Anda di halaman 1dari 15

PERILAKU KEORGANISASIAN

Konflik dan Perundingan dalam Organisasi

DOSEN PENGAMPU :
I Gusti Made Suwandana, S.E.,M.M.

Oleh:
Kadek Ery Satya Pranandha (1707522051)(11)
I Gede Deva Darmawan (1707522052)(12)
I Gusti Ngurah Dika Krisnawan (1707522059)(17)
Jaka Kusuma Hanjaya (1707522068)(22)
Putu Ayu Trisna Listya Dewi (1707522133)(30)

PROGRAM STUDI S1 MANAJEMEN REGULER DENPASAR


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2019
9.1 Konsep Mengenai Konflik
Konflik berasal dari kata kerja latin configere yang berarti saling memukul. Secara
sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga
kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Tidak satu masyarakat pun yang tidak
pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya,
konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) konflik diartikan sebagai percekcokan, perselisihan
atau pertentangan.
Menurut Stephen P. Robbins (1996) dalam “Organization Behavior” menjelaskan
bahwa konflik adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara
dua pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh
positif maupun pengaruh negatif.
Menurut Fred Luthans (1981) konflik adalah kondisi yang ditimbulkan oleh adanya
kekuatan yang saling bertentangan. Kekuatan ini bersumber pada keinginan manusia.
Munurut Jerald Greenberg dan Robert A. Barron (1997) konflik dapat diartikan sebagai
suatu proses yang terjadi jika seseorang individu atau suatu kelompok memandang bahwa
individu atau kelompok lain bertindak atau segera bertindak tidak sesuai dengan minatnya.
Istilah konflik sendiri diterjemahkan dalam beberapa istilah yaitu perbedaan pendapat,
persaingan dan permusuhan. Dapat disimpulkan bahwa konflik merupakan suatu proses sosial
yang dialami oleh individu maupun kelompok dimana salah satu pihak memiliki perbedaan
dan berusaha untuk memenuhi tujuannya walaupun dengan cara ancaman dan atau kekerasan.
PANDANGAN TERHADAP KONFLIK
Menurut Steven P. Robins dalam bukunya “Managing Organizational
Conflick menyatakan bahwa sikap terhadap konflik dalam organisasi telah berubah dari
waktu ke waktu. Stephen P. Robbins telah mempelajari evolusi tersebut, di
mana ditekankannya perbedaan antara pandangan tradisional tentang konflik dan
pandangan yang berlaku sekarang.
a. Pandangan tradisional, menganggap bahwa semua konflik adalah berbahaya dan oleh
karenanya harus dihindari.
b. Pandangan aliran hubungan manusiawi, menganggap bahwa konflik adalah sesuatu
yang lumrah dan terjadi secara alami dalam setiap kelompok dan organisasi. Karena
keberadaan konflik dalam organisasi tidak dapat dihindari, maka aliran ini mendukung
penerimaan konflik tersebut dan menyadari adakalanya konflik tersebut bermanfaat
bagi prestasi suatu kelompok.
c. Pandangan interaksionis, John Aker dari IBM menjelaskan konflik perspektif
interaksionis, bahwa pendekatan interaksionis mendorong konflik pada kedaan yang
“harmonis”, tidak adanya perbedaan pendapat yang cenderung menyebabkan
organisasi menjadi statis, apatis, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan akan perubahan
dan inovasi.
