Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Al-Qur’an dan Sunnah adalah sumber primer hukum Islam. Telah

menjadi suatu kesepakatan di kalangan umat Islam, keduanya merupakan

sumber aturan umat Islam yang berlaku di segala tempat dan waktu.

Universalitas al-Qur’an dan sunnah diyakini dan dipandang sangat ideal dalam

mengatur kehidupan manusia baik untuk kepentingan di dunia maupun di

akhirat nanti.

Sebagai suatu totalitas ajaran, keduanya disyariatkan untuk

mewujudkan kemaslahatan umat manusia dengan memelihara keseimbangan

dalam segala aspek kehidupan. Sungguh pun demikian kemaslahatan manusia

itu secara faktual terus berkembang menuju bentuknya yang lebih baik dan

ideal sejalan dengan perkembangan zaman dan laju modernisasi di segala

lapangan kehidupan. Disinilah al-Qur’an dan Sunnah sebagai aturan baku

dihadapkanpada kenyataan-kenyataan seperti itu dan tidak mustahil akan

timbul friksi, yaitu diantara kemaslahatan yang dituntut oleh perkembangan

zaman dan modernisasi di satu pihak dan kemaslahatan yang dituntut oleh al-

Qur’an dan sunnah di lain pihak.

Dari penjelasan sebelumnya memahami kemaslahatan atau maslahah

mursalah adalah sebuah urgensi sarjana muslim untuk mengkaji lebih dalam

dari segi artinya menurut beberapa ‘ulama, macam-macam maslahah, arti

Maslahah Mursalah menurut beberapa ‘ulama, pandangan ‘ulama dalam


menggunakan maslahah mursalah, syarat-syarat dalam menggunakan

maslahah mursalah,argumen ‘ulama dalam menggunakan maslahah mursalah.

Selanjutnya, dalam makalah ini juga akan membahas Saddu al-Zari’ah.

Pengertian, pengelompokan dan pandangan ulama tentang Saddu al-Zari’ah.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Maslahah Mursalah dan Saddu al-Zari’ah?

2. Apa saja syarat-syarat dalam menggunakan maslahah mursalah?

3. Bagaimana pandangan ulama dalam penerapan maslahah mursalah dan

Saddu al-Zari’ah?

C. Tujuan Pembahsan

Makalah ini ditulis selain untuk memenuhi tugas matakuliah Ushul

Fiqh dan Qowaid Fiqh, juga untuk menambah wawasan lebih dalam bagi

penulis. Sebuah urgensi sarjana muslim khususnya di bidang Al-ahwal Al-

syakhsyiyah, untuk memahami lebih dalam tentang maslahah mursalah

dan saddu al-Zari’ah.


BAB II

MASLAHAH MURSALAH DAN SADDU Al-ZARI’AH

A. Maslahah Mursalah

Semua ulama sependapat tentang adanya kemaslahatan dalam hukum

yang ditetapkan Allah. Seluruh hukum yang ditetapkan Allah SWT atas

hamba-Nya adalah mengandung Maslahah. Tidak ada hukum syara’ yang sepi

dari mashlahah.

Setiap perbuatan yang mengandung kebaikan dalam pandangan

manusia, maka biasanya perbuatan itu terdapat hukum syara’ dalam bentuk

suruhan. Sebaliknya, pada setiap perbuatan yang dirasakan manusia

mengandung kerusakan, maka biasanya utnuk perbuatan itu ada hukum syara’

dalam bentuk larangan. Setiap hukum syara’ selalu sejalan dengan akal

manusia dan akal sejalan dengan hukum syara’. 1

1. Pengertian Mashlahah

Mashlahah (‫ )مصلحة‬berasal dari kata Shalaha )‫ (صلح‬dengan

penambahan “alif” di awalnya yang secara arti kata berarti “baik” lawan kata

“buruk” atau “rusak”. Ia adalah mashdar dengan arti kata shalah )‫ (صال ح‬yaitu

“manfaat” atau “terlepas daripadannya kerusakan”.Pengertian mashlahah

1
Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm.345.
dalam bahasa Arab berarti perbuatan –perbuatan yang mendorong kepada

