Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PSIKOLOGI BK
KESIAPAN DAN DIAGNOSIS
DALAM KONSELING DAN PSIKOTERAPI

Dosen Pengampu
Prof.Dr. Mudjiran,MS.,Kons
Dr.Yeni Karneli,M.Pd.,Kons.

Oleh
Indah Wijayanti 23151011
Assahrawiza 23151004
Feni Listari 23151032
Intan Verly Syafitr 23151012

PROGRAM STUDI S2 BIMBINGAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2024
i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya
sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun
materinya. Terutama kepada Prof.Dr. Mudjiran,MS.,Kons. Dan Dr.Yeni
Karneli,M.Pd.,Kons.Selaku dosen pengampu mata kuliah Psikologi Bimbingan dan
Koaseling. Berkat beliau, kami dapat menyusun makalah ini dengan judul "
Kesiapan dan Diagnosis dalam Konseling dan Psikoterapi ” .
Kami sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini
bisa di praktekkan oleh para pembaca dalam kehidupan sehari-hari Bagi kami
sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan daa pengalaman kami. Untuk itu kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Padang, 25 Februari2024

Kelompok 2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................... i


DAFTAR ISI ............................................................................................. ii
BAB I ........................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 1
C. Tujuan............................................................................................. 1
BAB II ....................................................................................................... 2
PEMBAHASAN ....................................................................................... 2
A. Kesiapan ......................................................................................... 2
B. Sejarah Kasus.................................................................................. 3
C. Psikodiagnosis ................................................................................ 5
BAB III ................................................................................................... 13
PENUTUP ............................................................................................... 13
A. Kesimpulan ................................................................................... 13
B. Saran ............................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konselor merupakan seseorang yang ahli dalam Bimbingan Konseling sebagai
profesi yang dapat memberikan kenyamanan, dan harapan baru bagi klien. Untuk
menjadi seorang konselor professional harus menampilkan sikap hangat, empati,
jujur, menghargai dan yang paling pentingdapat di percaya dapat menjaga rahasia
klien dan dapat menyelesaikan masalah klien. Konselor harus memiliki pengetahuan,
keterampilan dan kepribadian suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari
konselor. Menjadi konselor yang baik perlu mengenal diri sendiri, mengenal konseli,
memahami maksud dan tujuan konseling serta proses konseling dalam membangun
hubungan konseling (conseling relationship).
Menurut Suwarjo 2009, Istilah diagnosis awalnya digunakan pada dunia
kedokteran. Kemudian seiring dengan berjalannya waktu dan berkembangnya dunia
layanan psikologis seperti layanan konseling. Konsep diagnosis ini digunakan
berdasarkan sebab akibat adanya pengaruh psikiatri yang menangani masalah emosi
dan actor. Diagnosis dalam bidang kedokteran akan berbeda dengan diagnosis dalam
konseling, akan tetapi memiliki tujuan yang sama agar konselor atau terapis dapat
merencanakan treatment yang sesuai dengan kebutuhan klien atau pasien. Istilah lain
yang dikemukakan diagnosis dimaknai sebagai usaha untuk menemukan atau
mengklasifikasikan sakit,ganguan atau abnormalitas.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan diagnosis?
2. Apa yang dimaksud dengan kesiapan konseling?
3. Apa saja syarat-syarat kesiapan konseling?
4. Apa saja faktor yang mempengaruhi kesiapan konseling?

C. Tujuan
1. Untuk menegetahui Apa yang dimaksud dengan diagnosis
2. Untuk mengetahu Apa yang dimaksud dengan kesiapan konseling
3. Untuk mengetahui Apa saja syarat-syarat kesiapan konseling
4. Untuk mengetshu Apa faktor yang mempengaruhi kesiapan konseling

