Anda di halaman 1dari 28

INTERNATIONAL HUMAN

RESOURCE MANAGEMENT
CHAPTER 2

ARINDA SHARAH 14311475


HAIKAL NUGRAHA 14311485
YUNITA ADI C 14311560
AGENG NUR FAIZAH 14311685
 
POWER DISTANCE ATAU JARAK KEKUASAAN

A. Small Power Distance


B. Large Power Distance
CASE 2.1: ESTABLISHING A BRANCH OF A FAMILY
BUSINESS IN CHINA

Latar Belakang
Sebuah perusahaan keluarga dari jerman yang menjalankan bisnis karbon baja
telah berekspansi ke Hong Kong. Perusahaan itu membeli sebuah perusahaan
tradisional cina yang kecil dan memutuskan untuk mengikuti struktur yang
sukses dan akan mereka kembangkan di perusahaannya. Struktur ini dipimpin
oleh 3 orang manager yang secara rata membagi tanggung jawab aktivitas bisnis
perusahaan.
KONSEKUENSI ATAS KEPUTUSAN MANAGER
1) Para karyawan cina dipimpin oleh orang yang belum pernah mereka lihat
sebelumnya dan yang tidak ahli dibidangnya. Banyak kesalahpahaman yang
muncul, beberapa kesalahpahaman sangat merugikan bagi perusahaan
2) Para karyawan Eropa hanya peduli pada tugas yang dibebankan kepada
karyawan china, mereka tidak peduli degan kewajiban yang lain terhadap
karyawan china, seperti menjaga hubungan dengan pemerintah lokal, bank,
dan lain – lain
3) Pada akhirnya, karyawan cina menjadi frustasi dan siap untuk meninggalkan
perusahaan
RUMUSAN MASALAH

1) Hubungkan situasi yag dijelaskan dengan salah satu dimensi budaya yang
diidentifikasi oleh Hoftstede. Bagaiamana kamu menjelaskannya?
2) Bagaimana jika situasi ini dibandingkan dengan situasi yang serupa yang ada
di negara anda? Apa batasan – batasan dari penjelasan budaya?
KASUS INI BERHUBUNGAN DENGAN
SALAH SATU DIMENSI BUDAYA YANG
DIIDENTIFIKASI OLEH HOFTSEDE,
YAITU POWER DISTANCE.
1) merupakan dimensi budaya yang menunjukkan adanya ketidaksejajaran
(inequality) dari anggota yang tidak mempunyai kekuatan dalam suatu institusi
(keluarga, sekolah, dan masyarakat) atau organisasi (tempat bekerja).
Perbedaan kekuasaan ini berbeda-beda tergantung dari tingkatan sosial, tingkat
pendidikan, dan jabatan. Pada kasus ini Eropa memiliki power distance yang
tinggi, sedangkan China memiliki power distance yang rendah. Sehingga
kebijakan tersebut tidak bisa diterapkan pada budaya karyawan China. Pada
karyawan China mengganggap bahwa dirinya lebih superior dibandingkan
dengan yang lain karena status sosial, gender, ras, umur, pendidikan, kelahiran,
pencapaian, latar belakang atau faktor lainnya merupakan bentuk power
distance yang tinggi. Pada negara yang memiliki power distance yang tinggi,
masyarakat menerima hubungan kekuasaan yang lebih autokratik dan
patrenalistik. Sementara itu budaya dengan power distance yang rendah
cenderung untuk melihat persamaan di antara orang dan lebih fokus kepada
status yang dicapai daripada yang disandang oleh seseorang.
LANJUTAN…
Hal ini tercermin pada kasus 2.1, dimana para karyawan Eropa hanya
memedulikan pekerjaan karyawan china dan tidak memperhatikan tanggung jawab
mereka yang lain. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa The important difference
between societies that differ with respect to the Power Distance Index is in how power
inequality is dealt with, namun kemudian, menurut kami hal ini tidak tercermin
pada kasus 2.1 karena pada akhirnya mereka merubah kembali model management
yang mereka gunakan.
PERBANDINGAN SITUASI BUDAYA YANG ADA DENGAN INDONESIA

Jika kasus ini dibandingkan dengan yang ada di Indonesia, tentu saja hal ini
mempunyai banyak kemiripan. Karena status social di Indoneisa menurut
kelompok kami itu masih memiliki jarak yang sangat signifikan. Bahwa orang yang
tidak memiliki kekuasaan cenderung bergantung kepada orang yang memiliki
kekuasaan. Hubungan mereka memiliki jarak yang cukup lebar dan hirarkhis
namun dianggap sesuatu yang normal. Setiap kelompok, baik yang tidak memiliki
kekuasaan maupun yang berkuasa, menyadari bahwa kedudukan masing-masing
berbeda sehingga seolah-olah peran mereka juga berbeda. Kekuasaan hanya milik
orang tertentu yang memiliki kedudukan sehingga distribusinya kepada orang yang
tidak berkuasa sangat bergantung kepada kemurahan hati para penguasa.
CASE 2.2: LONG-TERM DEVELOPMENT PLANS OF
A GERMAN MULTINATIONAL IN THE USA
LATAR BELAKANG

Perusahaan Jerman telah mengembangkan


kegiatannya dalam industri listrik di Amerika
Serikat selama dua tahun dan CEO Peter
Hansen senang dengan kinerja mereka saat
ini: target pasar untuk produk penting telah
meningkat secara signifikan dan kemajuannya
lebih baik dari yang diharapkan. Jumlah
karyawan meningkat, termasuk beberapa
manajer lokal Amerika
LATAR BELAKANG

Salah satu dari manajer lokal US ini adalah John Miller,


direktur pemasaran perusahaan. Selama dua tahun
terakhir, ia telah benar-benar siap untuk pekerjaannya.
Perusahaan telah mengirimnya ke berbagai program
pelatihan tingkat tinggi di sekolah bisnis ternama dan
telah memberinya rencana pekerjaan jangka panjang,
termasuk jangka pendek untuk kemajuan vertical
pekerjaan. Sementara Peter Hansen ingin mendukung
pengembangan gaya manajemen Amerika namun ia
mencoba untuk mentransfer beberapa praktek HR yang
sangat dihargai di Jerman - terutama investasi dalam
pelatihan dan mengambil intra-organisasi perspektif karir
jangka panjang.
LATAR BELAKANG
Peter Hansen terkejut mengetahui bahwa John
Miller ingin berhenti dari pekerjaannya.
Perusahaan lain telah menawarkan John posisi
yang lebih menantang, karena ia telah
membangun pengetahuan dan pengalaman
basisnya yang didukung oleh pekerjaannya di
Jerman. Bagaimana Anda bisa menggambarkan
betapa kagetnya Peter Hansen dari sudut pandang
budaya?
RUMUSAN MASALAH

1. Kaitkan situasi yang digambarkan dengan


salah satu dimensi budaya yang diidentifikasi
oleh Hofstede. Bisakah anda menjelaskan
terkejutnya Peter Hansen menggunakan teori
tersebut?
2. Bagaimana situasi ini jika dibandingkan
dengan situasi yang sebanding di negara Anda?
Apa batas-batas dari penjelasan budaya?
ANALISIS KASUS

1)Pada kasus 2.2 dimana adanya situasi John Miller


mengundurkan diri dari perusahaan karena
memilih perusahaan lain yang lebih menjanjikan
dibandingkan dimana tempat dia bekerja
sebelumnya, yang kemudian menyebabkan Peter
Hansen terkejut, itu berhubungan dengan dimensi
budaya Uncertainty avoidance oleh Hofstede. Ini
merupakan salah satu dimensi dari Hofstede
mengenai bagaimana budaya nasional berkaitan
dengan ketidakpastian dan ambiguitas, kemudian
bagaimana mereka beradaptasi terhadap
perubahan.
.
ANALISIS KASUS
Perusahaan yang memiliki uncertainty avoidance yang
rendah, atau toleransi yang lebih tinggi untuk
ketidakpastian, mereka cenderung lebih bisa menerima
resiko. Bagi orang dari masyarakat luar, akan lebih
mudah untuk menjalin hubungan dan memperoleh
kepercayaan. Maka pada tingkat uncertainty avoidance
yang rendah mereka akan merasa tidak siap dan
terkejut apabila terjadi sesuatu hal yang tidak sesuai
dengan yang diharapkan seperti yang digambarkan
pada kasus 2.2.
ANALISIS KASUS
Amerika penghindaran ketidakpastian nya rendah,
dalam kasus ini di tunjukan oleh prilaku John
Miller yang memilih keluar dari perusahaan dan
bergabung dengan perusahaan lain yang masih
belum menjamin. Sedangkan Jerman
penghindaran ketidakpastian nya tinggi atau
toleransi yang lebih rendah untuk ketidakpastian,
jadi mereka tidak mau menanggung resiko yang
mungkin akan di hadapi.
ANALISIS KASUS
2) Jika kasus ini dibandingkan dengan yang ada di
Indonesia, jelas memiliki banyak kesamaan.
Situasi tersebut sudah sangat wajar terjadi
apalagi pada karyawan yang berkompeten,
dimana dia akan lebih memilih suatu
perusahaan yang dia dapat menghasilkan
kontribusi lebih kepada perusahaan tersebut
dan tentu saja dengan reward yang lebih tinggi.
ANALISIS KASUS
Sehingga sebuah perusahaan harus meberikan tempat / jabatan sesuai dengan
kemampuan dan yang diharapkan oleh seorang karyawan yang memang
berkompeten pada bidangnya, agar dia tidak merasa “jika diperusahaan lain
aku bisa mendapatkan jabatan yang lebih baik dibandingkan di perusahaan
ini”. Namun, tentu saja suatu perusahaan juga tidak boleh terlalu percaya
kepada seorang karyawan, karena mereka juga pasti akan lebih mementingkan
kepentingannya sendiri, dibandingkan perusahaan. Hal itu disebabkan juga
oleh rendahnya “sense of belonging” terhadap perusahaan.
MASCULINITY VS FEMININITY

Femininity

Masculinity
CASE 2.3: FEMALE CAREERS IN VARIOUS ENVIRONMENTS

A. Latar Belakang
Elisabeth Harstad dipekerjakan sebagai pelatih pada manajemen risiko konsultasi DNV
Norwegia, dia menyadari bahwa menjadi seorang wanita adalah sebuah penghalang.
Perusahaan memiliki masalah mencarikan pekerjaan untuk Elisabeth di perusahaan
asing: "Saya ingin pergi ke London, Houston, atau Singapura Dan akhirnya saya
biska berhasil mendapatkan tugas internasional dari Oslo ke Kopenhagen." Itu terjadi
pada tahun 1980-an. Namun, Harstad tidak menyerah dan dia terus mengejar
karirnya secara intensif. Hari ini dia adalah seorang manajer penelitian dan inovasi
Unit di DNV - dan sejak 2006 dia adalah seorang anggota dewan direksi dari
perusahaan kimia Norwegia besar Yara. Ketika anggota baru dewan direksi terpilih,
itu adalah sebuah keuntungan bagi Elisabeth untuk menjadi seorang karyawan wanita
pertama. Dan pada akhirnya sejak tahun 2008, perusahaan Norwegia diwajibkan oleh
hukum untuk memiliki 40 persen anggota perempuan dari direksi. Dengan demikian,
Elizabeth adalah bagian dari sebuah percobaan dan perubahan, dan sekarang politik
mendukung proses ini di Norwegia.
B. RUMUSAN MASALAH

Hubungkan situasi di Norwegia untuk salah satu dimensi budaya yang diidentifikasi
oleh Hofstede. Bagaimana Anda bisa menjelaskannya?
Apakah aturan manajer perempuan dapat diterapkan di negara-negara lain juga?
Apa keuntungan dan kerugiannya?
KASUS INI BERHUBUNGAN DENGAN SALAH SATU
DIMENSI BUDAYA YANG DIIDENTIFIKASI OLEH
HOFTSEDE, YAITU MASKULINITAS DAN
FEMININITAS.
Dalam hal ini istilah masculinity seperti dikatakan oleh Hofstede berkaitan dengan pola
pikir masyarakat yang membedakan secara tegas peran jender dimana kaum pria
diharapkan harus lebih berambisi, suka bersaing, dan berani menyatakan pendapatnya,
serta cenderung berusaha mencapai keberhasilan material. sementara kaum wanita
diharapkan untuk lebih memperhatikan kualitas kehidupan dibandingkan dengan
keberhasilan materialitas, (memberi perhatian pada anak-anak dan keluarga serta lebih
peduli). Sementara itu yang dimaksud dengan femininity adalah pola pikir masyarakat yang
tidak secara tegas membedakan peran masing-masing jender dimana baik pria maupun
wanita dituntut kompetitif namun di saat yang sama juga diharapkan kooperatif. Seperti
pada kasus 2.3 dimana Elisabeth berhasil mendapatkan pekerjaan dengan jabatannya
sebagai manajer penelitian dan inovasi Unit di DNV, dan pada akhirnya Elisabeth
merupakan anggota dewan direksi dari perusahaan kimia Norwegia besar Yara. Yaitu
sebagai wanita pertama, sekaligus menjadi sebuah percobaan sehingga membuat
perubahan bahwa perusahaan Norwegia diwajibkan oleh hukum untuk memiliki 40 persen
anggota perempuan dari direksi.
2. MANAJER PEREMPUAN? ATAU LAKI – LAKI?
Menurut Gillian O'Mara, General Manager dari Steps Leadership Program. Kaum
perempuan itu lebih ambisius, ulet, jahil, penuh warna dan imajinatif. Mereka
memang lebih percaya diri, kompetitif, visionari dan memiliki kharisma kuat
dengan keberadaan mereka. Namun, menurut studi tersebut, walaupun
pemimpin perempuan dikatakan lebih baik, namun jika menyangkut masalah
memberi perintah, mengontrol operasional dan administrasi finansial, laki-laki
masih memegang keunggulan. Hasil studi tersebut menemukan juga bahwa laki-
laki lebih fokus dan konsentrasi dalam menyelesaikan pekerjaan mereka. Laki-
laki cenderung lebih unggul dan rela mengorbankan hubungan sosial yang
sedang dijalaninya.
IHRM ACTION CASE 2.4

MEETING ON A FRIDAY IN
KENYA
LATAR BELAKANG

Pembayaran
Perusahaan belum selesai, Terjadi banyak
bangunan Pihak
pihak sekali
mengerjakan konstruksi
konstruksi gangguan dan
meminta
proyek rute melakukan tidak
pertemuan
baru di Kenya pertemuan mendapatkan
dilakukan
yang dibiayai dengan pihak titik temu di
kembali pada
oleh pemerintah dalam
hari Selasa.
pada hari pertemuan.
Pemerintah.
Juma’at`
RUMUSAN MASALAH

1. Hubungkan situasi yang dijelaskan ke salah


satu dimensi budaya di identifikasi oleh
Hofstede. Bagaimana Anda bisa
menjelaskannya?
2. Bagaimana situasi ini dibandingkan dengan
situasi yang sebanding di negara Anda? Tolong
jelaskan. Dimana batas-batas penjelasan
budaya?
ANALISIS KASUS
1. Dimensi yang terkait dengan dimensi budaya menurut
Hofstede adalah INDIVIDUALISM VS COLLECTIVISM.
Individual:
- Hubungan antar individu begitu renggang
- Toleransi rendah
- Sifat keegoisan yang tinggi
Kolektif:
- Toleransi cukup kuat
- Menekankan pada kebersamaan
- tidak mengutamakan kepentingan pribadi
ANALISIS KASUS

2. Indonesia dan Kenya adalah sama-sama negara berkembang,


namun jika dilihat dari segala aspek kemajuannya, Indonesia
lebih unggul sehingga Indonesia bisa dibilang cukup
individual. Indonesia masih mengedepankan untuk gotong-
royong atau saling membantu sama lain.

Anda mungkin juga menyukai