Anda di halaman 1dari 13

Konflik menurut Robbins dalam Miftah Thoha (2001) didefinisikan sebagai sebuah

proses yang berawal ketika satu pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang telah
menyerang secara negatif atau akan menyerang secara negatif terhadapa sesuatu yang
menjadi urusan penting/sangat dihargai oleh pihak pertama.

Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu
interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik,
kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan
dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang
wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami
konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan
hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.

Terdapat 3 jenis konflik menurut Robbins:

1. Konflik tugas , yaitu konflik atas isi dan sasaran pekerjaan.

2. Konflik hubungan, yaitu konflik berdasarkan hubungan interpersonal.

3. Konflik proses, yaitu konflik atas cara melakukan pekerjaan.

Konflik dalam organisasi tidak terjadi secara alamiah dan terjadi bukan tanpa sumber
penyebab. Penyebab terjadinya konflik pada setiap organisasi sangat bervariasi tergantung
pada cara individu-individu menafsirkan, mempersepsi, dan memberikan tanggapan terhadap
lingkungan kerjanya. Sumber-sumber konflik pada umumnya disebabkan kurangnya
koordinasi kerja antar kelompok/departemen, dan lemahnya sistem kontrol organisasi.

Konflik yang terkelola dengan baik akan memberikan keuntungan organisasi karena akan
menimbulkan persainngan. Persaingan yang diharapkan tentunya persaingan yang sehat yaitu
dengan menunjukkan kinerja terbaik dalam organisasi. Oleh karena itu, suatu organisasi
harus mampu melakukan manajemen konflik yang baik agar keuntungan yang diperoleh
dengan adanya konflik. Dampaak negative pun dapat diminimalisir sehingga tujuan
organisasi tidak terganggu oleh adanya konflik yang akan senantiasa timbl didalam
masyarakat.
2. PROSES TERJADINYA KONFLIK

Robbins (1996), menjelaskan proses lahirnya suatu konflik dengan menggunakan gambar di
bawah ini :

Kemudian, tahap – tahap konflik digambarkan sebagai berikut :

Antecedent Conditions

F
e
Perceived Conflict lt
Confli
ct

Manifest Conflict

Proses lahirnya sebuah konflik menurut Robbins(1996), melalui empat tahap sebagai berikut :

1. Tahap I : Potensi opposisi atau ketidakcocokan.

Pada tahap ini terdapat adanya kondisi yang menciptakan kemungkinan terjadinya konflik.
Konflik tersebut dilatar belakangi oleh adanya anteseden conditions yakni berupa :
a. Komunikasi.

Komunikasi yang kurang atau bahkan tidak baik akan menimbulkan


kesalahpahaman diantara individu dalam kelompok yang akan memicu timbulnya
konflik. Penelitian menyebutkan, adanya gangguan dalam saluran komunikasi akan
menjadikan kondisi anteseden untuk melahirkan konflik dalam kelompok.

b. Stuktur.

Dalam hal ini yang dimaksud dengan struktur adalah ukuran (kelompok), derajat
spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah
kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya
kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara kelompok.
Penelitian menyebutkan bahwa makin besar suatu kelompok, maka makin besar pula
kemungkinan terjadinya konflik.

c. Faktor pribadi.

Hal ini berkaitan dengan perbedaan karakteristik kepribadian masing – masing


individu yang memungkinkan timbulnya konflik. Nilai – nilai yang dimiliki seseorang
berbeda antara individu yang satu dengan individu lainnya juga menjadikan adanya
kemungkinan munculnya konflik.

2. Tahap II : Kognisi dan Personalisasi.

Tahap ini muncul karena akibat dari tahap I. Jika salah satu kondisi dari tahap I terjadi dalam
kelompok, maka akan timbul presepsi bahwa ada konflik di dalam kelompok. Keadaan ini
disebut dengan adanya konflik yang dipresepsikan (perceived conflict). Kemudian jika
individu terlibat secara emosional, dan mereka merasa cemas, tegang, frustrasi, atau muncul
sikap bermusuhan, maka konflik berubah menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict).
Selanjutnya, konflik yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan berubah
menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk
perilaku. Misalnya, serangan secara verbal, ancaman terhadap pihak lain, serangan fisik,
huru-hara, pemogokan, dan sebagainya.dalam tahapan ini emosi memainkan peran utama
dalam membentuk presepsi.