d. Pandangan Kuno dan Pandangan Modern mengenai Konflik (James AF. Stoner dan
R. Edward Freeman, 1992).
Pandangan Kuno Pandangan Modern
1. Konflik dapat dihindari 1. Konflik tidak dapat dihindari
2. Konflik disebabkan karena adanya kesalahan 2. Konflik muncul karena aneka macam sebab,
manajemen dalam hal mendesain dan memanaje termasuk di dalamnya struktur organisatoris,
organisasi-organisasi atau karena adanya perbedaan-perbedaan dalam tujuan yang tidak dapat
pengacaupengacau. dihindari perbedaan-perbedaan dalam persepsi serta
3. Konflik merusak organisasi yang bersangkutan, dan nilai-nilai personalia yang terspesialisasi dan
menyebabkan tidak tercapainya hasil optimal sebagainya
4. Tugas manajemen adalah meniadakan konflik 3. Konflik membantu, kadang-kadang menghambat
5. Agar dapat dicapai hasil prestasi organisatoris hasil pekerjaan organisatoris dengan derajat yang
optimal, maka konflik perlu ditiadakan berbeda-beda.
44. Tugas manajemen adalah memanaje tingkat konflik,
dan pemecahannya hingga dapat dicapai hasil prestasi
organisatoris optimal.
5. Hasil pekerjaan optimal secara organisatoris,
memerlukan konflik moderat.

FAKTOR PENYEBAB KONFLIK


Menurut Stephen P. Robbins (1996), konflik muncul karena ada kondisi yang
melatarbelakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga
sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu: komunikasi, struktur,
dan variabel pribadi.
a. Komunikasi. Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan
kesalah pahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu
hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang
tidak cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap
komunikasi dan menjadi kondisi anteseden untuk terciptanya konflik.
b. Struktur. Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup:
ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok,
kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan
kelompok, gaya kepemimpinan, system imbalan, dan derajat ketergantungan antara
kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi
merupakan variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan
makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya
konflik.
c. Variabel Pribadi. Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang
meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap individu, karakteristik kepribadian yang
menyebabkan individu memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan
individu yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya,
individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain, merupakan
sumber konflik yang potensial. Jika salah satu dari kondisi tersebut terjadi dalam
kelompok, dan para karyawan menyadari akan hal tersebut, maka muncullah persepsi
bahwa di dalam kelompok terjadi konflik. Keadaan ini disebut dengan konflik yang
dipersepsikan (perceived conflict). Kemudian jika individu terlibat secara emosional,
dan mereka merasa cemas, tegang, frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka
konflik berubah menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict). Selanjutnya, konflik
yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan berubah menjadi konflik
yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk perilaku.
Misalnya, serangan secara verbal, ancaman terhadap pihak lain, serangan fisik, huru
hara, pemogokan, dan sebagainya.
JENIS-JENIS KONFLIK
Terdapat berbagai macam jenis konflik, tergantung pada dasar yang digunakan untuk
membuat klasifikasi. Ada yang membagi konflik atas dasar fungsinya, ada pembagian atas
dasar pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, dan sebagainya.
a. Konflik Dilihat dari Fungsi.
Berdasarkan fungsinya, Stephen P. Robbins (1996) membagi konflik menjadi
dua macam, yaitu: konflik fungsional (Functional Conflict) dan konflik disfungsional
(Dysfunctional Conflict).
 Konflik fungsional adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan kelompok, dan
memperbaiki kinerja kelompok.
 Konflik disfungsional adalah konflik yang merintangi pencapaian tujuan kelompok.
Menurut Stephen P. Robbins, batas yang menentukan suatu konflik fungsional atau
disfungsional sering tidak tegas (kabur). Suatu konflik mungkin fungsional bagi suatu
kelompok, tetapi tidak fungsional bagi kelompok yang lain. Begitu pula, konflik dapat
fungsional pada waktu tertentu, tetapi tidak fungsional di waktu yang lain. Kriteria yang
membedakan suatu konflik fungsional atau disfungsional adalah dampak konflik tersebut
terhadap kinerja kelompok, bukan pada kinerja individu. Jika konflik tersebut dapat
meningkatkan kinerja kelompok, walaupun kurang memuaskan bagi individu, maka
konflik tersebut dikatakan fungsional. Demikian sebaliknya, jika konflik tersebut hanya
memuaskan individu saja, tetapi menurunkan kinerja kelompok maka konflik tersebut
disfungsional.
b. Konflik Dilihat dari Pihak yang Terlibat di Dalamnya.
Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik, Stoner dan Freeman (1989)
membagi konflik menjadi enam macam, yaitu:
 Konflik dalam diri individu (conflict within the individual). Terjadi jika seseorang harus
memilih tujuan yang saling bertentangan, atau karena tuntutan tugas yang melebihi
batas kemampuannya.
 Konflik antar-individu (conflict among individuals). Terjadi karena perbedaan
kepribadian (personality differences) antara individu yang satu dengan individu yang
lain.
 Konflik antara individu dan kelompok (conflict among individuals and groups). Terjadi
jika individu gagal menyesuaikan diri dengan norma kelompok tempat ia bekerja.
 Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama (conflict among groups in the
same organization). Terjadi karena masing - masing kelompok memiliki tujuan yang
berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya.
 Konflik antar organisasi (conflict among organizations). Terjadi jika tindakan yang
dilakukan oleh organisasi menimbulkan dampak negatif bagi organisasi lainnya.
Misalnya, dalam perebutan sumberdaya yang sama.
 Konflik antar individu dalam organisasi yang berbeda (conflict among individuals in
different organizations). Terjadi sebagai akibat sikap atau perilaku dari anggota suatu
organisasi yang berdampak negative bagi anggota organisasi yang lain. Misalnya,
seorang manajer public relations yang menyatakan keberatan atas pemberitaan yang
dilansir seorang jurnalis.
c. Konflik Dilihat dari Posisi Seseorang dalam Struktur Organisasi.
Berdasarkan konflik yang dilihat dari posisi seseorang dalam struktur organisasi,
Winardi (1992) membagi konflik menjadi empat macam. Keempat jenis konflik tersebut
adalah sebagai berikut:
 Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan yang memiliki kedudukan
yang tidak sama dalam organisasi. Misalnya, antara atasan dan bawahan.
 Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjandi antara mereka yang memiliki kedudukan
yang sama atau setingkat dalam organisasi. Misalnya, konflik antar karyawan, atau
antar departemen yang setingkat.
 Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan lini yang biasanya
memegang posisi komando, dengan pejabat staf yang biasanya berfungsi sebagai
penasehat dalam organisasi.
 Konflik peran, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang mengemban lebih dari satu
peran yang saling bertentangan.
DAMPAK KONFLIK
Dampak konflik yang terjadi organisasi meliputi dua dampak yaitu dampak positif
dan dampak negatif.
a. Dampak Positif Konflik
Adapun dampak positif dalam organisasi yaitu sebagai berikut:
 Mendorong untuk kembali mengkoreksi diri. Dengan adanya konflik yang terjadi,
mungkin akan membuat kesempatan bagi salah satu ataupun kedua belah pihak untuk
saling merenungi kembali, berpikir ulang tentang kenapa bisa terjadi perselisihan
ataupun konflik diantara mereka.
 Meningkatkan Prestasi. Dengan adanya konflik, bisa saja membuat orang yang
termajinalkan oleh konflik menjadi merasa mempunyai kekuatan extra sendiri untuk
membuktikan bahwa ia mampu dan sukses dan tidak pantas untuk "dihina".
 Mengembangkan alternatif yang baik. Bisa saja dengan adanya konflik yang terjadi
diantara orang per orang, membuat seseorang berpikir dia harus mulai mencari
alternatif yang lebih baik dengan misalnya bekerja sama dengan orang lain mungkin.
b. Dampak Negatif Konflik
Adapun dampak negative dalam organisasi yaitu sebagai berikut:
 Menghambat kerjasama. Sejatinya konflik langsung atau tidak langsung akan
berdampak buruk terhadap kerjasama yang sedang dijalin oleh kedua belah pihak
ataupun kerjasama yang akan direncanakan diadakan antara kedua belah pihak.
