Anda di halaman 1dari 5

Maqashid Syariah

1. Pengertian Maqashid Syariah

Menurut bahasa Maqashid Syariah terdiri dari dua kata, dan ,


maqashid adalah bentuk jamak dari yang berasal dari fiil yang berarti mendatangkan sesuatu,
juga berarti tuntutan, kesengajaan dan tujuan, sedangkan syariah berarti ketentuan atau aturan
main dari Allah tentang bagimana manusia menjalani kehidupannya. Sedangkan menurut
istilah Maqashid syariah adalah tujuan-tujuan yang ingin diwujudkan oleh syariat Islam
sebagai alasan diturunkannya, demi kemaslahatan hamba-hamba Allah.

Maqashid Syariah bisa berarti tujuan akhir dari syariat Islam, yaitu mencapai
kebahagiaan di dunia dan akhirat (falah) serta kehidupan yang baik dan terhormat (hayyah
thayyibah). Menurut Syathibi tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau
kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.

Maqasid Syariah, yang secara substansial mengandung kemashlahatan, menurut al


Syathibi dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama maqasid al syari' (tujuan Tuhan).
Kedua maqasid al mukallaf (tujuan mukallaf). Dilihat dari sudut tujuan Tuhan, Maqasid Al
Syariah mengandung empat aspek, yaitu:

1. Tujuan awal dari Syari' menetapkan syariah yaitu kemashlahatan manusia di dunia
dan akhirat.
2. Penetapan syariah sebagai sesuatu yang harus dipahami.
3. Penetapan syariah sebagai hukum taklifi yang harus dilaksanakan.
4. Penetapan syariah guna membawa manusia ke bawah lindungan hukum.

Begitu pula dari sudut maqasid al mukallaf, Maqasid Al Syariah mengandung empat
aspek pula, yaitu:

1. Pembicaraan mashlahah, pengertian, tingkatan, karakteristik, dan relativitas atau


keabsolutannya.
2. Pembahasan dimensi linguistik dari problem taklif yang diabaikan oleh juris lain.
Suatu perintah yang merupakan taklif harus bisa dipahami oleh semua subjeknya,
tidak saja dalam kata-kata dan kalimat tetapi juga dalam pengertian pemahaman
linguistik dan kultural. Al Syathibi mendiskusikan problem ini dengan cara
menjelaskan dalalah asliyah (pengertian esensial) dan ummumiyah (bisa dipahami
orang awam).
3. Analisa pengertian taklif dalam hubungannya dengan kemampuan, kesulitan dan lain-
lain.
4. Penjelasan aspek huzuz dalam hubungannya dengan hawa dan ta'abud.

Mayoritas peneliti membagi kemashlahatan menjadi dua macam, kemashlahatan akhirat


yang dijamin oleh akidah dan ibadah dan kemashlahatan dunia yang dijamin oleh muamalat.
Tetapi dalam pembahasan ini, tidak ditemukan korelasi yang mengharuskan untuk
memperhatikan pembagian ini. Karena pada hakekatnya segala hal yang terkait dengan
akidah, ibadah dan muamalat dalam syariat Islam menjamin segala kemashlahatan umat baik
sisi dunia maupun akhirat.

Kemashlahatan yang menjadi tujuan syariat ini dibatasi dalam lima hal, agama, jiwa/nafs,
akal, keturunan dan harta. Setiap hal yang mengandung penjagaaan atas lima hal ini disebut
maslahah dan setiap hal yang membuat hilangnya lima hal ini disebut mafsadah.

Adapun setiap hal yang menjadi perantara terjaganya lima hal ini, dibagi menjadi tiga
tingkatan kebutuhan yaitu al dlorruriyat, al hajiyat dan al tahsinat.

1. Kebutuhan dhoruriyat

Definisinya adalah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut juga kebutuhan
primer. Apabila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi maka keselamatan ummat manusia
akan terancam, baik di dunia maupun di akhirat. Menurut Al Syatibi ada lima hal yang
termasuk dalam kategori ini yaitu memelihara agama, jiwa, kehormatan, keturunan dan
harta. Untuk memelihara lima hal pokok inilah syariat Islam diturunkan. Dalam setiap
ayat hukum apabila diteliti akan ditemukan alasan pembentukannya yang tidak lain
adalah untuk memelihara lima hal pokok di atas. Seperti kewajiban qisas:

"Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu hai orang-orang yang
bertakwa" QS Al Baqarah: 179

Dari ayat ini dapat diketahui bahwa disyariatkannya qisas karena dengan itu
ancaman terhadap kehidupan manusia dapat dihilangkan.

2. Kebutuhan al hajiyat

Al Syatibi mendefinisikan sebagai kebutuhan sekunder. Jika kebutuhan ini tidak


terpenuhi keselamatan manusia tidak sampai terancam. Namun ia akan mengalami
kesulitan. Syariat Islam menghilangkan segala kesulitan tersebut. Adanya hukum
rukhshah (keringanan) seperti dijelaskan Abdul Wahhab Khallaf. Merupakan contoh
kepedulian syariat Islam terhadap kebutuhan ini. Contoh pembolehan tidak berpuasa bagi
musafir, hukuman diyat (denda) bagi seorang yang membunuh secara tidak sengaja,
penangguhan hukuman potong tangan atas seseorang yang mencuri karena terdesak untuk
menyelamatkan jiwanya dari kelaparan.

3. Kebutuhan al tahsinat
Definisinya adalah kebutuhan yang tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima
hal pokok tadi dan tidak pula menimbulkan kesulitan apabila tidak terpenuhi. Tingkat
kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan Al Syatibi seperti hal
yang merupakan kepatutan menurut adat-istiadat menghindari hal yang tidak enak
dipandang mata dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan
akhlak, dalam berbagai bidang kehidupan seperti ibadah muamalah, dan uqubah. Allah
SWT telah mensyariatkan hal yang berhubungan dengan kebutuhan tahsinat. Contoh
anjuran berhias ketika hendak ke masjid, anjuran memperbanyak ibadah sunnah, larangan
penyiksaan mayat dalam peperangan/ muslah.