Psikologi BK 1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kesiapan
Kesiapan dalam konseling dan psikoterapi serupa dalam kondisi tertentu yang
harus dipenuhi sebelum konseling dapat dilakukan. Seorang klien mungkin
menyadari bahwa ada sesuatu yang salah dalam hidupnya. Akan tetapi biasanya
klien memiliki pengamatan yang ditunjukkan kepadanya oleh orang lain atau
menunggu krisis muncul.
Konseling tidak dapat dimulai sampai orang mengenali kebutuhan untuk berubah
dan sampai mereka siap untuk berkomitmen pada proses perubahan. Kebudayaan
mengganggu kedua langkah ini. Pertama, ketika orang mencari bantuan untuk
kesulitan emosional. Orang lain sering menganggap mereka lemah atau cacat
daripada melihatnya sebagai manusia dengan keterbatasan atau masalah khusus.
Akibatnya, mereka mengakui kebutuhan akan bantuan membawa perasaan malu
dan malu yang terlalu sering membuat orang menghalangi kebutuhan tersebut dari
kesadaran mereka. Dengan asumsi hambatan pertama akan kebutuhan akan tanggung
jawab dihadapi, kesalahpahaman umum tentang proses perubahan mengganggu
langkah kedua untuk secara aktif mencari bantuan yang kompeten dan
menggunakannya secara efektif.
1. Faktor Penentu Kesiapan
Faktor-faktor dalam diri klien mungkin melibatkan persepsi konselor
dan/atau proses konseling, intelektual atau kemampuan
mengkonseptualisasikan, dan keterbukaan terhadap informasi tentang diri
sendiri. Klien mengharapkan terapis untuk memperbaikinya dengan keterlibatan
minimal di pihak mereka.
Keterbukaan individu terhadap informasi tentang diri mereka biasanya
digambarkan dalam hal kekakuan atau fleksibilitas sistem pertahanan dan
tingkat. Artinya keterbukaan kesiapan klien dalam konseling dan psikoterapi.
Sejumlah penelitian telah menemukan adanya hubungan antara kesiapan dengan
keterbukaan klien.
Faktor kedua yang menentukan kesiapan dalam konseling adalah faktor
kontekstual. Faktor kontekstual yang signifikan adalah kecocokan budaya,
ekonomi, dan etnis dari konselor dan klien. Meskipun tidak ada bukti kuat untuk

Psikologi BK 2
pengetahuan kita bahwa konselor dan klien harus berasal dari ras atau latar
belakang etnis yang sama untuk menjadi efektif, banyak klien memiliki
perasaan tentang masalah. Hal ini menuntut perlunya konselor untuk memiliki
pelatihan dalam fakta lintas budaya sehingga mereka dapat memahami dan
menangani secara efektif klien yang berbeda dari diri mereka sendiri. Inti dari
faktor kontekstual ini adalah respon empati konselor terhadap budaya, ekonomi,
dan etnis klien.
2. Metode untuk Kesiapan dalam Konseling untuk Klien
Salah satu cara untuk menjangkau orang-orang dengan masalah adalah
melalui perbincangan. Metode kedua untuk memotivasi klien adalah melalui
penciptaan iklim kelembagaan yang kondusif untuk mencari bantuan. Di
sekolah misalnya, ini sangat penting, karena sangat sedikit siswa yang mencari
konseling secara sukarela. Metode ketiga untuk merangsang klien yang
bermotivasi lemah dan untuk membangun.
Hal selanjutnya untuk meningkatkan kesiapan adalah dengan memberikan
calon pasien informasi tentang diri mereka sendiri. Hal ini cukup mudah
dilakukan di lingkungan sekolah atau perguruan tinggi dibandingkan dengan
praktik swasta atau klinik. Selain itu, konselor harus mampu mengukur situasi
untuk mengetahui apakah mereka harus menerapkan teknik dukungan untuk
meredakan kecemasan klien atau apakah mereka harus meningkatkan
ketidaknyamanan klien untuk membuat mereka lebih terlibat secara emosional
dan bersedia untuk mengatasi masalah mereka.

B. Sejarah Kasus
Sejarah kasus adalah kumpulan fakta sistematis tentang kehidupan klien saat ini
dan masa lalu. Sejarah ini dapat mengambil banyak bentuk. Tergantung pada gaya
dan preferensi konselor atau terapis dan jenis situasi masalah. Terapis berorientasi
psikoanalitik, misalnya, akan menekankan fakta-fakta rinci tentang perkembangan
emosional awal melalui masa remaja hingga status sekarang.
Konselor yang terlatih akan memberikan penekanan yang cukup besar pada
keadaan lingkungan klien dan juga akan mengumpulkan riwayat hidup yang
terperinci. Beberapa konselor, di samping itu, merasa bahwa persepsi orang tersebut
saat ini tentang situasinya yang penting, bukan rekonstruksi sistematis yang akurat
dari masa lalu.

