MODUL KARDIOVASKULAR
PEMICU 3
KELOMPOK DISKUSI 1
1. Aditya Islami
I11112009
2. Karolus Sangarta K.
I11112026
3. Fawaid Akbar
I11112029
4. Irene Olivia S.
I11112030
5. Sekar Fatmadyani T.
I11112035
I11112059
7.
Lodi Salim
I11112060
8. Novia Rosita M.
I11112074
9. Ridhallah
I11112079
I11111041
I11111073
I11110064
I11108080
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pemicu
Seorang pria berusia 55 tahun datang ke IGD RS UNTAN dibawa oleh
keluarganya dengan keluhan sesak nafas. Sesak nafas dirasakan terutama pada
malam hari sehingga pasien sering terbangun. Pasien mengaku nyaman jika
tidur dengan posisi agak tinggi dengan 2-3 bantal sebagai penahan. Sesak juga
dirasakan saat berganti posisi dari tidur ke duduk atau duduk ke posisi berdiri
sehingga sangat mengganggu aktivitas fisik sehari-hari pasien. Pasien
mengeluh mudah lelah, berdebar, dan batuk pada malam hari.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sesak. Kesadaran compos
mentis. Tekanan darah 165/90 mmHg, denyut nadi 135x/menit, pernafasan
22x/menit, suhu 36,6oC. Tekanan vena jugularis 5+4 CmH2O. Pada auskultasi
jantung didapatkan s1-s2 irreguler, s3 (+). Pemeriksaan paru : ronki basah
halus di basal paru kanan dan kiri, pemeriksaan abdomen : hepar teraba
membesar dengan konsistensi keras, lien dan ren tidak teraba. Pemeriksaan
ekstermitas : edema pada kedua tungkai.
Anamnesis:
Pemeriksaan fisik :
Sesak Nafas
Berdebar
- TD : 165/90 mmHg
Mudah Lelah
Pernafasan : 22x/menit
- Suhu : 36,6oC
- JVP : 5+4 CmH2O
- s1-s2 irreguler, s3 (+)
- ronki basah halus
- hepar membesar
Diagnosis Kerja
(Gagal jantung kongestif)
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis
Tatalaksana
1.6 Hipotesis
Pria 55 tahun mengalami gagal jantung kongestif
Definisi
Etiologi
Patofisiologi
Diagnosis
Manifestasi klinis
Pemeriksaan penunjang
Klasifikasi
Tatalaksana
Faktor risiko
BAB II
PEMBAHASAN
Gagal jantung
2.1 Definisi
Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi
mampu memompakan darah ke jaringan untuk memenuhi metabolism tubuh
walaupun darah balik masih normal. Keadaan ini dapat timbul dengan atau
tanpa penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan
fungsi diastolik atau sistolik, gangguan irama jantung, atau ketidak sesuaian
preload dan afterload. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian pada pasien.1
Gagal
jantung kanan. Gagal jantung juga dapat dibagi menjadi gagal jantung
akut, gagal jantung dekompensasi, serta gagal jantung kronis.1
tampilan klinis
sesak
Kelas Terdapat batas aktivitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat
istirahat, namun aktivitas fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan,
II
III
IV
B. Klasifikasi Killip
Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita infark miokard
akut, dengan pembagian2 :
Derajat I
Derajat II
paru.
Derajat IV
Kelas II (B)
Kelas IV (D)
2.3
Etiologi
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi
sertacompliance ventrikel
yang
buruk,
tidak
membesar
dan
sedangkan
stenosis
aorta
menimbulkan
beban
tekanan
(peningkatan afterload).
Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan
dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertofi ventrikel kiri pada
penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul
bersamaan. Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan
gagal jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia (tersering atrial fibrilasi).
Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi
(penyakit otot jantung alkoholik). Alkohol menyebabkan gagal jantung 2 3%
dari kasus. Alkohol juga dapat menyebabkan gangguan nutrisi dan defisiensi
tiamin. Obat obatan juga dapat menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi
seperti doxorubicin dan obat antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan
gagal jantung akibat efek toksik langsung terhadap otot jantung.3
2.4
Patofisiologi
Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi gangguan
pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta
perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi
gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac
output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal,
sistem Renin Angiotensin Aldosteron (system RAA) serta kadar vasopresin
dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung
sehingga aktivitas jantung dapat terjaga. Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan
pada baroreseptor menjaga cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung,
meningkatkan
kontraktilitas
serta
vasokons-triksi
perifer
(peningkatan
darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal.
Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi
volume dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada
tonus vaskuler, sekresi ladosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena
peningkatan natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang
menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan telah
digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung.5
Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya
pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didapatkan pada
pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia. Endotelin disekresikan
oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide vasokonstriktor yang
poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang
bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin plasma akan
semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung.
Gagal Jantung Kiri
Kongestif paru terjadi pada venterikel kiri, karena venterikel kiri tidak mampu
memompa darah yang datang dari paru. Peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru
menyebabkan cairan terdorong ke jaringan paru. Manifestasi klinis yang dapat
terjadi meliputi dispnu, batuk, mudah lelah, denyut jantung cepat (takikardi)
dengan bunyi S3, kecemasan dan kegelisahan.
Gagal Jantung Kanan
Bila venterikel kanan gagal memompakan darah, maka yang menonjol adalah
kongestif visera dan jaringan perifer. Hal ini terjadi karena sisi kanan jantung
tidak mampu mengosongkan volume darah dengan adekuat sehingga tidak dapat
mengakomodasi semua darah yang secara normal kembali dari sirkulasi vena.
Manifestasi klinis yang tampak meliputi edema ekstremitas bawah (edema
dependen), yang biasanya merupakan pitting edema, pertambahan berat badan,
hepatomegali (pembesaran hepar), distensi vena jugularis (vena leher), asites
(penimbunan cairan di dalam rongga peritoneal), anoreksia dan mual, nokturia
dan lemah.5
2.6
Diagnosis
Kriteria Firmingham dapat digunakan untuk diagnosis gagal jantung
Kriteria Minor
Nighttime cough
Rales
Hepatomegaly
Pleural effusion
S3 gallop
gambaran batwing pada lapangan paru yang menunjukkan adanya udema paru
bermakna. Dapat pula tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila
unilateral, yang lebih banyak terkena adalah bagian kanan.7
hipertensi
tak
terkontrol,atau
aritmia).
Ekokardiografi
dapat
2.7
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Nonfarmakologis
Tabel 2.5 Topik Keterampilan Merawat Diri yang perlu dipahami penderita Gagal
Jantung Kongestif.9
Topik Edukasi
gagal jantung
keluhan-keluhan timbul
Gejala-gejala dan
tanda-tanda gagal
jantung
Terapi farmakologik
Kepatuhan
Prognosis
b.
Penatalaksanaan Farmakologis 10
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACEI)
ACEI harus digunakan pada semua pasien dengan gagal jantung yang
simtomatik dan LVEF < 40%. Pasien yang harus mendapatkan ACEI :
LVEF < 40%, walaupun tidak ada gejala.
Pasien gagal jantung disertai dengan regurgitasi
Kontraindikasi yang patut diingat antara lain :
Riwayat adanya angioedema
Stenosis bilateral arteri renalis
Konsentrasi serum kalsium > 5.0 mmol/L
Serum kreatinin > 220 mmol/L (>2.5 mg/dl)
Stenosis aorta berat
pasien telah membaik dengan terapi lainnya, tidak tergantung pada obat
inotropik intravenous, dan dapat diobservasi di rumah sakit setidaknya 24
jam setelah dimulainya terapi BB.
Kontraindikasi :
Asthma (COPD bukan kontranindikasi).
AV blok derajat II atau III, sick sinus syndrome (tanpa keberadaan
pacemaker), sinus bradikardi (<50 bpm).
Diuretik
Penggunaan diuretik pada gagal jantung :
Periksa selalu fungsi ginjal dan serum elektrolit.
Kebayakan pasien diresepkan loop diuretik dibandingkan thiazid karena
efektivitasnya yang lebih tinggi dalam memicu diuresis dan natriuresis.
Selalu mulai dengan dosis rendah dan tingkatkan hingga terrdapat
perbaikan klinis dari segi tanda dan gejala gagal jantung. Dosis harus
disesuaikan, terutama setelah berat badan kering normal telah tercapai,
hindari risiko disfungsi ginjal dan dehidrasi. Upayakan untuk mencapai hal
ini dengan menggunakan dosis diuretik serendah mungkin.
Penyesuaian dosis sendiri oleh pasien berdasarkan pengukuran berat badan
harian dan tanda-tanda klinis lainnya dari retensi cairan harus selalu
disokong pada pasien gagal jantung rawat jalan. Untuk mencapai hal ini
diperlukan edukasi pasien.
Antagonis Aldosteron
Pasien yang seharusnya mendapat antagonis aldosteron :
peningkatan
dosis
setelah
4-8
minggu.
Jangan
penghantaran
natrium
ke
tubulus
distal
sehingga
terlihat setelah terjadinya retensi cairan paling tidak sebanyak 4,5 kg dari berat
badan normal selama mengalami edema.
3.
nocturnal paroksismal yaitu serangan sesak napas yang biasanya timbul di malam
hari serta membuat pasien terbangun dari tidurnya, merupakan cirri khusus untuk
bentuk yang lebih lanjut dari keadaan gagal jantung yang disertai kenaikan
tekanan vena dan kapiler pulmonalis. Ortopnea terjadi akibat perubahan gaya
gravitasi ketika pasien berbaring. Penambahan volume darah intratorakal ini
menaikkan tekanan vena dan kapiler pulmonals yang kemudian meningkatkan
tekanan volume penutupan pulmonalis serta menurunkan kapasitas vital. Factor
tambahan yang menyertai posisi berbaring adalah elevasi diafragma yang
membuat end-expiratory lung volume menjadi lebih rendah.
Dispnea (nocturnal) paroksismal, keadaan ini dikenal sebagai asma kardiale
yang ditandai dengan serangan sesak napas yang berat dan umumnya terjadi pada
malam hari serta biasanya membangunkan pasien dari tidur. Serangan tersebut
dicetuskan oleh stimulus yang memperburuk kongesti paru yang sudah terjadi
sebelumnya, kerap kali volume total darah menjadi lebih besar di malam hari
karena reabsorpsi edema dari bagian tubuh yang tergantung (ekstremitas) ketika
pasien berbaring. Redistribusi volume darah yang terjadi akan mengakibatkan
peninkatan volume darah intratorakal dan dengan demikian menimbulkan
kongesti paru. Pasien yang dalam keadaan tidur menenggang kongesti paru yang
relative berat dan hanya kalau sudah terjadi edema paru serta bronkospasme yang
sebenarnya dengan disertai rasa terkecik dan suara wheezing respirasi.7
akan menurun dengan cepat sebab darah balik berkurang. Pada gagal jantung
kanan yang kronis, ventrikel kanan pada saat sistol tidak mampu memompakan
darah keluar, sehingga seperti pada gagal jantung kiri pada saat berikutnya
tekanan akhir diastole ventrikel kanan akan meninggi. Dengan demikian maka
tekanan di atrium kanan juga akan meninggi dan hal ini akan diikuti bendungan
darah di vena kava superior, vena kava inferior serta seluruh sistem vena. Hal ini
secara klinis dapat dilihat dengan adanya bendungan di vena hepatica, sehingga
menimbulkan hepatomegali. Bila kongesti pasif ini keras, maka sering
menimbulkan pecahnya sinusoid centrolobulus dan nekrosis sel hati sekitarnya,
yang dinamai nekrosis hemoragik sentral (CHN). Nekrosis hati mungkin
disebabkan dan sebagian oleh tekanan sinusoid yang meninggi. CHN sering
ditemukan pada payah jantung yang cepat menjadi progresif, insufisiensi katup
jantung kanan, pericarditis constrictiva. CHN yang berlangsung lama dapat
menimbulkan fibrosis di sekitar vena centralis yang kadang-kadang menjalar ke
lobulus sekelilingnya membentuk trabekel jaringan ikat. Makroskopik hati
menjadi lisut dengan tonjolan-tonjolan kecil dikenal sebagai sklerosis/sirosis
kardiak.
Jadi hepatomegali merupakan salah satu gejala yang timbul pada gagal
jantung kanan dan gagal jantung kongestif.8
Bising jantung : merupakan bunyi akibat getaran yang timbul dalam masa
lebih lama. Jadi perbedaan antara bunyi dan bising terutama berkaitan
dengan lamanya bunyi /getaran berlangsung. Untuk mengidentifikasi dan
menilai bising jantung, beberapa hal harus diperhatikan : di mana bising
paling jelas terdengar, fase terjadinya bising (saat sistole atau diastole) dan
kualitas bising.
pada
semilunaris,
regurgitasi
misal
karena
Aortic
inkompetensi
Insufficiency
atau
katub-katub
Pulmonal
Insufficiency.
Bising mid diastolik : terdengar setelah BJ2 (ada gap dengan BJ2).
Bising makin melemah atau menyatu dengan bising late diastolic. Bising late diastolic (presistolik) : mulai terdengar pada akhir fase
diastolik, dan biasanya berlanjut dengan BJ1. Bising mid diastolik
dan bising late diastolic (presistolik) mencerminkan turbulensi
aliran darah yang melewati katub atrioventrikularis, misalnya
stenosis mitral.
B. Bentuk
Bentuk atau konfigurasi bising adalah intensitas bising dari waktu
ke waktu selama terdengar. a.Bising crescendo : intensitas makin keras
(misalnya bising presistolik pada stenosis mitral). b.Bising decrescendo :
intensitas makin berkurang (misalnya bising early diastolic pada
regurgitasi katub aorta) c Bising crescendo-decrescendo : mula-mula
intensitas bising makin meningkat, kemudian menurun (misalnya bising
disebut
aritmia jantung ( terutama fibrilasi atrium), dan gagal jantung kongestif (CHF).
Dengan demikian, penyakit jantung hipertensi adalah istilah yang diterapkan
secara umum untuk penyakit jantung, seperti LVH, penyakit arteri koroner,
aritmia jantung,
7.
Bunyi jantung ketiga, yang dikenal sebagai S3 gallop, adalah getaran yang
bernada rendah yang terjadi pada awal diastole. bunyi jantung ketiga tersebut
terdengar lemah dan bergemuruh pd awal 1/3 bagian tengah diastol. Bunyi ini
timbul karena adanya ketegangan korda tendinae dan mengembangnya ventrikel
pada fase pengisian. Kecepatan pengisian ventrikel dan besarnya amplitudo dari
getaran dinding ventrikel mempengaruhi bunyi yang terdengar. Bunyi jantung
ketiga sisi kiri dapat didengar pada apeks jantung dgn posisi pasien berbaring
miring ke kiri. Sebaliknya bunyi jantung ketiga sisi kanan dapat didengar pada
batas bawah sternal kiri. S3 gallop (protodiastolic gallop) telah lama digunakan
secara klinis sebagai indikator disfungsi sistolik ventrikel kiri. S3 gallop ini terjadi
pada saat awal pengisian cepat, terdapat pada jantung normal anak -anak dan
dewasa muda, sedangkan S3 gallop yang abnormal terdapat pada gagal jantung.13
9.
menyertai
gagal
jantung
kongestif.
Paru
menjadi
kurang
radiologi seperti garis Kerley B dan hilangnya batas vaskular yang jelas. Pada
stadium ini, taut antarsel endotel kapiler melebar dan dapat dilewati
makromolekul ke interstisium.
Kenaikan lebih lanjut tekanan intravaskular mengakibatkan disrupsi hubungan
antara sel-sel lapisan alveoli, sehingga timbul edema alveoli dengan cairan yang
mengandung sel darah merah dan makro molekul. Dengan disrupsi membrana
alveoli kapiler yang semakin hebat, cairan edematous akan menggenangi alveoli
dan saluran napas. Pada saat ini akan terjadi edema paru yang full blown, secara
klinis pasien tampak cemas dan mengeluarkan keringat dingin, sputumnya
berbuih dan mengandung bercak darah, terdengar ronki basah bilateral sedangkan
pada foto thoraks tampak gambaran paru yang berkabut dengan peningkatan
densitas pada hilus proksimal.
berat dengan keadaan hipoksia yang memburuk. Tanpa penanganan yang efektif
akan terjadi asidemia progresif, hiperkapnia dan henti pernapasan.
Edema Paru NonKardiogenik15
Beberapa
keadaan
klinis
yang
disertai
edema
paru
terjadi
karena
menimbulkan edema interstisial. Pada kasus semacam itu, baik manifestasi klinis
maupun radiologik didominasi oleh proses penyakit yang mendasarinya.
Keadaan lain yang juga ditandai adanya peningkatan cairan interstisial di
dalam paru namun dimulai bukan dengan terjadinya gangguan keseimbangan
tekanan kapiler ataupun oleh perubahan dalam aliran cairan limfe, tetapi timbul
karena adanya disrupsi membran alveoli-kapiler. Keadaan ini timbul pada
keadaan toksis karena faktor lingkungan ataupun terjadi spontan, termasuk infeksi
paru difus, aspirasi dan syok. Edema paru yang terjadi difus dan tidak disebabkan
karena hemodinamik. Keadaan ini dapat menimbulkan acute respiratory distress
syndrome (ARDS). 15
Edema paru dibedakan oleh karena sebab kardiogenik dan nonkardiogenik. Hal
ini penting diketahui oleh karena pengobatannya sangat berbeda. Edema paru
kardiogenik disebabkan oleh adanya payah jantung kiri apapun sebabnya. Edema
paru kardiogenik yang akut disebabkan oleh adanya payah jantung kiri akut.
Tetapi dengan adanya faktor presipitasi, dapat terjadi pula pada penderita payah
jantung kiri khronik. Edema paru dapat terjadi oleh karena banyak mekanisme.
Edema Paru dapat terjadi oleh karena banyak mekanisme yaitu :
Ketidakseimbangan (Starling Forces)
Pertamanya, ketidakseimbangan dapat mengakibatkan peningkatan
tekanan kapiler paru. Peningkatan tekanan kapiler paru pula terbagi menjadi
tiga yaitu peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi
ventrikel kiri (stenosis mitral), peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh
karena gangguan fungsi ventrikel kiri, dan peningkatan tekanan kapiler paru
sekunder oleh karena peningkatan tekanan arteria pulmonalis (over perfusion
pulmonary edema). Keduanya, penurunan tekanan onkotik plasma juga bisa
terjadi karena disebabkan oleh ketidakseimbangan tadi. Penurunan ini
menimbulkan hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati,
protein-losing enteropaday, penyakit dermatologi atau penyakit nutrisi.
Ketiganya,
berlaku
pula
peningkatan
tekanan
negative
intersisial
sehingga terjadi sesak napas. Pada orang normal ruang mati ini hanya berjumlah
sedikit dan tidak terlalu penting, namun pada orang dalam keadaan patologis pada
saluran pernapasn maka ruang mati akan meningkat. Begitu juga jika terjadi
peningkatan tahanan jalan napas maka pertukaran gas juga akan terganggu dan
juga dapat menebab kan dispnea.
Dispnea juga dapat terjadi pada orang yang mengalami penurunan
terhadap compliance paru, semakin rendah kemampuan terhadap compliance paru
maka semakin besar gradien tekanan transmural yang harus dibentuk selama
inspirasi untuk menghasilkan pengembangan paru yang normal. Penyebab
menurunnya compliance paru bisa bermacam salah satu nya adalah digantinya
jaringan paru dengan jaringan ikat fibrosa akibat inhalasi asbston atau iritan yang
sama.
Sumber penyebab dispnea termasuk: 18
1. Reseptor-reseptor mekanik pada otot-otot pernapasan, paru, dinding dada dalam
teori tegangan panjang, elemen- elemen sensoris, gelendong otot pada khususnya
berperan penting dalam membandingkan tegangan otot dengan derajat elastisitas
nya. Dispnea dapat terjadi jika tegangan yang ada tidak cukup besar untuk satu
panjang otot.
2. Kemoreseptor untuk tegangan CO2 dan O2.
3. Peningkatan kerja pernapasan yang mengakibatkan sangat meningkat nya rasa
sesak napas.
4. Ketidak seimbangan antara kerja pernapasan dengan kapasitas ventilasi
Patofisiologi
Dispnea mungkin disebabkan gangguan fisiologis akut seperti asma bronchial,
emboli paru, pneumotoraks, atau infark miokard. Serangan berkepanjangan
selama berjam-jam hingga berhari-hari lebih disebabkan akibat eksaserbasi
penyakit paru yang kronik atau prosesif dari efusi pleura atau gagal jantung
kongestif.18
Penggambaran Patofisiologi 18
1. Konstriksi atau sensasi dada terjepit Bronkokonstriksi, edema
interstitial (asma, iskemi miokardial)
2. Meningkatnya kerja dan usaha untuk bernapas. Obstruksi jalan napas,
penyakit neuromuskular (PPOK, asma sedang sampai parah, miopati,
kiposkoliosis)
3. Lapar udara, membutuhkan pernapasan, urge to breathe. Meningkatnya
gerakan untuk bernapas (CHF, embolisme pulmonary, obstruksi aliran
udara yang sedang hingga parah)
4. Tidak dapat bernapas dalam, bernapas yang tidak memuaskan.
Hiperinflasi (asma, PPOK) dan terbatasnya volume tidal (fibrosis
pulmonal, restriksi dinding dada)
5. Pernapasan yang berat dan cepat Deconditioning.
Platipneu, yaitu Dispnea yang terjadi pada posisi tegak dan akan
membaik jika penderita dalam posisi berbaring. Keadaan ini terjadi pada
abnormalitas vaskularisasi paru seperti pada COPD berat.
Nocturnal dyspnea, yakni sesak nafas pada malam hari, biasnaya pasien
akan terbangun tengah malam. Hal ini mengindikasikan CHF atau asma.
Keluhan sesak nafas juga dapat disebabkan oleh keadaan psikologis. Jika
seseorang mengeluh sesak nafas tetapi dalam exercise tidak timbul maka dapat
dipastikan keluhan sesak nafasnya disebabkan oleh keadaan psikologis. Jangan
lupa untuk menanyakan kebiasaan merokok, minuman keras, penggunaan jarum
suntik pada pasien, riwayat penyakit dahulu, dan apakah pasien dalam waktuwaktu dekat ini pergi daerah yang terdapat penyakit endemik paru.
Pemeriksaan Fisik
Tekanan darah, temperatur, frekuensi nadi, dan frekuensi nafas menentukan
tingkat keparahan penyakit. Seorang pasien sesak dengan tanda-tanda vital normal
biasanya menderita penyakit kronik atau ringan, sementara pasien yang
memperlihatkan perubahan nyata pada tanda-tanda vital biasanya mengalami
gangguan akut yang memerlukan evaluasi dan pengobatan segera.
1. Temperatur: <35C atau >41C atau sistolik dibawah 90 mmHg
menandakan hal gawat
2. Pulsus Paradoksus: pada fase inspirasi terjadi peningkatan tekanan arteri
>10mmHg yang menyebabkan kemungkinan udara terperangkap (air
trapping). Contoh pada asma, PPOK eksaserbasi akut. Ketika obstruksi
saluran nafas menurun, variasi itu meningkat; dan ketika obstruksi
membaik, pulsus paradoksus menurun.
3. Frekuensi Napas: < 5kali/menit menunjukan hipoventilasi; kemungkinan
respiratory arrest. Jika frekuensi napas 35 kali/menit, diduga ada gangguan
parah. Frekuensi yang lebih cepat dapat terlihat beberapa jam sebelum
otot-otot nafas menjaid lelah dan terjadi gagal nafas.
Pemeriksaan Umum 15
Tampilan Umum.
o
obat-obatan
tertentu,
retensi
CO2,
gangguan
Kontraksi otot bantu napas. Otot bantu napas di leher dan otot-otot
interkostal akan berkontraksi pada keadaan obstruksi moderat hingga
parah. Asimetri gerakan dinding dada/deviasi trakea juga dapat dideteksi.
Pada Tension Pneumotorax-suatu keadaan gawat darurat-sisi yang terkena
akan membesar pada tiap inspirasi dan trake terdorong ke sisi sebelahnya.
Palpasi
o
tujuh
berulang-ulang
palpasi
pada
area
atelektasis
disebabkan konsolidasi
parenkim
pada
area
yang
inflamasi.
Perkusi
o
Auskultasi
o
Ronki basah dan halus (fine, moist rales) berarti parenkim paru
berisi cairan.
diuretik
secara
intravena
pada
pasien
dengan
GJA
GLIKOSIDA JANTUNG
Pada GJA glikosida jantung menghasilkan peningkatan yang bermakna
pada kardiak output dan mengurangi tekanan pengisian. Dan dapat bermanfaat
untuk mengurangi respon ventrikel pada AF rapid.Kelas Rekomendasi IIb,
Tingkat Bukti C
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hipotesis diterima.
.
41
DAFTAR PUSTAKA
1.
Longo DL, Kasper DL, Jameson DL, Fauci AS, et al. Harrisons
Principles of Internal Medicine. Edisi ke-18. United States: McGraw-Hill
Professional. 2012.
2.
3.
4.
Panggabean MM. Gagal Jantung dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III. Edisi ke-5. Indonesia: Internal Publishing; 2009.
5.
Hunt SA, Baker DW, Chin MH, et al. ACC/AHA guidelines for the
evaluation and management of chronic heart failure in the adult: executive
summary. Circulation. 2001;104:29963007
42
12. Diamond JA, PhillipsRA. Hypertensive Heart Disease. Hypertens Res Vol.
28, No. 3 (2005). On
research
at
http://www.nature.com/hr/journal/v28/n3/abs/hr200525a.html
13. Kasper D, Braunwald E, Fauci A, Hauser S, Longo D, Jameson L.
Harrisons Principles of Internal Medicine. 16th Edition. In Drazen M
Jeffrey, Weinberger E Steven. Approach To The Patient With Disease Of
The Respiratory System. New York: McGraw-Hill Professional. 2004.
h.1495-1497
14. Mann DL. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Fauci AS, Braunwald E,
Kasper DL, editor. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th ed.
New York: Mc graw hill; 2008. p. 1443.
15. Bambang I. Dan RM. Arjuno. Edema Paru Pada Gagal Jantung. Berkala
Ilmu Kedokteran. 2006 ; 38 (2) : pp. 51 63
16. Ingram RH, Braunwauld JE. Dyspnea and pulmonary edema. In :Kasper,
Braunwauld, Fauci, Hauser, Longo, Jameson. Harrisons Principles of
Internal Medicine. 16th edition. Mc Graw Hill; 2005 : 201-5
17. Price, Sylvia Anderson dan Lorraine MW. Patofisiologi Vol 1. ed 6.
Jakarta : EGC. 2005.
18. Djojodibroto DR. Respirologi. Jakarta: EGC. 2007. h.64-68
43