Anda di halaman 1dari 22

RINGKASAN MATERI KULIAH

MANAJEMEN PERPAJAKAN
“Pemilihan Sumber Pembiayaan Bagian II”

SAP 6

OLEH: KELOMPOK 3
MADE DENNY OKTARIYANA (1807612003 / 03)
IDA AYU AGUNG EMAWATI (1807612005 / 05)
YUSUP KURNIAWAN (1807612007 / 07)
NI LUH PUTU UTTARI PREMANANDA (1807612008 / 08)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia yang telah
diberikan sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Ringkasan Materi Kuliah
Manajemen Perpajakan dengan materi Pemilihan Sumber Pembiayaan Bagian II dengan tepat
waktu. Kami harapkan ringkasan materi kuliah ini dapat memberikan manfaat dan wawasan
dalam kegiatan proses belajar mengajar
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan ringkasan materi kuliah ini. Kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari semua
pihak kami harapkan untuk peningkatan kualitas tugas kuliah kami selanjutnya. Atas
perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Denpasar, Maret 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER ...................................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................................ iii

A. FACTORING DAN LEASING .............................................................................................1


B. HYBRID FINANCIAL INSTRUMENTS ...............................................................................7
C. KASUS: SUMBER PEMBIAYAAN FACTORING & LEASING ......................................9
D. KASUS: SUMBER PEMBIAYAAN HYBRID FINANCIAL INSTRUMENT ..................12

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................................19

iii
RINGKASAN MATERI KULIAH
“Pemilihan Sumber Pembiayaan Bagian II”

A. FACTORING DAN LEASING


1. Anjak Piutang/Factoring
Anjak piutang adalah suatu transaksi keuangan sewaktu suatu perusahaan
menjual piutangnya (misalnya tagihan) dengan memberikan suatu diskon. Ada tiga
perbedaan antara anjak piutang dan pinjaman bank. Pertama, anjak piutang adalah pada
nilai piutang, bukan kelayakan kredit perusahaan. Kedua, anjak piutang bukanlah suatu
pinjaman, melainkan pembelian suatu aset (piutang). Terakhir, pinjaman bank
melibatkan dua pihak, sedangkan anjak piutang melibatkan tiga pihak.
Tiga pihak yang terlibat dalam anjak piutang adalah penjual, debitur, dan pihak
yang membiayai (factor). Penjual adalah pihak yang memiliki piutang (biasanya untuk
layanan yang diberikan atau barang yang dijual) dari pihak kedua, debitur. Penjual
selanjutnya menjual satu atau lebih tagihannya dengan potongan atau diskon ke pihak
ketiga, suatu lembaga keuangan khusus untuk mendapatkan uang dalam bentuk kas.
Debitur akan membayar langsung ke perusahaan pembiayaan dengan jumlah penuh
sesuai nilai tagihan. Manfaat Anjak Piutang adalah:
a. Menurunkan biaya produksi
b. Memberikan fasilitas pembayaran di muka
c. Meningkatkan daya saing perusahaan klien
d. Meningkatkan kemampuan perusahaan klien memperoleh laba
e. Menghindari kerugian karena kredit macet
f. Mempercepat proses ekonomi

Dalam kondisi normal, ketika perusahaan memperoleh piutang clari pelanggan.


Piutang tersebut akan ditagihkan ke pelanggan sehingga dapat memperoleh kas. Ketika kas
diperoleh piutang akan hilang dan kas perusahaan akan bertambah. Itu adalah keadaan
normalnya, pada kondisi sekarang sudah terjadi perubahan dan sudah mulai banyak
perusahaan yang melakukan penjualan piutangnya ke entitas lain Hal ini dilakukan untuk
segera memperoleh kas, dan mempercepat cash-to-cash operating cycle. Kegiatan melakukan
penjualan piutang ke pihak lain disebut dengan factoring atau di masyarakat lebih dikenal
dengan anjak piutang. Adapun alasan perusahaan melakukan anjak piutang diantaranya
adalah:

1
a. Bisa jadi hal ini merupakan satu-satunya sumber untuk memperoleh kas. Ketika
keadaan kas sudah menipis, kemampuan perusahaan untuk memperoleh
pinjaman dana akan berkurang, kas yang tipis. bisa menjadi penghalang
kemarhpuan perusahaan untuk membayar bunga pinjaman.
b. Waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk dikeluarkan untuk penagihan
memakan waktu yang lama dan biaya yang besar. Lebih mudah bagi
perusahaan untuk menjual piutangnya dan dengan memperoleh kas yang lebih
cepat dan menghemat waktu dan biaya untuk melakukan penagihan.