Psikologi BK 3
Salah satu keterbatasan utama dari metode studi kasus adalah penekanan yang
berlebihan pada tanggung jawab konselor yang ditimbulkan oleh pengumpulan data
yang banyak. Klien akan merasa bahwa terapis sedang mengumpulkan informasi
yang kemudian terapis akan merumuskan jawaban untuk kasusnya. Karena
membuat sejarah kasus umumnya menuntut banyak pertanyaan, hal itu memiliki
efek yang tidak menguntungkan dari peningkatan resistensi pasien untuk membantu
dan membuat lebih sulit bagi mereka untuk membantu diri mereka sendiri nanti.
1. Keterbatasan metode studi kasus dalam konseling
Meskipun metode studi kasus mungkin dibatasi melalui kemungkinan
bahaya menggunakan data secara tidak akurat, bahaya bahwa seorang
konselor dapat membiarkan bias atau asumsi apriori masuk, dalam
kaitannya dengan kasus tertentu, sangat kuat ketika mengumpulkan data
kasus. Konselor mungkin menemukan, lebih jauh lagi, bahwa dia
mengumpulkan banyak data yang tidak relevan dan tidak dapat diandalkan
selama tinjauan sistematis kehidupan klien.
Konselor yang terampil Mengungkap distorsi halus yang sering
menjadi ciri pelaporan klien tentang peristiwa masa lalu. Keasyikan
dengan data kasus memiliki kerugian tambahan karena memakan waktu
yang sangat lama. Selain mengurangi tugas membangun hubungan yang
kokoh, terlalu banyak keasyikan dengan mengambil sejarah kasus dapat
memberikan konselor rasa aman palsu bahwa mereka memiliki jawaban
diagnostik dan prognostik yang berarti untuk masalah pasien mereka. Data
belaka tampaknya memiliki daya tarik yang mengerikan dan kuat bagi
sebagian konselor sampai-sampai kumpulan fakta kehidupan yang rapi
memberikan ilusi bahwa mereka memahami klien.
2. Bentuk Studi Kasus
Salah satu bentuk studi kasus dalam konseling adalah pada konseling karir.
Konseling karir pada umumnya membutuhkan formulir survei perencanaan
yang sangat terstruktur yang dirancang untuk dilengkapi klien. Adapun
beberapa informasi dalam formulir survey tersebut, yaitu: (1) informasi dasar
seperti nama, umur, dan jenis kelamin, (2) informasi pendidikan seperti sejarah
sekolah, catatan skolastik dan kegiatan, mata pelajaran disukai dan tidak
disukai, dan menyajikan status dan rencana pendidikan, (3) otori daerah seperti
pekerjaan paruh waktu dan penuh waktu, dan (4) data pribadi meliputi riwayat

Psikologi BK 4
kesehatan cacat, status orang tua dan perkawinan, latar belakang keluarga
dengan data tingkat sosial ekonomi, aspirasi keluarga, hobi, masalah pribadi,
dan ide karir klien.
Data dasar yang disediakan oleh klien dan sering dilengkapi dengan
wawancara pertama ini ditambahkan data dari transkrip sekolah, sampel
pekerjaan, profil tes minat, bakat, kepribadian, dan prestasi.
Data-data yang dikumpulkan di atas dijadikan dasar atau pedoman dalam
memberikan pelayanan konseling dan psikoterapi terhadap klien. Data-data
yang ditelusuri dapat menjadi informasi bagi konselor dalam memahami klien
berdasarkan sejarah hidupnya. Selain itu, data-data sejarah hidup klien juga
dapat dijadikan data untuk mendiagnosis permasalahan yang terjadi pada klien.

C. Psikodiagnosis
1. Konsep dan Isu tentang Diagnosis
Diagnosa dalam pengertian medis berarti suatu proses pemeriksaan
gejala, menyimpulkan penyebab, mengintegrasikan pengamatan dan
menyesuaikannya ke dalam tegorien umum, dan, akhirnya, menyematkan
label khusus pada entitas penyakit. Diagnosis paychological adalah proses
serupa untuk menemukan penyebab dan penamaan klaster gejala-
skizofrenia, misalnya, atau kekurangan membaca, atau keadaan cemas;
tetapi tidak ada analog psikologis yang tepat untuk konsep medis seperti
difteri atau trombosis, yang memiliki etiologi pasti. Dalam penyakit ini
adalah wajib bahwa diagnosis mendahului pengobatan.
Namun, di era che paychological, proses diagnostik memiliki beberapa
arti dan tidak semahal dalam kedokteran. Diagnosis paychological
umumnya berarti pernyataan tentang masalah atau status klien saat ini,
kemungkinan penyebab kesulitan, kemungkinan teknik konseling untuk
memecahkan masalah, dan prediksi hasil konseling atau perilaku diet di
masa depan. Formulasi diagnostik juga dapat mencakup survei kekuatan
dient.
2. Tipe Diagnosis
Paychodiagnosis secara historis berarti dasnifikasi deskriptif atau
taksonomi masalah yang mirip dengan dassifikasi psikiatri untuk neurosis,
pty-chos, dan gangguan karakter. Proses ini sering disebut diferential ding

Psikologi BK 5
neris dimana dokter mencoba untuk membedakan satu entitas penyakit dari
yang lain. Skema kasifikasi diferensial Varlous telah dirancang untuk
berbagai jenis perilaku patologis.
The American Psychiatric Associa tlon's Diagnestie and Statistical
Manual of Mental Disorders (disebut DSM III) pada jenis paychoses,
neurosis, dan gangguan karakter adalah referensi nosologis standar untuk
patologi. Studi lapangan dengan DSM II menghasilkan keandalan untuk
diagnosis skripsi lebih tinggi daripada yang diperoleh dengan, DSM II.
Hal ini tampaknya dihasilkan dari peningkatan kelengkapan dan
spesifisitas kriteria diagnostik DSM II. Perlu dicatat, bagaimanapun,
bahwa reliabilitas untuk klasifikasi gangguan kepribadian tertentu relatif
rendah. Karena gangguan kepribadian dicirikan oleh respons yang
maladaptif dan bertahan lama dan karena mereka kurang akut
dibandingkan gangguan kelas lain, lebih sulit untuk membedakan normal
dari abnormal dalam istilah yang jelas. Meskipun demikian, DSM III
membuktikannya. menjadi alat konseling yang lebih berguna untuk
mengklasifikasikan perilaku atipikal.
Dalam melihat klasifikasi nonpatologis yang digunakan dalam
konseling. Williamson (Brammer dan Everett, 1982) mengusulkan jenis
sosiologis dengan lima kategori: kepribadian, pendidikan, kejuruan,
keuangan, dan masalah kesehatan.
Bordin (Brammer dan Everett, 1982) melihat lebih dalam, pada
sumbernya daripada jenis kesulitannya, dan mengembangkan lima
kategori: tidak ada masalah, kurangnya informasi, ketergantungan, konflik
diri, dan kecemasan pilihan. Pepinsky (Brammer dan Everett, 1982)
memiliki seperangkat kategori yang sama untuk masalah siswa, termasuk
kurangnya jaminan, kurangnya informasi, kurangnya keterampilan,
ketergantungan, konflik diri (interpersonal, intrapersonal, budaya), dan
kecemasan pilihan.
Robinson (Brammer dan Everett, 1982) memiliki sistem tiga kategori
sederhana berdasarkan topik diskusi: masalah penyesuaian (emosional dan
nonemosional), pembelajaran keterampilan, dan kurangnya kedewasaan.
Skema ini bervariasi dengan waktu, jenis agensi, dan klien yang dilayan.
Robinson (Brammer dan Everett, 1982) mengembangkan model diagnostik

