Anda di halaman 1dari 36

PEMBAHASAN

A. KONSEP MENGENAI KONFLIK

Definisi Konflik

Konflik berasal dari kata kerja latin configere yang berarti saling
memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara
dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha
menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak
berdaya. Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar
anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang
bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) konflik diartikan sebagai percekcokan, perselisihan atau
pertentangan.
Menurut Stephen P. Robbins (2015) dalam “Organization Behavior”
menjelaskan bahwa konflik adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat
adanya ketidaksesuaian antara dua pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh
atas pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif.
Menurut Fred Luthans (1981) konflik adalah kondisi yang ditimbulkan
oleh adanya kekuatan yang saling bertentangan. Kekuatan ini bersumber pada
keinginan manusia.
Munurut Jerald Greenberg dan Robert A. Barron (1997) konflik dapat
diartikan sebagai suatu proses yang terjadi jika seseorang individu atau suatu
kelompok memandang bahwa individu atau kelompok lain bertindak atau segera
bertindak tidak sesuai dengan minatnya.
Istilah konflik sendiri diterjemahkan dalam beberapa istilah yaitu
perbedaan pendapat, persaingan dan permusuhan. Dapat disimpulkan bahwa
konflik merupakan suatu proses sosial yang dialami oleh individu maupun
kelompok dimana salah satu pihak memiliki perbedaan dan berusaha untuk
memenuhi tujuannya walaupun dengan cara ancaman dan atau kekerasan.

1
Perkembangan Pemikiran Terhadap Konflik

Menurut Stephen P. Robbins dalam bukunya “Managing Organizational


Conflict” menyatakan bahwa sikap terhadap konflik dalam organisasi telah
berubah dari waktu ke waktu. Stephen P. Robbins telah mempelajari evolusi
tersebut, di mana ditekankannya perbedaan antara pandangan tradisional tentang
konflik dan pandangan yang berlaku sekarang.
a. Pandangan tradisional, menganggap bahwa semua konflik adalah
berbahaya dan oleh karenanya harus dihindari.
b. Pandangan aliran hubungan manusiawi, menganggap bahwa konflik
adalah sesuatu yang lumrah dan terjadi secara alami dalam setiap
kelompok dan organisasi. Karena keberadaan konflik dalam organisasi
tidak dapat dihindari, maka aliran ini mendukung penerimaan konflik
tersebut dan menyadari adakalanya konflik tersebut bermanfaat bagi
prestasi suatu kelompok.
c. Pandangan interaksionis, John Aker dari IBM menjelaskan konflik
perspektif interaksionis, bahwa pendekatan interaksionis mendorong
konflik pada kedaan yang “harmonis”, tidak adanya perbedaan pendapat
yang cenderung menyebabkan organisasi menjadi statis, apatis, dan tidak
tanggap terhadap kebutuhan akan perubahan dan inovasi.
d. Pandangan Kuno dan Pandangan Modern mengenai Konflik (James AF.
Stoner dan R. Edward Freeman, 1992).
Pandangan Kuno Pandangan Modern
1. Konflik dapat dihindari. 1. Konflik tidak dapat dihindari.
2. Konflik disebabkan karena adanya 2. Konflik muncul karena aneka
kesalahan manajemen dalam hal macam sebab, termasuk di dalamnya
mendesain dan memanaje organisasi- struktur organisatoris, perbedaan-
organisasi atau karena adanya perbedaan dalam tujuan yang tidak
pengacaupengacau. dapat dihindari perbedaan-
3. Konflik merusak organisasi yang perbedaan dalam persepsi serta
bersangkutan, dan menyebabkan tidak nilai-nilai personalia yang
tercapainya hasil optimal. terspesialisasi dan sebagainya.
4. Tugas manajemen adalah meniadakan 3. Konflik membantu, kadang-kadang
konflik. menghambat hasil pekerjaan
5. Agar dapat dicapai hasil prestasi organisatoris dengan derajat yang
organisatoris optimal, maka konflik perlu berbeda-beda.
ditiadakan. 4. Tugas manajemen adalah memanaje

2
tingkat konflik, dan pemecahannya
hingga dapat dicapai hasil prestasi
organisatoris optimal.
5. Hasil pekerjaan optimal secara
organisatoris, memerlukan konflik
moderat.

Jenis-jenis Konflik

Terdapat berbagai macam jenis konflik, tergantung pada dasar yang


digunakan untuk membuat klasifikasi. Ada yang membagi konflik atas dasar
fungsinya, ada pembagian atas dasar pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, dan
sebagainya.
a. Konflik Tugas
Konflik tugas adalah konflik atas isi dan sasaran pekerjaan. Berdasarkan
tugasnya, Stephen P. Robbins (2015) membagi konflik menjadi dua
macam, yaitu: konflik fungsional (Functional Conflict) dan konflik
disfungsional (Dysfunctional Conflict).
- Konflik fungsional adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan
kelompok, dan memperbaiki kinerja kelompok.
- Konflik disfungsional adalah konflik yang merintangi pencapaian
tujuan kelompok.

Menurut Stephen P. Robbins, batas yang menentukan suatu konflik


fungsional atau disfungsional sering tidak tegas (kabur). Suatu konflik
mungkin fungsional bagi suatu kelompok, tetapi tidak fungsional bagi
kelompok yang lain. Begitu pula, konflik dapat fungsional pada waktu
tertentu, tetapi tidak fungsional di waktu yang lain. Kriteria yang
membedakan suatu konflik fungsional atau disfungsional adalah dampak
konflik tersebut terhadap kinerja kelompok, bukan pada kinerja individu.
Jika konflik tersebut dapat meningkatkan kinerja kelompok, walaupun
kurang memuaskan bagi individu, maka konflik tersebut dikatakan
fungsional. Demikian sebaliknya, jika konflik tersebut hanya memuaskan
individu saja, tetapi menurunkan kinerja kelompok maka konflik tersebut
disfungsional.

3
b. Konflik Hubungan
Konflik hubungan adalah konflik berdasarkan hubungan interpersonal atau
pihak yang terlibat di dalamnya. Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di
dalam konflik, Stoner dan Freeman (1989) membagi konflik menjadi enam
macam, yaitu:
- Konflik dalam diri individu (conflict within the individual). Terjadi
jika seseorang harus memilih tujuan yang saling bertentangan, atau
karena tuntutan tugas yang melebihi batas kemampuannya.
- Konflik antar-individu (conflict among individual). Terjadi karena
perbedaan kepribadian (personality differences) antara individu yang
satu dengan individu yang lain.
- Konflik antara individu dan kelompok (conflict among individuals and
groups). Terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri dengan norma
kelompok tempat ia bekerja.
- Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama (conflict among
groups in the same organization). Terjadi karena masing-masing
kelompok memiliki tujuan yang berbeda dan masing-masing berupaya
untuk mencapainya.
- Konflik antar organisasi (conflict among organizations). Terjadi jika
tindakan yang dilakukan oleh organisasi menimbulkan dampak negatif
bagi organisasi lainnya. Misalnya, dalam perebutan sumberdaya yang
sama.
- Konflik antar individu dalam organisasi yang berbeda (conflict among
individuals in different organizations). Terjadi sebagai akibat sikap
atau perilaku dari anggota suatu organisasi yang berdampak negatif
bagi anggota organisasi yang lain. Misalnya, seorang manajer public
relations yang menyatakan keberatan atas pemberitaan yang dilansir
seorang jurnalis.

c. Konflik Proses.
Konflik proses adalah konflik atas cara melakukan pekerjaan. Konflik
proses berkisar pada delegasi dan peranan. Konflik mengenai delegasi
seringkali berkisar pada kelalaian dan konflik mengenai peranan dapat

4
menyisakan perasaan terpinggirkan beberapa anggota kelompok.
Berdasarkan penelitian Winardi (1992), konflik dibagi menjadi empat
macam. Keempat jenis konflik tersebut adalah sebagai berikut:
- Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan yang
memiliki kedudukan yang tidak sama dalam organisasi. Misalnya,
antara atasan dan bawahan.
- Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjandi antara mereka yang
memiliki kedudukan yang sama atau setingkat dalam organisasi.
Misalnya, konflik antar karyawan, atau antar departemen yang
setingkat.
- Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan lini yang
biasanya memegang posisi komando, dengan pejabat staf yang
biasanya berfungsi sebagai penasehat dalam organisasi.
- Konflik peran, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang mengemban
lebih dari satu peran yang saling bertentangan.

Lokus Konflik

Cara lain untuk memahami konflik adalah dengan mempertimbangkan


lokus, atau di mana konflik terjadi. Di sini terdapat tiga tipe dasar. Konflik dyadic
adalah konflik di antara dua orang. Konflik intragrup terjadi di dalam sebuah
kelompok atau tim. Konflik antarkelompok adalah konflik yang terjadi di antara
kelompok atau tim.
Hampir semua literatur mengenai konflik tugas, hubungan, dan proses
mempertimbangkan konflik intragrup (di dalam kelompok). Hal yang masuk akal
bahwa kelompok dan tim seringkali dibentuk hanya untuk melaksanakan suatu
tugas tertentu saja. Namun, tidak serta merta menyampaikan kepada kita
mengenai ruang konflik lainnya. Sebagai contoh, riset telah menemukan bahwa
bagi konflik tugas intragrup adalah untuk memengaruhi kinerja dalam tim, hal ini
penting bahwa tim-tim memiliki iklim yang mendukung yang mana kesalahan
tidak akan diberikan hukuman dan setiap anggota kelompok akan memberikan
dukungan kepada yang lain. Namun konsep ini bermanfaat dalam memahami efek
dari konflik antarkelompok bagi organisasi? Berpikirlah mengenai, katakana, tim

5
sepak bola NFL. Bagi sebuah tim untuk menyesuaikan diri dan berkembang,
barang kali konflik tugas dalam suatu jumlah tertentu baik bagi kinerja tim,
terutama ketika para anggota tim saling mendukung satu sama lain. Namun,
apakah para anggota dari salah satu tim mendukung para anggota dari tim
lainnya? Kemungkinan tidak,. Pada kenyataannya, jika kelompok-kelompok
saling bersaing satu sama lain sehingga hanya salah satu tim saja yang akan
“menang”, maka konflik antartim hampir tidak terelakkan lagi. Kapan hal ini
menguntungkan, dan kapan menjadi mengkhawatirkan?
Salah satu studi yang menitikberatkan pada konflik antarkelompok
menemukan bahwa saling memengaruhi di antara posisi seorang individu di
dalam sebuah kelompok dan cara individu tersebut mengelola konflik di antara
kelompok. Para anggota kelompok yang secara relatif berada di sekeliling
kelompok-kelompok mereka sendiri lebih baik pada menyelesaikan konflik di
antara kelompok mereka dan yang satunya lagi. Tetapi ini terjadi hanya ketika
para anggota yang berada di sekeliling tersebut masih bertanggung jawab terhadap
kelompok mereka. Dengan demikian, pada inti dari kelompok kerja Anda tidak
lantas membuat Anda menjadi orang terbaik untuk mengelola konflik dengan
kelompok-kelompok lainnya.
Pertanyaan menarik lainnya mengenai ruang konflik adalah apakah
konflik-konflik saling berinteraksi atau saling menahan satu sama lain atau tidak.
Asumsikan, misalnya, bahwa Dana dan Scott berada pada tim yang sama. Apa
yang terjadi jika mereka tidak rukun secara pribadi (konflik dyadic) dan tim
mereka juga memiliki konflik kepribadian yang tinggi? Apa yang terjadi kepada
tim mereka jika dua para anggota tim lainnya, Shawna dan Justin, bergaul dengan
baik? Juga dimungkinkan untuk mengajukan pertanyaan ini pada tingkat intragrup
dan antarkelompok. Konflik antarkelompok yang teramat sangat cukup dapat
menegangkan pada para anggota kelompok dan akan memengaruhi cara mereka
dalam berinteraksi. Salah satu studi menemukan, sebagai contoh, bahwa level
konflik yang tinggi di antara tim-tim yang disebabkan oleh para individu yang
menitikberatkan pada kepatuhan dengan norma di dalam tim-tim mereka.
Sehingga, dalam memahami konflik yang fungsional dan yang
disfungsional tidak hanya memerlukan untuk mengidentifikasi tipe dari konflik

6
semata, tetapi kita juga perlu mengetahui di manakah konflik tersebut terjadi.
Mungkin bahwa sementara konsep-konsep mengenai konflik tugas, hubungan,
dan proses bermanfaat dalam memahami konflik intragrup atau bahkan konflik
dyadic, mereka kurang bermanfaat dalam menjelaskan efek dari konflik
antarkelompok.
Secara singkat, pandangan lama bahwa seluruh konflik harus dihilangkan
merupakan pandangan yang sempit. Pandangan yang interaksionis bahwa konflik
dapat menstimulasi pembahasan secara aktif tanpa merembes ke dalam hal yang
negatif, emosi-emosi yang mengganggu masih belum sempurna. Berpikir
mengenai konflik dalam hal tipe dan lokusnya dapat membantu kita dalam
menyadari bahwa kemungkinan menjadi ta terelakkan dalam sebagian besar
organisasi, dan ketika itu terjadi, maka kita dapat berupaya untuk membuatnya
seproduktif mungkin.

Proses Konflik

Tahap I Tahap II Tahap III Tahap IV Tahap V


Pertentangan yang Kesadaran dan Niat: Perilaku: Hasil:
berpotensial atau Personalisasi:
ketidaksesuaian:

Dipandang Niat untuk Meningkatkan


Kondisi yang sebagai menangani konflik: Konflik terbuka: kinerja
mendahului: konflik  Persaingan  Perilaku para kelompok
 Komunikasi  Berkolaborasi pihak
 Struktur  Mencurigakan  Reaksi orang
Dirasakan  Menghindari lain Menurunkan
 Variabel pribadi
sebagai kinerja
 Mengakomodasi
konflik kelompok

Gambar 1
Proses Konflik

Proses konflik memiliki lima tahapan: pertentangan yang berpotensial atau


ketidaksesuaian, kesadaran dan personalisasi, niatan, perilaku, dan hasil.

Tahap 1: Pertentangan yang Berpotensial atau Ketidaksesuaian

Tahap pertama dari konflik adalah penampilan kondisi – penyebab atau


sumber – yang menciptakan peluang bagi konflik untuk timbul. Kondisi-kondisi

7
ini tidak lantas mengarah secara langsung pada konflik, tetapi salah satu dari
mereka yang diperlukan jika hal ini muncul di permukaan. Kita mengelompokkan
kondisi-kondisi ke dalam tiga kategori umum: komunikasi, struktur, dan variabel
pribadi.
Komunikasi. Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang
menimbulkan kesalah pahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi
sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik,
pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi
merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi kondisi anteseden untuk
terciptanya konflik.
Struktur. Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang
mencakup: ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota
kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota
dengan tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat
ketergantungan antara kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran
kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong terjadinya
konflik. Makin besar kelompok, dan makin terspesialisasi kegiatannya, maka
semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik.
Variabel Pribadi. Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor
pribadi, yang meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap individu, karakteristik
kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan
berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe
kepribadian tertentu, misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan
menghargai rendah orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial. Jika
salah satu dari kondisi tersebut terjadi dalam kelompok, dan para karyawan
menyadari akan hal tersebut, maka muncullah persepsi bahwa di dalam kelompok
terjadi konflik. Keadaan ini disebut dengan konflik yang dipersepsikan (perceived
conflict). Kemudian jika individu terlibat secara emosional, dan mereka merasa
cemas, tegang, frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik berubah
menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict). Selanjutnya, konflik yang telah
disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan berubah menjadi konflik yang
nyata, jika pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk perilaku.

8
Misalnya, serangan secara verbal, ancaman terhadap pihak lain, serangan fisik,
huru hara, pemogokan, dan sebagainya.

Tahap II: Kesadaran dan Personalisasi

Jika kondisi yang tercantum pada Tahap I secara negatif memengaruhi


sesuatu yang dipedulikan oleh pihak lain, maka berpotensial untuk pertentangan
atau ketidaksesuaian menjadi diwujudkan dalam tahap kedua.
Sebagaimana yang kita nyatakan dalam definisi kita mengenai konflik,
salah satu atau lebih pihak harus waspada terhadap terjadinya kondisi yang
mendahului. Namun, karena ketidaksepakatan yang dipandang sebagai konflik
tidak berarti dipersonalisasikan. Ini terjadi pada level yang dirasakan sebagai
konflik, ketika para individu menjadi terlibat secara emosional, bahwa mereka
mengalami kecemasan, ketegangan, frustasi, atau permusuhan.
Ingatlah dua poin. Pertama, Tahap II penting karena inilah dimana
permasalahan konflik cenderung didefinisikan, dimana pihak-pihak memutuskan
mengenai apakah konflik tersebut. Jika ketidaksepakatan mengenai gaji
merupakan situasi yang impas (peningkatan atas gaji sesuai dengan yang Anda
inginkan berarti akan terdapat jauh lebih sedikit untuk saya). Saya akan menjadi
jauh lebih kecil untuk bersedia berkompromi daripada jika saya mendefinisikan
konflik sebagai potensi atas situasi kemenangan kedua belah pihak (jumlah dolar
dalam kumpulan gaji akan ditingkatkan sehingga keduanya akan memperoleh gaji
yang ditambahkan sesuai yang kita inginkan). Definisi dari konflik penting karena
menggambarkan kemungkinan serangkaian penyesalan.
Poin kedua kita adalah bahwa emosi memegang peranan yang besar dalam
membentuk persepsi. Emosi yang negatif memungkinkan kita untuk terlalu
menyederhanakan permasalahan, kehilangan kepercayaan, dan menempatkan
interpretasi negatif terhadap perilaku dari pihak lain. Sebaliknya, perasaan positif
akan meningkatkan kecenderungan kita untuk melihat hubungan yang potensial di
antara elemen-elemen permasalahan, mengambil sudut pandang yang lebih luas
mengenai situasi, dan mengembangkan solusi-solusi yang inovatif.

9
Tahap III: Niat

Niat memengaruhi antara persepsi dan emosi orang-orang serta perilaku


terbuka mereka. Mereka berkeputusan untuk bertindak dengan cara tertentu.
Niat adalah sebuah tahapan berbeda karena kita harus mengambil
kesimpulan atas maksud orang lain untuk mengetahui bagaimana memberikan
tanggapan atas perilakunya. Banyak konflik yang meningkat hanya karena salah
satu pihak memberikan atribut niat yang salah kepada pihak lainnya. Perilaku
seseorang dapat saja berbelok dari niat, sehingga perilaku tidak selalu secara
akurat mencerminkan niat dari seseorang.
Dengan menggunakan dua dimensi – kegotongroyongan (suatu keadaan
yang mana salah satu pihak berupaya untuk memuaskan perhatian dari pihak lain)
dan ketegasan (keadaan yang mana salah satu pihak berupaya untuk memuaskan
perhatiannya sendiri) – kita dapat mengidentifikasi lima niat dalam menangani
konflik: bersaing (tegas dan tidak mau bekerja sama), mengakomodasi (tidak
tegas dan bekerja sama), dan berkompromi (di tengah-tengah antara ketegasan dan
kegotongroyongan).
Bersaing. Ketika seseorang berupaya untuk memuaskan kepetingannya
sendiri tanpa memperhatikan dampak terhadap pihak lainnya yang berkonflik,
orang tersebut sedang bersaing. Misalnya, Anda dikatakan sedang bersaing ketika
Anda bertaruh hanya ada satu pemenang.
Berkolaborasi. Ketika pihak-pihak yang melakukan konflik mengenai
keinginnan masing-masing untuk memuaskan sepenuhnya perhatian dari semua
pihak, terdapat kerja sama dan pencarian atas hasil yang saling menguntungkan.
Dalam berkolaborasi, para pihak bermaksud untuk memecahkan permasalahan
dengan menjernihkan perbedaan dan bukannya mengakomodasi sudut pandang
yang bervariasi. Jika Anda berupaya untuk menemukan solusi kemenangan bagi
semua pihak yang memungkinkan tujuan dari kedua pihak benar-benar tercapai,
itulah yang dinamakan dengan berkolaborasi.
Menghindar. Seseorang akan mengakui suatu konflik telah terjadi dan
ingin menarik diri dari atau menyembunyikan diri dari konflik tersebut. Contoh
dari menghindar meliputi berusaha untuk mengabaikan sebuah konflik dan
menghindar orang lain dengan siapa Anda tidak setuju.

10
Mengakomodasi. Pihak yang berupaya untuk memenangkan lawan yang
bersedia untuk menempatkan kepentingan dari lawan di atas kepentingannya
sendiri, berkorban untuk mempertahankan hubungan. Kita mengacu niatan ini
sebagai mengakomodasi. Mendukung opini dari orang lain meskipun Anda
berkeberatan mengenai hal itu, adalah contoh dari mengakomodasi.
Berkompromi. Dalam berkompromi, tidak ada pemenang atau kalah.
Bahkan, terdapat suatu kesediaan untuk pembagian objek konflik dan menerima
solusi engan kepuasan yang kurang sempurna bagi kedua belah pihak. Oleh
karena itu, hal yang menjadi cirri pembeda pada berkompromi adalah bahwa tiap-
tiap pihak bermaksud untuk menyerahkan sesuatu hal.
Niat tidak selalu tetap. Selama rangkaian konflik, mereka akan berubah
jika para pihak dapat elihat sudut pandang lain atau memberikan tanggapan secara
emosional atas perilaku orang lain. Orang-orang secara umum memiliki pilihan di
antara lima niatan untuk menangani konflik. Kita dapat mempreiksikan niat
seseorang dengan cukup baik dari kombinasi antara intelektual dengan
karakteristik kepribadian.

Tahap IV: Perilaku

Ketika sebagian besar orang berfikir mengenai konflik, mereka cenderung


untuk menitikberatkan pada Tahap IV karena di tahap ini konflik menjadi terlihat.
Tahap perilaku meliputi pernyataan, tindakan, dan reaksi yang dibuat oleh para
pihak yang sedang berkonflik, biasanya sebagai upaya terang-terangan untuk
mengimplementasikan niatan mereka sendiri. Sebagai hasil dari kesalahan dalam
perhitungan atau tindakan yang tidak bijaksana, maka upaya terang-terangan ini
kadang akan menyimpang dari niatan semula.
Tahap IV merupakan proses interaksi yang dinamis. Sebagai contoh, Anda
mengajukan tuntutan terhadap saya, saya memberikan tanggapan dengan
berdebat, Anda mengancam saya, saya balik mengancam Anda, dan sebagainya.
Seluruh konflik terjadi di suatu tempat bersama dengan rangkaian ini. Pada bagian
yang lebih rendah adalah konflik yang dicirikan hampir tidak kentara, secara tidak
langsung, dan bentuk ketegangan yang sangat terkendali, misalnya seorang
mahasiswa yang mengajukan pertanyaan di kelas mengenai hal yang baru saja

11
dibahas oleh pengawas. Intentitas konflik akan meningkat seiring dengan mereka
bergerak keatas di sepanjang rangkaian hingga mereka menjadi sangat destruktif.
Pemogokan, kerusuhan, dan peperangan merupakan yang sangat jelas dalam
kisaran atas ini. Konflik yang mencapai kisaran atas dari rangkaian hampir selalu
bersifat disfungsional. Konflik yang fungsional umumnya terbatas pada kisaran
bawah dari rangkaian.
Jika sebuah konflik bersifat disfungsional, apa yang dapat para pihak
lakukan untuk menurunkannya? Atau sebaliknya, opsi apa yang ada jika konflik
menjadi terlalu rendah dan perlu untuk ditingkatkan? Hal ini akan membawa kita
kepada teknik-teknik manajemen konflik. Gambar 1 memberikan daftar mengenai
resolusi utama dan teknik stimulasi yang memungkinkan para manajer untuk
mengendalikan level konflik. Kita telah menggambarkan beberapa niatan untuk
menangani konflik. Di bawah kondisi-kondisi yang ideal, niatan seseorang akan
diterjemahkan ke dalam perilaku yang dapat diperbandingkan.

Tahap V: Hasil

Aksi-reaksi yang saling memengaruhi di antara para pihak yang sedang


berkonflik menciptakan konsekuensi. Seperti yang diperlihatkan dalam model
kita, maka hasil-hasil ini akan menjadi fungsional, jika konflik dapat
meningkatkan kinerja, kelompok, atau disfungsional, jika menghambat kinerja.
Hasil yang Fungsional. Bagaimana mungkin konflik dapat bertindak
sebagai kekuatan untuk meningkatkan kinerja kelompok? Sulit untuk
memvisualisasikan situasi yang mana serangan secara terbuka atau yang keras
dapat menjadi fungsional. Tetapi dimungkinkan untuk melihat seberapa rendah
atau moderat dari suatu level konflik dapat meningkatkan efektivitas kelompok.
Perhatikan bahwa seluruh contoh kita menitikberatkan pada konflik tugas dan
proses serta tidak memasukkan varietas hubungan.
Konflik bersifat konstruktif ketika dia mengingatkan kualitas dari
keputusan, menstimulasi kreativitas dan inovasi, mendorong kepentingan dan
keingintahuan di antara para anggota kelompok, menyediakan media bagi
permasalahan untuk dipublikasikan dan melepaskan ketegangan, serta membantu
perkembangan evaluasi diri sendiri maupun perubahan.Konflik merupakan

12
penangkal bagi kelompok pemikir. Tidak memungkinkan bagi kelompok untuk
secraa pasif mengesahkan keputusan yang didasarkan pada asumsi-asumsi yang
lemah, pertimbangan yang tidak memadai atas alternatif-alternatif yang
relevan,atau kelemahan lainnya. Konflik menantang status quo dan memajukan
penciptaan gagasan-gagasan, mempromosikan penilaian ulang dari tujuan dan
aktivitas kelompok, serta meningkatkan probabilitas bahwa kelompok akan
memberikan tanggapan terhadap perubahan. Sebuah pembahasan secara terbuka
menitikberatkan pada urutan tujuan yang lebih tinggi cenderung lebih dapat
memberi hasil yang fungsional. Kelompok-kelompok yang secara ekstrem
bertentangan tidak dapat mengelola ketidaksepakatan yang mendasari mereka
secara efektif dan cenderung kurang optimal menerima solusi, atau mereka pada
umumnya menhindari mengambil keputusan daripada memecahkan konflik. Studi
riset dalam lingkungan yang beragam menegaskan fungsionalitas dari
pembahasan secara aktif. Para anggota tim dengan perbedaan yang lebih besar
dalam gaya bekerja dan pengalaman juga sencerung untuk membagikan lebih
banyak informasi satu sama lain.
Pengamatan-pengamatan ini mengarahkan kita untuk memprediksi
manfaat bagi organnisasi meningkatkan keragaman budaya pada tenaga kerja.
Juga menjadi bukti apa saja yang mengindikasikannya, pada hampir semua
kondisi. Heterogenitas di antara kelompok dan para anggota organisasi dapat
meningkatkan kreativitas, meningkatkan kualitas keputusan, dan memfasilitasi
perubahan dengan mendorong fleksibilitas dari anggota. Para peneliti
membandingkan kelompok yang mengambil keputusan terdiri atas para individu
yang seluruhnya dari etnis Kaukasian dengan kelompok yang juga para
anggotanya terdiri atas kelompok etnis Asia, Hispanik, dan ras kulit hitam.
Kelompok yang beragam secara etnis menghasilkan gagasan-gagasan yang lebih
efektif dan yang lebih dapat dikerjakan dengan mudah, serta gagasan-gagasan
yang unik yang mereka hasilkan cenderung berkualitas lebih tinggi daripada
gagasan unik yang dihasilkan oleh kelompok yang seluruhnya hanya terdiri atas
etnis Kaukasia.
Hasil yang Disfungsional. Konsekuensi dari konflik yang bersifat
destruktif terhadap kinerja atau organisasi secara umum dikenal: oposisi tidak

13
terkendali yang melahirkan ketidakpuasan, yang mana berperan untuk
membubarkan ikatan bersama dan akhirnya mengarah pada kehancuran
kelompok. Dan tentu saja,kumpulan literatur yang banyak mendokumentasikan
bagaimana konflik disfungsional dapat menurunkan efektivitas kelompok. Di
antara konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan adalah komunikasi yang
buruk, penurunan dalam kekompakan kelompok, dan kurangnya usaha pencapaian
tujuan kelompok akibat pertikaian di antara para anggota. Semua bentuk dari
konflik – bahkan variasi yang bersifat fungsional – cenderung untuk menurunkan
kepuasan dan kepercayaan dari anggota kelompok. Ketika pembahasan secara
aktif beralih menjadi konflik yang terbuka di antara para anggota, maka
pembagian informasi di antara para anggota akan mengalami penurunan secara
signifikan. Pada titik ekstrem, konflik dapat membawa fungsi dalam kelompok
menjadi berhenti dan mengancam kelangsungan hidup kelompok.
Kemi menambahkan bahwa keanekaragaman biasanya dapat eningkatkan
kinerja kelompok dan pengambilan keputusan. Namun, jika perbedaan-perbedaan
dari opini menjadi terbuka di sepanjang garis kesalahan secara demografis, maka
akan menghasilkan konflik-konflik yang berbahaya dan pebagian informasi
mengalami penurunan. Sebagai contoh, jika terjadi perbedaan opini yang berdasar
pada perbedaan gender dalam anggota tim, sehingga seluruh pria akan
mempertahankan satu opini sedangkan para wanita mempertahankan opini
lainnya, maka para anggota kelompok akan cenderung untuk berhenti
mendengarkan satu sama lain. Mereka menjadi pilih kasih dalam kelompok dan
tidak akan memasukkan sudut pandang dari sisi lainnya ke dalam pertimbangan.
Para manajer dalam situasi ini perlu untuk memusatkan lebih banyak perhatian
terhadap garis kesalahan tersebut dan menekankan untuk berbagi tujuan kepada
tim.
Mengelola Konflik Fungsional. Jika para manajer memahami bahwa
dalam beberapa situasi konflik dapat memberikan manfaat, apa yang dapat mereka
lakukan untuk mengelola konflik secara efektif dalam organisasi mereka? Mari
kita lihat pada beberapa pendekatan yang digunakan oleh organisasi untuk
mendorong orang-orang untuk menantang sistem dan mengembangkan gagasan-
gagasan yang baru.

14
Salah satu dari kunci untuk meminimalkan konflik yang kontraproduktif
adalah dengan memahami kapan sebenarnya terjadinya ketidaksepakatan. Banyak
konflik yang muncul sehubungan dengan orang-orang yang menggunakan bahasa
yang berbeda untuk membahas serangkaian tindakan yang pada umumnya sama.
Sebagai contoh, seseorang dari bagian pemasaran akan menitikberatkan pada
“mendistribusikan permasalahan”, sementara itu seseorang dari bagian
operasional akan berbicara mengenai “manajemen rantai pasokan” untuk
menggambarkan permasalahan yang pada dasarnya sama. Manajemen konflik
yang berhasil akan mengenali pendekatan yang berbeda ini dan berupaya untuk
menyelesaikan mereka dengan mendorong pembahasan secara terbuka, dan jujur
dengan menitikberatkan pada kepentingan dan bukannya permasalahan.
Pendekatan lainnya adalah dengan membiarkan kelompok yang menentang
mengambil bagian dari solusi yang sangat penting bagi mereka dan kemudian
menitikberatkan pada bagaimana sisi satunya dapat mencapai terpenuhinya
kebutuhan pokoknya. Tidak ada satupun sisi yang dengan tepat persis
memperoleh apa yang diinginkannya, tetapi masing-masing sisi memperoleh
bagian yang paling penting dari agendanya.
Kelompok-kelompok yang berhasil menyelesaikan konflik akan
membahas perbedaan opini secara terbuka dan dipersiapkan untuk mengelola
konflik ketika hal itu muncul. Klonflik yang paling merusak adalah konflik yang
tidak pernah ditangani secara langsung. Sebuah pembahasan yang terbuka akan
membuatnya menjadi jauh lebih mudah untuk mengembangkan berbagai persepsi
dari permasalahan yang dimiliki; juga memungkinkan bagi kelompok bagi
kelompok untuk bekerja menuju pada solusi yang dapat diterima bersama. Para
manajer perlu menekankan untuk berbagi kepentingan dalam menyelesaikan
konflik, sehingga kelompok yang tidak setuju satu sama lain tidak menjadi terlalu
tertanam dalam sudut pandang mereka dan mulai melakukan konflik secara
pribadi. Kelompok-kelompok dengan gaya konflik kerja sama akan melakukan
identifikasi yang mendasarinya dengan kuat terhadap keseluruhan tujuan
kelompok tersebut lebih efektif daripada kelompok dengan gaya yang kompetitif.
Perbedaan-perbedaan lintas budaya dalam strategi penyelesaian konflik
akan didasarkan pada kecenderungan dan motif yang sifatnya kolektivistik.

15
Budaya-budaya kolektivistik memandang orang sebagai sebagai ke dalam situasi
sosial, sedangkan budaya individualistik melihat mereka sebagai otonom. Sebagai
hasilnya, para kolektivistik lebih cenderung berupaya untuk mempertahankan
hubungan dan mempromosikan kebaikan dari kelompok sebagai suatu
keseluruhan. Mereka akan menghindari ekspresi konflik secara langsung, lebih
memilih metode yang tidak langsung untuk menyelesaikan perbedaan opini. Para
kolektivistik juga menjadi lebih tertarik dalam menampilkan perhatian dan bekerja
melalui pihak-pihak ketiga untuk menyelesaikan pertikaian, sedangkan para
individualistic akan lebih cenderung untuk menghadapi perbedaan opini secara
langsung dan secara terbuka.
Beberapa riset telah mendorong teori ini. Dibandingkan para negosiator
Jepang yang bersifat kolektivistik, rekan tandingan mereka yang lebih
individualistic yaitu AS lebih cenderung untuk melihat penawaran dari rekan
tandingan mereka sebagai hal yang tidak adil dan menolak mereka. Studi lainnya
mengungkapkan bahwa sedangkan para manajer AS lebih cenderung untuk
menggunakan taktik-taktik yang bersaing dalam menghaapi konflik, berkompromi
dan menghindar merupakan metode dalam manajemen konflik yang sangat
disukai di Cina. Namun, hasil data dari wawancara menyarankan bahwa tim
manajemen puncak dalam perusahaan yang berteknologi tinggi di Cina lebih
memilih kolaborasi daripada berkompromi dan menghindari.
Dalam mempertimbangkan konflik – sifat, penyebab, dan konsekuensi –
kita sekarang beralih pada negosiasi,yang mana sering kali digunakan untuk
menyelesaikan konflik.

Dampak Konflik

Dampak konflik yang terjadi organisasi meliputi dua dampak yaitu


dampak positif dan dampak negatif.
a. Dampak Positif Konflik
Adapun dampak positif dalam organisasi yaitu sebagai berikut:
- Mendorong untuk kembali mengkoreksi diri. Dengan adanya konflik
yang terjadi, mungkin akan membuat kesempatan bagi salah satu
ataupun kedua belah pihak untuk saling merenungi kembali, berpikir

16
ulang tentang kenapa bisa terjadi perselisihan ataupun konflik diantara
mereka.
- Meningkatkan Prestasi. Dengan adanya konflik, bisa saja membuat
orang yang termajinalkan oleh konflik menjadi merasa mempunyai
kekuatan extra sendiri untuk membuktikan bahwa ia mampu dan
sukses dan tidak pantas untuk “dihina”.
- Mengembangkan alternatif yang baik. Bisa saja dengan adanya konflik
yang terjadi diantara orang per orang, membuat seseorang berpikir dia
harus mulai mencari alternatif yang lebih baik dengan misalnya
bekerja sama dengan orang lain mungkin.
b. Dampak Negatif Konflik
Adapun dampak negatif dalam organisasi yaitu sebagai berikut:
- Menghambat kerjasama. Sejatinya konflik langsung atau tidak
langsung akan berdampak buruk terhadap kerjasama yang sedang
dijalin oleh kedua belah pihak ataupun kerjasama yang akan
direncanakan diadakan antara kedua belah pihak.
- Apriori. Selalu berapriori terhadap “lawan”. Terkadang kita tidak
meneliti benar tidaknya permasalahan, jika melihat sumber dari
persoalan adalah dari lawan konflik kita.
- Saling menjatuhkan. Ini salah satu akibat paling nyata dari konflik
yang terjadi diantara sesama orang di dalam suatu organisasi, akan
selalu muncul tindakaan ataupun upaya untuk saling menjatuhkan satu
sama lain dan membuat kesan lawan masing-masing rendah dan penuh
dengan masalah.

B. KONSEP MENGENAI PERUNDINGAN/ NEGOISASI

Definisi Perundingan/Negosiasi

Perundingan merupakan sebuah proses dimana dua belah pihak atau lebih
saling bertukar barang atau jasa dan mencoba menyepakati jalan tengah perihal
konflik yang terjadi. Bahkan ini dituangkan dalam konsep BATNA (Best

17
Alternative to Negotiated Agreement). Perundingan atau negosiasi mewarnai
interaksi hampir semua orang dalam kelompok dan organisasi. Contoh yang jelas
antara lain adalah: tawar-menawar serikat buruh dengan manajemen. Contoh yang
kurang jelas: manajer berunding dengan bawahan, rekan kerja dan atasan. Kita
mendefinisikan negosiasi sebagai proses dimana dua pihak atau lebih berukar
barang atau jasa dan berupaya menyepakati nilai barang atau jasa tersebut.
Definisi negosiasi menurut Robbins (2008) menyimpulkan bahwa
negosiasi ialah sebuah proses dimana dua belah pihak atau lebih melakukan
pertukaran barang atau jasa dan berupaya untuk menyepakati nilai tukarnya.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa negosiasi adalah suatu
upaya yang di lakukan antara pihak-pihak yang berkonflik dengan maksud
mencari jalan keluar untuk menyelesaikan pertentangan yang sesuai dengan
kesepakatan bersama.

Strategi Perundingan/Negosiasi

1. Negosiasi Menang-Kalah (Win-Lose)


Pandangan klasik menyatakan bahwa negosiasi terjadi dalam bentuk sebuah
permainan yang nilai totalnya adalah nol (zero sum game). Artinya apapun
yang terjadi dalam negosiasi pastilah salah satu pihak akan menang,
sedangkan pihak yang lainnya kalah (Ivancevich, 2007).
2. Negosiasi Menang-Menang (Win-Win)
Pendekatan yang sama-sama menguntungkan dalam bernegosiasi memberikan
cara pandang yang berbeda dalam proses negosiasi. Negosiasi menang-
menang adalah pendekatan penjumlahan positif. Situasi-situasi penjumlahan
positif adalah pendekatan dimana setiap pihak mendapatkan keuntungan tanpa
harus merugikan pihak lain (Ivancevich, 2007).

Strategi Tawar-menawar

Terdapat dua pendekatan umum atas perundingan, yaitu tawar menawar


disrtibutif dan tawar-menawar integratif. Keduanya diperbandingkan dalam tabel
di bawah ini.

18
1. Tawar-menawar distributif ialah negosiasi yang berupaya membagi
sumber daya yang jumlahnya tetap, seperti dalam situasi menang-kalah.
Ciri khas dari tawar menawar distributif adalah bahwa tawar-menawar itu
berjalan pada kondisi menang kalah. Artinya, setiap apa yang didapatkan
adalah suatu bentuk konsekuensi atas pengorbanan, dan sebaliknya. Ketika
melakukan tawar-menawar distributif, taktik seseorang di fokuskan pada
upaya memaksa lawannya menyetujui titik sasaran spesifikasinya atau
sedekat mungkin dengan titik itu. Contoh taktik itu adalah meyakinkan
lawan mengenai mustahilnya mencapai titik sasarannya dan keuntungan
dari menerima penyelesaian berada pada titik sasaran Anda.
2. Tawar-menawar integratif merupakan perundingan yang mencari satu
penyelesaian atau lebih yang dapat menciptakan penyelesaian menang-
menang. Kontras dengan tawar-menawar distributif, pemecahan masalah
integratif berjalan dengan asumsi bahwa terdapat satu atau lebih
penyelesaian yang akan menciptakan solusi menang-menang. Dari segi
perilaku intraorganisasi, jika semua hal yang berkedudukan sama, tawar-
menawar integratif lebih di sukai daripada tawar-menawar distributif. Hal
ini dikarenakan tawar-menawar integratif dapat membina hubungan jangka
panjang dan mempermudah kerjasama di masa depan. Tawar-menawar
integratif mengikat para perunding dan memungkinkan masing-masing
meninggalkan meja perundingan dengan perasaan mendapatkan
kemenangan.
Tawar-menawar integratif jarang terlihat dalam sebuah organisasi karena
terletak pada syarat-syarat yang dibutuhkan agar negosiasi semacam ini
berjalan. Syarat-syarat tersebut meliputi:
a. Pihak-pihak yang terbuka pada informasi
b. Jujur dengan kepentingan mereka
c. Kepekaan kedua pihak terhadap kebutuhan pihak lain
d. Kemampuan untuk saling percaya
e. Kesediaan kedua pihak menjaga fleksibilitas

19
Tabel 1: Tawar-menawar Distributif versus Integratif
Karakteristik Ciri tawar-menawar Ciri tawar-menawar
distributif integratif
Sumber daya yang Jumlah sumber daya tetap dan Jumlah sumber daya variabel
tersedia harus dibagi harus dibagi
Tujuan Mendapatkan potongan kue Memperbesar kue sehingga
sebanyak mungkin kedua belah pihak merasa
puas
Tingkat berbagi Rendah (berbagi informasi Tinggi (berbagai informasi
informasi hanya akan memungkinkan akan memungkinkan masing-
pihak lain mengambil masingpihak untuk
keuntungan dari kita) menemukan cara yang akan
memuaskan kepentingan
kedua belah pihak)
Motivasi primer Saya menang, Anda kalah Saya menang, Anda menang
Kepentingan primer Saling menentang/berlawanan Selaras
Lama hubungan Jangka pendek Jangka panjang
Sumber: R. J. Lewicki dan J. A.Litterer, Negosiasi (Homewood llliois: Irwin.
1985) hal 280

Proses Perundingan/Negosiasi

Proses negosiasi memiliki lima tahapan. Menurut Robbins S.P. (2001),


tahapan-tahapan tersebut adalah persiapan dan perencanaan, penentuan aturan
dasar, klarifikasi dan justifikasi, tawar-menawar dan pemecahan masalah, dan
penutupan serta implementasi. Seperti terlihat pada gambar model dibawah ini:

Gambar 2: Proses Perundingan


Sumber: Robbins, S.P. (2008, p.195)

20
1. Persiapan dan perencanaan (Preparation and Planning)
Sebelum Anda mulai berunding, Anda perlu mengetahui mengenai,
apakah sifat dasar dari konflik itu, bagaimana sejarah yang memicu
perundingan ini, siapa yang terlibat dan bagaimana mereka
mempersepsikan konflik yang tengah dihadapi.
Anda juga perlu mempersiapkan suatu prediksi tentang apa yang Anda
pAndang sebagai tujuan pihak lain. Apabila dapat mengantisipasi posisi
lawan, Anda akan lebih siap untuk menangkis argumennya dengan
mengemukakan fakta dan angka-angka yang mendukung posisi Anda.
2. Penentuan aturan-aturan dasar (Definition and Ground Rules)
Setelah Anda menyelesaikan perencanaan Anda dan menyusun suatu
strategi , maka Anda siap untuk menetapkan aturan-aturan dasar dan
prosedur dengan pihak lain mengenai perundingan itu sendiri. Siapa yang
akan melakukan perundingan? Dimana akan diadakan? Apakah waktu
akan menjadi kendala? Serta terbatas pada persoalan apakah perundingan
itu akan diadakan? Pada tahap ini, pihak-pihak itu juga akan
mempertukarkan usulan atau tuntutan awal mereka.
3. Penjelasan dan pembenaran (Clarification and Justification)
Bila pendirian awal telah dipertukarkan, Anda dan pihak lain akan
menerangkan, menegaskan, memperjelas, memperkuat, dan membenarkan
permintaan Anda. Ini tidak selalu bersifat konfrontasional. Sebaliknya ini
merupakan kesempatan saling mendidik dan memberi informasi mengenai
persoalan, mengapa persoalan itu penting dan bagaimana cara masing-
masing pihak menghasilkan permintaan awal mereka. Inilah titik dimana
Anda mungkin berkeinginan memberikan pihak lain setiap catatan yang
membantu mendukung posisi Anda.
4. Tawar-menawar dan penyelesaian masalah (Bargaining and Problem
Solving)
Hakikat proses perundingan ialah proses aktual memberi dan menerima
sebagai upaya untuk mencapai suatu kesepakatan, dan tidak diragukan
disinilah kompromi perlu dibuat oleh kedua belah pihak.

21
5. Penutupan dan implementasi (Closure and Implementation)
Langkah terakhir dalam proses perundingan ialah memformalkan
kesepakatan yang telah diwujudkan dan menyusun setiap prosedur yang
diperlukan untuk pelaksanaan dan perundingan serikat buruh-
manajemen, tawar menawar mengenai persyaratan sewa, pembelian
sebidang real estat, sampai ke perundingan tawaran pekerjaan untuk
posisi menajemen senior. Perundingan ini akan memerlukan pengesahan
hal-hal spesifik ke dalam kontrak formal. Tetapi untuk sebagian besar
kasus, penutupan proses perundingan tidak lebih formal daripada jabat
tangan.

Isu-isu dalam Perundingan/Negosiasi

Pembahasan akhir mengenai perundingan adalah dengan meninjau ulang


empat persoalan kontemporer dalam perundingan, yaitu peran ciri kepribadian,
perbedaan jenis kelamin dalam perundingan, dampak perbedaan budaya pada
gaya perundingan, dan penggunaan pihak ketiga untuk membantu menyelesaikan
perbedaan.
1. Peran suasana hati dan sifat kepribadian dalam perundingan/negosiasi
Para perunding yang suasana hatinya positif memperoleh hasil yang lebih
baik daripada mereka yang suasana hatinya biasa-biasa saja. Hal ini
dikarenakan para perunding yang ceria atau gembira cenderung lebih
memercayai pihak lain dan, demikian mencapai lebih banyak penyelesaian
yang lebih menguntungkan. Penilaian keseluruhan atas hubungan antara
kepribadian perundingan, menemukan bahwa ciri dari kepribadian tidak
mempunyai dampak langsung yang mencolok baik pada proses tawar
menawar maupun pada hasil perundingan. Kesimpulan ini penting dan
mengemukakan bahwa Anda harus berkonsentrasi pada persoalan dan
faktor situasi dalam setiap proses tawar menawar dan bukan pada
kepribadian lawan Anda.
2. Perbedaan gender dalam perundingan/negosiasi
Bukti mengemukakan bahwa sikap perempuan terhadap perundingan dan
terhadap diri mereka sendiri sebagai juru runding tampaknya agak berbeda

22
dari sikap seorang pria. Kaum perempuan lebih kooperatif dan
menyenangkan dalam negosiasi daripada kaum laki-laki. Namun, laki-laki
ditemukan mampu menegosiasikan hasil yang lebih baik daripada
perempuan, meskipun perbedaannya relatif kecil. Perempuan yang
memegang posisi manajerial menunjukan kepercayaan diri lebih rendah
dalam antisipasi perundingan dan kurang puas dengan kinerja mereka
sesudah proses itu rampung, meskipun sesungguhnya kenerja dan hasil
yang mereka capai sama dengan apa yang telah dicapai oleh laki-laki.
Kesimpulan terakhir ini mengungkapkan bahwa perempuan mungkin
terlalu menghukum dirinya sendiri jika tidak bisa bergabung dalam
perundingan-perundingan ketika tindakan tersebut merupakan kepentingan
terbaik mereka.
3. Perbedaan kultur dalam perundingan/negosiasi
Gaya bernegosiasi beragam antara satu kultur dengan kultur lain.
Walaupun tampaknya tidak ada hubungan langsung yang berarti antara
kepribadian dan gaya runding individu, latar belakang budaya tampaknya
justru relevan. Gaya perundingan jelas lebih beraneka ragam di antara
budaya-budaya nasional. Konteks budaya dari perundingan sangat
mempengaruhi jumlah dan tipe persiapan tawar menawar, tekanan relatif
pada gubungan tugas lawan antar pribadi, taktik yang digunakan bahkan
kapan perundingan itu hendaknya dijalankan.
4. Perundingan/negosiasi pihak ketiga
Ketika tawar-menawar dalam perundingan berlangsung, kadang-kadang
individu atau wakil kelompok mencapai jalan buntu dan tidak mampu
menyelesaikan perbedaan mereka melalui perundingan langsung. Dalam
kasus semacam itu mereka mungkin berpaling ke pihak ketiga untuk
membantu mereka menemukan penyelesaian. Terdapat empat peran
mendasar pihak ketiga, yaitu sebagai mediator (penengah), arbitrator
(wasit), konsiliator (perujuk), dan konsultan.

Mediator ialah pihak ketiga netral yang memfasilitasi penyelesaian


perundingan dengan menggunakan penalaran dan persuasi, menyarankan
alternatif dan semacamnya. Mediator secara luas digunakan dalam

23
perundingan serikat buruh manajemen dan dalam pertikaian pengadilan
perdata. Tetapi, situasi menjadi kunci apakah mediasi akan berhasil atau
tidak; pihak-pihak yang berkonflik harus didorong untuk melakukan
tawar-menawar dan menyelesaikan konflik mereka. Selain itu, intensitas
konflik tidak boleh terlalu tinggi; mediasi paling efektif pada tingkat
konflik menengah. Terakhir, persepsi tentang mediator penting dan
diusahakan sebagai pihak yang netral dan nonkoersif.

Arbitrator merupakan pihak ketiga yang mempunyai wewenang


memaksakan kesepakatan. Abitrasi dapat bersifat sukarela (diminta) atau
wajib (dipaksakan pada pihak-pihak oleh undang-undang atau kontrak).
Otoritas atas wewenang arbitrator itu beraneka ragam merurut aturan yang
di tentukan olah para peruding. Misalnya arbitrator mungkin terbatas pada
memilih tawaran terakhir atas salah satu perundingan atau pada
menyarankan titik persetujuan yang tidak mengikat atau bebas memilih
dan membuat setiap pertimbangan yang dia inginkan. Kelebihan dari
abitrasi bila di bandingkan dengan mediasi ialah bahwa abitrasi selalu
menghasilkan penyelesaian. Apakah ada sisi negatifnya sangat bergantung
pada seberapa kuat posisi arbitrator. Jika salah satu pihak merasa
tersisihkan, pihak tersebut tentu tidak puas dan tidak mungkin menerima
dengan senang hati keputusan arbitrator. Karena itu, konflik bisa muncul
ke permukaan nantinya.

Konsiliator merupakan pihak ketiga yang terpercaya yang berperan


sebagai penghubung komunikasi informal antara perunding dengan
lawannya. Perujukan digunakan secara luas dalam sengketa internasional,
perburuhan, keluarga dan masyarakat. Membandingkan efektifitasnya
dengan mediasi ternyata sulit karena keduanya banyak sekali mengalami
tumpang tindih. Dalam perakteknya perujuk lebih dari sekedar
menjalankan komunikasi. Mereka juga melakukan pencarian fakta,
penafsiran pesan dan pembujukan terhadap mereka yang bersengketa
untuk mencapai kesepakatan.

24
Konsultan adalah pihak ketiga yang terampil dan tidak berat sebelah yang
berupaya memudahkan pemecahan masalah melalui komunikasi dan
analisis yang dibantu dengan pengetahuannya mengenai manjemen
konflik. Kontras dengan peran-peran di atas, peran konsultan tidaklah
untuk menyelesaikan persoalan tetapi, lebih ke perbaikan hubungan antara
pihak-pihak yang berkonflik sehingga mereka dapat mencapai
penyelesaiannya sendiri. Karena itu pendekatan ini memiliki fokus jangka
panjang untuk membangun persepsi dan sikap baru serta positif di antara
pihak-pihak yang bersengketa.

Ringkasan dan Implikasi untuk Manajer

Menurut Robbins S.P (2008) dalam menghadapi konflik yang berlebihan


dan untuk menguranginya, manajer dapat melakukan berbagai cara, yaitu:
1. Gunakan persaingan apabila tindakan cepat dan tegas bersifat vital
(dalam keadaan darurat); jika persoalannya penting, dimana tindakan
tidak populer perlu dilaksanakan (dalam pemangkasan biaya, penegakan
aturan yang tidak popular, pendisiplinan).
2. Gunakan kolaborasi untuk menemukan penyelesaian integratif bila
kepentingan itu terlalu penting sehingga tidak dapat dikompromikan.
Memperoleh komitmen dengan memasukkan kepentingan ke dalam
konsensus dan menyelesaikan perasaan yang telah mengganggu
hubungan.
3. Gunakan penghindaran ketika persoalan tertentu tidak terlalu penting,
atau terdapat persoalan yang lebih penting yang mendesak.
4. Gunakan akomodasi bila didapati adanya kekeliruan dan untuk
menunjukkan rasionalitas serta persoalan lebih penting bagi orang lain
daripada bagi diri sendiri dan ingin memuaskan orang lain serta
memelihara kerjasama.
5. Gunakan kompromi bila sasarannya penting tetapi tidak layak
mendapatkan upaya pendekatan-pendekatan yang lebih tegas yang
disertai kemungkinan gangguan; bila lawan dengan kekuasaan yang
sama berkomitmen terhadap sasaran yang timbal balik eksklusif; bila

25
ingin mencapai penyelesaian sementara atas persoalan yang rumit;
bila ingin menghasilkan pemecahan yang bijaksana di bawah tekanan
waktu; dan bila ingin cadangan bila kolaborasi atau persaingan tidak
berhasil.

Perundingan terbukti sebagai kegiatan yang berjalan terus-menerus dalam


kelompok dan organisasi. Tawar-menawar distributif dapat memecahkan
pertikaian tetapi sering mempengaruhi secara negatif kepuasan satu atau lebih
perunding karena difokuskan pada jangka-pendek dan bersifat konfrontasional.
Sebaliknya tawar-menawar integratif cenderung memberikan hasil yang
memuaskan semua pihak dan membina hubungan yang bertahan lama.

C. HUBUNGAN ANTARKELOMPOK DALAM ORGANISASI

Hubungan Antarkelompok

Dalam bagian hubungan antarkelompok, kita berfokus pada hubungan


antarkelompok. Inilah jembatan terkoordinasi yang menautkan dua kelompok
organisasional yang jelas terbedakan. Efisiensi dan kualitas hubungan ini dapat
mempunyai pengaruh yang mencolok pada kinerja salah satu atau kedua
kelompok dan kepuasan anggota mereka.

Faktor yang Mempengaruhi Hubungan Antarkelompok

Kinerja antarkelompok yang sukses merupakan sebuah fungsi dari


sejumlah faktor. Konsep lebih luas (umbrella concept) yang mengesampingkan
faktor-faktor ini adalah koordinasi. Tiap faktor berikut ini dapat mempengaruhi
upaya koordinasi.
1. Kesalingtergantungan
Pertanyaan pertama yang diutamakan yang perlu kita kemukakan
adalah: apakah kelompok-kelompok itu benar-benar memerlukan
koordinasi? Jawaban atas pertanyaan ini terletak dalam penentuan derajat
kesalingtergantungan yang terdapat antara kelompok-kelompok itu.

26
Artinya apakah kelompok-kelompok itu bergantung satu sama lain dan,
jika ya, seberapa besarnya? Tiga tipe kesalingtergantungan yang palng
dikenal adalah kesalingtergantungan yang tersatukan, yang berurutan, dan
yang timbal-balik. Masing-masing menuntut derajat interaksi kelompok
yang makin meningkat, seperti terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3
Tipe Kesalingtergantungan

Tersatukan
B

Berurutan
A B

Timbal-balik
A B

a. Kesalingtergantungan Tersatukan (pooled interdependence), terjadi


bilamana kelompok-kelompok berfungsi dengan ketidaktergantungan
relatif tetapi keluaran gabungan mereka menyokong ke tujuan
keseluruhan organisasi ini. Pada sebuah perusahaan seperti Apple
Computer, misalnya, ini akan mengambarkan hubungan antara
departemen pengembangan produk dan departemen pengiriman.
Keduanya diperlukan jika Apple harus mengembangkan produk baru
dan menyampaikan produk itu ke tangan konsumen, tetapi masing-
masing pada hakikatnya terpisah dan jelas terbedakan satu sama lain.
Dalam keadaan yang sama, persyaratan koordinasi antara kelompok-
kelompok yang ditautkan oleh kesalingtergantungan tersatukan lebih
kecil daripada oleh kesalingtergantungan berurutan dan timbal-balik.
b. Kesalingtergantungan Berurutan, terjadi bilamana satu kelompok
bergantung pada satu kelompok lain untuk masukannya tetapi

27
ketergantungan itu hanya satu arah. Pada sebuah perusahaan seperti
Apple Computer, misalnya, ini akan mengambarkan hubungan antara
departemen pembelian dan departemen perakitan suku cadang. Satu
kelompokperakitan suku cadang bergantung pada suatu kelompok
lainpembelianuntuk masukannya, tetapi ketergantungan itu hanya
satu arah. Pembelian tidak bergantung secara langsung pada perakitan
suku cadang untuk masukannya. Dalam kesalingtergantungan
berurutan, jika kelompok yang memberikan masukan tidak
menjalankan tugasnya dengan benar, kelompok yang bergantung pada
kelompok pertama ini akan sangat terkena. Dalam contoh Apple, jika
pembelian gagal memesan suatu komponen yang penting yang akan
dimasukkan dalam proses perakitan, maka departemen perakitan suku
cadang mungkin harus memperlambat atau sementara menutup operasi
perakitannya.
c. Kesalingtergantungan Timbal-balik, terjadi bilamana kelompok-
kelompok betukar masukan dan keluaran. Kesalingtergantungan
timbal-balik merupakan jenis yang paling rumit. Dalam hal ini,
kelompok-kelompok bertukar masukan dan keluaran. Misalnya,
kelompok penjualan dan pengembangan produk pada Apple saling
bergantung secara timbal-balik. Juru jual, dalam kontak dengan
pelanggan, memperoleh informasi mengenai kebutuhan masa depan
mereka. Kemudian pembelian meneruskan ini kembali ke
pengembangan produk sehingga mereka dapat menciptakan produk
komputer yang baru. Implikasi jangka panjang adalah bahwa jika
pengembangan produk tidak muncul dengan produk baru yang
dirasakan sangat diinginkan oleh calon pelanggan, personil penjualan
tidak akan mendapat pesanan. Jadi ada saling ketergantungan yang
tinggipengembangan produk memerlukan penjualan untuk informasi
mengenai kebutuhan pelanggan sehingga mereka dapat menciptakan
produk baru yang sukses dan penjualan bergantung pada kelompok
pengembangan produk untuk menciptakan produk-produk yang dapat
dijual dengan sukses. Derajat tingginya ketergantungan ini diwujudkan

28
dalam interaksi yang lebih besar dan tuntutan koordinasi yang
ditingkatkan.

2. Ketidakpastian Tugas
Pertanyaan koordinasi berikut adalah: Dalam jenis tugas-tugas
apakahkelompok-kelompok itu terlibat? Sederhananya, kita dapat
membayangkan tugas-tugas suatu kelompok sebagai merentang dari sangat
rutin ke sangat tidak rutin, seperti terlihat pada Gambar 4.
Gambar 4
Kontinuum Tugas
Tinggi Derajat Rutinisasi Rendah
Rendah Ketidakpastian tugas Tinggi
Tinggi Pembakuan Rendah
Rendah Persyaratan informasi Tinggi

Tugas sangat rutin sedikit variasinya. Masalah yang dihadapi anggota


kelompok cenderung berisi beberapa kekecualian dan mudah dinalisis.
Kegiatan kelompok semacam itu menggantungkan mereka pada prosedur
operasi yang terbakukan (terstandar). Misalnya, tugas manufaktur dalam
sebuah pabrik ban tersusun dari tugas-tugas yang sangat rutin. Pada
ekstrem yang lain ada tugas-tugas yang tidak rutin. Inilah kegiatan yang
tidak terstruktur, dengan banyak kekecualian dan masalah yang sukar
dianalisis. Banyak tugas yang dijalankan oleh kelompok riset pemasaran
dan pengembangan produk adalah dari jenis ini. Tentu saja, banyak tugas
kelompok terletak pada sesuatu titik di antara tugas rutin dan tidak rutin.
Kunci menuju ketidakpastian tugas adalah bahwa tugas tidak rutin
menuntut pemrosesan informasi yang agak lebih banyak. Tugas dengan
ketidakpastian yang rendah cenderung dibakukan. Lebih jauh, kelompok-
kelompok yang melakukan tugas terbakukan tidak harus banyak
berinteraksi dengan kelompok lain. Sebaliknya, kelompok yang
melakukan tugas-tugas yang tinggi ketidakpastiannya menghadapi
masalah-masalah yang menuntut respons yang disesuaikan (custom
responses). Selanjutnya hal ini mendorong ke suatu kebutuhan akan
informasi yang lebih banyak dan lebih baik, Kita akan mengharapkan

29
orang dalam departemen riset pemasaran pada Goodyear Tire & Rubber
untuk jauh lebih banyak berinteraksi dengan departemen dan kelompok
lainpemasaran, penjualan, desain produk, toko ban, agen periklanan, dan
yang serupadaripada orang-orang dalam kelompok manufaktur
Goodyear.

3. Waktu dan Orientasi Tujuan


Seberapakah bedanya kelompok-kelompok dalam hal latar belakang
dan pemikiran anggota-anggota mereka? Inilah pertanyaan ketiga yang
relevan untuk tingkat koordinasi yang perlu antara kelompok-kelompok.
Riset menunjukkan bahwa persepsi suatu kelompok kerja mengenai apa
yang penting dapat berbeda berdasarkan kerangka waktu yang mengatur
kerja mereka dan orientasi tujuan. Ini dapat menyulitkan kelompok-
kelompok dengan persepsi berlainan untuk bekerja sama.
Mengapa kelompok kerja bisa mempunyai waktu dan orientasi tujuan
yang berlainan? Secara historis, manajemen puncak membagi kerja dengan
memberi tugas-tugas yang lazim pada kelompok-kelompok fungsional
yang biasa dan menugasi kelompok-kelompok ini dengan tujuan yang
spesifik. Kemudian orang dipekerjakan dengan latar belakang dan
keterampilan yang sesuai untuk menyelesaikan tugas-tugas dan membantu
kelompok mencapai tujuannya. Diferensiasi tugas dan hal mempekerjakan
spesialis lebih mempermudah pengkoordinasian kegiatan intrakelompok.
Tetapi sebenarnya juga mempersulit manajemen puncak untuk
mengkoordinasikan interaksi antara kelompok-kelompok.
Untuk mennggambarkan betapa berbedanya orientasi antara
kelompok-kelompok kerja, personil manufaktur mempunyai fokus waktu
jangka pendek. Mereka mencemaskan soal jadwal produksi hari ini dan
produktivitas pekan ini. Sebaliknya, orang-orang dalam lit-bang
mempunyai fokus pada jangka panjang. Mereka memprihatinkan
pengembangan produk baru yang mungkin tidak diproduksikan dalam
beberapa tahun ini. Sama halnya, kelompok kerja sering mempunyai
orientasi tujuan yang berlainan. Lazimnya, penjualan ingin menjual apa
saja dan semuanya. Tujuan mereka berpusat pada volume penjualan dan

30
peningkatan pemasukan serta pangsa pasar. Kemampuan pelanggan
mereka untuk membayar apa yang dibeli bukanlah urusan penjualan.
Tetapi orang-orang dalam departemen kredit ingin memastikan bahwa
penjualan hanya dilakukan kepada pelanggan yang layak kredit. Perbedaan
dalam tujuan ini sering menyulitkan bagian penjualan dan kriteria untuk
berkomunikasi. Dan juga lebih mempersulit lagi pengkoordinasian
interaksi mereka.

Metode untuk Mengelola Hubungan Antarkelompok

Ada tujuh metode untuk mengelola hubungan antarkelompok yang paling


sering digunakan, seperti terlihat pada Gambar 5. Tujuh metode ini dicantumkan
dalam suatu kontinum, dengan urutan meningkatnya biaya. Metode-metode ini
juga bersifat kumulatif dalam arti metode berikutnya yang lebih tinggi dalam
kontinuum itu menambahkan, bukannya menggantikan, metode yang lebih
rendah. Dalam kebanyakan organisasi, metode yang lebih sederhana yang
dicantumkan dalam ujung bawah kontinuum itu digunakan bersama-sama dengan
metode yang lebih rumit yang dicantumkan pada ujung atas. Misalnya, jika
seorang manajer akan menggunakan tim-tim untuk mengkoordinasi hubungan
antarkelompok, manajer tersebut kemungkinan besar juga akan menggunakan
aturan dan prosedur.

31
Gambar 5
Metode untuk Mengelola Hubungan Antarkelompok
Tinggi
Departemen Pemadu
Tim
Satuan tugas
Biaya penggunaan tiap metode Peran Penghubung
Perencanaan
Hierarki
Aturan dan Prosedur
Rendah

1. Aturan dan Prosedur


Metode yang paling sederhana dan biayanya paling rendah untuk
mengelola hubungan antarkelompok adalah menetapkan, sebelumnya,
seperangkat aturan dan prosedur yang diformalkan yang akan menentukan
bagaiamana anggota kelompok akan berinteraksi satu sama lain. Dalam
organisasi besar, misalnya, prosedur operasi baku kemungkinan digunakan
untuk menentukan kapan staf permanen tambahan diperlukan dalam setiap
departemen, suatu formulir “permintaan staf baru” diisi dan diserahkan ke
departemen sumber daya manusia. Setelah menerima formulir ini, sumber
daya manusia memulai suatu proses standar untuk mengisi permintaan itu.
Perhatikan bahwa aturan dan prosedur semacam itu meminimalkan
kebutuhan untuk berinteraksi dan aliran informasi antara departemen-
departemen atau kelompok-kelompok kerja. Kekurangan dari metode ini
adalah metode ini hanya berhasil dengan baik apabila kegiatan
antrakelompok dapat diantisipasikan sebelumnya dan bila kegiatan itu
berulang cukup sering guna membenarkan ditetapkannya aturan dan
prosedur untuk menanganinya. Pada kondisi ketidakpastian dan perubahan
yang tinggi, aturan dan prosedur saja mungkin tidak memadai untuk
menjamin koordinasi yang efektif dari hubungan antarkelompok.

32
2. Hierarki
Jika aturan dan prosedur tidak memadai, penggunaan hierarki organisasi
menjadi metode primer untuk mengelola hubungan antarkelompok.
Artinya bahwa koordinasi dicapai dengan merujukkan masalah-masalah ke
atasan bersama yang lebih tinggi dalam organisasi itu. Dalam suatu
universitas, jika ketua Jurusan Bahasa Inggris dan Jurusan Komunikasi
Lisan tidak dapat sepakat di mana mata kuliah baru “Debat” akan
diajarkan, mereka dapat membawa persoalan itu ke Dekan Fakultas Sastra
untuk pemecahan persoalan. Keterbatasan utama metode ini adalah bahwa
metode tersebut menuntut banyak waktu dari atasan bersama. Jika semua
perbedaan dipecahkan dengan cara ini, eksekutif kepala dari organisasi itu
akan dibanjiri dengan pemecahan masalah antarkelompok, sehingga hanya
tersisa sedikit waktu untuk urusan lain.
3. Perencanaan
Langkah naik berikutnya dalam kontinuum itu adalah penggunaan
perencanaan untuk mempermudah koordinasi. Jika tiap kelompok kerja
mempunyai tujuan spesifik yang menjadi tanggungjawabnya, maka tiap
kelompok yahu apa yang harus dilakukan. Tugas antarkelompok yang
menciptakan masalah dipecahkan dalam bentuk tujuan-tujuan dan
sumbangan dari tiap kelompok. Dalam sebuah kantor kendaraan bermotor-
negara-bagian, masing-masing dari berbagai kelompok kerjapengetesan
dan pengujian, izin mengemudi, pendaftaran kendaraan, kasir, dan
semacamnyamempunyai seperangkat tujuan yang menetapkan bidang
tanggungjawab dan bertindak untuk mengurangi konflik antarkelompok.
Perencanaan sebagai suatu piranti koordinasi cenderung ambruk jika
kelompok kerja tidak mempunyai tujuan yang terdefinisi dengan jelas atau
kalau volume kontak antara kelompok tinggi.
4. Peran Penghubung
Peran penghubung merupakan peran yang dirancang khusus untuk
memudahkan komunikasi antara dua satuan kerja yang saling bergantung.
Dalam satu organisasi, di mana para akuntan dan insinyur mempunyai
sejarah konflik yang lama, manajemen memperkerjakan seorang insinyur

33
juga memiliki gelar MBA serta beberapa tahun pengalaman, dalam
akuntansi publik. Orang ini dapat berbicara dalam bahasa dari kedua
kelompok dan memahami masalah mereka. Setelah peran penghubung
yang baru ini ditetapkan, konflik yang sebelumnya mempersulit
departemen akuntansi dan departemen rekayasa untuk mengkoordinasi
kegiatan mereka, secara mencolok berkurang. Kekurangan dari piranti
koordinasi ini adalah adanya batas-batas bagi kemampuan setiap
penghubung untuk menangani aliran informasi antara kelompok-kelompok
yang berinteraksi, kecuali kalau kelompok-kelompok itu besar dan
interaksinya sering.
5. Satuan Tugas
Satuan tugas merupakan suatu kelompok sementara yang terdiri dari
wakil-wakil dari sejumlah departemen. Satuan tugas dibentuk hanya
selama dibutuhkan untuk memecahkan masalah tertentu. Setelah suatu
pemecahan dicapai, peserta satuan tugas itu kembali ke tugas biasa
mereka.
Satuan tugas merupakan piranti yang baik sekali untuk mengkoordinasikan
kegiatan bila jumlah kelompok yang berinteraksi lebih dari dua atau tiga.
Misalnya, ketika Audi mulai menerima banyak sekali keluhan mengenai
sistem percepatan mobilnya ketika transmisinya dipasang mundur,
meskipun pengemudi bersumpah bahwa mereka telah menginjak rem,
perusahaan menciptakan suatu satuan tugas untuk menilai masalah itu dan
mengembangkan suatu pemecahan. Wakil-wakil dari departemen desain,
produksi, legal, dan rekayasa berkumpul. Setelah ditetapkan suatu
pemecahan, satuan tugas itu dibubarkan.
6. Tim
Dengan menjadi makin rumitnya tugas-tugas, masalah tambahan muncul
selama kegiatan pelaksanaan. Piranti-piranti koordinasi sebelumnya tidak
lagi memadai. Jika penundaan keputusan menjadi lama, garis-garis
komunikasi menjadi terulur, dan manajer puncak terpaksa menghabiskan
lebih banyak waktu pada operasui sehari-hari, maka respons berikutnya
adalah penggunaan tim-tim yang permanen. Lazimnya tim-tim ini

34
dibentuk sekitar masalah-masalah yang sering munculdengan anggota
tim mempertahankan tanggungjawab baik kepada departemen fungsional
primer mereka maupun kepada tim itu. Bila tim itu telah menyelesaikan
tugasnya, tiap anggota kembali ke tugas fungsional mereka secara penuh.
Boeing menggunakan tim fungsional silang untuk mengoordinasi
penyelidikan kecelakaan pesawat. Bila sebuah pesawat Boeing terlibat
dalam suatu kecelakaan, perusahaan segera mengirimkan sebuah tim yang
tersusun atas anggota dari berbagai departemen, antara lain desain,
produksi, hukum, dan humas. Bilamana terjadi suatu kecelakaan, anggota
yang ditunjuk dari tim itu segera mengesampingkan tugas-tugas
departemennya saat itu, dan langsung pergi ke tempat kecelakaan, dan
bergabung dengan anggota lain dari tim untuk memulai penyelidikan
mereka.
7. Departemen Pemadu
Bila hubungan antarkelompok menjadi terlalu rumit untuk dikoordinasikan
lewat perencanaan, satuan tugas, tim, dan semacamnya, organisasi dapat
menciptakan departemen pemadu. Departemen permanen dengan anggota
yang secara formal diberi tugas integrasi antara dua kelompok atau lebih.
Meskipun permanen dan mahal pemeliharaannya, mereka cenderung
digunakan bila suatu organisasi mempunyai sejumlah kelompok dengan
tujuan-tujuan yang mungkin berkonflik, masalah-masalah tidak rutin, dan
keputusan antarkelompok yang mempunyai dampak yang mencolok pada
operasi total organisasi itu. Departemen pemadu ini juga merupakan
piranti yang baik sekali untuk mengelola konflik antarkelompok bagi
organisasi yang menghadapi pengurangan jangka panjang. Bila organisasi
terpaksa merampingkan ukurannya, seperti akhir-akhir ini terjadi dalam
berbagai industri, konflik mengenai bagaimana pemotongan itu dibagikan
dan bagaimana kue sumber daya yang lebih kecil itu dialokasikan tentu
menjadi dilema besar dan berkelanjutan. Penggunaan departemen pemadu
dalam kasus-kasus semacam itu dapat merupakan cara yang efektif untuk
mengelola hubungan antarkelompok.

35
DAFTAR PUSTAKA

Ivancevich, John M., Robert Konopaske, Michael T. Matteson. 2007. Perilaku


dan Manajemen Organisasi Edisi 7 (2). Jakarta: Erlangga.

John M Ivancevich & Michael T. Matteson. 1999. Organizational Behavior an


Management. International Edition. Irwin McGraw-Hill.

Robbins, Stephen P. 2002. Perilaku Organisasi Edisi Kedelapan Jilid 2. Jakarta:


Ikrar Mandiriabadi.

Robbins, Stephen P., Timothy A. Judge. 2015. Perilaku Organisasi. Jakarta:


Salemba Empat.

Robert Kreitner dan Angelo Kinicki. 2000. Organizational Behavior. The


McGraw-Hill Companies, Inc.

Wood, et al., 1998. Organizational Behavior, an Asia-Pasific Perspective, John


Willey & Sons, Australia Edition.

Anonim. 2014. Memahami Perilaku Organisasi, Konflik, dan Perundingan.


https://yunusthariqrizky.wordpress.com/2014/01/05/memahami-perilaku-
organisasi-konflik-dan-perundingan/ (Diakses pada tanggal 5 Februari
2016).

Ersyafdi. 2015. Tugas Perilaku Organisasi Bab Konflik dan Negoisasi.


http://ersyafdi.blogspot.co.id/2015/01/konflik-dan-negosiasi.html (Diakses
pada tanggal 5 Februari 2016).

Maslan, dkk. 2013. Konflik dan Negoisasi.


http://maslanpaloh.blogspot.co.id/2013/10/tugasterstuktur-mata-kuliah-
perilaku.html (Diakses pada tanggal 5 Februari 2016).

Yusa, Leo. 2015. Konflik, Perundingan, dan Hubungan Antar Kelompok.


http://guskokak11.blogspot.co.id/2015/12/konflik-perundingan-dan-
hubungan-antar.html (Diakses pada tanggal 5 Februari 2016).

36

Anda mungkin juga menyukai