3. Tahap III : Maksud.

Maksud merupakan keputusan untuk bertindak dalam cara teretntu. Maksud Penanganan
Konflik, meliputi :

a. Persaingan

Merupakan keinginan memuaskan kepentingan seseorang, tidak memperdulikan


dampak pada pihak lain dalam konflik tersebut.
b. Kolaborasi

Merupakan situasi yang di dalamnya pihak-pihak yang berkonflik sepenuhnya saling


memuaskan kepentingan semua pihak.

c. Penghindaran

Merupakan keinginan menarik diri dari atau menekan konflik.

d. Akomodasi

Merupakan kesediaan satu pihak dalam konflik untuk memperlakukan kepentingan


pesaing di atas kepentingannya sendiri.

e. Kompromi

Merupakan satu situasi yang di dalamnya masing-masing pihak yang berkonflik


bersedia mengorbankan sesuatu.

4. Tahap IV : Perilaku.

Tahap perilaku mencakup :

a. Perilaku.
b. Tindakan.

c. Reaksi yang dibuat oleh pihak – pihak yang berkonflik.


Jika konflik bersifat disfungsional, maka perlu dilakukan berbagai teknik penting untuk
meredakannya.Para manajer mengendalikan tingkat konflik dengan manajemen konflik
(conflict management), yaitu pemanfaatan teknik-teknik resolusi dan dorongan (stimulasi)
untuk mencapai tingkat konflik yang diinginkan.

5. Tahap 5 : Akibat

Jalinan aksi-reaksi antara pihak-pihak yang berkonflik menghasilkan konsekuensi.Akibat


atau konsekuensi itu bisa bersifat fungsional, dalam arti konflik tersebut menghasilkan
kinerja kelompok, atau juga bisa bersifat disfungsional karena justru menghambat kinerja
kelompok.

 Akibat fungsional: Meningkatnya keragaman kultur dari anggota dapat memberikan


manfaat lebih besar bagi organisasi. Penelitian memperlihatkan bahwa heterogenitas
antaranggota kelompok dan organisasi dapat meningkatkan kreativitas, memperbaiki
kualitas keputusandan memfasilitasi perubahan dengan cara meningkatkan
fleksibilitas anggota.

 Akibat disfungsional: Pertengkaran yang tak terkendali menumbuhkan rasa tidak


senang, yang menyebabkan ikatan bersama renggang, dan pada akhirnya menuntun
pada kehancuran kelompok. Diantara konsekuensi-konsekuensi yang tidak diharapkan
tersebut, terdapat lambannya komunikasi, menurunnya kekompakan kelompok, dan
subordinasi tujuan kelompok oleh dominasi perselisihan antar anggota.
 Menciptakan konflik fungsional: Salah satu cara organisasi menciptakan konflik
fungsional adalah dengan memberi penghargaan kepada orang yang berbeda pendapat
dan menghukum mereka yang suka menghindari konflik.

3. TIPE KONFLIK

Terdapat berbagai macam jenis konflik, tergantung pada dasar yang digunakan untuk
membuat klasifikasi. Ada yang membagi konflik berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di
dalamnya, ada yang membagi konflik dilihat dari fungsi dan ada juga yang membagi konflik
dilihat dari posisi seseorang dalam suatu organisasi.
I. Konflik dilihat dari posisi seseorang dalam struktur organisasi

Jenis konflik ini disebut juga konflik intra keorganisasian. Dilihat dari posisi
seseorang dalam struktur organisasi, konflik dibagi menjadi empat. Keempat jenis
konflik tersebut adalah sebagai berikut.

- Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan yang memiliki kedudukan
yang tidak sama dalam organisasi. Misalnya, antara atasan dan bawahan.

- Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjandi antara mereka yang memiliki
kedudukan yang sama atau setingkat dalam organisasi. Misalnya, konflik antar
karyawan, atau antar departemen yang setingkat.

- Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan lini yang biasanya
memegang posisi komando, dengan pejabat staf yang biasanya berfungsi sebagai
penasehat dalam organisasi.

- Konflik peranan, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang mengemban lebih dari
satu peran yang saling bertentangan.

II. Konflik dilihat dari pihak yang terlibat didalamnya

Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik, Stoner membagi konflik


menjadi lima macam , yaitu:

- Konflik dalam diri individu (conflict within the individual). Konflik ini terjadi jika
seseorang harus memilih tujuan yang saling bertentangan, atau karena tuntutan tugas
yang melebihi batas kemampuannya.

- Konflik antar-individu (conflict between individuals). Terjadi karena perbedaan


kepribadian antara individu yang satu dengan individu yang lain.
- Konflik antara individu dan kelompok (conflict between individuals and groups).
Terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok tempat
ia bekerja.
- Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama (conflict among groups in the
same organization). Konflik ini terjadi karena masing-masing kelompok memiliki

tujuan yang berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya. Masalah ini
terjadi karena pada saat kelompok-kelompok makin terikat dengan tujuan atau norma
mereka sendiri, mereka makin kompetitif satu sama lain dan berusaha mengacau
aktivitas pesaing mereka, dan karenanya hal ini mempengaruhi organisasi secara
keseluruhan.

- Konflik antar organisasi (conflict among organizations). Konflik ini terjadi jika
tindakan yang dilakukan oleh organisasi menimbulkan dampak negatif bagi organisasi
lainnya. Misalnya, dalam perebutan sumberdaya yang sama.

III. Konflik dilihat dari fungsi

Dilihat dari fungsi, Robbins membagi konflik menjadi dua macam, yaitu:

- Konflik fungsional

Konflik fungsional adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan kelompok, dan
memperbaiki kinerja kelompok.

- Konflik disfungsional

Konflik disfungsional adalah konflik yang merintangi pencapaian tujuan kelompok.

4. PERBEDAAN KONFLIK FUNGSIONAL DAN DISFUNGSIONAL

Berdasarkan fungsinya, Robbins (1996:430) membagi konflik menjadi konflik fungsional


(Functional Conflict) dan konflik disfungsional (Dysfunctional Conflict).

1. Konflik fungsional adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan kelompok.


Konflik fungsional bersifat konstruktif dan membantu dalam meningkatkan kinerja
organisasi. Konflik ini mendorong orang untuk bekerja lebih keras, bekerja sama dan
lebih kreatif. Konflik ini berdampak positif atau dapat memberi manfaat atau
keuntungan bagi organisasi yang bersangkutan.

Sebagai contoh adalah konflik yang terjadi antara bagian staff akademik dengan
bagian staff pengajar. Konflik tersebut bisa terjadi karena perberdaan cara pandang
para anggota bagian tersebut. Staff akademik hanya mengatur penjadwalan pengajar
sesuai dengan mata kuliahnya. Tanpa menghiraukan berapa lama pengajar tersebut
mengajar dalam satu hari. Sedangkan staff pengajar hanya dapat menerima jadwal
yang sudah dibuat oleh staff akademik. Mungkin sebagian pengajar mengeluh karena
begitu padatnya jadwal yang telah dibuat. Maka staff pengajar melakukan komplen
kepada staff akademik. Hal ini menyebakan staff akademik harus bekerja dua kali
untuk mengatur ulang jadwal yang telah dibuat.

2. Konflik disfungsional adalah konflik yang merintangi pencapaian tujuan kelompok.


Konflik disfungsional bersifat destruktif dan dapat menurunkan kinerja organisasi.
Konflik disfungsional dapat diartikan setiap konfrontasi atau interaksi di antara
kelompok yang merugikan organisasi atau menghalangi pencapaian tujuan organisasi.
Contoh konflik ini adalah dua orang karyawan yang tidak bisa bekerjasama karena

permusuhan pribadi, anggota komite yang tidak dapat menyetujui tujuan yang
ditetapkan organisasi.