Dalarn aktivitas anjak piutang akan terlibat tiga entitas yaitu:


a. Nasabah
Nasabah adalah pihak yang menjual piutang. Biasanya merupakan pihak
Penyedia Barang/penjual yang melakukan transaksi dengan penggalan/pemberi
secara kredit.
b. Perusahaan anjak piutang
Perusahaan anjak piutang adalah perusahaan pembiayaan ataupun bank yang
membeli piutang dari nasabah (perusahaan yang menjual piutang).
c. Debitur
Debitur adalah pihak yang memiliki utang kepada nasabah, dalam anjak piutang
kewajiban membayar utangnya dialihkan kepada perusahaan anjak piutang,
sehingga nantinya debitur akan membayar utangnya kepada perusahaan anjak
piutang bukan kepada nasabah.

Skema transaksi dalam aktivitas anjak piutang sebagai berikut:

2
Dalam anjak piutang, perusahaan melakukan tiga fungsi:
a. Pemeriksaan piutang,
b. Memberikan pinjaman (pembayaran piutang), dan
c. Menanggung risiko default pelanggan.

Pengaruh pajak terhadap pembiayaan dengan anjak piutang, yaitu sebagai berikut:
a. Pajak Penghasilan
Berdasarkan Surat Direktur Jendral pajak No. S-78/PJ-311/1996 tanggal 19
April mengenai Pembebasan Pasal 23 atas penghasilan yang diperoleh
Perusahaan Anjak Piutang, ditegaskan bahwa penghasilan dari perusahaan
anjak piutang yang dilakukan oleh perusahaan pembiayaan baik yang diterima
berupa diskon, service charge dan provisi tidak dikenakan pemotongan PP
Pasal 23 oleh perusahaan yang membayarkan. Hal ini menunjukkan bahwa
klien tidak boleh memotong pajak penghasilan pasal 23 yang terutang oleh
factor serta bagi klien peraturan ini tidak mempengaruhi jumlah pajak yang
harus dibayarkan.
b. Pajak Pertambahan Nilai
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 202/KMK.04/1996
tanggal 18 April 1996 tentang Nilai Lain dasar Pengenaan Pajak, disebutkan
bahwa Penyerahan Jasa Anjak Piutang terutang pajak pertambahan nilai sebesar
10% x 5% x jumlah seluruh imbalan yang diterima berupa service charge,
provisi, dan diskon yang terutang pada saat penandatanganan perjanjian
pembiayaan. Adanya peraturan tersebut, klien akan membebankan pajak
pertambahan nilai sebagai tambahan biaya, karena sifat pajak pertambahan nilai
dari transaksi anjak piutang tidak dapat dikreditkan sebagai pajak masukan.

2. Leasing
Leasing, adalah suatu kontrak antara pemilik aktiva yang disebut dengan lessor
dan pihak lain yang memanfaatkan aktiva tersebut yang disebut lessee untuk jangka
waktu tertentu. Salah satu manfaat leasing adalah lessee dapat memanfaatkan aktiva
tersebut tanpa harus memiliki aktiva tersebut. Sebagai kompensasi manfaat yang
dinikmati, maka lessee mempunyai kewajiban membayar secara periodik sebagai sewa
aktiva yang digunakan. Manfaat lain adalah bahwa lessee tidak perlu menanggung
biaya perawatan, pajak dan asuransi.
3
Bentuk-bentuk leasing:
a. Sale and lease back,
b. Operating leases, dan
c. Financial and capital leases.

Bentuk yang pertama sale and lease back dimana perusahaan yang memiliki
aktiva seperti tanah, bangunan dan peralatan pabrik menjual aset tersebut kepada
perusahaan lain dan sekaligus menyewa kembali asset tersebut untuk periode tertentu.
Pembeli aset tersebut bisa sebuah bank, perusahaan asuransi, perusahaan leasing,
pegadaian, atau investor individu. Biasanya aset tersebut dijual dengan harga pasar.
Manfaat dari sale and lease back ini adalah penjual atau lessee menerima pembayaran
segera sebagai tambahan dana yang dapat diinvestasikan ke investasi lain; dan
bersamaan dengan itu lessee masih menggunakan aset yang dijualnya selama jangka
waktu perjanjian leasing. Lessee mempunyai kewajiban membayar secara periodik
sebesar harga jual ditambah dengan tingkat keuntungan yang disyaratkan lessor.
Bentuk leasing kedua adalah operating leasing yang sering disebut service
leases atau direct leases. Jenis ini pihak lessor menyediakan pendanaan sekaligus biaya
perawatan yang keseluruhannya tercakup dalam pembayaran leasing. Ciri utama
bentuk leasing ini adalah bahwa harga perolehan aset tersebut sebagai objek leasing
tidak diamortisasikan secara penuh. Dengan kata lain pembayaran yang disyaratkan
tidak cukup untuk menutup keseluruhan harga perolehan dan biaya perawatan aset.
Namun demikian jangka waktu operating lease ini biasanya lebih pendek dari pada
umur ekonomis yang diharapkan. Sehingga lessor berharap dapat menyewakan kembali
kepada pihak lain atau menjual aset tersebut untuk menutup harga perolehan, biaya
perawatan dan tingkat keuntungan yang disyaratkan.
Sedangkan operating lease atau yang biasa dikenal sebagai sewa guna usaha
tanpa hak opsi adalah termasuk sewa guna usaha yang memiliki ciri sebagai berikut
(Pasal 4 KMK 1169/1991).
a. Jumlah pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa guna usaha pertama
tidak dapat menutupi harga perolehan barang modal yang disewa-guna-
usahakan ditambah keuntungan yang diperhitungkan oleh lessor,
b. Perjanjian sewa guna usaha tidak memuat hak opsi kepemilikan bagi lesee.

4
Jenis leasing ketiga adalah financial leasing atau capital leasing. Bentuk
leasing ini berbeda dengan operating leases karena lessor tidak menanggung biaya
perawatan, tidak dapat dibatalkan dan diamortisasikan secara penuh. Dengan demikian
lessor menerima pembayaran sebesar harga perolehan aset ditambah tingkat
keuntungan yang diisyaratkan. Pada umumnya lessee juga harus membayar pajak dan
asuransi aset objek leasing tersebut.
Pada Pasal 3 (tiga), KMK 1169 tahun 1991, dijelaskan bahwa syarat suatu sewa
guna usaha menjadi finance lease, yaitu apabila memenuhi syarat sebagai berikut.
a. Jumlah pembayaran sewa guna usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama
ditambah dengan nilai sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan
barang modal dan keuntungan lessor,
b. Masa sewa-guna-usaha ditetapkan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun untuk
barang modal Golongan I, 3 (tiga) tahun untuk barang modal Golongan II dan
III, dan 7 (tujuh) tahun untuk golongan bangunan, terdapat perjanjian atas sewa
guna usaha tersebut yang memuat ketentuan hak opsi bagi lesee.

Lebih jauh, dalam Pengumuman Direktur Jenderal Moneter No. Peng-


307/DJM/III.1/7/1974, pemerintah mengatur barang-barang yang boleh dijadikan objek
leasing yaitu:
a. Barang yang dijadikan objek leasing harus dimiliki oleh perusahaan leasing di
Indonesia dan diambil dari produksi dalam negeri,
b. Apabila barang yang menjadi objek leasing berasal dari luar negeri, maka
barang tersebut dapat diekspor kembali setelah jangka waktu berahir dengan
syarat-syarat tersendiri.

Terkait dengan unsur perpajakan yang harus dipenuhi, beberapa peraturan yang
telah ditetapkan adalah sebagai berikut.

Bagi Lessor
a. Pajak Penghasilan (PPh), dikenakan kepada lessor atas sebagian imbalan jasa
sewa guna usaha dengan hak opsi dan seluruh pembayaran jasa bagi sewa guna
usaha tanpa hak opsi.
b. PPh tidak boleh dikurangkan dengan biaya penyusutan atas barang yang
menjadi objek leasing dengan hak opsi, namun boleh dikurangkan apabila objek
leasing merupakan objek sewa guna usaha tanpa hak opsi.

5
c. Lessor dapat membentuk cadangan atas piutang ragu-ragu sewa guna usaha
dengan hak opsi paling tinggi 2,5% dari rata-rata saldo awal dan saldo akhir
piutang leasing dan dapat dikurangkan dalam perhitungan penghasilan kena
pajak (pasal 9, UU no 36 tahun 2008)
d. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikecualikan atas penyerahan objek leasing
dengan hak opsi.