kebaikan menusia. Dalam artinya yang umum adalah setiap segala sesuatu

yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan

keuntungan atau kesenangan; atau dalam arti menolak atau menghindarkan

seperti menolak kemudhorotan atau kerusakan. Jadi setiap yang mengandung

manfaat patut disebut mashlahah. Dengan begitu mashlahah itu mengandung

dua sisi, yaitu menarik atau mendatangkan kemaslahatan dan menolak atau

menghindarkan kemudhorotan. 2

Dalam mengartikan mashlahah secara definitf terdapat perbedaan

rumusan di kalangan ulama, berikut pendapatnya 3:

1. Al-Ghazali menjelaskan bahwa menurut asalnya mashlahah itu

berarti sesuatu yang mendatangkan manfaat (keuntungan) dan

menjauhkan mudarat (kerusakan), namun hakikat dari mashlahah

adalah

‫المحا فظة على مقصود الشرع‬

Memelihara tujuan syara’ (dalam penetapan hukum).

2. Al-Khawarizmi memberikan definisi yang hamper sama dengan Al-

Ghazali yaitu memelihara tujuan syara’ dengan menghindarkan

kerusakan dari manusia.

3. Al- ‘Iez ibn Abdi al-Salam dalam kitabnya, Qowa’id al-Ahkam,

memberikan arti mashlahah dalam bentuk hakikinya dengan

“kesenangan dan kenikmatan”. Sedangkan bentuk majazi nya

2
Ibid.
3
Ibid. hlm.345.
adalah “sebab-sebab yang mendatangkan kesenangan dan

kenikmatan” tersebut.

4. Al-Syatibi mengartikan mashlahah itu dari dua pandangan, yaitu

dari segi terjadinya mashlahah dalam kenyatan dan dari segi

tergantungnya tuntutan syara’ kepada mashlahah.

a. Dari segi terjadinya mashlahah dalam kenyataan, berarti :

‫ما يرجع الى قيام حياة االنسان وتمام عيشته نيله ما تقتضيه‬
‫اوصا فه الشهوا تنه والعقليته على اال طالق‬
Sesuatu kembali kepada tegaknya kehidupan manusia,

sempurna hidupnya, tercapai apa yang dikendaki oleh sifat

syahwati dan aklinya secara mutlak.

b. Dari tergantungnya tuntunan syara’ kepada mashlahah, yaitu

kemaslahatan yang merupakan tujuan dari penetapan hokum

syara’. Untuk menghasilkannya Allah menuntut manusia untuk

berbuat.

5. Al-Thufi menurut yang dinukil oleh Yusuf Hamid al-Amin dalam

bukunya al-Maqasid al –ammah li al-Syari’ati al-Islamiyyah

mendefinisikan mashlalaha sebagai berikut:

‫عبا رة عن السبب المؤدالشارع عبا دة اوعادة‬

Ungkapan dari sebab yang membawa kepada tujuan syara’ dalam

bentuk ibadat atau adat.


Definisi dari al-Thufi ini berkesesuaian dengan definisi al-Ghazali

yang memandang mashlahah dalam artian syara’ sebagai sesuatu

yang dapat membawa kepada tujuan syara’.

Dari berbagai definisi tentang mashlahah dengan rumusan yang berbeda

tersebut dapat disimpulkan bahwa mashlahah itu adalah sesuatu yang dipandang

baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan kan

keburukan (kerusakan) bagi manusia, sejalan dengan tujuan syara’ dalam

menetapkan hukum.

Dari kesimpulan terlihat adanya perbedaan antara mashlahah dalam

pengertian bahasa dan dalam pengertian hokum atau syara’. Perbedaannya terlihat

dari segi tujuan syara’ yang dijadikan rujukan. Mashlahah dalam pengertian bahsa

merujuk pada tujuan pemenuhan kebutuhan manusia dan karenanya mengandung

pengertian mengikuti syahwat atau hawa nafsu. Sedangan pada mashlahah dalam

artian syara’ yang menjdai titik bahasan dalam ushul fiqh, yang selalu menjadi

rujukan nya adalah hokum syara’ yaitu memelihara agama, jiwa, keturunan dan

harta benda tanpa melepaskan tujuan pemenuhan kenutuhan manusia yaitu

mendapatkan kesenangan dan menghindarkan ketidaksenangan.4

2. Macam-macam Mashlahah

a. Dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan

hukum, mashlahah ada tiga macam, yaitu:

4
Amir Syarifuddin,hlm.347.
1. Mashlahah dharuriyah, adalah kemaslahatan (lima prinsip

pokok) yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh

kehidupan manusia.