Batas yang menentukan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional sering tidak
tegas (kabur). Suatu konflik mungkin fungsional bagi suatu kelompok, tetapi tidak fungsional
bagi kelompok yang lain. Begitu pula, konflik dapat fungsional pada waktu tertentu, tetapi
tidak fungsional di waktu yang lain. Kriteria yang membedakan apakah suatu konflik
fungsional atau disfungsional adalah dampak konflik tersebut terhadap kinerja kelompok,
bukan pada kinerja individu. Jika konflik tersebut dapat meningkatkan kinerja kelompok,
walaupun kurang memuaskan bagi individu, maka konflik tersebut dikatakan fungsional.
Demikian sebaliknya, jika konflik tersebut hanya memuaskan individu saja, tetapi
menurunkan kinerja kelompok maka konflik tersebut disfungsional.

5. HASIL KONFLIK

Konflik dapat menghasilkan hal yang negatif juga bisa menghasilkan hal yang bersifat
fungsional yang mengakibatkan timbulnya suatu perbaikan dalam kinerja organisasi yang
bersangkutan. Tetapi sebaliknya kinerja kelompok dapat dipengaruhi secara negatif.

Aspek-aspek positif dan negatif dari hasil konflik:

- Aspek positif

Kebutuhan untuk menyelesaikan konflik menyebabkan orang mencari cara untuk


mengubah hal yang sedang berlaku. Dengan demikian proses penyelesaian
konflik dapat menyebabkan distimulasinya perubahan positif di dalam organisasi
yang bersangkutan.

- Aspek Negatif

Konflik memiliki kecenderungan untuk mengalihkan upaya dari pencapaian tujuan.


Kadang-kadang sumberdaya organisasi hanya habis digunakan untuk menyelesaikan
masalah konflik. Malah akan dapat timbulnya “biaya” atas kesejahteraan
psikological para karyawan.

Konflik dapat dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga konflik dapat memberikan hasil yang
efektif untuk mencapai sasaran-sasaran yang diinginkan. Konflik sesungguhnya dapat
menjadi energi yang kuat jika dikelola dengan baik, sehingga dapat dijadikan alat inovasi.
Akan tetapi sebaliknya jika tidak dapat dikendalikan mengakibatkan kinerja organisasi
rendah. Untuk itu pendekatan konflik sebagai bagian normal dari perilaku dapat
dimanfaatkan sebagai alat untuk mempromosikan dan mencapai perubahan-perubahan yang
dikehendaki sehingga tujuan organisasi dapat dicapai secara efektif dan efisien.

Konflik dapat konstruktif maupun destruktif terhadap berfungsinya suatu kelompok atau unit.
Tingkat konflik dapat atau terlalu tinggi atau terlalu rendah. Tingkat konflik yang tidak
memadai atau berlebihan dapat merintangi keefektifan dari suatu kelompok atau organisasi,
dengan mengakibatkan berkurangnya kepuasan dari anggota, meningkatnya kemangkiran dan
tingkat keluarnya karyawan, dan pada akhirnya akan menurunkan produktivitas.

6. TINDAKAN UNTUK MENGATASI KONFLIK

Konflik ada yang fungsional atau mendukung tujuan kelompok dan ada yang disfungsional
yang justru menghalangi pencapaian tujuan. Namun jika yang terjadi adalah konflik yang
justru menghalangi pencapaian tujuan maka ada beberapa teknik atau tindakan yang dapat
dilakukan untuk mengatasi konflik, yaitu:
Sedangkan menurut Robbins dalam bukunya Managing Organizational Conflict, ada
beberapa tindakan atau teknik yang dapat dilakukan untuk mengatasi konflik dalam
organisasi:

1. Pemecahan masalah
Metode pemecahan masalah dengan konfrontasi berusaha mengurangi ketegangan melalui
pertemuan langsung atau tatap muka dari kelompok-kelompok yang konflik. Maksud dari
pertemuan ini adalah mengidentifikasi konflik dan menanggulanginya. Kelompok yang
konflik secara terbuka memperdebatkan berbagai persoalan dan sama-sama
menyampaikan informasi yang relevan sampai dapat dicapai suatu keputusan.