 Apriori. Selalu berapriori terhadap "lawan". Terkadang kita tidak meneliti benar
tidaknya permasalahan, jika melihat sumber dari persoalan adalah dari lawan konflik
kita.
 Saling menjatuhkan. Ini salah satu akibat paling nyata dari konflik yang terjadi diantara
sesama orang di dalam suatu organisasi, akan selalu muncul tindakaan ataupun upaya
untuk saling menjatuhkan satu sama lain dan membuat kesan lawan masing-masing
rendah dan penuh dengan masalah.
9.2 Konsep Mengenai Perundingan
Negosiasi menurut Ivancevich (2007) sebuah proses di mana dua pihak ( atau lebih )
yang berbeda pendapat berusaha mencapai kesepakatan.
Menurut Sopiah (2008), negosiasi merupakan suatu proses tawar-menawar antara
pihak-pihak yang terlibat dalam konflik.
Sedangkan Robbins ( 2008) menyimpulkan negosiasi adalah sebuah proses di mana
dua pihak atau lebih melakukan pertukaran barang atau jasa dan berupaya untuk menyepakati
nilai tukarnya.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa negosiasi adalah suatu upaya
yang dilakukan antara pihak-pihak yang berkonflik dengan maksud untuk mencari jalan keluar
untuk menyelesaikan pertentangan yang sesuai kesepakatan bersama.
STRATEGI NEGOSIASI
a. Negosiasi Menang-Kalah (Win-Lose)
Pandangan klasik menyatakan bahwa negosiasi terjadi dalam bentuk sebuah permainan
yang nilai totalnya adalah nol (zero sum game). Artinya apapun yang terjadi dalam negosiasi
pastilah salah satu pihak akan menang, sedangkan pihak yang lainnya kalah, atau biasa dikenal
dengan pendekatan distributif (ivancevich,2007).
b. Negosiasi Menang-Menang (Win-Win)
Pendekatan yang sama-sama menguntungkan, atau pendekatan integratif , dalam
bernegosiasi memberikan cara pandang yang berbeda dalam proses negosiasi. Negosiasi
menang-menang adalah pendekatan penjumlahan positif. Situasi – situasi penjumlahan positif
adalah pendekatan di mana setiap pihak mendapatkan keuntungan tanpa harus merugikan pihak
lain.
Dalam konteks organisasi, negosiasi dapat terjadi antara dua orang (seperti antara
atasan dengan bawahan dalam menentukan tanggal penyelesaian proyek yang dilimpahkan
kepada bawahan), dalam satu kelompok (seperti pada kebanyakan proses pengambilan
keputusan dalam kelompok), antarkelompok (seperti yang terjadi antara departemen pembelian
dan penyedia material mengenai harga, kualitas, atau tanggal pengiriman).
C. Negosiasi Kalah-Kalah ( Lose-Lose )
Lose-lose (kalah-kalah) strategi. Berbeda dengan strategi lainnya, strategi ini terjadi
ketika kedua belah pihak bersikukuh akan pendirian masing-masing sehingga tidak
memperoleh kesepakatan. Contoh: pedagang tidak memberikan produk yang ditawar oleh
pembeli, dengan demikian kedua belah pihak tidak mendapatkan apapun.
PROSES NEGOSIASI
a. Persiapan dan perencanaan: sebelum bernegosiasi perlu mengetahui apa tujuan dari
Anda bernegosiasi dan memprediksi rentangan hasil yang mungkin diperoleh dari
“paling baik” hingga “paling minimum bisa diterima”.
b. Definisi aturan-aturan dasar: begitu selesai melakukan perencanaan dan menyusun
strategi, selanjutnya mulai menentukan aturan-aturan dan prosedur dasar dengan pihak
lain untuk negosiasi itu sendiri. Siapa yang akan melakukan perundingan? Di mana
perundingan akan dilangsungkan? Kendala waktu apa, jika ada , yang mungkin akan
muncul? Pada persoalan-persoalan apa saja negosiasi dibatasi? Adakah prosedur
khusus yang harus diikuti jika menemui jalan buntu? Dalam fase ini, para pihak juga
akan bertukar proposal atau tuntutan awal mereka.