2. Mashlahah hajiyah, adalah kemaslahatan yang tingkat

kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak berada pada

tingkat dharuri. Mashlahah hajiyah jika tidak terpenuhi

dalam kehidupan manusia, tidak sampai secara langsung

menyebabkan rusaknya lima unsur pokok.

3. Mashlahah tahsiniyah, adalah mashlahah yang tingkat

kebutuhan hidup manusia kepadannya tidak sampai pada

tingkat dharuri, juga tidak sampai pada tingkat haji,namun

kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi

kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia.

Mashlahah dalam bentuk tahsini (perbaikan) ,juga berkaitan

dengan kebutuhan pokok manusia.

b. Ditinjau dari maksud usaha mencari dan menetapkan hukum,

mashlahah itu juga disebut juga dengan munasib. Mashlahah

dalam artian munasib terbagi menjadi tiga bagian :

1. Mashlahah al-Mu’tabarah, yaitu mashlahah yang

diperhitungkan oleh syari’. Maksudnya,ada petunjuk dari

syari’ baik langsung ataupun tidak langsung, yang

memberikan penunjuk pada adanya mashlahah yang menjadi

alasan dalam menetapkan hukum. Dari langsung tidak


langsungnya petunjuk terhadap mashlahah terbagi dua yaitu

munasib mu’atstsir dan munasib mulaim.

2. Mashlahah al-Mughlah, yaitu, mashlahah yang dianggap

baik oleh akal tetapi tidak diperhatikan oleh syara’ da nada

petunjuk syara’ yang menolaknya.

3. Mashlahah al-Mursalah (biasa disebut juga Istishlah), yaitu

apa yang dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan

syara’, dalam menetapkan hukum; namun tidak ada petunjuk

syara’ yang memperhitungkannya dan tidak ada pula

petunjuk syara’ yang menolaknya.

Jumhur

3. Pengertian Mashlahah Mursalah

Mashlahah Mursalah terdiri dari dua kata yang hubungan

keduanya dalam bentuk sifat dan mausuf, atau dalam bentuk khusus yang

menunjukkan bahwa ia merupakan bagian dari al-maslahah. Tentang arti

maslahah telah dijelaskan sebelumnya, secara etimologis dan terminologis.

Al-Mursalah ( ‫ ) المرسلة‬adalah isim maf’ul dari fi’il madhi dalam

bentuk tsulasi yaitu ‫ رسل‬. Secara etimolgis artinya terlepas atau dalam arti

‫مطلقة‬ (bebas). Kata ‘terlepas’ atau ‘bebeas’ disini bila dihubungkan

dengan kata mashlahah maksudnya adalah “terlepas atau bebas dari

keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak bolehnya dilakukan”.


Ulama berbeda dalam memberikan definisi tentang mashlahah

mursalah, berikut pendapat para ulama5 :

a. Al-Ghazali dalam kitab al-Mustasyfa merumuskan mashlahah

mursalah sebagai berikut:

‫مالم يشهدله من الشرع بالبطالن وال عتبار نص معين‬

Apa-apa (maslahah) yang tidak ada bukti baginya dari syara’

dalam bentuk nash tertentu yang membatalkannya dan tidak

ada yang memeperthatikannya.

b. Al-Syaukani dalam kitab Irsyad al-Fuhul memberikan definisi

‫المناسب الذى اليعلم ان الشرع الغه اواعتبره‬

Maslahah yang tidak diketahui apakah syari’ menolaknya

atau memperhitungkannya.

c. Ibnu Qudaimah dari ulama Hanbali merumuskan:

‫مالم يشهد له ابط ل و الاعتبار معين‬

Maslahat yang tidak ada bukti petunjuk tertentu yang

membatalkannya dan tidak pula yang memperhatikannya.

d. Yusuf Hamid al-Alim

‫ما لم يشهد الشرع اللبطال نها والالعتبارها‬

Apa-apa (maslahah) yang tidak ada petunjuk syara’ tidak

untuk membatalkannya, juga tidak untuk memerhatikannya.

e. Jalal al-Din Abd al-Rahman

‫المصالح المال ئمة لمقا صد الشرع واليشهد لها اصل خاص باالعتبار اوبا اللغاء‬

5
Ibid.hlm. 355.
Maslahah yang selaras dengan tujuan syari’ dan tidak ada

petunjuk tertentu yang membuktikan tentang pengakuannya

atau penolakannya.

Walaupun para ulama berbeda-beda dalam memandang al-maslahah

al-mursalah, hakikatnya adalah satu, yaitu setiap manfaat yang di dalamnya

tersadapat tujuan syara’ secara umum, namun tidak terdapat dalil yang

secara khusus menerima atau menolaknya.6

Penjelasan definisi dari para ulama sebelumnya juga menunjukkan

bahwa tidak semua yang mengandung unsur manfaat bisa dikatakan

maslahah mursalah, jika tidak termasuk pada maqashid asy-Syariah.

4. Maslahah Mursalah sebagai Metode Ijtihad

Adanya perbedaan dikalangan ulama mengenai penggunaan

maslahah mursalah sebagai metode ijtihad adalah karena tidak adanya

dalil khusus yang menyatakan diterimanya maslahah itu oleh syari’ baik

secara langsung maupun tidak langsung, bahwa diamalkannya maslahah

itu oleh jumhur ulama adalah karena adanya dukungan syar’i. 7 Berikut

padangan ulama tentang penggunaan maslahah mursalah sebagai metode

ijtihad:

a. Ulama Hanafi, ada perbedaan pandangan terhadap maslahah

mursalah yaitu penukilan yang berbeda. Ulama beranggapan

bahwa sebagian ulama hanafiah mengamalkan maslahah

6
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh.(Bandung; CV Pustaka Setia, 2010), hlm. 119.
7
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jiid 2. Hlm. 357
mursalah, karena kedekatan metode ini dengan istihsan yang

populer dikalangan ulama hanafiah.

b. Ulama Syafi’iyah, Al-Amidi dan Ibn Hajib dalam kitabnya al-

Bidakhsyi, ulama syafi’iyah tampaknya tidak menggunakan

mashlahah mursalah dalam berijithad. Namun ada ulama

syafi’iyah yang menggunakan metode ini, seperti al-Ghazali

yang menerima penggunaan metode ini dengan syarat tertentu.

c. Ulama Hanbali, menyatakan bahwa metode maslahah mursalah

itu tidak memilki kekuatan hujah dan tidak boleh melakukan

ijtihad dengan menggunakan metode ini.

d. Ulama Maliki, merupakan yang secara jelas menggunakan

metode maslahah mursalah sevagai metode ijtihad.8

Fatwa-fatwa hkum yang dikeluarkan oleh ulama maliki senantiasa

beranjak dari pertimbangan kemaslahtan. Ada beberapa argumentasi yang

dikemukaan para ulama Malikiyah tentang penggunaan pendekatan

mashlahah mursalah dalam metode kajian hukumnya, yaitu:

1) Bahwa para sahabat Nabi SAW memperlihatkan sikap

orientasi kemaslahatan dalam berbagai tindakan dan

perbuatan keagamaannya, seperti menghimpun dan menulis

kembali ayat-ayat al-Qur’an secara utuh ke dalam mushaf-

mushaf.

8
Ibid. hlm. 358.
2) Bahwa selama mashlahah berjalan dengan maksud syari’

dalam penetapan hukum,maka ia akan sesuai pula dengan

kehendak syari’ terhadap para mukallaf. Dengan demikian,

mengabaikan kemaslahatan sama artinya dengan

mengabaikan kehendak syari’.

