakan vasopressor. Dosis obat obat inotropik dapat dilihat pada tabel

GLIKOSIDA JANTUNG
Pada GJA glikosida jantung menghasilkan peningkatan yang bermakna
pada kardiak output dan mengurangi tekanan pengisian. Dan dapat bermanfaat
untuk mengurangi respon ventrikel pada AF rapid.Kelas Rekomendasi IIb,
Tingkat Bukti C

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hipotesis diterima.
.

41

DAFTAR PUSTAKA
1.

Longo DL, Kasper DL, Jameson DL, Fauci AS, et al. Harrisons
Principles of Internal Medicine. Edisi ke-18. United States: McGraw-Hill
Professional. 2012.

2.

Kumar R, Abbas A, Delancey A, Malone E. Robbins and Cotran:


Pathologic Basic of Disease. Edisi ke-8. Philadelphia: Saunders El
Sevier;2010

3.

Lilly LS. Pathophysiology of Heart Disease. Edisi ke-6. Philadelphia:


Lippincott Williams & Wilkins;2011

4.

Panggabean MM. Gagal Jantung dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III. Edisi ke-5. Indonesia: Internal Publishing; 2009.

5.

Hunt SA, Baker DW, Chin MH, et al. ACC/AHA guidelines for the
evaluation and management of chronic heart failure in the adult: executive
summary. Circulation. 2001;104:29963007

6. Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan


Medikal Bedah. EGC : Jakarta
7. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Ed 4. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Jakarta; 2000
8. Buku Ajar Kardiologi.Balai Penerbit FK UI. Jakarta:2006
9. Dickstain A, Filippatos G, Cohen SA, et al. Guidelines for the diagnosis
and treatment of acute and chronic heart failure 2008. European Society
Cardiology. European Heart Journal (2008) 29. 2388-2442.
10. Behavioural Modification. In: Management of chronic heart failure: A
national clinical guideline. Edinburgh: Scottish Intercollegiate Guidelines
Network: 2007. p; 10-13.
11. Swartz, Mark H. Buku ajar Diagnostik Fisik / Mark H. Swartz; alih
bahasa, petrus Lukmanto, R.F. Maulany, Jan Tambayong; editor edisi
bahasa Indonesia, Harjanto Effendi, Huriawati Hartanto, Jakarta : EGC,
1995

42

12. Diamond JA, PhillipsRA. Hypertensive Heart Disease. Hypertens Res Vol.
28, No. 3 (2005). On
research

International journal of obesity. Hypertension


available

at

http://www.nature.com/hr/journal/v28/n3/abs/hr200525a.html
13. Kasper D, Braunwald E, Fauci A, Hauser S, Longo D, Jameson L.
Harrisons Principles of Internal Medicine. 16th Edition. In Drazen M
Jeffrey, Weinberger E Steven. Approach To The Patient With Disease Of
The Respiratory System. New York: McGraw-Hill Professional. 2004.
h.1495-1497
14. Mann DL. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Fauci AS, Braunwald E,
Kasper DL, editor. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th ed.
New York: Mc graw hill; 2008. p. 1443.
15. Bambang I. Dan RM. Arjuno. Edema Paru Pada Gagal Jantung. Berkala
Ilmu Kedokteran. 2006 ; 38 (2) : pp. 51 63
16. Ingram RH, Braunwauld JE. Dyspnea and pulmonary edema. In :Kasper,
Braunwauld, Fauci, Hauser, Longo, Jameson. Harrisons Principles of
Internal Medicine. 16th edition. Mc Graw Hill; 2005 : 201-5
17. Price, Sylvia Anderson dan Lorraine MW. Patofisiologi Vol 1. ed 6.
Jakarta : EGC. 2005.
18. Djojodibroto DR. Respirologi. Jakarta: EGC. 2007. h.64-68

43

Anda mungkin juga menyukai