c. Klarifikasi dan justifikasi: ketika posisis awal sudah saling dipertukarkan, baik pihak
pertama maupun kedua akan memaparkan, menguatkan, mengklarifikasi,
mempertahankan, dan menjustifikasi tuntutan awal.
d. Tawar menawar dan pemecahan masalah: pada tahap ini akan terjadi tawar
menawar antara dua pihak untuk mencapai sebuah solusi dimana solusi tersebut akan
berguna untuk memecahan masalah.
e. Penutupan dan implementasi: tahap akhir dalam negosiasi adalah memformalkan
kesepakatan yang telah dibuat serta menyusun prosedur yang diperlukan untuk
implementasi dan pengawasan pelaksanaan.
NEGOSIASI MENGGUNAKAN PIHAK KETIGA
Negosiasi-negosiasi tidak selalu langsung terjadi antara dua pihak yang mengalami
ketidaksepakatan. Terkadang pihak ketiga dipanggil untuk terlibat dalam negosiasi antara
pihak-pihak yang telah mengalami jalan buntu.
Terdapat berbagai macam intervensi pihak ketiga. Salah satu tipologi menyebutkan
setidaknya terdapat empat macam intervensi pihak ketiga yang mendasar:
a. Mediasi adalah situasi di mana pihak ketiga yang netral menggunakan penalaran,
pemberian usulan, dan persuasi dalam kapasitasnya sebagai fasilitator. Para mediator
ini memfasilitasi penyelesaian masalah dengan mempengaruhi bagaimana pihak-pihak
yang terlibat dalam negosiasi berinteraksi. Para mediator tidak memiliki otoritas yang
mengikat, pihak-pihak yang terlibat bebas mengacuhkan usaha mediasi ataupun
rekomendasi yang dibuat oleh pihak ketiga.
b. Arbitrase adalah situasi di mana pihak ketiga memiliki wewenang memaksa terjadinya
kesepakatan. Menurut Robbins ( 2008 ) kelebihan arbitrase dibanding mediasi adalah
bahwa arbitrase selalu menghasilkan penyelesaian.
c. Konsiliasi adalah seseorang yang dipercaya oleh kedua pihak dan bertugas
menjembatani proses komunikasi pihak-pihak yang bersitegang. Seorang konsiliator
tidak memiliki kekuasaan formal untuk mempengaruhi hasil akhir negosiasi seperti
seorang mediator.
d. Konsultasi adalah situasi di mana pihak ketiga, yang terlatih dalam isu konflik dan
memiliki keterampilan penyelesaian konflik, berupaya memfasilitasi pemecahan
permasalahan dengan lebih memusatkan hubungan antarpihak ketimbang isu-isu yang
substantif.
9.3 HUBUNGAN ANTAR KELOMPOK DALAM ORGANISASI
Mengenal, mengerti dan memahami hubungan antar individu dalam kelompok dan
hubungan antar kelompok sangat penting dan besar sekali artinya dalam kepemimpinan sebab
pemimpin akan dapat mengambil keputusan secara bijak, rasional dan adil. Mengabaikan
kepentingan kelompok akan berakibat fatal bagi masa depan organisasi.
Hubungan antar kelompok harus dibina sedemikian rupa sehingga dapat dijalin secara
harmonis. Harmonisnya hubungan antar kelompok akan dapat menciptakan kinerja kelompok
dan kinerja organisasi secara optimal.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HUBUNGAN ANTAR KELOMPOK
Kinerja kelompok yang berhasil merupakan fungsi dari sejumlah faktor yang
berpengaruh. Konsep yang memayungi berbagai faktor ini adalah konsep koordinasi.