3) Jika penetapan hukum tidak mempertimbangkan aspek

kemaslahatan, maka setiap mukallaf akan menghadapi

berbagai kesukaran dalam kehidupannya.9

Sehubungan dengan itu, para ulama membatasi kebebasan akal dalam

kajian maslahah mursalah, dengan menetapkan sejumlah kriteria, sebagai berikut:

a) Maslahah tersebut bersifat reasonable (ma’qul) dan relevan

(munasib) dengan kasus hukum yang ditetapkan.

b) Maslahah tersebut harus dapat diterima oleh pemikiran rasional.

c) Maslahah tersebut harus sesuai maksud syari’ dalam menetapkan

hukum, dan tidak bertentangan dengan nas, baik dengan dalil-dali

tekstualnya mauppun dengan dasar-dasar pemikiran subtansialnya.

Dengan kata lain harus sesuai dengan maqasid syari’ah.10

Melengkapi syarat diatas, dari refereansi karangan Amir Syarifuddin yaitu

Ushul Fiqh jilid 2, dapat ditambahkan kriteria atau syaratnya yaitu mashlahah

mursalah diamalkan dalam kondisi yang memerlukan, yang seandainya

masalahnya tidak diselesaikan dengan cara tertentu, maka umat akan berada

9
H.M Hasbi Umar,Nalar Fiqh Kontemporer. (Jakarta; Gaung Persada Press,2007), hlm.113.
10
Ibid. hlm.114.
dalam kesempitan hidup, dengan arti harus ditempuh untuk mengindarkan umat

dari kesulitan.

Kriteria diatas juga senada dengan argumen-argumen ulama yang

menerima mengenai penggunaan maslahah mursalah. Ulama yang menolak

penggunaan metode ini pun memilki argumentasi tentang penolakannya:

a) Bila suatu maslahah ada petunjuk syar’I yang membenarkannya atau

disebut mu’tabarah, maka ia telah masuk dalam umumnya qiyas.

Seandainya ia tidak mungkin membenarkannya, maka ia tidak mungkin

disebut sebagai suatu mashlahah.Mengamalkan sesuatu yang dliura

petunjuk syara’ berarti mengakui akan kurangnya kesempurnaan al-Qur’an

dan Sunnah Nabi.

b) Beramal dengan mashlahah yang tidak mendapat pengakuan nash akan

membawa kepada pengalaman hukum yang berlandaskan pada

sekehendak hati dan hawa nafsu.

c) Menggunakan maslahah dalam berijtihad tanpa berpegang pada nash akan

mengakibatkan munculnya sikap bebas dalam menetapkan hukum yang

dapat mengakibatkan seseorang teraniaya atas nama hukum.

d) Ijithad yang tidak mendapat dukungan dari nash, maka akan memberi

kemungkinan untuk berubahnya hukum syara’.11

5. Relevansi Mashlahah Mursalah di Masa kini dan Mendatang

11
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, hlm.361.
Permasalahan kehidupan manusia seiring berkembangnya waktu

akan semakin kompleks. Permaslahan umat menuntut akan adanya solusi

dan jawaban penyelesaiannya dari segi hukum. Metode konvensional yang

digunakan ulama terdahulu dianggap tidak mampu mengakomodir

permasalahan di masa mendatang. Kebanyakan maslahat atau mafsadat

dipengaruhi oleh perkembangan kondisional. Oleh karena itu hukum harus

mampu memberikan naungan terhadap kondisi yang terjadi.

Manusia akan mengalami kesulitan menemukan dalil nash atau

petunjuk syara’untuk mendudukan hukumm dari kasus (permasalahan)

yang muncul. Untuk kasus tertentu kemungkinan akan kesulitan untuk

menggunakan metode qiyas karena tidak ditemukan padannanya dalam

nas atau ijma’ ulama, sebab jarak waktunya sudah begitu jauh. Selain itu,

mungkin ada beberapa syarat qiys yang sulit untuk terpenuhi.