Psikologi BK 6
dua dimensi yang menekankan motivasi dan pola respons saat ini dan masa
lalu.
Robinson menyarankan proses empat langkah, yaitu : (1)
memanfaatkan skemanya, (2) menentukan penyebab untuk merencanakan
konseling diferensial, (3) menentukan tujuan konselor dengan jelas
sehingga upaya-upaya relevan dengan tugas yang dihadapi, dan (4)
mempelajari kasus secara intensif untuk mengetahui gaya respons yang
tepat, dan memilih dasar-dasar pembelajaran yang paling sesuai dengan
tujuan saat ini.
Kategorisasi diagnostik klien konseling terutama melayani tujuan
pelaporan dan pencarian kembali, meskipun kurangnya kesepakatan dasar
tentang dimensi kepribadian dan masalah pribadi membuat pelaporan
menjadi sulit. Ada sedikit usaha baru-baru ini untuk mengklasifikasikan
klien atau masalah menurut penyebabnya.
Pepinsky (Brammer dan Everett, 1982) menemukan bahwa hakim
Thailand dari penulisan kasus setuju dengan keandalan mereka dalam
mengkategorikan masalah klien dengan skemanya, tetapi mereka belum
terbukti cukup berguna dalam merencanakan konseling diferensial
Kategori diagnostik mungkin berguna dalam manipulasi lingkungan
tertentu dan untuk menawarkan perawatan khusus seperti bantuan
perbaikan untuk masalah membaca, tetapi dalam penyederhanaan mereka.
tidak banyak membantu konselor dalam memahami klien.
Label singkatan seperti "neurotik" tidak banyak membantu konselor.
atau klien baik, karena mereka cenderung membuat klien menjadi
stercotype yang mungkin tidak sesuai dengan dinamika klien yang
bersangkutan. Jika jenis pelabelan ini tampaknya perlu, frasa deskriptif
daripada istilah tunggal lebih disukai. Jenis pemahaman ini hanyalah salah
satu dasar untuk menerapkan teknik konseling atau terapi yang paling
tepat. Salah satu masalah dalam diagnosis, yang melibatkan kategori
diagnostik, adalah keandalan dassifikasi.
3. Tujuan Diagnosis
Tujuan utama pemikiran diagnostik dalam konseling dan psikoterapi
adalah untuk merencanakan perlakuan yang berbeda terhadap klien.
Dalam kerangka konseling, eksponen utama dari pandangan ini adalah

Psikologi BK 7
Callis (Brammer dan Everett, 1982) yang menjadikan diagnosis sebagai
pusat perencanaannya dengan klien dan penelitian dalam konseling.
Alasan pemikiran semacam ini adalah bahwa konselor harus membantu
klien memutuskan apakah, misalnya, mereka membutuhkan informasi,
menderita karena kurangnya pengalaman, atau mengalami persepsi yang
menyimpang.
Masing-masing kondisi ini membutuhkan pendekatan konselor yang
berbeda-pemberian informasi, interpretasi, atau penemuan diri yang
berbeda. Tidak ada satu pendekatan konseling yang sama efektifnya untuk
semua perubahan perilaku. Weiner (Brammer dan Everett, 1982)
menambahkan bukti pada pandangan ini dengan kasus yang
menggambarkan pentingnya diagnosis yang cermat dalam masalah pribadi.
Pandangan kami adalah bahwa diagnosis adalah pernyataan deskriptif
umum yang mengidentifikasi fungsi gaya hidup klien.
Tujuan dari deskripsi diagnostik gaya perilaku adalah untuk
memotivasi pasien untuk mengubah perilakunya. Konfrontasi klien
dengan diri mereka sendiri sebagai orang yang menonjolkan diri atau
manipulatif, misalnya, membantu memotivasi mereka untuk berubah.
Perls, Goodman, dan Hefferline (Brammer dan Everett, 1982)
mengkonfirmasi pandangan ini dari, pengalaman klinis mereka, dan
Shostrom (Brammer dan Everett, 1982) membangun sistem deskripsi
diagnostik di sekitar konsep manipulasi orang lain.
Kesadaran akan gaya manipulatif seseorang adalah langkah pertama
dalam proses aktualisasi pasien. Terapi perilaku berkontribusi banyak pada
pemikiran diagnostik dengan penekanannya pada, spesifikasi tujuan yang
baik. Tidak banyak gunanya mengidentifikasi manipulatif gaya, misalnya,
tanpa memiliki gagasan yang baik tentang perubahan apa yang diinginkan
dan cara apa yang diperlukan untuk mempengaruhi perubahan tersebut.
4. Resolusi dan Isu Diagnosis
Diagnosis dibuat sebagian untuk tujuan prognosis atau prediksi
perilaku masa depan klien. Prediksi berdasarkan penilaian klinis dan data
klinis tidak seperti yang seharusnya, bahkan untuk kepercayaan sederhana.
Prediksi klinis, menurut review oleh Meehl (Brammer dan Everett, 1982),
kurang valid dibandingkan metode aktuaria langsung di mana tes,