Umumnya berpengaruh terhadap hubungan antar kelompok.
a. Ketergantungan
Pertanyaan yang perlu dijawab adalah apakah kelompok tersebut dalam
melaksanakan tugasnya memerlukan koordinasi ? jawaban dari pertanyaan ini terletak
kepada penetapan derajad ketergantungan yang ada diantara kelompok yang terkait.
Apakah kelompok tersebut satu sama lain saling membutuhkan atau tidak. Jika ada maka
ketergantungan yang ada akan terdiri dari ketergantungan tunggal (utuh), ketergantungan
berantai dan ketergantungan timbal balik. Ketergantungan tunggal adalah semua kelompok
yang terkait mempunyai ketergantungan yang sama (utuh) yang mutlak tidak dapat
dipisahkan, ketergantungan berantai adalah ketergantungan kelompok yang sangat
dipengaruhi oleh kinerja kelompok yang lain, sedangkan ketergantungan timbal balik
adalah ketergantungan yang berada pada posisi berlawanan.
b. Ketidakpastian Tugas
Semakin besar ketidakpastian suatu tugas (pekerjaan) maka akan semakin besar
pula respon yang harus dibuat (dibentuk) dan semakin rendah derajad ketidakpastian suatu
tugas (pekerjaan) maka tugas (pekerjaan) akan dapat distandarisasi. Kunci utama
ketidakpastian tugas (pekerjaan) adalah bahwa suatu tugas (pekerjaan) untuk diterapkan
memerlukan informasi lebih banyak. Oleh karena itu jika suatu tugas (pekerjaan)
mempunyai ketidakpastian yang tinggi maka ketergantungan kepada informasi yang
lengkap jelas dan valid sangat dibutuhkan dan masing-maisng kelompok akan sama saling
membutuhkan satu sama lain atau menghadapi resiko kegagalan yang semakin besar.
c. Orientasi Waktu dan Tujuan
Dua kelompok atau lebih akan saling bergantung satu sama lain sangat ditentukan
oleh waktu dan tujuan spesifik yang melekat pada dirinya. Jika tujuan spesifik saling terkait
satu sama lain dan waktu yang disediakan saling berkaitan antara yang satu dengan yang
lain, maka derajad ketergantungan kelompok akan smakin besar.
METODE PENGELOLAAN HUBUNGAN ANTAR KELOMPOK
a. Peraturan dan Prosedur
Metode yang paling murah dan paling sederhana di dalam mengelola hubungan
antar kelompok adalah menetapkan aturan dan prosesdur interaksi antar kelompok. Di
dalam organisasi yang besar, akan dibentuk suatu departemen yang khusus memantau dan
mengevaluasi hubungan antar kelompk dan jika interaksi hubungan antar keompok tersebut
ada gejala yang tidak sesuai dengan harapan maka kelompok yang terkait akan dipanggil
untuk didengar serta diselesaikan melalui forum musyawarah. Peraturan dan prosedur baku
akan memperkecil hubungan antar kelompok yang dipandang tidak perlu.
b. Hirarki
Jika metode yang pertama dipandang kurang tepat maka hirarki kekuasaan yang
ada di dalam organisasi menjadi alternatif kedua di dalam mengelola hubungan antar
kelompok. Dengan demikian maka koordinasi akan diambil alih oleh pejabat yang lebih
tinggi yang berada didalam organisasi itu. Pejabat yang lebih tinggi umumnya dapat
dipandang sebagai pejabat yang ektif untuk membina hubungan antar kelompok sebab
pejabat yang tinggi ini secara posisional mempunyai kekuasaan yang lebih besar dan
dihapakan dapat mempengaruhi hubungan antar kelompok.
c. Perencanaan
Alternatif (pilihan) berikutnya di dalam mengelola hubungan antar kelompok
adalah melalui perencanaan. Jika setiap kelompok mempunyai tujuan spesifik yang hendak
dicapai maka setiap kelompok telah mengetahui hak dan kewajiban yang melekat pada
kelompoknya dan setiap kelomok ini akan mengetahui pada saat yang bagaimana hubungan
kelompok lain perlu dilakukan. Perencanaan yang memadai dan baik cenderung
memperbaiki koordinasi dan di samping itu perencanaan cenderung dapat pula alat
koordinasi yang efektif dan efisien.