Untuk mengelimansi atau menghilangkan kekhawatiran akan

tergelincir pada sikap semaunya dan sekehendak nafsu, maka dalam

berijtihad dengan menggunakan mashlahah mursalah sebaiknya dilakukan

bersama secara kontinyu dan senantiasa memperhatikan kondisi

masyarakat.12

B. Saddu al-Dzari’ah

1. Pengertian Saddu al-Dzari’ah

12
Ibid. hlm. 364.
Saddu al-Zari’ah merupakan bagian rangkaian pembahsan

maslahah mursalah. Secara etimologi al-Dzari’ah berarti jalan yang

menghubungkan sesuatu pada sesuatu yang lain. Sedangkan secara

terminologis al-Dzari’ah berarti sesuatu yang akan membawa pada kepada

perbuatan-perbuatan baik dan menimbulkan maslahah atau membawa pada

perbuatan yang terlarang dan akan menimbulkan mafsadah.13

Menurut al-Qarafi, sadd adz-dzari’ah adalah memotong jalan

kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut.

Meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah) namun jika

perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah),

maka kita harus mencegah perbuatan tersebut. Dengan ungkapan yang senada,

menurut asy-Syaukani, adz-dzari’ah adalah masalah atau perkara yang pada

lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang

dilarang (al-mahzhur).

Dalam karyanya al-Muwafata asy-Syatibi menyatakan bahwa sadd

adz-dzari’ah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak

mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang (mamnu’). Menurut Mukhtar

Yahya dan Fatchurrahman, sadd adz-dzari’ah adalah meniadakan atau

menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang. Sedangkan

menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara tersebut bisa

berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan.

13
H.M Hasbi Umar,Nalar Fiqh,hlm. 117.
Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian

ulama seperti asy-Syathibi dan asy-Syaukani mempersempit adz-dzariah

sebagai sesuatu yang awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar

Yahya menyebutkan adz-dzari’ah secara umum dan tidak mempersempitnya

hanya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di samping itu, Ibnu al-Qayyim

juga mengungkapkan adanya adz-dzari’ah yang pada awalnya memang

dilarang.

Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-

dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu

yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah

terjadinya perbuatan lain yang dilarang.14

2. Kedudukan Saddu al-Dzari’ah

Sebagaimana halnya dengan qiyas, dilihat dari aspek aplikasinya,

sadd adz-dzari’ah merupakan salah satu metode pengambilan keputusan

hukum (istinbath al-hukm) dalam Islam. Namun dilihat dari di sisi produk

hukumnya, sadd adz-dzari’ah adalah salah satu sumber hukum.

3. Pengelompokan Saddu al-Dzari’ah

Dzari’ah dapat dikelompokkan dengan melihat kepada beberapa

segi:

a) Dengan memandang kepada akibat (dampak) yang

ditimbulkannya, ibn Qayyim membagi dzari’ah menjadi empat:

14
http://racheedus.wordpress.com/makalahku/sadd-dzariyat/diakses pada 25 0ktober 2015.
1) Dzariah yang pada dasarnya membawa kepada kerusakan.

Contohnya meminum miras.

2) Dzari’ah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah,

namun ditujukan untuk perbuatan buruk yang merusak

baik disengaja atau tidak disengaja.Contohnya nikah

muhalil atau mencaci sesembahan agama lain.

3) Dzari’ah yang semula mubah, tidak ditujukan pada

kerusakan, namun biasanya berujung kepada kerusakan

yang memungkinakan menimbulakan kerusakan yang

lebih besar dari kebaikannya.

4) Dzari’ah yang semula mubah,namun tekadang membawa

kerusakan, sedangkan kerusakannya lebih kecil daripada

kebaikannya.Contohnya melihat wajah perempuan saat

dipinang.

b) Dari segi tingkat kerusakan yang ditimbulkannya, Abu Ishka

al-Syatibi membagi dzariah menjadi 4 macam:

1) Dzari’ah yang membawa kerusakan secara pasti.

2) Dzari’ah yang membawa kerusakan menurut kebiasaanya.

3) Dzari’ah yang membawa kepada perbuatan terlarang

menurut kebanyakan.