Al Syatibi juga membagi mashlahah dalam tiga hal:15

1. Mashlahah muktabar, yaitu kemashlahatan yang berhubungan dengan penjagaan pada


lima hal sebagaimana diungkap di atas. Usaha pemeliharaan kemashlahatan yang lima
ini adalah pemeliharaaan yang dhoruri (yang paling utama). Itulah sebabnya
diharuskannya berjihad kepada yang kuat fisiknya untuk melawan serangan musuh
yang bermaksud menghancurkan agama dan tanah air. Ditetapkannya hukuman qisas
untuk menjamin keselamatan jiwa, dan lain-lain.

2. Mashlahat mulgha, yaitu sesuatu yang sepintas lalu terlihat mashlahat, tetapi ada
mashlahat yang lebih besar sehingga mashlahat yang kecil itu boleh diabaikan.
Sebagai contoh, pada suatu ketika Abdurrahman ibn Hakam, gubernur Andalusia,
meminta fatwa kepada Imam al Laitsi tentang kafarat karena telah membatalkan
puasa Ramadhan dengan mencampuri istrinya di siang hari. Al laitsi memfatwakan
bahwa kafaratnya harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Pengambilan keputusan ini
diambil dengan argumen bahwa memerdekakan budak atau memberi makan 60
oarang miskin terlalu ringan bagi seorang gubernur, maka dikawatirkan sang gubernur
meremehkannya. Kemashlahatan yang lebih besar dalam kasus ini adalah
kemashlahatan agama.

3. Mashlahat mursalah, yaitu kemashlahatan yang tidak terkait dengan dalil yang
memperbolehkan atau melarangnya, contoh untuk mengatasi merajalelanya
pemalsuan hak milik atas barang-barang berharga atau pemalsuan isteri agar dapat
bebas kumpul kebo maka atas pertimbangan mashlahah mursalah boleh diadakan
ketentuan kewajiban mencatat dan keharusan mempunyai keterangan yang sah setiap
terjadi akad jual beli, nikah, hibah dan lain sebagainya.

2. Batasan Maslahah
Al Syatibi memberikan gambaran tentang karakter mashlahah:

Tujuan legislasi (tashri') adalah untuk menegakkan mashlahah di dunia ini dan di
akhirat.
Syari' menghendaki masalih harus mutlak

Alasan bagi kedua pertimbangan di atas ialah bahwa syariah telah dilembagakan harus
abadi, universal (kull), dan umum (amm) dalam hubungannya dengan segala macam
kewajiban (takalif), subjek hukum (mukallafin) dan kondisi-kondisi (ahwal).

Ketiga karakter di atas menuntut mashlahah harus mutlak dan universal. Kemutlakan
berarti bahwa mashlahah tidak boleh subjektif dan relatif. Kenisbian biasanya didasarkan
pada sikap menyamakan suatu masalah dengan salah satu dari kondisi kesenangan pribadi,
keuntungan pribadi, pemenuhan keinginan nafsu dan kepentingan individu. Semua
pertimbangan di atas memberikan konsep mashlahah akan makna relatif dan subjektif, yang
bukan merupakan pertimbangan syari' dalam mashlahah, meski mungkin dipertimbangkan
dalam budaya adat.

Unsur universal dalam karakter di atas, tidak dipengaruhi oleh takhalluf (memperkecil)
unsur-unsur partikulernya. Misalnya hukuman diberlakukan berdasarkan ketentuan universal
bahwa biasanya hukuman ini mencegah orang dari melakukan kejahatan dengan
mengabaikan orang-orang tertentu yang walaupun dihukum, tidak dapat menahan diri dari
melakukan suatu kejahatan. Keberadaan orang-orang tertentu ini tidak mempengaruhi
validitas ketentuan umum tentang hukuman.

Kemashlahatan asasi bagi al Buthi, sebenarnya hanyalah satu yaitu terciptanya


penghambaan seorang mukallaf kepada Allah dan ma'rifat billah. Al Buthi mendasarkan pada
dalil:

"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat
dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi ".

QS Al Qashash: 77

Al Buthi menandaskan bahwa mayoritas ahli tafsir bersepakat bahwa pernyataan la


tansa nashibaka min al dunya, bermakna bagian dunia yang berfaedah bagi akhiratnya.

Dalam memberikan batasan mashlahah, al Buthi memaparkan dua hal yang keluar
dari kriteria mashlahah:

Segala hal yang keluar dari substansi mashlahah dengan tujuan penjagaan lima
hal contoh melepaskan ketentuan diri dari ketentuan ibadah, menginginkan
kenikmatan berzina, melampaui batas penjagaan diri tanpa ketentuan yang
dibenarkan syara' dan lain-lain.

Segala sesuatu yang tidak bertentangan dengan substansi mashlahah tetapi


menjadi berubah karena tujuan yang tidak baik berdasar hadits: "innamal
a'malu binniyat".

DAFTAR PUSTAKA
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam ((P3EI) Universitas Islam
Indonesia Yogyakarta atas kerja sama dengan Bank Indonesia. Ekonomi Islam.
Jakarta: Rajawali Pers. 2014. Hal. 529-532

http://ppssnh.malang.pesantren.web.id/cgi-
bin/content.cgi/artikel/kolom_gus/maqasid_syariah.single#fn18

http://www.referensimakalah.com/2011/09/pembicaraan-tentang-maqasid-al-
syari_1553.html

Anda mungkin juga menyukai