d. Peran Perantara
Peran perantara sering mengarah kepada individu yang diberi tugas (pekerjaan)
khusus untuk memudahkan komunikasi antar kelompok kerja yang saling terkait. Perantara
yang diberi tugas (pekerjaan) khusus ini tentunya adalah orang yang dipandang cakap dan
mempunyai pandangan yang luas tentang bidang organisasi dan manajemen. Di dalam
organisasi yang besar sering kali memanfaatkan sarjana yang mempunyai kompetensi
dibidangnya dengan beberapa pengalaman praktis dan taktis yang menunjang
kompetensinya. Kelemahan utama peran perantara ini adalah adanya keterbatasan pribadi
untuk menangani informasi yang mengalir diantara kelompok yang saling berinteraksi,
khususnya jika kelompok berinteraksi itu besar dan interaski sangat sering dilakukan.
e. Pelaksana Tugas
Para pelaksana tugas (pekerjaan) dapat dijadikan wakil dari sejumlah kelompok.
Para pelalaksana tugas (pekerjaan) sering melaksanakan tugas (pekerjaan) yang sesuai
dengan bidangnya dan sering kali melakukan hubungan dengan yang lain. Para pelaksana
tugas (pekerjaan) ini harus dibina sedemikian rupa guna memberi pengertian dan
pemahaman mengenai hubungan antar kelompok tentang apa yang seharusnya dilakukan
di dalam membina hubungan dengan kelompok lain.
f. Tim
Jika tugas (pekerjaan) sudah semakin banyak dan rumit maka persoalan yang
muncul dari pelaksanaan tugas (pekerjaan) akan semakin bamuak dan rumit pula dan dalam
keadaan demikian maka alat koordinasi yang ada sudah dianggap kurang memadai dan
tidak tepat. Pilihan berikutnya adalah menyerahkan kerumitan hubungan antar kelompok
ini kepada suatu tim. Tim inilah yang akan memantau dan mengevaluasi pola hubungan
antar kelompok. Angota tim berasal dari masing-masing fungsi yang ada di dalam
organisasi dan ketika tugasnya telah selesai maka anggota tim ini akan kembali lagi kepada
induknya. Tim pemantau ini dikarenakan mempunyai keanggotaan yang berkomposisi
masing-masing fungsi maka dipandang mewakili masing-masing fungsinya sehingga hasil
pantauan dan evaluasinya dipandang cukup representatif.
g. Departemen/Badan Terpadu
Jika hubungan antar kelompok telah menjadi terlalu sulit dan rumit untuk
dikoordinasikan melalui rencana, tugas (pekerjaan), tim dan sebagainya maka organisasi
sebaiknya membentuk departemen/badan terpadu. Departemen/badan ini bersiat permanen
dengan anggota yang secara formal diberi tugas (pekerjaan) untuk memadukan dua
kelompok atau lebih. Departemen yang dibentuk ini akan digunakan jika organisasi sudah
sangat besar dan mempunyai tujuan-tujuan yang sering berlainan arah, mempunyai
berbagai persoalan yang tak rutin yang sangat rumit dan mempunyai keputusan antar
kelompok yang mempunyai dampak terhadap seluruh operasi organisasi.
Departemen/badan ini dapat dijadikan alat yang dapat diandalkan untuk menangani konflik
antar kelompok.
KASUS

Konflik Buruh Dengan PT Megariamas Sekitar 500 buruh yang tergabung dalam Serikat Buruh
Garmen Tekstil dan Sepatu-Gabungan Serikat Buruh Independen PT Megariamas Sentosa,
Selasa (23/9) siang ‘menyerbu’ Kantor Sudin Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans).