4) Dzari’ah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan

atau perbuatan terlarang.15

15
Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh.hlm. 427.
4. Pandangan Ulama tentang Saddu al-Dzari’ah

Tidak semua ulama sepakat dengan sadd adz-dzariah sebagai

metode dalam menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan

ulama tersebut bisa diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang

menerima sepenuhnya; 2) yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang

menolak sepenuhnya.

Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode

dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali.

Para ulama di kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode

ini dalam berbagai pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa

diterapkan lebih luas. Imam al-Qarafi (w. 684 H), misalnya,

mengembangkan metode ini dalam karyanya Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-

Furuq. Begitu pula Imam asy-Syathibi (w. 790 H) yang menguraikan

tentang metode ini dalam kitabnya al-Muwa faqat.

Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai

metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab

Syafi’i. Dengan kata lain, kelompok ini menolak saddadz-dzari’ah sebagai

metode istinbath pada kasus tertentu, namun menggunakannya pada kasus-

kasusyang lain. Contoh kasusImam Syafii menggunakan sadd adz-dzariah,

adalah ketika beliau melarang seseorang mencegah mengalirnya air ke

perkebunan atau sawah. Hal ini menurut beliau akan menjadi sarana

(dzari’ah) kepada tindakan mencegah memperoleh sesuatu yang

dihalalkan oleh Allah dan juga dzariah kepada tindakan mengharamkan


sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Padahal air adalah rahmat dari Allah

yang bolehdiakses oleh siapapun.

Contoh kasus penggunaan sadd adz-dzari’ah oleh mazhab Hanafi

adalah tentang wanita yang masih dalam iddah karena ditinggal mati

suami. Si wanita dilarang untuk berhias, menggunakan wewangian, celak

mata, pacar, dan pakaian yang mencolok. Dengan berhias, wanita itu akan

menarik lelaki. Padahal ia dalam keadaan tidak boleh dinikahi. Karena

itulah, pelarangan itu merupakan sadd adz-dzari’ah agar tidak terjadi

perbuatan yang diharamkan, yaitu pernikahan perempuan dalam keadaan

iddah.

Ibnu Hazm (994-1064 M), salah satu tokoh ulama dari mazhab

Zahiri, bahkan menulis satu pembahasan khusus untuk menolak metode

sadd adz-dzari’ah dalam kitabnya al-Ahkam fi Ushul al-Ihkam. Ia

menempatkan sub pembahasan tentang penolakannya terhadap sadd adz-

dzari’ah dalam pembahasan tentang al-ihtiyath. (kehati-hatian dalam

beragama). Sadd adz-dzari’ah lebih merupakan anjuran untuk bersikap

warga dan menjaga kehormatan agama dan jiwa agar tidak tergelincir pada

hal-hal yang dilarang. Konsep sadd adz-dzari’ah tidak bisa berfungsi untuk

menetapkan boleh atau tidak boleh sesuatu. Pelarangan atau pembolehan

hanya bisa ditetapkan berdasarkan nash dan ijma’ (qath’i). Sesuatu yang

telah jelas diharamkan oleh nashtidak bisa berubah menjadi dihalalkan

kecuali dengan nash.16

16
http://racheedus.wordpress.com/makalahku/sadd-dzariyat/diakses pada 25 0ktober 2015.
BAB III

PEMBAHASAN

A. Kesimpulan
Setiap perbuatan yang mengandung kebaikan dalam pandangan manusia,

maka biasanya perbuatan itu terdapat hukum syara’ dalam bentuk suruhan.

Sebaliknya, pada setiap perbuatan yang dirasakan manusia mengandung

kerusakan, maka biasanya utnuk perbuatan itu ada hukum syara’ dalam bentuk

larangan. Setiap hukum syara’ selalu sejalan dengan akal manusia dan akal

sejalan dengan hukum syara’

Dinamika perkembangan kehidupan masyarakat seiring waktu

melahirkan banyak persoalan yang membutuhkan metode pendekatan untuk

memberikan solusi. Solusi yang membawa kepada kemaslahatan.

Dalam penggunaannya maslahah mursalah dipengaruhi oleh

perkembangan kondisional sehingga dalam pengkajiannya harus dilakukan

secara kontinyu dan senantiasa memperhatikan perkembangan kondisi

masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai