Maqashid Syariah bisa berarti tujuan akhir dari syariat Islam, yaitu mencapai
kebahagiaan di dunia dan akhirat (falah) serta kehidupan yang baik dan terhormat (hayyah
thayyibah). Menurut Syathibi tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau
kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.
1. Tujuan awal dari Syari' menetapkan syariah yaitu kemashlahatan manusia di dunia
dan akhirat.
2. Penetapan syariah sebagai sesuatu yang harus dipahami.
3. Penetapan syariah sebagai hukum taklifi yang harus dilaksanakan.
4. Penetapan syariah guna membawa manusia ke bawah lindungan hukum.
Begitu pula dari sudut maqasid al mukallaf, Maqasid Al Syariah mengandung empat
aspek pula, yaitu:
Kemashlahatan yang menjadi tujuan syariat ini dibatasi dalam lima hal, agama, jiwa/nafs,
akal, keturunan dan harta. Setiap hal yang mengandung penjagaaan atas lima hal ini disebut
maslahah dan setiap hal yang membuat hilangnya lima hal ini disebut mafsadah.
Adapun setiap hal yang menjadi perantara terjaganya lima hal ini, dibagi menjadi tiga
tingkatan kebutuhan yaitu al dlorruriyat, al hajiyat dan al tahsinat.
1. Kebutuhan dhoruriyat
Definisinya adalah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut juga kebutuhan
primer. Apabila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi maka keselamatan ummat manusia
akan terancam, baik di dunia maupun di akhirat. Menurut Al Syatibi ada lima hal yang
termasuk dalam kategori ini yaitu memelihara agama, jiwa, kehormatan, keturunan dan
harta. Untuk memelihara lima hal pokok inilah syariat Islam diturunkan. Dalam setiap
ayat hukum apabila diteliti akan ditemukan alasan pembentukannya yang tidak lain
adalah untuk memelihara lima hal pokok di atas. Seperti kewajiban qisas:
"Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu hai orang-orang yang
bertakwa" QS Al Baqarah: 179
Dari ayat ini dapat diketahui bahwa disyariatkannya qisas karena dengan itu
ancaman terhadap kehidupan manusia dapat dihilangkan.
2. Kebutuhan al hajiyat
3. Kebutuhan al tahsinat
Definisinya adalah kebutuhan yang tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima
hal pokok tadi dan tidak pula menimbulkan kesulitan apabila tidak terpenuhi. Tingkat
kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan Al Syatibi seperti hal
yang merupakan kepatutan menurut adat-istiadat menghindari hal yang tidak enak
dipandang mata dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan
akhlak, dalam berbagai bidang kehidupan seperti ibadah muamalah, dan uqubah. Allah
SWT telah mensyariatkan hal yang berhubungan dengan kebutuhan tahsinat. Contoh
anjuran berhias ketika hendak ke masjid, anjuran memperbanyak ibadah sunnah, larangan
penyiksaan mayat dalam peperangan/ muslah.
2. Mashlahat mulgha, yaitu sesuatu yang sepintas lalu terlihat mashlahat, tetapi ada
mashlahat yang lebih besar sehingga mashlahat yang kecil itu boleh diabaikan.
Sebagai contoh, pada suatu ketika Abdurrahman ibn Hakam, gubernur Andalusia,
meminta fatwa kepada Imam al Laitsi tentang kafarat karena telah membatalkan
puasa Ramadhan dengan mencampuri istrinya di siang hari. Al laitsi memfatwakan
bahwa kafaratnya harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Pengambilan keputusan ini
diambil dengan argumen bahwa memerdekakan budak atau memberi makan 60
oarang miskin terlalu ringan bagi seorang gubernur, maka dikawatirkan sang gubernur
meremehkannya. Kemashlahatan yang lebih besar dalam kasus ini adalah
kemashlahatan agama.
3. Mashlahat mursalah, yaitu kemashlahatan yang tidak terkait dengan dalil yang
memperbolehkan atau melarangnya, contoh untuk mengatasi merajalelanya
pemalsuan hak milik atas barang-barang berharga atau pemalsuan isteri agar dapat
bebas kumpul kebo maka atas pertimbangan mashlahah mursalah boleh diadakan
ketentuan kewajiban mencatat dan keharusan mempunyai keterangan yang sah setiap
terjadi akad jual beli, nikah, hibah dan lain sebagainya.
2. Batasan Maslahah
Al Syatibi memberikan gambaran tentang karakter mashlahah:
Tujuan legislasi (tashri') adalah untuk menegakkan mashlahah di dunia ini dan di
akhirat.
Syari' menghendaki masalih harus mutlak
Alasan bagi kedua pertimbangan di atas ialah bahwa syariah telah dilembagakan harus
abadi, universal (kull), dan umum (amm) dalam hubungannya dengan segala macam
kewajiban (takalif), subjek hukum (mukallafin) dan kondisi-kondisi (ahwal).
Ketiga karakter di atas menuntut mashlahah harus mutlak dan universal. Kemutlakan
berarti bahwa mashlahah tidak boleh subjektif dan relatif. Kenisbian biasanya didasarkan
pada sikap menyamakan suatu masalah dengan salah satu dari kondisi kesenangan pribadi,
keuntungan pribadi, pemenuhan keinginan nafsu dan kepentingan individu. Semua
pertimbangan di atas memberikan konsep mashlahah akan makna relatif dan subjektif, yang
bukan merupakan pertimbangan syari' dalam mashlahah, meski mungkin dipertimbangkan
dalam budaya adat.
Unsur universal dalam karakter di atas, tidak dipengaruhi oleh takhalluf (memperkecil)
unsur-unsur partikulernya. Misalnya hukuman diberlakukan berdasarkan ketentuan universal
bahwa biasanya hukuman ini mencegah orang dari melakukan kejahatan dengan
mengabaikan orang-orang tertentu yang walaupun dihukum, tidak dapat menahan diri dari
melakukan suatu kejahatan. Keberadaan orang-orang tertentu ini tidak mempengaruhi
validitas ketentuan umum tentang hukuman.
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat
dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi ".
QS Al Qashash: 77
Dalam memberikan batasan mashlahah, al Buthi memaparkan dua hal yang keluar
dari kriteria mashlahah:
Segala hal yang keluar dari substansi mashlahah dengan tujuan penjagaan lima
hal contoh melepaskan ketentuan diri dari ketentuan ibadah, menginginkan
kenikmatan berzina, melampaui batas penjagaan diri tanpa ketentuan yang
dibenarkan syara' dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam ((P3EI) Universitas Islam
Indonesia Yogyakarta atas kerja sama dengan Bank Indonesia. Ekonomi Islam.
Jakarta: Rajawali Pers. 2014. Hal. 529-532
http://ppssnh.malang.pesantren.web.id/cgi-
bin/content.cgi/artikel/kolom_gus/maqasid_syariah.single#fn18
http://www.referensimakalah.com/2011/09/pembicaraan-tentang-maqasid-al-
syari_1553.html