Mereka menuntut pemerintah mengambil tindakan tegas terhadap perusahaan yang
mempekerjakan mereka karena mangkir memberikan tunjangan hari raya (THR).
Ratusan buruh PT Megariamas Sentosa datang sekitar pukuk 12.00 WIB. Sebelum ditemui
Kasudin Nakertrans Jakut, mereka menggelar orasi yang diwarnai aneka macam poster yang
mengecam usaha perusahaan menahan THR mereka. Padahal THR merupakan kewajiban
perusahaan sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.
4/1994 tentang THR.

Demonstrasi ke Kantor Nakertrans bukan yang pertama, sebelumnya ratusan buruh ini juga
mengadukan nasibnya karena perusahan bertindak sewenang-wenang pada karyawan. Bahkan
ada beberapa buruh yang diberhentikan pihak perusahaan karena dinilai terlalu vokal.
Akibatnya, kasus konflik antar buruh dan manajemen dilanjutkan ke Pengadilan Hubungan
Industrial. Karena itu, pihak manajemen mengancam tidak akan memberikan THR kepada
pekerjanya.

PEMBAHASAN
Dari contoh kasus suatu konflik yang terjadi dalam suatu organisasi bisa ditekankan
disini suatu perusahan, dimana seorang pemimpin yang tidak bertanggung jawab dan tidak adil
dalam memimpin suatu perusahan. Mereka senantiasa mempermainkan rakyat kecil dan
bertindak sangat tidak bijaksana sebagai seorang yang memiliki kekuasaan, mereka dengan
mudah dapat mengeluarkan seorang karyawan yang dianggap terlalu vocal dan maengancam
para karyawanya dengan tidak memberikan THR.
Menurut saya ini jelas sangat berpengaruh dalam terjadinya sebuah konflik ini adalah
penyebab utama terjadinya konflik dalam kasus ini menurut saya bila dalam kasus ini banyak
cara untuk menyelesaikanya mungkin dengan cara mediator atau jika dengan cara mediator
tidak berhasil juga perlu adanya proses hukum karena disini telah melanggar hak seseorang
dan telah melanggar hukum yang berlaku tentang pemberian THR kepada tenaga kerja.
KESIMPULAN
Konflik dalam organisasi bisa terjadi dalam diri individu pegawai, antar individu,
dalam kelompok, antar kelompok dan antar organisasi, baik secara vertikal maupun horizontal
sebagai akibat adanya perbedaan karakteristik individu, masalah komunikasi dan struktur
organisasi. Konflik dapat bersifat fungsional dan disfungsional. Kemampuan manajemen
konflik dari seorang manajer dituntut untuk mengoptimalkan semua konflik menjadi
fungsional. Kegagalan dalam manajemen konflik mengakibatkan efektivitas organisasi
dipertaruhkan.
Negosiasi adalah bagian penting dalam kehidupan sehari-hari agar dapat bertahan dalam
bisnis atau bidang lainnya. Dalam pelaksaaan negosiasi tidak jarang terjadi konflik yang
membawa masalah tersendiri dari tingkat yang sederhana sampai masalah yang kompleks
sehingga mengganggu jalannya negosiasi.
Konflik akan selalu timbul jika pandangan satu pihak berbeda dengan pandangan pihak
lawan. Agar konflik dapat memberikan manfaat yang optimal dalam negosiasi dan mengurangi
efek negatifnya, konflik dapat dikelola dengan melakukan pencegahan dan penanganan konflik
sehingga tujuan dan sasaran dalam negosiasi dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA

Jerald Greenberg dan Robert A.Baron, Behavior in Organizations, (Prentice Hall, 1997)
Stephen P.Robbins. Organizational Behavior, (Prentice Hall, 1996)
Winardi. Manajemen Konflik, (Mandar Maju, 1994)
John M Ivancevich & Michael T. Matteson. (1999). Organizational Behavior an Management.
International Edition. Irwin McGraw-Hill

Anda mungkin juga menyukai