Anda di halaman 1dari 35

RINGKASAN MATERI KULIAH

PELAPORAN KORPORAT
“TRANSAKSI BERBASIS SYARIAH DAN PELAPORAN KEUANGAN SYARIAH”

SAP 4

OLEH: KELOMPOK 2
I MADE BAYU SUWENDRA (1807612004 / 04)
IDA AYU AGUNG EMAWATI (1807612005 / 05)
NI MADE SRI LESTARI (1807612006 / 06)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia yang telah
diberikan sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Ringkasan Materi Kuliah
Pelaporan Korporat dengan materi Transaksi Berbasis Syariah dan Pelaporan Keuangan
Syariah dengan tepat waktu. Kami harapkan ringkasan materi kuliah ini dapat memberikan
manfaat dan wawasan dalam kegiatan proses belajar mengajar
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan ringkasan materi kuliah ini. Kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari semua
pihak kami harapkan untuk peningkatan kualitas tugas kuliah kami selanjutnya. Atas
perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Denpasar, September 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER ...................................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................................ iii

TRANSAKSI BERBASIS SYARIAH DAN PELAPORAN KEUANGAN SYARIAH


A. JENIS-JENIS AKAD ...........................................................................................................5
B. KONSEP KEUNTUNGAN DALAM SYARIAH ............................................................10
C. TRANSAKSI YANG DILARANG ...................................................................................18
D. KERANGKA PELAPORAN SYARIAH ..........................................................................23

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................................32

iii
“TRANSAKSI BERBASIS SYARIAH DAN PELAPORAN KEUANGAN SYARIAH”

Keberadaan dan peran akuntansi syariah masih sering dipertanyakan: Apakah


memang diperlukan akuntansi syariah? Bukankah yang namanya akuntansi (sistem
pencatatan) pada dasarnya sama saja? Kalau berbeda, dimanakah letak perbedaannya dan
mengapa berbeda?
Secara sederhana, pengertian akuntansi syariah adalah proses akuntansi atas transaksi-
transaksi yang sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan Allah SWT.
Definisi Akuntansi (Konvensional) menurut American Accounting Association
(AAA) adalah the identification, recording, classification, interpreting and communication
economic events to permit users to make informed decisions.
Definisi Akuntansi Islam (Syariah) adalah the “accounting process” which provides
appropriate information (not necessarily limited to financial data) to stakeholders of an
entity which will enable them to ensure that the entity is continuously operating within the
bounds of the Islamic Shari’ah and delivering on its socioeconomic objectives.
Dari perbedaan definisi diatas, informasi yang disajikan akuntansi syariah untuk
pengguna laporan lebih luas tidak hanya data finansial juga mencakup aktivitas perusahaan
yang berjalan sesuai dengan syariah serta memiliki tujuan sosial yang tidak terhindarkan
dalam Islam misalnya dengan adanya kewajiban membayar zakat.
Akuntansi syariah juga dibutuhkan dan berbeda dengan akuntansi konvensional
mengingat dilahirkan dari sistem nilai dan aturan yang berbeda, sebagaimana dijelaskan oleh
Harahap (2004) dalam International Scientific Conference: View of Islamic Culture
Approach for Accounting Research di Osaka, pada seminar tersebut beliau menjelaskan
bahwa terdapat beberapa perbedaan antara akuntansi syariah dan akuntansi konvensional
yang dapat disimpulkan sebagai berikut.
Kriteria Akuntansi Syariah Akuntansi Konvesional
Dasar Hukum Hukum Etika yang bersumber Hukum Bisnis Modern
AlQuran & Sunnah
Dasar Tindakan Keberadaan Hukum Allah- Rasionalisme Ekonomis-Sekuler
Keagamaan
Tujuan Keuntungan yang Wajar Maksimalisasi Keuntungan
Orientasi Kemasyarakatan Individual atau kepada Pemilik
Tahapan Operasional Dibatasi dan Tunduk Ketentuan Tidak Dibatasi kecuali
Syariah Pertimbangan Ekonomis
Sumber: Harahap, 2004

1
Oleh sebab itu, akuntansi syariah diperlukan untuk mendukung kegiatan yang harus
dilakukan sesuai syariah, karena tidak mungkin dapat menerapkan akuntansi yang sesuai
dengan syariah jika transaksi yang akan dicatat oleh proses akuntansi tersebut tidak sesuai
dengan syariah.

Perkembangan Transaksi Syariah


Perkembangan pesat dalam kegiatan usaha dan lembaga keuangan (bank, asuransi,
pasar modal, dana pensiun, dan lain sebagainya) yang berbasis syariah. Dalam tiga dekade
terakhir, lembaga keuangan telah meningkatkan volume dan nilai transaksi berbasis syariah
yang tentunya meningkatkan kebutuhan terhadap akuntansi syariah.
Selanjutnya, perkembangan pemikiran mengenai akuntansi syariah juga makin
berkembang, yang ditandai dengan makin diterimanya prinsip-prinsip transaksi syariah di
dunia internasional.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa motor dari penerapan transaksi syariah diawali oleh
sistem perbankan syariah dan baru dilanjutkan dengan sektor lainnya. Sistem perbankan
syariah sendiri memiliki rekam jejak yang panjang. Diawali dengan Mit Ghamr Local Saving
Bank di Mesir pada tahun 1963, yang kemudian diambil alih dan direstrukturisasi oleh
Pemerintah Mesir menjadi Nasser Social Bank pada tahun 1972. Perkembangan tentang
perbankan syariah terus berlanjut, tidak hanya di Timur Tengah termasuk pendirian Islamic
Development Bank (1975), tetapi juga di negara-negara Eropa seperti Luksemburg(1978),
Swiss (1981), dan Denmark (1983). Perkembangan yang sama juga terjadi di Negara Asia
Tenggara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Di Malaysia, bank syariah pertama
berdiri pada tahun 1982 sementara di Indonesia baru terjadi 9 tahun kemudian, dengan
pendirian Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1991.
Pendirian Bank Muamalat sendiri bukanlah sebuah proses yang pendek, tetapi
dipersiapkan secara hati-hati. Untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat, sebelum tahun
1992, telah didirikan beberapa lembaga keuangan non bank yang kegiatannya menerapkan
system syariah. Selanjutnya melalui UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan dijabarkan
dalam PP No. 72 Tahun 1992, pemerintah telah memberikan kesempatan untuk pelaksanaan
bank syariah.
Perkembangan lembaga keungan syariah selanjutnya di Indonesia hingga tahun 1998
masih belum pesat, karena baru ada 1 (satu) Bank Syariah dan 78 Badan Perkreditan Rakyat
Syariah (BPRS) yang beroperasi. Pada tahun 1998, dikeluarkan UU No. 10 Tahun 1998 yang
memberikan landasan hukum lebih kuat untuk perbankan syariah. Melalui UU No. 23 Tahun

2
1999 hingga disahkannya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, perkembangan
perbankan syariah meningkat tajam terutama dilihat dari peningkatan jumlah
bank/kantoryang menggunakan prinsip syariah dan peningkatan jumlah asset yang dikelola.
Berikut ini adalah data perkembangan bank syariah di Indonesia hingga tahun 2016.

Indikator 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Bank
Umum
Syariah
Jumlah
2 2 3 3 3 5 6 11 11 11 11 12 12 13
Bank
Jumlah
207 263 301 346 398 576 711 1.215 1.390 1.745 1.998 2.163 1.990 1.854
Kantor

Unit
Usaha
Syariah
Jumlah
8 15 19 20 26 27 25 23 24 24 23 22 22 21
Bank
Jumlah
48 74 135 163 170 214 287 262 312 517 590 320 311 322
Kantor

BPR
Syariah
Jumlah
84 88 92 105 114 131 139 150 155 155 163 163 163 164
Bank
Jumlah
84 88 92 105 185 202 223 286 364 364 402 439 446 453
Kantor
Sumber: OJK
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan bank syariah dan
BPRS baik dari jumlah bank maupun jumlah kantor pelayanan tersebut. Pertambahan jumlah
bank syariah meningkat pada tahun 2009 dengan dikeluarkannya izin bank baru yaitu: Bank
Bukopin Syariah, Bank Panin Syariah, dan BRI Syariah. Pertumbuhan ini makin pesat pada
tahun 2010, di mana dari 6 bank syariah di tahun sebelumnya menjadi 11 bank syariah, yaitu:
BNI Syariah, BCA Syariah, BJB Syariah, Bank Victoria Syariah, dan Maybank Syariah.
Sektor berikutnya yang juga berkembang adalah asuransi syariah. Asuransi syariah
pertama kali didirikan di Sudan pada tahun 1979 dengan nama The Islamic Insurance
Company of Sudan. Pendirian ini terus berlanjut dan saat ini telah berdiri baik di Negara-
negara Timur Tengah, Negara yang memiliki banyak penganut Islam, seperti: Pakistan,
Lebanon, Nigeria, maupun Negara barat, seperti: Inggris, pecahan Uni Soviet, dan Australia.
Perkembangan paling pesat dewasa ini untuk industri asuransi syariah di luar Negara Timur
Tengah adalah Malaysia.
Perkembangan di Indonesia sendiri diawali dengan berdirinya Asuransi Takaful, yang
dibentuk oleh PT Syarikat Takaful Indonesia (STI) sebagai holding company pada tahun

3
1994. Persiapan pendirian dilakukan dengan studi banding ke Malaysia pada bulan
September 1993. Malaysia memang merupakan Negara ASEAN pertama yang menerapkan
asuransi dengan prinsip syariah sejak tahun 1985 dan dikelola oleh Syarikat Takaful Malaysia
Sdn, Bhd.
Setelah melalui persiapan yang matang, STI mendirikan PT Asuransi Takaful
Keluarga pada 25 Agustus 1994 dan PT Asuransi Takaful Umum pada 2 Juni 1995. Berikut
ini adalah perkembangan asuransi di Indonesia hingga tahun 2009.
Keterangan 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Perusahaan Asuransi Jiwa dengan
2 2 2 2 2 3 3 3
Prinsip Syariah
Perusahaan Asuransi Umum
1 1 1 1 1 2 2 2
dengan Prinsip Syariah
Perusahaan Asuransi Jiwa yang
8 9 12 13 17 17 17 17
Memiliki Unit Syariah
Perusahaan Asuransi Umum yang
13 15 19 19 19 20 18 20
Memiliki Unit Syariah
Perusahaan Reasuransi yang
2 3 3 3 3 3 3 3
Memiliki Unit Syariah
Jumlah 26 30 37 38 42 45 43 45
Sumber: OJK

Sektor syariah yang sedang berkembang adalah transaksi investasi syariah dan sector
keuangan non bank. Transaksi ini terus mengalami peningkatan, di antaranya berikut ini.
1. Obligasi Syariah (Sukuk)
2. Pasar Modal Syariah
3. Dana Pensiun Syariah
4. Pendanaan Proyek Syariah
5. Real Estat Syariah

Di tengah pesatnya perkembangan transaksi syariah tersebut, maka kebutuhan atas


akuntansi syariah makin meningkat. Akuntansi sebagai proses untuk melaporkan transaksi
keuangan perusahaan tentu harus dapat mengikuti seluruh perkembangan transaksi yang
sedang berlangsung.

Perkembangan Akuntansi Syariah (Wiroso, 2011)


1. Periode sebelum tahun 2002.
Walaupun Bank Muamalat sudah beroperasi sejak tahun 1992 namun sampai dengan
tahun 2001 belum ada PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) yang mengatur,
sehingga pada periode ini masih mengacu pada PSAK 31 tentang Akuntnais Perbankan
walaupun tidak dapat dipergunakan sepenuhnya terutama paragraph-paragraf yang

4
bertentangan dengan prinsip syariah seperti perlakuan akuntansi untuk kredit. Selain itu
juga mengacu pada Accounting Auditing Standard for Islamic Financial Institution yang
disusun oleh Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution,
suatu badan otonom yang didirikan 27 Maret 1991 di Bahrain.
2. Periode tahun 2001-2007.
Pada periode ini, sudah ada PSAK 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah yang dapat
digunakan sebagai acuan akuntansi untuk Bank Umum Syariah, Bank Perkreditan Rakyat
Syariah dan kantor cabang syariah sebagaimana tercantum dalam ruang lingkup PSAK
tersebut.
3. Tahun 2007-sekarang.
Pada periode ini, DSAK (Dewan Standar Akuntansi Keuangan) mengeluarkan PSAK
Syariah yang merupakan perubahan dari PSAK 59. KDPPLKS (Kerangka Dasar
Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah) dan PSAK Syariah, digunakan
baik oleh entitas syariah maupun entitas konvensional yang melakukan transkasi syariah
baik sector public maupun sector swasta. Dengan demikian, saat ini di Indonesia selain
memiliki PSAK Syariah juga ada PSAK konvergensi IFRS, SAK ETAP yang diluncurkan
secara resmi pada tanggal 17 Juli 2009 dan Standar Akuntansi Pemerintahan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa adanya akuntansi syariah
memiliki 2 alasan utama, yaitu: suatu tuntutan atas pelaksanaan syariah dan adanya
kebutuhan akibat pesatnya perkembangan transaksi syariah.

A. JENIS-JENIS AKAD
Menurut terminology hukum Islam, akad adalah ertalian antara penyerahan (ijab) dan
penerimaan (qabul) yang dibenarkan oleh syariah, yng menimbulkan akibat hokum terhadap
objeknya. (Ghufron Mas’adi, 2002). Menurut Abdul Razak Al-Sanhuri dalam Nadhariyatul
‘aqdi, akad adalah kesepakatan dua belah pihak atau lebih yang menimbulkan kewajiban
hukum yaitu konsekuensi hak dan kewajiban, yang mengikat pihak-pihak yang terkait
langsung maupun tidak langsung dalam kesepakatan tersebut. (Ghufron Mas’adi, 2002).
Dalam akuntansi syariah, akad harus sesuai dengan syariah yang merujuk pada Al
qur'an, As-Sunnah, Ijmadan qiyas. Transaksi/akad dalam syariah dibagi menjadi 2 (dua)
yaitu:
1. Akad Tabarru’ (Gratuitous Contract) merupakan akad yang tidak ditujukan untuk
memperoleh laba (transaksi nirlaba) tetapi mengharapkan ridho Allah. Sehingga kalau ada

5
biaya transaksi dari akad jenis ini hanya dibolehkan sebesar biaya riil yang dikeluarkan.
Ada 3 (tiga) bentuk akad tabarru’, sebagai berikut:
a. Meminjamkan Uang
Meminjamkan uang termasuk akad tabarru’ karena tidak boleh melebihkan
pembayaran atas pinjaman yang kita berikan, karena setiap kelebihan tanpa ‘iwad
adalah riba. Ada minimal 3 jenis pinjaman, yaitu sebagai berikut.
1) Qardh, merupakan pinjaman yang diberikan tanpa mensyaratkan apapun, selain
mengembalikan pinjaman tersebut setelah jangka waktu tertentu.
2) Rahn, merupakan pinjaman yang mensyaratkan suatu jaminan dalam bentuk atau
jumlah tertentu.
3) Hiwalah adalah bentuk pinjaman dengan cara mengambil alih piutang dari pihak
lain.
b. Meminjamkan Jasa
Meminjamkan jasa berupa keahlan atau keterampilan termasuk dalam akad tabarru’.
Ada minimal 3 jenis pinjaman, yaitu sebagai berikut.
1) Wakalah: memberikan pinjaman berupa kemampuan kita saat ini untuk
melakukan sesuatu atas nama orang lain. Pada konsep ini maka yang kita lakukan
hanya atas nama orang tersebut.
2) Wadi’ah: merupakan bentuk turunan bentuk wakalah, di mana pada akad ini telah
dirinci/didetailkan tentang jenis pemeliharaan dan penitipan. Sehingga selama
pemberian jasa tersebut kita juga bertindak sebagai wakil dari pemilik barang.
3) Kafalah: juga merupakan bentuk turunan akad wakalah, di mana pada akad ini
terjadi atas wakalah bersyarat (contingent wakalah).
c. Memberikan Sesuatu
Dalam akad ini, pelaku memberikan sesuatu kepada orang lain. Ada minimal 2 bentuk
akad ini.
1) Waqaf, merupakan pemberian dan penggunaan pemberian yang dilakukan tersebut
untuk kepentingan umum dan agama, serta pemberian itu tidak dapat
dipindahtangankan.
2) Hibah/shadaqah, merupakan pemberian sesuatu secara sukarela kepada orang lain.
Akad tabarru’ tidak dapat diubah menjadi akad tijarah sedangkan akad tijarah dapat
diubah menjadi akad tabarru’ (yang semula ditujukan untuk mencari keuntungan menjadi
tolong menolong/kebaikan).

6
2. Akad tijarah (compensational contract) merupakan akad yang ditujukan untuk
memperoleh keuntungan. Terdiri dari akad investasi yang hasilnya tidak pasti seperti akad
mudharabah dan musyarakah; serta akad jual beli dan sewa menyewa yang hasil atau
keuntungannya pasti seperti akad murabahah, salam, istishna' dan ijarah. Akad yang
hasilnya tidak pasti tidak bisa diubah menjadi akad dengan hasil yang pasti karena akan
menimbulkan riba. Demikian juga sebaliknya akad dengan hasil pasti tidak boleh diubah
menjadi akad dengan hasil tidak pasti karena akan terjadi gharar atau ketidakjelasan. Dari
sisi kepastian hasil yang diperoleh, akad ini dapat dibagi 2, yaitu sebagai berikut:
a. Natural Uncertainty Contact: merupakan kontrak yang diturunkan dari teori
pencampuran, di mana pihak yang bertransaksi saling mencampurkan asset yang
mereka miliki menjadi satu, kemudian menanggung risiko bersama-sama untuk
mendapatkan keuntungan. Oleh sebab itu, kontrak jenis ini tidak memberikan imbal
hasil yang pasti, baik nilai imbl hasil maupun waktu. Contoh yang termasuk dalam
kontrak ini adalah: musyarakah termasuk di dalamnya mudharabah, muzaraah,
musaqah, dan mukharabah.
b. Natural Certainty Contract: merupakan kontrak yang diturunkan dari teori
pertukaran, di mana kedua belah pihak saling mempertukarkan asset yang
dimilikinya, sehingga objek pertukarannya (baik barang maupun jasa) pun harus
ditentukan di awal akad engan pasti tentang jumlah, mutu, harga, dan waktu
penyerahan. Dalam kondisi ini secara tidak langsung kontrak kontrak jenis ini akan
memberikan imbal hasil yang tetap dan pasti karena sudah diketahui ketika akad.
Contoh akad ini adalah: akad jual beli (baik penjualan tunai, penjualan tangguh, salam
dan istishna’) maupun akad sewa (ijarah maupun IMBT.

7
Kontrak

Profit Non Profit


Uncertainty
(Tijarah) (Tabarru')

Bagi Hasil Lending $ Lending


Certainty Giving
(Asset) Self

Mudharabah, Qardh, Wakalah, Hibah,


Jual Beli Musyakarah Hawalah, Wadiah, Shadaqah,
Rahn (Gadai) Kafalah Wakaf, Hadiah

Murabahah, Salam,
Istishna, Ijarah &
IMBT

3. Akad Mudharabah
Akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (pemilik dana)
menyediakan seluruh dana, sedangkan pihak kedua (pengelola dana) bertindak selaku
pengelola, dan keuntungan dibagi diantara mereka sesui kesepakatan sedangkan kerugian
finansial hanya ditanggung oleh pemilik dana.
4. Akad Murabahah merupakan akad jual beli sehingga harus memenuhi persyaratan
syariah tentang prinsip jual beli. Secara umum akad murabahah merupakan transaksi
penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang
disepakati oleh penjual dan pembeli. PSAK 102 mendefinisikan akad murabahah sebagai
akad jual beli barang dengan harga jual sebesar biaya perolehan ditambah keuntungan
yang disepakati dan penjual harus mengungkapkan biaya perolehan barang tersebut
kepada pembeli. Pembayaran akad murabahah tersebut dapat dilakukan secara tunai
(bai’naqdan) atau dilakukan secara tangguh (ba’I mu’ajjal/ba’I bi’tsaman ajil). Akad juga
dapat dilakukan dengan melalui pesanan atau tanpa pesanan.
5. Akad Salam merupakan akad jual beli dengan penyerahan tunda dan pembayaran
dilakukan pada awal akad. PSAK 103 mendefinisikan akad salam adalah akad jual beli
barang pesanan (muslim fiih) dengan pengiriman dikemudian hari oleh penjual (muslam
ilaihi) dan pelunasan dilakukan oleh pembeli (al muslam) pada saat akad disepakati
sesuai dengan syarat-syarat tertentu. Akad salam dapat dilakukan secara langsung yaitu

8
antar penjual dan pembeli, atau secara parallel yaitu: antar penjual dan pembeli, serta
penjual 2 (yang merupakan pembeli pada transaksi pertama) dan pembeli 2. Akad salam
parallel diperbolehkan sepanjang tidak ada keterkaitan antara transaksi penjualan 1 dan
penjualan 2.
6. Akad Istishna merupakan akad jual beli dengan pesanan sebagaimana akad salam, yang
membedakan akad ‘istishna dengan akad salam adalah pada jenis barangnya’. Akad
salam biasanya digunakan pada pertanian sedangkan akad isthisna pada barang
manufaktur seperti kontruksi, gedung, mesin dll. Pembayaran akad salam harus dilakukan
saat kesepakatan, sedangkan istishna bisa dilakukan seiring dengan proses pembuatan.
PSAK 104 tentang istishna mendefinisikan akad ini merupakan akad jual beli dalam
bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu
yang disepakati antara pemesan (pembeli/mustashni) dan penjual (pembuat/shani).
Penjual dapat menyiapkan barang yang dipesan (sesuai spesifikasi pemesanan) oleh
dirinya sendiri atau melalui pihak lain. Jika dilakukan oleh pihak lain maka disebut
istishna parallel, hal ini diperbolehkan sepanjang kedua akad tidak saling tergantung.
7. Akad Ijarah merupakan bagian dari akad jual beli, hanya saja yang diperjualbelikan
bukan benda melainkan manfaat dari benda. PSAK 107 mendefinisikan Ijarah sebagai
akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa, dalam waktu tertentu
dengan pembayaran upah sewa (ujrah) tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas
barang itu sendiri. Akad Ijarah secara syariah lebih luas dari definisi sewa dalam
pengertian umum, mengingat secara syariah sewa disini bukan hanya untuk barang
tangible melainkan juga hasil kerja/karya seseorang. Akad ijarah juga tidak dapat
dipadankan dengan leasing (sewa guna usaha), mengingat akad ijarah tidak ada
perubahan kepemilikan dan tidak ada pengalihan resiko maka pada akad ijarah diperlukan
menjadi sewa opeasi biasa. Akad ijarah dapat dilakukan dengan akad ijarah biasa, ijarah
muntahiya bitamlik (IMBT) serta akad jual dan sewa kembali (sales and leaseback).
Pembayaran sewa dapat dilakukan di muka, ditangguhkan atau di belakang dari akad
sewa sepanjang disepakati oleh penyewa dan pemberi sewa.
8. Akad Lain
Berikut ini adalah akad-akad yang sering digunakan pada transaksi syariah. Dalam
praktek keuangan syariah, akad-akad ini akan menimbulkan pendapatan yang jumlahnya
tertentu. Akad-akad tersebut adalah, sebagai berikut:
a. Akad sharf adalah transaksi jual beli valuta asing dengan valuta lainnya

9
b. Akas wadi’ah adalah akad titipan/deposit barang atau dana suatu pihak kepada pihak
lain yang bukan pemilknya dengan tujuan keamanan. Akad ini ada dua jenis yaitu :
wadi’ah yad-dhamanah (dimana penerima titipan bisa menggunakan barang titipan
dengan izin dan menjamin ada saat diminta) dan wadi’ah yaddhamanah (dimana
penerima titipan tidak bisa menggunakan barang titipan)
c. Akad wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh suatu pihak kepada pihak lain
dalam hal-hal yang boleh diwakilkan. Dimana pemberi kekuasaan memberikan hak
kepada penerima kekuasaan untuk bertindak atas namanya
d. Akad kafalah adalah akad pemberi jaminan yang dberikan oleh penanggung kepada
pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak yang ditanggung
e. Akad hawalah adalah akad pengalihan utang atau piutang. Akad ini ada dua jenis
yaitu hiwalah ad dain berupa pengalihan utang dan hiwalah all haqq pengalihan
piutang
f. Akad qardh adalah akad pemberian pinjaman
g. Akad rahn adalah akad perjanjian pinjaman dengan jaminan atau dengan
melakukan penahanan harta milik peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang
diterima.

B. KONSEP KEUNTUNGAN DALAM SYARIAH


Islam tidak melarang seorang pebisnis muslim untuk mendapatkan keuntungan yang
besar dari aktivitas bisnis. Karena memang pada dasarnya semua aktivitas bisnis adalah
termasuk dalam aspek muamalah yang memiliki dasar kaidah memperbolehkan segala
sesuatu sepanjang diperoleh dan digunakan dengan cara-cara yang dibenarkan syariah.
Point penting yang harus diingat, bahwa laba (keuntungan) dalam bisnis syariah tidak
selalu identik dengan materil, pertumbuhan aset atau harta. Laba dalam Islam memiliki dua
orientasi yaitu materil dan non-materil. Aspek materil dari laba dimaknai dengan
penambahan harta yang halal dan bersih dari seorang pebisnis muslim. Sedang aspek non-
materil, laba sangat erat kaitannya dengan ketakwaan, kesabaran, bersyukur, mengikuti
perintah Rasullullah SAW serta dipelihara dari kekikiran.
Dampak dari implementasi konsep laba dalam Islam adalah semua pebisnis dalam
menjalankan usaha akan selalu menjaga diri dari perbuatan tercela, tidak amanah, penipuan,
peng-rusakan lingkungan, dan perbuatan tercela lainnya yang dilarang syariah. Keuntungan
yang di dapat pun tidak akan ter-akumulasi pada diri mereka sendiri melainkan terdistribusi
secara proporsional juga kepada masyarakat kurang mampu. Dalam jangka panjang,
10
penerapan konsep laba ini akan mengarah pada terciptanya suatu tatanan kehidupan ekonomi
yang sejahtera dan berkeadilan, tatanan kehidupan sosial yang saling menghargai,
menghormati dan tolong menolong di antara seluruh masyarakat.
Dalam akuntansi syariah, transaksi syariah berlandaskan pada prinsip persaudaraan,
keadilan, kemaslahatan, keseimbangan dan universalisme. Ada dua konsep Islam yang sangat
berkaitan dengan pembahasan masalah laba, yaitu:
1. Mekanisme pembayaran zakat
Laba dalam akuntansi syariah berpegang pada dua prinsip utama, yaitu kebenaran dan
keadilan. Sehingga pencatatan laba dalam hal ini pendapatan akrual diakui
keberadaannya, hanya saja dalam penerapan pengambilan atau perhitungan zakatnya baru
dapat diperhitungkan ketika laba tersebut sudah benar ada dalam pendapatan riil.
Selain itu, dalam akuntansi syariah laba diakui ketika adanya harta (uang) yang
dikhususkan untuk perdagangan atau investasi lain yang ada dalam kegiatan riil,
mengoperasikan modal tersebut secara interaktif dengan unsur-unsur yang lain – lain
yang terkait untuk produksi, seperti usaha dan sumber-sumber alam.
Keuntungan penggunaan laba sebagai dasar pembayaran zakat adalah dapat mengurangi
masalah-masalah yang berkaitan dengan konflik kepentingan, terjadinya. window
dreasing, dan kecurangan dalam penyajian dan pengungkapan laporan keuangan dapat
diminimalisir sebaik mungkin.
2. Sistem tanpa bunga
Sarana lain selain zakat yang berkaitan dengan pembahasan konsep laba adalah larangan
sistem bunga. Islam melarang sistem penentuan tingkat pengembalian tetap atas modal,
misalnya pengembalian uang tanpa adanya pembagian resiko yang timbul dari
pembayaran angsuran atas pinjaman.

Profit and loss sharing menurut etimologi Indonesia adalah keuntungan. Dalam
kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Profit secara istilah adalah perbedaan yang timbul
ketika total pendapatan (total revenue) suatu perusahaan lebih besar dari biaya total (total
cost).
Di dalam istilah lain profit and loss sharing adalah perhitungan bagi hasil didasarkan
kepada hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Pada perbankan syariah istilah yang
sering dipakai adalah profit and loss sharing, dimana hal ini dapat diartikan sebagai

11
pembagian antara untung dan rugi dari pendapatan yang diterima atas hasil usaha yang telah
dilakukan.
Sistem profit and loss sharing dalam pelaksanaannya merupakan bentuk dari
perjanjian kerjasama antara pemodal (investor) dan pengelola modal (enterpreneur) dalam
menjalankan kegiatan usaha ekonomi, dimana di antara keduanya akan terikat kontrak bahwa
di dalam usaha tersebut jika mendapat keuntungan akan dibagi kedua pihak sesuai nisbah
kesepakatan di awal perjanjian, dan begitu pula bila usaha mengalami kerugian akan
ditanggung bersama sesuai porsi masing-masing.
Kerugian bagi pemodal tidak mendapatkan kembali modal investasinya secara utuh
ataupun keseluruhan, dan bagi pengelola modal tidak mendapatakan upah/hasil dari jerih
payahnya atas kerja yang telah dilakukannya.
Keuntungan yang didapat dari hasil usaha tersebut akan dilakukan pembagian setelah
dilakukan perhitungan terlebih dahulu atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan selama proses
usaha. Keuntungan usaha dalam dunia bisnis bias negative, artinya usaha merugi, positif
berarti ada angka lebih sisa dari pendapatan dikurangi biaya-biaya, dan nol artinya antara
pendapatan dan biaya menjadi balance. Keuntungan yang dibagikan adalah keuntungan
bersih (net profit) yang merupakan lebihan dari selisih atas pengurangan total cost terhadap
total revenue.
Besar bagi hasil usaha yang terjadi dapat dihitung dari laporan laba rugi perusahaan
yang ada, dimana besar nilai laba atau rugi merupakan hasil pengurangan antara total
pendapatan dikurangi total biaya. Perhitungan bagi hasil dihitung dari laba usaha dikalikan
dengan nisbah bagi hasil suatu usaha. Namun apabila usaha mengalami kerugian, resiko
ditanggung bersama. Pemilik modal menanggung pengurangan modal sedangkan pengusaha
menanggung kerugian tenaga, peluang, dan waktu usaha.
Prinsip bagi hasil dalam terminology Islam dapat dilakukan dalam empat akad utama,
yaitu musyarakah, mudharabah, muzara’ah, dan musaqah. Ahmad Ghozali menjelaskan
bahwa sistem profit and loss sharing tidak mengenal adanya riba. Sistem ini secara rasional
dan obyektif diharapkan mampu menciptakan keadilan diantara pemilik modal dan
pengusaha yang memanfaatkan modal. Kedua belah pihak memiliki peluang yang sama untuk
mendapatkan keuntungan dan menanggung resiko apabila usaha tersebut mengalami
kerugian.

Pengertian Revenue Sharing

12
Revenue sharing berarti pembagian hasil, penghasilan atau pendapatan. Di dalam
revenue terdapat unsur-unsur yang terdiri dari total biaya (total cost) dan laba (profit). Laba
bersih (net profit) merupakan laba kotor (gross profit) dikurangi biaya distribusi penjualan,
administrasi dan keuangan. Revenue bagi bank adalah jumlah dari penghasilan bunga bank
yang diterima dari penyaluran dananya atau jasa atas pinjaman maupun titipan yang diberikan
oleh bank.
Revenue pada perbankan syariah adalah hasil yang diterima oleh bank dari penyaluran
dana (investasi) ke dalam bentuk aktiva produktif, yaitu penempatan dana bank pada pihak
lain. Hal ini merupakan selisih atau angka lebih dari aktiva produktif dengan hasil
penerimaan bank.
Perbankan syariah memperkenalkan sistem pada masyarakat dengan istilah revenue
sharing, yaitu sistem bagi hasil yang dihitung dari total pendapatan pengelolaan dana tanpa
dikurangi dengan biaya pengelolaan dana.
Lebih jelasnya revenue sharing dalam arti perbankan adalah perhitungan bagi hasil
yang didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi dengan
biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Sistem revenue
sharing berlaku pada pendapatan bank yang akan dibagikan dihitung berdasarkan pendapatan
kotor (gross sales), yang digunakan dalam menghitung bagi hasil untuk produk pendanaan
bank.

13
Jenis-jenis Akad Bagi Hasil
1. Musyarakah (Joint Venture Profit & Loss Sharing)
Mencampurkan salah satu dari macam harta dengan harta lainnya sehingga tidak dapat
dibedakan di antara keduanya. Dalam pengertian lain musyarakah adalah akad kerjasama
antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masingmasing pihak
memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Penerapan yang dilakukan Bank Syariah, musyarakah adalah suatu kerjasama antara bank
dan nasabah dan bank setuju untuk membiayai usaha atau proyek secara bersama-sama
dengan nasabah sebagai inisiator proyek dengan suatu jumlah berdasarkan prosentase
tertentu dari jumlah total biaya proyek dengan dasar pembagian keuntungan dari hasil
yang diperoleh dari usaha atau proyek tersebut berdasarkan prosentase bagi hasil yang
telah ditetapkan terlebih dahulu.
2. Mudharabah (Trustee Profit Sharing)
Adalah Suatu Pernyataan yang mengandung pengertian bahwa seseorang memberi modal
niaga kepada orang lain agar modal itu diniagakan dengan perjanjian keuntungan dibagi
antar dua belah pihak sesuai perjanjian, sedang kerugian ditanggung oleh pemilik modal.
3. Muzara’ah
Al-muzara’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan
penggarap, di mana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap
untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (prosentase) dari hasil
panen. Dalam konteks ini, lembaga keuangan Islam dapat memberikan pembiayaan bagi
hasil nasabah yang bergerak dalam bidang plantation atas dasar prinsip bagi hasil dari
hasil panen.
4. Al-Musaqah
Secara syara’, musaqah adalah penyerahan pohon kepada seseorang untuk disirami dan
dijanjikan apabila buah pohon itu masak, maka ia akan diberi imbalan buah dalam jumlah
tertentu. Sebagai imbalan, mereka memperoleh prosentase tertentu dari hasil panen.

Kelebihan dan Kelemahan Profit Sharing dan Revenue Sharing


Secara umum, profit sharing adalah pendekatan dimana bagian yang dibagi hasilkan
adalah hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk proses perolehan pendapatan tersebut. Jadi, dalam menetapkan bagi hasil,
bagian pendapatan yang dibagi adalah bagian yang telah dikurangi dengan beban-beban yang

14
ditanggung pihak pengelola, sedangkan jika pendapatan tidak lagi mencukupi untuk dibagi
hasilkan (karena telah terpakai untuk memenuhi beban-beban pengelolaan)/ merugi, maka
kerugian ditanggung bersama oleh pihak pengelola (nasabah) dan pihak pemilik modal
(Bank).
Namun, kemudian disadari bahwa pendekatan ini memiliki kelemahan yang cukup
merugikan, terutama bagi pihak perbankan. Mengapa demikian?
1. Bank Islam belum dapat bersaing dengan bank konvensional jika menggunakan
pendekatan bagi hasil ini. Dengan pendekatan profit sharing, bank tidak dapat terus
menjaga konsistensinya untuk memperoleh pendapatan dengan jumlah yang
diharapkan, malahan rentan akan penanggungan kerugian akibat kerugian nasabah.
2. Dengan pendekatan ini, memungkinkan terjadinya tindakan zalim dari nasabah
terhadap pihak perbankan. Dengan bagian bagi hasil yang diasumsikan TR (Total
Revenue) lebih besar dari pada TC (Total Cost), maka membuka peluang bagi
nasabah untuk mengestimasikan biaya-biaya fiktif untuk kemudian digelapkan
sebelum pendapatannya dibagi hasilkan dengan pihak bank.

Oleh karena itu, sebagai alternatif yang digunakan, MUI melalui Fatwanya
memperbolehkan bank Islam mempergunakan pendekatan revenue sharing dalam bagi hasil.
Sebagai salah satu pertimbangannya, diharapkan dengan pendekatan ini pihak bank Islam
dapat bersaing dengan bank konvensional, dalam hal ini kerugian yang diterima pihak bank
Islam dengan pendekatan profit sharing dapat dieliminir.
Secara umum, revenue sharing bagian bagi hasilnya didasarkan kepada total seluruh
pendapatan yang diterima tanpa dikurangi biaya biaya yang digunakan selama proses
pengolahan. Artinya, bagi hasil akan tetap dilakukan dengan menggunakan pendapatan kotor
(yang belum dikurangi biaya), sehingga biaya-biaya ditanggung oleh nasabah (pihak yang
mengelola usaha). Dalam kasus ini bank sebagai pemilik dana cenderung tidak menanggung
resiko yang terlalu besar.
Namun, ternyata sistem ini juga tidak akomodatif. Dengan pendekatan ini, pihak
nasabah (sebagai pengelola usaha) akan dirugikan, karena meski nasabah mengalami
kerugian dalam usahanya, mereka tetap harus membayar bagi hasil melalui pendapatannya
sendiri. Jika nasabah telah merasa pihak bank Islam bertindak zalim dengan menerapkan
ketentuan tersebut, maka tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa kepercayaan nasabah terhadap
bank Islam akan berkurang. Jangankan hendak mensosialisasikan Ekonomi Islam, jika

15
kepercayaan nasabah telah luntur, maka asumsi yang akan muncul adalah bank Islam sama
saja dengan bank konvensional.
Salah satu poin penting dari pendekatan revenue sharing ini adalah jika dibandingkan
dengan profit sharing, maka pendekatan ini lebih mementingkan kemaslahatan orang banyak,
mengurangi kemudharatan yang lebih buruk dengan kemudharatan yang lebih kecil.
Meskipun terkesan zalim terhadap nasabah, namun untuk menghindari resiko penyelewengan
dana oleh nasabah melalui pendekatan profit sharing, dengan bagi hasil melalui pendapatan.
Sebagai solusi yang diharapkan mampu meredakan kondisi dilematis antara penerepan profit
sharing ataupun revenue sharing adalah penerapan bagi hasil dengan pendekatan profit and
loss sharing.

Implementasi Profit and Loss Sharing


1. Profit and loss sharing dalam Sektor Usaha
Implementasi dari pola profit and loss sharing telah banyak diterapkan masyarakat
dalam berbagai usaha baik di sektor primer, dan jasa. Profit and loss sharing pada sektor
pertanian sudah lama dipraktekkan di masyarakat baik melalui akad muzara’ah dan musaqah.
Di daerah jawa misalnya, petani pemilik sawah sudah terbiasa menjalin kemitraan dengan
petani penggarap. Sistem makro pada sektor pertanian, dilakukan antara pemilik sawah
dengan penggarap sawah. Keuntungan hasil panen setelah dikurangi dengan biaya
pengolahan sawah, dibagi menjadi dua bagian sesuai kesepakatan kedua belah pihak, yaitu 50
untuk pemilik sawah dan 50 untuk penggarap. Biaya pengolahan seperti bibit, pupuk, dll
menjadi beban petani penggarap. Sistem bagi hasil yang masih bersifat tradisional ini
dilakukan atas dasar kepercayaan dan kejujuran satu sama lain.
Pola bagi hasil pada perkebunan tebu juga terjadi di daerah jawa. Pabrik-pabrik gula
di daerah ini pada umumnya tidak memiliki lahan sendiri baik berupa hak milik maupun Hak
Guna Usaha (HGU). Pola kemitraan yang terjadi adalah berupa sewa menyewa. Dalam hal
ini pihak pabrik gula menyewa tanah milik petani untuk ditanami tebu dan hasilnya digiling
di pabrik gula untuk dijadikan gula pasir. Pola kemitraan seperti ini berlangsung sejak zaman
Belanda hingga pemerintah diganti menjadi pola bagi hasil. Petani sebagai pemilik lahan
sekaligus pengelola lahannya dengan tanaman tebu dengan bimbingan teknis dari pabrik gula
dan pinjaman dana dari pihak bank (yang disalurkan lewat pabrik gula). Setelah panen,
hasilnya diolah oleh pabrik gula dan dijual melalui lelang terbuka yang dihadiri oleh pihak
pabrik dan wakil petani. Sebagian hasil penjualan gula dipotong untuk melunasi utang petani,
sisanya dibagi antara pihak pabrik dan petani.

16
Pola profit and loss sharing terjadi pula di lingkungan perusahaan antara pemberi
kerja dengan pekerja dalam sistem pemberian upah sebagai tambahan gaji dari keuntungan
usaha atau tidak jarang disebut bonus. Sebagai contoh kasus, karyawan atau kelompok kerja
memperoleh tambahan gaji/upah, ketika produk yang dihasilkan melebihi jumlah yang telah
di tentukan. Apabila suatu hasil usaha memperoleh keuntungan yang besar atau kecil bahkan
rugi tidak akan mempengaruhi hak pekerja. Namun, apabila dalam bekerja karyawan dapat
menghemat waktu, ataupun menghemat jumlah bahan yang telah ditetapkan, maka ia akan
menerima tambahan gaji berdasarkan proporsi nilai yang disimpan, maka hal itu bukan
termasuk profit and loss sharing.

2. Profit and loss sharing dalam Sektor Jasa


Kontrak mudharabah adalah akad kerja sama antara dua pihak dimana pihak pertama
selaku pemilik modal menyediakan seluruh modalnya sedangkan pihak kedua sebagai
pengelola. Model mudharabah dalam sistem perbankan syari’ah pertama kali ditemukan oleh
Muhammad Uzair pada tahun 1955, dimana bank sebagai penerima deposit dari nasabah
melalui produk simpanan mudharabah. Selanjutnya, bank akan menggunakan uang tersebut
untuk membiayai proyek pengusaha dengan akad mudharabah.
Saat ini perbankan syari’ah di Indonesia sudah menawarkan beberapa macam
investasi dengan sistem mudharabah (bagi hasil). Investasi umum (mudharabah muthlaqah)
produknya berupa deposito dan tabungan. Nasabah menginvestasikan dananya kepada bank
dengan nisbah bagi hasil dan jangka waktu ditetapkan di awal. Bagi hasil akan dihitung
berdasarkan nisbah yang disepakati, dihitung dari pendapatan bank yang di dapat.

Permasalahan dan Resiko Profit and Loss Sharing


Walaupun profit and loss sharing dikatakan sebagai sesuatu yang ideal untuk perbankan
Islam, dan mempunyai banyak keuntungan dan “lebih baik” dibandingkan dengan sistem
lainnya, namun ternyata mudharabah dalam kenyataaannya belum menjadi skema pembiayaan
yang utama pada bank syari’ah. Berdasarkan data dari Internatioanl Assosiation of Islamic Bank
(1996), skema mudharabah hanya dipakai sebesar 20% secara rata-rata pada bank Islam seluruh
dunia. Islamic Development Bank juga hanya memakai mudharabah pada sedikit poyeknya yang
kecil. Kondisi perbankan syari’ah dalam menjalankan Mudharabah juga tidak terlihat baik.
Berdasar statistik perbankan syari’ah pada Bank Indonesia, akad murabahah sekitar 70 persen
dari total kredit. Di BRI, hampir 96 persen pembiayaan masih murabahah. Sementara di
BSM, pembiayaan mudharabah mencapai 12 persen.
Pada dataran teknis, kelemahan bisa terjadi pada bank yang menerapkan profit loss

17
sharing sehingga bank menjadi kurang serius menggarap profit loss sharing. Namun, jika ditelaah
lebih lanjut, sesungguhnya kelemahan yang terjadi pada konsep mudharabah itu bisa dilihat
dengan sebab sebagaimana kelemahan sharing yaitu preferensi dan asymmetric information.
sebagai berikut kelemahan yang pertama misalnya, terjadi karena adanya moral hazard dari
pelaku usaha (Mudharib) yang cenderung untuk memaksimalkan keuntungan, sehingga return
yang akan didapat oleh bank sebagai shahibul mal menjadi berkurang.
Salah satu penyebab dari keengganan bank menerapkan mudharabah adalah faktor
resikonya yang tinggi dan alasan kehati-hatian (Prudential). Faktor resiko yang tinggi
menyebabkan pihak shahibul mal akan meminta jaminan. Masalah resiko yang besar sebenarnya
lagi-lagi terpulang dari informasi yang kurang lengkap atau preferensi dari pihak yang terlibat.
Resiko biasanya diakibatkan oleh dua hal, yaitu resiko yang sudah menjadi sunnatullah dalam
berusaha dan resiko moral hazard pelaku usaha (mudharib) seperti nasabah yang menggunakan
dana tersebut bukan seperti yang disebutkan dalam kontrak, kesalahan yang disengaja.
Resiko merupakan sesuatu yang menjadi sunatullah walau tidak dapat dipastikan, namun
dapat diantisipasi dengan perencanaan usaha yang baik. Namun jika resiko itu adalah moral
hazard dari pelaku usaha, maka hal itu tentu menjadi masalah lain. Sebab lain adalah
informasi yang tidak transparant yang disampaikan oleh mudharib kepada shahibul mal, sehingga
informasi menjadi tidak berimbang. permasalahan tersebut adalah permasalahan yang terjadi pada
sharing, yaitu tidak terjadinya informasi yang berimbang antara shahibul mal dan mudharib
(Asymmertic Information) seperti penyembunyian keuntungan. Sebab lainnya adalah kinerja dari
bank sayariah sendiri. Ini menyangkut preferensi dari pihak shahibul mal.
Potensi masalah yang timbul dalam pelaksanaan profit loss sharing agar dapat mengatasi
kelemahannya dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu:
1. Peningkatan kualitas preferensi Mudharib dalam menerima amanah dan shahibul mal.
2. Peningkatan kualitas transparansi dalam kontrak seperti penyusunan kontrak yang lebih
terperinci dan pemakaian benchmarkin.
3. Penerapan standar akuntansi yang memadai.

C. TRANSAKSI YANG DILARANG


Transaksi Yang Dilarang Dalam Syariah
Transaksi-transaksi yang dilarang untuk dilakukan dalam transaksi syariah dapat
dikelompokkan berdasarkan sumber sebab pelarangannya, yaitu sebagai berikut:
1. Dilarang karena mekanisme akadnya
2. Dilarang karena pelaku akadnya
18
3. Dilarang karena objek akadnya

Dilarang karena Mekanisme Akadnya


1. Judi (Maysir)
Semua bentuk perpidahan harta ataupun barang dari satu pihak kepada pihak lain tanpa
melalui jalur akad yang telah digariskan Syariah, namun perpindahan itu terjadi melalui
permainan, seperti taruhan uang pada permainan kartu, pertandingan sepak bola, pacuan kuda,
pacuan greyhound dan seumpamanya.
Mengapa dilarang? Karena (1) permainan bukan cara untuk mendapatkan
harta/keuntungan; (2) menghilangkan keredhaan dan menimbulkan kebencian/dendam; dan (3)
tidak sesuai dengan fitrah insani yang berakal dan disuruh bekerja untuk dunia dan akhirat.

2. Tidak jelas (Gharar/Taghrir)


Sesuatu yang tidak jelas dan tidak dapat dijamin atau dipastikan kewujudannya secara
matematis dan rasional baik itu menyangkut barang (goods), harga (price) ataupun waktu
pembayaran uang/penyerahan barang (time of delivery). Taghrir dalam bahasa Arab gharar, yang
berarti: akibat, bencana, bahaya, resiko, dan ketidakpastian. Dalam istilah fiqh muamalah, taghrir
berarti melakukan sesuatu secara membabi buta tanpa pengetahuan yang mencukupi atau
mengambil resiko sendiri dari suatu perbuatan yang mengandung resiko tanpa mengetahui
dengan persis akibatnya, atau memasuki kancah resiko tanpa memikirkan konsekuensinya.
Menurut Ibnu Taimiyah, gharar terjadi bila seseorang tidak tahu apa yang tersimpan bagi dirinya
pada akhir suatu kegiatan jual beli. Taghrir dan tadlis terjadi karena adanya incomplete
information yang terjadi pada salah satu pihak baik pembeli atau penjual. Karena itu, kasus
taghrir terjadi bila ada unsur ketidakpastian yang melibatkan kedua belah pihak (uncertain to both
parties). Contoh Gharar: Asuransi. Dalam asuransi ada ketidakpastian, misalkan asuransi
mobil. Jikalau pemegang polis mobilnya kecelakaan sebelum selesai kontrak, maka dia
untung. Tetapi jika mobilnya tidak rusak sampai selesai kontrak maka perusahaan asuransi yang
untung.
Secara umum, bentuk Gharar dapat dibagi menjadi empat:
a. Gharar dalam Kuantitas
Misalnya seorang petani tembakau sudah membuat kesepakatan jual beli dengan pabrik
rokok atas tembakau yang bahkan belum panen. Pada kasus ini, pada kedua belah
pihak baik petani tembakau maupun pabrik rokok mengalami ketidakpastian mengenai
berapa pastinya jumlah tembakau yang akan panen. Sehingga terdapat gharar atas barang

19
yang ditransaksikan.
b. Gharar dalam Kualitas
Misalnya seorang pembeli sudah membuat kesepakatan untuk membeli anak kambing
yang masih berada di dalam kandungan. Pada kasus ini, baik penjual maupun pembeli
tidak mengetahui dengan pasti apakah nantinya anak kambing ini akan lahir dengan sehat,
cacat, atau bahkan mati. Sehingga terdapat ketidakpastian akan barang yang
diperjualbelikan.
c. Gharar dalam Harga
Misalnya Tn. A menjual motornya kepada Tn. B dengan harga Rp 8.000.000
jika dibayar lunas dan Rp 10.000.000 jika dicicil selama 10 bulan. Pada kasus ini, tidak
ada kejelasan mengenai harga mana yang dipakai. Bagaimana jika Tn. B dapat melunasi
motornya dalam waktu kurang dari 10 bulan? Harga mana yang akan dipakai? Hal inilah
yang menjadi suatu ketidakpastian dalam transaksi.
d. Gharar menyangkut waktu penyerahan
Misalnya Basti sudah lama menginginkan handphone milik Miro. Handphone tersebut
bernilai Rp 4.000.000 di pasaran. Suatu saat, handphone tersebut hilang. Miro menawarkan
Basti untuk membeli handphone tersebut seharga Rp 1.500.000 dan barang akan segera
diserahkan begitu ditemukan. Dalam kasus ini, tidak ada kepastian mengenai kapan
handphone tersebut akan ditemukan, dan bahkan mungkin tidak akan ditemukan. Hal ini
menimbulkan gharar dalam waktu penyerahan barang transaksi.

3. Bunga (Riba)
Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara
linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti
pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat
dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa
riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam
secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam. Jenis-jenis Riba:
a. Riba Nasii`ah
Riba Nasii`ah adalah tambahan yang diambil karena penundaan pembayaran utang untuk
dibayarkan pada tempo yang baru, sama saja apakah tambahan itu merupakan sanksi atas
keterlambatan pembayaran hutang, atau sebagai tambahan hutang baru. Misalnya, si A
meminjamkan uang sebanyak 200 juta kepada si B; dengan perjanjian si B harus
mengembalikan hutang tersebut pada tanggal 1 Januari 2009; dan jika si B menunda

20
pembayaran hutangnya dari waktu yang telah ditentukan (1 Januari 2009), maka si B wajib
membayar tambahan atas keterlambatannya; misalnya 10% dari total hutang. Tambahan
pembayaran di sini bisa saja sebagai bentuk sanksi atas keterlambatan si B dalam melunasi
hutangnya, atau sebagai tambahan hutang baru karena pemberian tenggat waktu baru
oleh si A kepada si B. Tambahan inilah yang disebut dengan riba nasii’ah.
b. Riba Fadlal
Riba fadlal adalah riba yang diambil dari kelebihan pertukaran barang yang sejenis. Emas
dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma
dengan kurma, garam dengan garam, semisal, setara, dan kontan. Apabila jenisnya berbeda,
juallah sesuka hatimu jika dilakukan dengan kontan”.HR Muslim dari Ubadah bin Shamit
ra).
c. Riba al-Yadd
Riba al-Yadd yang disebabkan karena penundaan pembayaran dalam pertukaran barang-
barang. Dengan kata lain, kedua belah pihak yang melakukan pertukaran uang atau barang
telah berpisah dari tempat aqad sebelum diadakan serah terima. Larangan riba yadd
ditetapkan berdasarkan hadits-hadits berikut ini; emas dengan emas riba kecuali dengan
dibayarkan kontan, gandum dengan gandum riba kecuali dengan dibayarkan kontan;
kurma dengan kurma riba kecuali dengan dibayarkan kontan; kismis dengan kismis riba,
kecuali dengan dibayarkan kontan.
d. Riba Qardl
Riba qaradl adalah meminjam uang kepada seseorang dengan syarat ada kelebihan
atau keuntungan yang harus diberikan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman.

Dilarang Karena Pelaku Akadnya


1. Penipuan (Tadlis)
Tadlis, yaitu sebuah situasi di mana salah satu dari pihak yang bertransaksi berusaha untuk
menyembunyikan informasi dari pihak yang lain (unknown to one party) dengan maksud
untuk menipu pihak tersebut atas ketidaktahuan akan informasi objek yang diperjualbelikan.
Hal ini bisa penipuan berbentuk kuantitas (quantity), kualitas (quality), harga (price),
ataupun waktu penyerahan (time of delivery) atas objek yang ditransaksikan. Sebagai
contoh: apabila kita menjual hp second dengan kondisi baterai yang sudah sangat lemah,
ketika kita menjual hp tersebut tanpa memberitahukan (menutupi) kepada pihak pembeli, maka
transaksi yang kita lakukan menjadi haram hukumnya.

21
2. Menimbun (Ikhtikar)
Ikhtikar adalah sebuah situasi di mana produsen/penjual mengambil keuntungan di atas
keuntungan normal dengan cara mengurangi supply (penawaran) agar harga produk yang
dijualnya naik. Ikhtikar ini biasanya dilakukan dengan membuat entry barrier (hambatan
masuk pasar), yakni menghambat produsen/penjual lain masuk ke pasar agar ia menjadi
pemain tunggal di pasar (monopoli), kemudian mengupayakan adanya kelangkaan barang
dengan cara menimbun stock (persediaan), sehingga terjadi kenaikan harga yang cukup tajam
di pasar. Ketika harga telah naik, produsen tersebut akan menjual barang tersebut dengan
mengambil keuntungan yang berlimpah. Sebagai contoh: ketika akan dirumorkan oleh
pemerintah bahwa tarif bbm akan dinaikan, maka marak terjadinya penimbunan bbm oleh
para penjual nakal. Hal ini mereka lakukan agar dapat menjual bbm dengan tarif yang
sudah dinaikkan, sehingga mereka mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
3. Bai’ Najasy
Bai’ Najasy adalah sebuah situasi di mana konsumen/pembeli menciptakan demand
(permintaan) palsu, seolah-olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk sehingga harga
jual produk itu akan naik. Cara yang bisa ditempuh bermacam-macam, seperti menyebarkan isu,
melakukan order pembelian, dan sebagainya. Ketika harga telah naik maka yang bersangkutan
akan melakukan aksi ambil untung dengan melepas kembali barang yang sudah dibeli, sehingga
akan mendapatkan keuntungan yang besar. Sebagai contoh: ini sangat rentan terjadi ketika
pelelangan suatu barang. Biasanya yang mengadakan pelelangan bekerja sama dengan
beberapa peserta pelelangan dimana mereka bertugas untuk berpura-pura melakukan
penawaran terhadap barang yang dilelang, dengan kata lain untuk menaikkan harga barang yang
dilelang tersebut.
4. Suap (Risywah)
Risywah menurut tata bahasa dapat diartikan sebagai “pemberian yang diberikan seseorang
kepada hakim atau lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak
dibenarkan atau untuk mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan kehendaknya.” Atau
“pemberian yang diberikan kepada seseorang agar mendapatkan kepentingan tertentu”.
Sedangkan menurut istilah risywah berarti: “pemberian yang bertujuan membatalkan yang
benar atau untuk menguatkan dan memenangkan yang salah.” Dari definisi di atas ada dua sisi
yang saling terkait dalam masalah risywah; Ar-Rasyi (penyuap) dan Al-Murtasyi (penerima
suap), yang dua- duanya sama-sama diharamkan.
5. Merekayasa Permintaan (Tanajusy/Nasjsy)
Tanajusy/Nasjsy artinya adanya rekasaya permintaan untuk menaikan harga karena persepsi
22
tingginya permintaan. Contoh Tanajusy: Mengundang banyak teman untuk pura-pura ingin
membeli di tokonya supaya keliahatan ramai, sehingga pembeli tertipu dan dirugikan.
6. Menyembunyikan kecacatan (Ghisysy)
Ghisy artinya adanya upaya menjelaskan keunggulan objek dengan menutupi kecacatannya.
Contoh Ghisy: Menjual mangga busuk di antara mangga-mangga bagus.
7. Membahayakan/merugikan (Dharar)
Dharar adalah tindakan yang dapat membahayakan dan/atau merugikan orang lain. Contoh
Dharar: (1) Membangun sebuah perusahaan/toko besar kapitalis sampai merugikan bisnis-
bisnis kecil. (2) Perusahaan yang merusak alam; mengeluarkan limbah berbahaya.
8. Harga menipu (Ghabn / Ghabn Fahisy)
Ghabn merupakan ketidakseimbangan dalam obyek akad yang dipertukarkan hingga
merugikan. Contoh Ghabn: Tukang bubur pinggir jalan yang menjual bubur seharga makanan
restoran karena penjual berfikir bahwa pembeli tidak akan mengetahuinya (intinya penjual
menipu harga, sehingga pembeli mengalami kerugian).

Dilarang Karena Objek Akadnya


1. Barang Haram
Artinya obyek yang ditransaksikan adalah haram, contoh: mengambil keuntungan dari
menjual rokok dan miras.
2. Jual barang yang tidak dimiliki (Bai’ al-ma’dum)
Artinya objek tidak ada pada saat akad atau tidak dimiliki penjual, sehingga menimbulkan
kerugian, contoh: Dropship yang dropshiper sendiri tidak tahu barangnya. Misalkan dia
nge-dropship parfum, tetapi baik dia maupun pembeli tidak tahu wanginya, bisa aja ternyata
parfum itu bau amis, jika seperti itu dropship dilarang, karena merugikan konsumen.

D. KERANGKA PELAPORAN SYARIAH


AAOIFI (Accounting And Auditing Organization For Islamic Financial Institution),
adalah organisasi yang mengembangkan akuntansi dan auditing bagi lembaga keuangan syariah di
tingkat dunia, telah mengeluarkan pernyataan akuntansi No. 1 dan No. 2 tentang tujuan
akuntansi keuangan untuk bank dan lembaga keuangan syariah. Sementara itu, Dewan Standar
Akuntansi Indonesia (DSAK) menyusun PSAK syariah tentang kerangka dasar penyusunan dan
penyajian laporan keuangan syariah.
Kerangka Dasar Penyusuanan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah, terdiri dari
beberapa standar kerangkanya diantaranya adalah:

23
- PSAK 101 (Penyajian Laporan Keuangan Syariah).
- PSAK 102 (Akuntansi Murabahah).
- PSAK 103 (Akuntansi Salam).
- PSAK 104 (Akuntansi Istishna).
- PSAK 105 (Akuntansi Mudharabah).
- PSAK 106 (Akuntansi Musyarakah).
- PSAK 107 (Akuntansi Ijarah).
- PSAK 108 (Akuntansi Transaksi Asuransi Syariah).
- PSAK 109 (Akuntansi Zakat, Infaq dan Shadaqoh), prinsip kebajikan.
- PSAK 110 (Akuntansi Sukuk), prinsip bagi hasil ex obligasi syariah.

1. Tujuan Kerangka Dasar


Kerangka dasar ini menyajikan konsep yang mendasari penyusunan dan penyajian laporan
keuangan bagi para penggunanya. Kerangka ini berlaku untuk semua jenis transaksi syariah
yang dilaporkan oleh entitas syariah maupun entitas konvensional baik sektor publik maupun
sektor swasta. Tujuan Kerangka Dasar ini adalah untuk digunakan sebagai acuan bagi:
a. Penyusun standar akuntansi syariah, dalam pelaksanaan tugasnya.
b. Penyusun laporan keuangan, untuk menanggulangi masalah akuntansi syariah yang
belum diatur dalam standar akuntansi keuangan syariah.
c. Auditor, dalam memberikan pendapat mengenai apakah laporan keuangan disusum sesuai
dengan prinsip akuntansi syariah yang berlaku umum.
d. Para pemakai laporan keuangan, Dalam menafsirkan informasi yang disajikan dalam
laporan keuangan yang disusun sesuai dengan standar akuntansi keuangan Syariah.

2. Pemakai dan Kebutuhan Informasi


Pemakai laporan keuangan meliputi:
a. Investor sekarang dan investor potensial: hal ini karena mereka harus memutuskan
apakah akan membeli, menahan atau menjual investasi atau penerimaan dividen.
b. Pemilik dana qardh untuk mengetahui apakah dana qardh dapat di bayar pada saat jatuh
tempo
c. Pemilik dana syirkah temporer: untuk memberikan keputusan pada investasi yang
memberikan tingkat pengembalian yang bersaing dan aman
d. Pemilik dana titipan: untuk memastikan bahwa titipan dana dapat diambil tiap saat
e. Pembayar dan penerima zakat, infaq, sedekah dan wakaf: untuk informasi tentang sumber
dan penyaluran dana tersebut.

24
f. Pengawas syariah: untuk menilai kepatuhan pengelolaan lembaga syariah terhadap
prinsip syariah.
g. Karyawan: untuk memperoleh informasi tentang stabilitas dan profitabilitas entitas syariah.
h. Pemasok dan mitra usaha lainnya: untuk memmperoleh informasi tentang kemampuan
entitas membayar utang pada saat jatuh tempo
i. Pelanggan: untuk memperoleh informasi tentang kelangsungan hidup entitas Syariah
j. Pemerintah serta lembaga-lembaganya: untuk memperoleh informasi tentang aktivitas
entitas syariah, perpajakan, serta kepentingan nasional lainnya.
k. Masyarakat: untuk memperoleh informasi tentang kontribusi entitas terhadap masyarakat
dan Negara.

3. Paradigma Transaksi Syariah


Transaksi syariah didasarkan pada paradigma dasar bahwa alam semesta diciptakan oleh
tuhan sebagai amanah dan sarana kebahagiaan hidup bagi seluruh umat manusia
untuk mencapai kesejahteraan hakiki secara material dan spiritual. Substansinya adalah
bahwa setiap aktivitas manusia memiliki akuntabilitas dan nilai ilahiah yang
menempatkan perangkat syariah dan akhlak sebagai parameter baik dan buruk, benar dan
salahnya aktivitas usaha. Dengan cara ini akan terbentuk karakter tata kelola yang baik
(good governance).

4. Asas Transaksi Syariah


Transaksi syariah berdasarkan pada prinsip:
a. Persaudaraan (ukhuwah), yang berarti bahwa transaksi syariah menjunjung tinggi
nilai kebersamaan dalam memperoleh manfaat, sehingga seseorang tidak boleh
mendapat keuntungan di atas kerugian orang lain.
b. Keadilan (‘adalah), yang berarti selalu menempatkan sesuatu hanya pada yang berhak
dan sesuai pada posisinya.
c. Kemaslahatan (maslahah), yaitu segala bentuk kebaikan dan manfaat yang berdimensi
duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual, serta individual dan kolektif.
d. Keseimbangan (tawazun), yaitu keseimbangan antara aspek material dan
spiritual, antara aspek privat dan public, antara sector keuangan dan rill, antara
bisnis dan sosial, serta antara aspek pemanfaatan serta pelestarian.

5. Karakteristik Transaksi Syariah


Implementasi transaksi yang sesuai dengan paradigma dan asas transaksi syariah harus

25
memenuhi karakteristik dan persyaratan antara lain:
a. Transaksi hanya dilakukan dengan prinsip saling paham dan saling rida
b. Prinsip kebebasan bertransaksi diakui sepanjang objeknya halal dan baik (thayib)
c. Uang hanya berfungsi sebagai alat tukar dan satuan pengukur nilai, bukan sebagai
komoditas
d. Tidak mengandung unsur riba, kezaliman, maysir, gharar, haram.
e. Tidak menganut prinsip nilai waktu dari uang (time value of money) karena
keuntungan yang didapat dalam kegiatan usaha terjkait dengan risiko yang melekat
pada kegiatan usaha tersebut sesuai dengan prinsip al-ghunmu bil ghurmi (no gain
without accompanying risk).
f. Transaksi yang dilakukan berdasarkan suatu perjanjian yang jelas dan benar serta
keuntungan untuk semua pihak tanpa merugikan pihak lain.
g. Tidak ada distorsi harga melalui rekayasa permintaan (najasy) dan rekayasa
penawaran (ihtikar)
h. Tidak mengandung unsur kolusi dengan suap-menyuap (risywah).

6. Tujuan Laporan Keuangan


Tujuan utama laporan keuangan adalah untuk menyediakan informasi, menyangkut posisi
keuangan suatu entitas syariah yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam
pengambilan keputusan ekonomi, tujuan lainnya adalah:
a. Meningkatkan kepatuhan terhadap prinsip Syariah.
b. Informasi kepatuhan entitas syariah terhadap prinsip Syariah.
c. Informasi untuk membantu mengevaluasi pemenuhan tanggung jawab entitas syariah
terhadap amanah dalam mengamankan dana, menginvestasikannya pada tingkat
keuntungan yang layak.
d. Informasi tentang tingkat keuntungan investasi yang diperoleh penanam modal dan
pemilik dana syirkah temporer; dan informasi mengenai pemenuhan
kewajiban (obligation) fungsi sosial entitas syariah termasuk pengelolaan dan
penyaluran zakat, infak, sedekah, dan wakaf.

7. Komponen Laporan Keuangan


Komponen Laporan keuangan entitas syariah terdiri atas:
a. Laporan Posisi Keuangan
Laporan ini terdiri dari aset, liabilitas, dana syirkah temporer dan ekuitas. Liabilitas
dinyatakan dalam jumlah kas (atau setara kas yang tidak didiskontokan.

26
b. Laporan Laba Rugi dan Penghasilan Komprehensif Lain
Laporan ini terdiri dari penghasilan, beban, dan hak pihak ketiga atas bagi hasil dana
syirkah temporer.
c. Laporan Perubahan Ekuitas
d. Laporan Arus Kas
e. Laporan Sumber dan Penyaluran Dana Zakat
f. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Kebajikan
g. Catatan atas Laporan keuangan
h. Laporan Rekonsiliasi Pendapatan dan Bagi Hasil (tambahan untuk perbankan syariah)
8. Asumsi Dasar
a. Dasar akrual
Laporan keuangan disajikan atas dasar akrual, maksudnya bahwa pengaruh transaksi
dan peristiwa yang alain diakui pada saat kejadian dan diungkapkan dalam cacatan
akuntansi serta dilaporkan dalam laporan keuangan pada periode yang bersangkutan,
namun dalam penghitungan pendapatan untuk tujuan pembagian hasil usaha
menggunakan dasar kas.
b. Laporan keuangan biasanya disusun atas dasar asumsi kelangsungan usaha entitas
syariah yang akan melanjutkan usahanya dimasa depan. Oleh karena itu, entitas
syariah diasumsikan tidak bermaksud atau berkeinginan melikuidasi atau mengurangi
secara material skala usahanya.

9. Karakteristik Kualitatif Laporan Keuangan


Karakteris kualitatif merupakan ciri khas yang membuat informasi dalam laporan
keuangan berguna bagi pemakai terdapat. Empat Karakteris kualitatif pokok yaitu:
a. Dapat dipahami
Kualitas penting informasi yang ditampung dalam laporan keuangan adalah
kemudahannya untuk segera dapat dipahami oleh pemakai.
b. Relevan
Relevan berarti berguna untuk peramalan (predictive) dan penegasan (confirmatory)
atas transaksi yang berkaitan satu sama lain serta dipengaruhi tingkat materialitas.
c. Keandalan
Andal diartikan sebagai bebas dari pengertian yang menyesatkan, kesalahan material,
dan dapat diandalkan pemakainya sebagai penyajian yang tulus dan jujur dari
yang seharusnya disajikan atau yang secara wajar diharapkan dapat disajiakan.

27
d. Dapat Dibandingkan
Pemakai harus membandingkan laporan keuangan entitas syariah antar periode untuk
mengidentifikasi kecenderungan posisi dan kinerja keuangan. Agar dapat
dibandingkan, informasi tentang kebijakan kuntansi yang digunakan dalam
penyusunan laporan keuangan dan perubahn kebijakan serta pengaruh
perubahantersebut juga harus diungkapkan termasuk ketaatan atas standar akuntansi
yang berlaku.

10. Kendala Informasi yang Relevan dan Andal


Kendala informasi yang relevan dan andal terdapat dalam hal sebagai berikut:
a. Tepat Waktu
Jika terdapat penundaan yang tidak semestinya dalam pelaporan, maka informasi
yang disajikan akan kehilangan relevansinya. Manajemen mungkin perlu
menyeimbangkan manfaat relative antara pelaporan tepat waktu dan ketentuan
informasi andal.
b. Keseimbangan antar biaya dan manfaat
Keseimbangan antara biaya dan manfaat lebih merupakan suatu kendala yang dapat
terjadi dari suatu karakteristik kualitatif. Manfaat yang dihasilkan informasi harusnya
melebihi biaya perusahaan. Namun demikian, secara substansi, evaluasi biaya dan
manfaat merupakan suatu proses pertimbangan.

11. Unsur-unsur Laporan Keuangan


Sesuai karakteristik, laporan keuangan entitas syariah, antara lain meliputi:
a. Komponen laporan keuangan yang mencerminkan kegiatan komersial yang terdiri
atas laporan posisi keuangan, laporan laba rugi, laporan arus kas, serta laporan
perubahan ekuitas. Posisi Keuangan Unsur yang berkaitan langsung dengan
pengukuran posisi keuangan sebagai berikut:
1) Asset, adalah sumber daya yang dikuasai oleh entitas syariah sebagai akibat dari
peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi di masa depan diharapkan
akan diperoleh entitas syariah.
2) Kewajiban, utang entitas syariah masa kini yang timbul dari peristiwa masa
lalu.
3) Dana syirkah temporer adalah dana yang diterima sebagai investasi jangka waktu
tertentu dari individu dan pihak lainnya di mana entitas syariah mempunyai hak
hak untuk mengelolahdan menginvestasikan dana tersebut dengan pembagian

28
hasil investasi berdasarkan kesepakatan.
4) Ekuitas adalah hak residual atas asset entitas syariah setelah dikurangi
kewajiban dan dana syirkah temporer.
b. Kinerja
Unsur yang langsung berkaitan dengan pengukuran penghasilan bersih adalah
penghasilan dan beban. Unsur penghasilan dan beban didefinisikan berikut ini.
1) Penghasilan (income) adalah kenaikan manfaat ekonomi selama suatu periode
akuntansi dalam bentuk pemasukan atau penambahan asset atau penurunan.
2) Beban (expenses) adalah penurunan manfaat ekonomi selama suatu periode
akuntansi dalam bentuk arus kas keluar atau berkurangnya asset atau terjadinya
kewajiban yang melibatkan penurunan ekuitas yang tidak menyangkut
pembagian kepada penanaman modal, termasuk di dalamnya beban untuk
pelaksanaan aktivitas entitas syariah maupun kerugian yang timbul.
3) Hak pihak ketiga atas bagi hasil
4) Hak pihak ketiga atas bagi hasil dana syirkah temporer adalah bagian bagi
hasil pemilik dana atas keuntungan dan kerugian hasil investasi bersama
entitas syariah dalam suatu periode laporan keuangan.
c. Komponen laporan keuangan yang mencerminkan kegiatan sosial, meliputi laporan
sumber dan penggunaan dana zakat serta laporan sumber dan penggunaan dana
kebajikan.
d. Komponen laporan keuangan lainnya yang mencerminkan kegiatan dan tanggung
jawab khusus entitas syariah tersebut.

12. Pengukuran Unsur Laporan Keuangan


Sejumlah dasar pengukuran yang berbeda digunakan dalam derajat dan kombinasi yang
berbeda dalam laporan keuangan. Berbagai dasar pengukuran tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Biaya historis (historical cost)
Asset dicatat sebesar pengeluaran kas atau setara kas yang dibayar sebesar nilai wajar
dari imbalan yang diberikan untuk memperoleh aset tersebut pada saat perolehan.
Kewajiban dicatat sebesar jumlah yang diterima sebagai penukar dari kewajiban atau
dalam keadaan tertentu, dalam jumlah kas yang diharapkan akan dibayarkan untuk
memenuhi kewajiban dalam pelaksanaan usaha normal.

29
b. Biaya kini (current cost)
Asset dinilai dalam jumlah kas atau setara kas yang seharusnya dibayar bila asset
yang sama atau setara diperoleh. Kewajiban dinyatakan dalam jumlah kas atau
setar kas yang tidak didiskontokan yang mungkin akan diperlukan untuk
menyelesaikan kewajiban sekarang.
c. Nilai realisasi/penyelesaian (realizable/settlement value)
Aset dinilai dalam jumlah kas atau setara kas yang dapat diperoleh sekarang dengan
menjual asset dalam pelepasan normal (orderly disposal). Kewajiban dinyatakan
sebesar nilai penyelesaian: yaitu jumlah kas yang tidak didiskontokan yang
diharapkan akan dibayarkan untuk memenuhi kewajiban dalam pelaksanaan usaha
normal.

13. Laporan Keuangan Bank Syariah (PSAK 101)


Laporan keuangan bank syariah yang lengkap terdiri atas:
a. Neraca;
b. Laporan Laba Rugi;
c. Laporan Arus Kas;
d. Laporan Perubahan Ekuitas;
e. Laporan Perubahan Dana Investasi Terkait;
f. Laporan Rekonsiliasi Pendaptan Dan Bagi Hasil;
g. Laporan Sumber Dan Penggunaan Dan Zakat;
h. Laporan Sumber Dan Penggunaan Dan Kebajikan;
i. Catatan Atas Lporn Keuangan.

Contoh Perhitungan Bagi Hasil


Contoh 1
Nasabah A membuka rekening Tabungan iB pada tanggal 13 Agustus 2011 dengan saldo
Rp1.000.000,-. Nisbah yang diberikan adalah 50% bagian dari jumlah pendapatan yang
dibagikan untuk Dana Pihak Ketiga Tabungan iB. Pendapatan Bank pada bulan Agustus
sebesar Rp15.000.000,- dan Saldo rata-rata DPK Tabungan iB Rp100.000.000,- Perhitungan
bagi hasil yang diterima nasabah:
Saldo rata-rata Tabungan Rp1.000.000,-
Saldo rata-rata DPK Tabungan Rp100.000.000,-
Nisbah Bagi Hasil 50% bagian nasabah

30
Pendapatan yang dibagikan utk DPK Tab Rp. 15.000.000,-
Tanggal mulai Tabungan 13 Agustus
Jumlah hari bulan Agustus 31 hari
Jadi bagi hasil yang diterima oleh nasabah di bulan Agustus 2011:
𝑠𝑎𝑙𝑑𝑜 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ ℎ𝑎𝑟𝑖 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛
𝑥 𝑛𝑖𝑠𝑏𝑎ℎ 𝑥 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑏𝑎𝑔𝑖ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙𝑘𝑎𝑛 𝑥
𝑠𝑎𝑙𝑑𝑜 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝐷𝑃𝐾 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ ℎ𝑎𝑟𝑖 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 1 𝑏𝑢𝑙𝑎𝑛
1.000.000 19
= 100.000.000 𝑥 50% 𝑥 15.000.000 𝑥 = 45.967,74
31

Contoh 2
Nasabah A membuka rekening Deposito iB pada tanggal 1 Agustus 2011 dengan saldo
Rp250.000.000,- dengan jangka waktu 1 bulan. Nisbah yang diberikan adalah 62% bagian
dan pendapatan Bank pada bulan Agustus sebesar Rp65.000.000,- dan Saldo rata- rata DPK
Deposito iB Rp5.000.000.000,-
Perhitungan bagi hasil yang diterima nasabah:
Saldo rata-rata Deposito Rp250.000.000,-
Saldo rata-rata DPK Deposito Rp5.000.000.000,-
Nisbah Bagi Hasil 62% bagian nasabah
Pendapatan yang dibagikan utk DPK Dep Rp. 65.000.000,-
Tanggal mulai Deposito 1 Agustus
Jumlah hari bulan Agustus 31 hari
Jadi bagi hasil yang diterima oleh nasabah di bulan Agustus 2011:
𝑠𝑎𝑙𝑑𝑜 𝑑𝑒𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑜 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ ℎ𝑎𝑟𝑖 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛
(𝑠𝑎𝑙𝑑𝑜 𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎 𝐷𝑃𝐾 𝐷𝑒𝑝) x 𝑛𝑖𝑠𝑏𝑎ℎ x 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑏𝑎𝑔𝑖ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙𝑘𝑎𝑛 x 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ ℎ𝑎𝑟𝑖 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 1 𝑏𝑢𝑙𝑎𝑛
250.000.000 31
= (5.000.000.000) 𝑥 62% 𝑥 65.000.000 𝑥 = 2.015.000
31

31
DAFTAR PUSTAKA

IAI. 2015. Modul Chartered Accountant: Pelaporan Korporat. Jakarta. Penerbit: IAI.
http://www.kopkarci.co.id/download/lap_keu/2017_audit_report.pdf (Diakses pada tanggal
23 Agustus 2019)

32

Anda mungkin juga menyukai