2. Tujuan tinggi

Dalam pemecahan konflik, teknik tujuan (superordinate goal) melibatkan upaya


penyusunan seperangkat tujuan dan sasaran yang sama. Tujuan dan sasaran ini tidak dapat
dicapai tanpa kerjasama dari kelompok yang terlibat. Nyatanya, tujuan dan sasaran
tersebut tak dapat dicapai oleh hanya satu kelompok dan menggantikan semua tujuan
kelompok lain yang terlibat dalam konflik.

3. Perluasan sumber daya

Salah satu sebab konflik dalam organisasi adalah terbatasnya sumber daya. Apapun yang
berhasil diperoleh satu kelompok, didapatkan dengan pengorbanan kelompok lainnya.
Sumber daya yang langka tersebut mungin berupa suatu kedudukan khusus, dana, ruang,
dsb. Perluasan sumber daya merupakan salah satu teknik yang berhasil menanggulangi
konflik dalam banyak hal.
4. Penghindaran

Meskipun penghindaran tidak menimbulkan manfaat jangka panjang, teknik ini tentunya
dapat diterapkan sebagai pemecah konflik jangka pendek. Konflik pada hakekatnya harus
dihadapi, akan tetapi dalam beberapa situasi penghindaran mungkin merupakan pilihan
terbaik.

5. Pelunakan

Teknik pelunakan menekankan kepentingan bersama dari kelompok yang sedang konflik
dan mengabaikan perbedaan mereka. Keyakinan yang mendasari teknik ini adalah bahwa
dengan menekankan sudut pandang yang sama atas masalah-masalah tertentu
memudahkan jalan menuju satu tujuan yang sama.

6. Kompromi

Kompromi adalah metode tradisonal untuk menanggulangi konflik antarkelompok.


Dengan kompromi, tidak ada pemenang atau yang kalah dan keputusan yang dicapai
mungkin tidak baik bagi kelompok manapun. Kompromi dapat digunakan secara efektif
jika tujuan yang ingin dicapai dapat dibagi secara merata. Jika hal ini tidak mungkin salah
satu kelompok harus menyerahkan sesuatu yang berharga sebagai suatu konsesi.
Kompromi dapat juga melibatkan campur tangan pihak ketiga, baik kelompok secara total
atau wakil perundingan, dan pemungutan suara.

7. Perintah otoritatif

Dengan menggunakan metode ini organisasi dengan mudah dapat memecahkan konflik
menurut yang dianggapnya cocok dan mengkomunikasikan keinginannya kepada
keompok yang terlibat. Bawahan biasanya akan mematuhi keputusan atasan tanpa
memperdulikan apakah mereka setuju atau tidak. Perintah yang otoritatif biasanya berlaku
untuk jangka pendek.

8. Mengubah variabel manusia

Mengubah variabel manusia melibatkan usaha perubahan perilaku anggota kelompok yang
terlibat. Metode ini memusatkan perhatian atas sebab konflik dan atas sikap orang-orang
yang terlibat. Meskipun pengubahan variabel manusia lebih lambat dibandingkan dengan
metode lainnya dan juga mahal, hasilnya sangat penting untu kepentingan jangka panjang.

9. Mengubah variabel struktural

Cara ini melibatkan perubahan struktur formal organisasi. Struktur berkenaan dengan
hubungan yang tetap diantara berbagai pekerjaan dalam organisasi dan mencakup desain
pekerjaan dan departemennya. Pengubahan struktur organisasi untuk menyelesaikan
konflik melibatkan hal-hal seperti pemindahan, pertukaran, penghubung, atau penengah
yang memungkinkan terjadinya komunikasi.

10. Mengidentifikasi musuh bersama

Kelompok yang bersengketa dapat menyelesaikan perbedaan mereka untuk sementara dan
bersatu menghancurkan musuh bersama. Musuh bersama tersebut mungkin pihak pesaing
yang baru saja memperkenalkan produk yang jelas lebih baik. Fenomena musuh bersama
sangat jelas pada konflik di dalam organisasi.

Apapun teknik atau tindakan yang dilakukan untuk mengatasi konflik dalam organisasi,
pokok yang terpenting adalah bahwa kita perlu mengenali keberadaannya dan sebab-sebab
konflik.
Daftar pustaka: https://www.academia.edu/10176471/KONFLIK

Anda mungkin juga menyukai