Psikologi BK 8
misalnya, digunakan untuk memprediksi perilaku. Salah satu kontroversi
dalam literatur psikologis adalah nilai relatif dari metode dini dan statistik
untuk memprediksi perilaku klien.
Sementara beberapa psikolog mengungkapkan keyakinan bahwa, di
bawah kondisi eksperimental yang tepat, metode klinis akan muncul lebih
baik, bukti sampai saat ini adalah bahwa prediksi statistik lebih unggul dan
metode prediksi klinis: memiliki banyak keterbatasan untuk konseling.
Prediksi klinis didasarkan pada asumsi bahwa klien konsisten dalam
diri mereka sendiri. Diagnostik prihatin dengan pola memastikan
konsistensi, dengan proyeksi yang dapat dibuat tentang perilaku di masa
depan. Meehl (Brammer dan Everett, 1982) menyimpulkan dalam
tinjauannya tentang masalah prediksi klinis dan aktuaria bahwa masalah
dapat diselesaikan sebagian dengan menentukan kondisi di mana setiap
metode bekerja paling baik.
Dia berharap para klinisi tidak akan dipaksa untuk berpikir lebih lama
lagi tentang metode klinis versus metode statistik. Kami mempertahankan
pandangan ketiga tentang masalah diagnosis. Kami merasa sulit untuk
melepaskan diri dari kenyataan bahwa psikolog terapeutik harus membuat
beberapa keputusan, melakukan beberapa 'perencanaan terapi, waspada
terhadap patologi untuk menghindari kesalahan serius, dan berada dalam
posisi untuk membuat beberapa prediksi atau prediksi. Tampaknya
psikolog terapeutik dipaksa untuk memainkan peran yang rumit.
5. Teknik Diagnosis
Menurut Maslina (2021), ada beberapa teknik dalam diagnosis:
a. Wawancara klinis, yaitu hubungan tatap muka dan bukan hanya sekedar
percakapan dalam wawancara terdapat suatu tujuan dalam proses tersebut
dapat menemukan dan arahan untuk memecahkan sebuah masalah da nada
berbbagai macam jenis wawancara yang harus dilakukan sehingga klien dapat
mengungkapkan masalahnya dan meneumkan solusi solusi yang cocok untuk
klien tersebut.
b. Pemeriksaan medis dan Tes Fisiologis, maksudnya bahwa diagnosis
tergantung pada aspek proses diagnosis yang dilakukan, dalam pemeriksaan
medis disebut untuk menyelidiki kondisi fisik yang dialami seseorang dan

Psikologi BK 9
terjadinya gejala-gejala ganguan fisik. Tes fisiologis dilakukan sebagai bagian
dari penelitian medis.
c. Tes-tes Psikologi, merupakan teknik yang terstruktur digunakan untuk
menghasilkan satu contoh perilaku, tes yangdigunakan seperti tes Intelegensi,
tes kepribadian, dan tes fungsi neuropsikologis digunakan untuk
mengidentifikasi kondisi organisik dan kerusakan otak.
6. Penggunaan Tes Diagnosis
a. Skrining
Salah satu fungsi utama tes untuk psikolog terapeutik adalah sebagai
layar kasar untuk patologi. Dengan memberikan tes singkat di tempat yang
tepat di awal proses, konselor bisa mendapatkan gambaran yang lebih jelas
tentang kemungkinan masalah yang akan dihadapi nanti. Patologi parah
sering tidak muncul sampai wawancara nanti.
b. Memprediksi keberhasilan konseling dan psikoterapi
Tes skrining diagnostik dapat memberikan informasi mengenai kesiapan
untuk konseling, misalnya. Ada dukungan untuk pernyataan bahwa
kecepatan pencapaian hasil konseling yang sukses bergantung pada faktor
kekuatan ego seperti kemampuan beradaptasi terhadap respons, kapasitas
untuk menguji tuntutan realitas, dan persepsi yang tidak terdistorsi,
sebagaimana dibuktikan oleh penelitian tentang Inventarisasi Orientasi
Pribadi. Oleh karena itu, konselor dapat memutuskan di awal proses
apakah konseling lanjutan dengan klien ini layak atau diinginkan.
c. Formulasi diagnosis
Menentukan jenis patologis telah dan terus menjadi keahlian utama
psikolog klinis. Teknik proyektif seperti Rorschach dan Tes Apersepsi
Tematik telah digunakan bersama dengan tes seperti Skala Kecerdasan Tes
Wechsler digunakan untuk memberikan gambaran bulat tentang fungsi
perseptual, konseptual, dan afektif klien. Sementara akurasi diagnostik
dalam hal klasifikasi masih membutuhkan banyak pengembangan, DSM II
yang dijelaskan sebelumnya merupakan peningkatan besar dalam
keandalan dan kegunaan dibandingkan edisi sebelumnya. Meskipun
perbaikan ini kita masih menghadapi masalah menyematkan label
psikiatris. Penyakit dan gangguan pada orang-orang yang berada di batas
antara fungsi normal dan tidak teratur. Banyak. orang tidak jelas sesuai

Psikologi BK 10
dengan, klasifikasi, yang awalnya didasarkan pada intuisi klinis.
d. Penilaian
Baterai ini terdiri dari tiga inventaris yang bertujuan untuk menilai
aspek proses aktualisasi. Berbeda dengan pendekatan DSM III untuk
masalah dan gangguan, AAB menekankan kualitas positif orang.
Inventarisasi ini disajikan di sini dalam bentuk singkat untuk
mengilustrasikan penggunaannya dengan model Konseling dan Psikoterapi
Aktualisasi kami. Baterai ini digunakan dalam meningkatkan kesiapan
klien, dalam mendiagnosis ada tidaknya sikap dan perilaku aktualisasi
kunci, dan dalam menilai kemajuan dalam konseling. Tes ini membantu
penilaian intrapersonal serta dimensi interpersonal fungsi psikologis,
seperti termometer atau stetoskop membantu praktisi medis dalam menilai
dimensi fungsi fisik. Untuk informasi rinci tentang sifat baterai, basis
penelitiannya, dan penggunaannya.
e. Melihat orientasi pribadi
Salah satu skala utama menilai keterarahan dalam versus keterarahan
luar, sementara yang lain adalah skala rasio waktu yang menilai sejauh
mana seseorang berorientasi pada masa kini, masa lalu, dan masa depan.
Subskala dirancang untuk mengungkapkan tingkat aktualisasi diri,
eksistensialitas, reaktivitas perasaan, spontanitas, self-penghargaan,
penerimaan diri, pandangan konstruktif tentang orang, sinergi, penerimaan
agresi, dan kapasitas untuk kontak intim. Ketika digunakan dalam
konseling atau pengaturan klinis, POI memberikan ukuran yang cukup
objektif dari tingkat aktualisasi klien, serta menawarkan pedoman positif
untuk pertumbuhan. Timbangan dapat digunakan dalam kombinasi untuk
menilai polaritas (seperti agresi dan kontak).
f. Melihat kepedulian dalam hubungan
Ini adalah ukuran keefektifan interpersonal yang berlaku untuk
berbagai pengaturan konseling kelompok dan individu, terutama yang
melibatkan pasangan. Fokus inventarisasi adalah pada berbagai elemen
mencintai atau peduli, dan didasarkan pada pandangan cinta oleh orang-
orang.
g. Inventarisasi atraksi pasangan
Inventarisasi ini didasarkan pada teori ganda yang menekankan

Psikologi BK 11
ketertarikan berdasarkan kebutuhan dan perbedaan yang saling
melengkapi. Baik komplementaritas dan simetri dinilai. Dasar
pemikirannya didasarkan pada penelitian kepribadian di Berkeley Institute
of Personality Assessment yang menekankan adanya polaritas dasar,
khususnya kemarahan-cinta dan kekuatan-kelemahan.
h. Dimensi orientasi pribadi
Ini terutama instrumen penelitian pada saat ini. Ini dirancang
sebagai perpanjangan dan penyempurnaan dimensi orientasi probadi.
Dimensi yang dinilai adalah Orientasi (orientasi waktu dan keterpusatan
inti), Polaritas (kekuatan, kelemahan, kemarahan, cinta), Integrasi (sinergi,
potensiasi), dan Kesadaran (menjadi, percaya pada orang, kreatif) hidup,
rasa misi, kesadaran manipulasi).

Psikologi BK 12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Diagnosis dalam medis diartikan sebagai proses pemeriksaan gejala, penyebab,
mengintergrasikan pengamatan dan menyesuaikannya ke dalam kategori gen,
diagnosis juga psikologis proses untuk menemukan penyebab dan termaksud dalam
kelompok gejala minsalnya kekurangan membaca, keadaan kecemasan, tetapi tidak
ada analogi psikologis yang jelas diagnosis harus dilakukan sebelum pengobatan.
Namun proses diagnosis dalam kedokteran tidak jelas akan tetapi diagnosis tidak
hanya untuk medis tetapi bisa juga disebut diagnosis psikologi karna umumnya
pernyataan masalah atau status klien saat ini, berkemungkinan penyebab kesulitan,
mungkin teknik konseling untuk memecahkan masalah serta prediksi hasil konseling
atau perilaku klien di masa yang akan datang.
Tujuan utama dalam diagnosis konseling dan psikoterapi adalah untuk
merencanakan perlakuan yang berbeda terhadap klien, perlakuan dalam artian kata
bahwa konselor harus dapat membantu klien memustuskan apa yang harus mereka
lakukan dan merencanakan tujuan untuk kehidupan klien selanjutnya dengan arah
positif. Minsalnya mereka membutuhkan informasi, kecewa karna kurangnya
pengalaman atau sedang mengalami persepsi atau pemikiran yang menyimpang.
Konselor membutuhkan pendekatan yang berbeda beda pemberian informasi,
interpretasi, atau penemuan harga diri dan masalah pribadi. Tujuan diagnosis
selanjutnya adalah untuk menginterpretasi data kasus,yang disebut diagnosis
structural yaitu pola konsistensi yang membantu menjelaskan atau mengambarkan
tingkahlaku klien.

B. Saran
Uraian makalah di atas masih terdapat banyak kekurangannya, untuk itu penulis
berharap kepada pembaca untuk dapat memberikan saran atau kritikan yang dapat
membangun, supaya kita sama dapat menyempurnakan pembuatan makalah ini.

Psikologi BK 13
DAFTAR PUSTAKA

Brammer, L, M., & Everett, S. (1982). Therapeutic Psychology: Fundamental of


Counseling and Psychoterapy. Wellington: Whitehall Books Limited.

Putri, A. (2016). Pentingnya Kualitas Pribadi Konselor Dalam Konseling Untuk


Membangun Hubungan Antar Konselor Dan Konseli. JBKI (Jurnal Bimbingan
Konseling Indonesia), 1(1), 10.

Suwarjo. (2009). REDEFINISI DIAGNOSTIK DALAM KONSELING (Sebuah Isu Profesi


Konseling). Paradigma: Jurnal Psikologi Pendidikan Dan Konseling, 08, 71–80.

Daulay Maslina. (2021). Proses Diagnosis dalam Bimbingan dan Konseling. Bimbingan,
Jurnal Islam, Konseling Jurnal, Web, 3(1), 51–64.

FITRIANA, H. (2019). Peran Keterampilan Konselor (Counselor Skill) Sebagai Problem


Solving Pada Permasalahan Remaja (Studi Literatur). Al-Tazkiah, 8(1), 17–28.

John. W Creswell. (2019). Educational Research Planning, Conducting and Evaluating


Quantitative and Qualitative Research. Pearson.

Mabruria, A. (2023). Konsep Diagnosis Kesulitan Belajar Dalam Proses Pembelajaran.


Muhafadzah, 1(2), 80–92.

Malik, A. A., & Kurniawan, K. (2018). Tingkat Pemahaman Konselor Tentang


Kompetensi Professional dalam Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Indonesian
Journal of Guidance and Counseling, 4(2), 30–36.

Psikologi BK 14

Anda mungkin juga menyukai