Bagi Lessee
a. Lessee tidak boleh mengakui penyusutan atas objek leasing sampai saat lessee
menggunakan hak opsi untuk membeli.
b. Pembayaran leasing dapat dikurangkan sebagai biaya, baik dalam perjanjian
sewa guna usaha dengan atau tanpa hak opsi. (Pasal 6, UU no 36 tahun 2008).
c. Apabila masa leasing lebih pendek dari masa yang sudah ditentukan, maka
harus dilakukan koreksi atas pembebanan biaya leasing dengan hak opsi
menjadi tanpa hak opsi (SE-29/PJ.42/1992).
d. Lessee tidak memotong PPh pasal 23 atas pembayaran sewa guna usaha yang
dibayar dalam perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi, namun untuk
perjanjian tanpa hak opsi tetap dipotong.

Dari Sisi Akuntansi


Dalam PSAK 30 yang mengatur tentang sewa, penggolongan sewa sama
dengan dalam perpajakan, yaitu sewa operasi (operating lease), dan sewa pembiayaan
(financing lease). Dalam hal yang membedakan suatu sewa diakui sebagai sewa operasi
atau pembiayaan, didasarkan atas substansi transaksi dan bukan pada bentuk (p.10
PSAK 30). Jadi, dari sisi akuntansi, suatu perjanjian sewa dapat dikatakan sebagai sewa
perjanjian apabila dalam perjanjian sewa tersebut memuat salah satu dari 4 (empat)
syarat utama sewa pembiayaan, yaitu sebagai berikut.
a. Lessee memiliki hak opsi untuk memiliki / membeli pada akhir masa sewa,
b. Lessee dapat membeli aset dalam harga yang diperkirakan cukup rendah
dibandingkan nilai wajar,
c. Masa sewa adalah untuk sebagian besar umur ekonomis, yaitu 75% dari umur
ekonomis aset,
d. Jumlah pembayaran adalah secara substansial mendekati seluruh nilai wajar
aset, yaitu 90% dari nilai wajar aset.
6
Manfaat menggunakan leasing sebagai pilihan pembiayaan, yaitu:
a. Perusahaan tidak harus mengeluarkan dana yang besar di awal dan tetap
mempunyai opsi untuk memiliki aset yang disewa pada akhir periode masa
perjanjian sewa,
b. Perusahaan dapat membeli asset leasing dengan harga yang lebih murah dari
harga pasar,
c. Perusahaan lessee tetap dapat mengurangkan biaya atas angsuran dan
penyusutan sebagai biaya yang dapat dikurangkan dalam perhitungan
penghasilan kena pajak.
d. Dalam hal masa sewa guna usaha lebih pendek dari rnasa yang ditentukan,
Dirjen Pajak melakukan koreksi atas pembebanan biaya sewa guna usaha
tersebut dan memperlakukannya sebagai operating lease. Perubahan ini tidak
dilakukan apabila terjadi karena force majeur, gagal bayar, maupun
pertimbangan ekonomi tanpa motif menghindari pajak dan tidak ada hubungan
istimewa antara lessor dengan lessee.
e. Lessee tidak memotong Pajak Penghasilan Pasal 23 atas pembayaran sewa guna
usaha.

B. HYBRID FINANCIAL INSTRUMENTS


Salah satu instrumen keuangan yang saat ini banyak digunakan oleh perusahaan
dalam melakukan investasi adalah "hybrid financial instruments''. Dari sisi pertimbangan
komersial, inovasi instrumen keuangan dengan menggunakan hybrid financial instruments
akan memberikan keuntungan bagi perusahaan saat menghadapi risiko investasi yang besar.
Inovasi instrumen keuangan dalam hybrid financial instruments dapat dilihat pada
karakteristiknya yang mencampurkan karakteristik instrumen utang dan sekaligus
karakteristik instrumen modal, berikut karakteristik utang dan penyertaan modal.
No Utang Penyertaan Modal
1 Dana akan dikembalikan dalam jangka waktu Dana hanya akan dikembalikan pada saat
yang telah ditetapkan likuidasi
2 Imbalan dari utang harus tetap dibayar meskipun Imbalan dari penyertaan modal tergantung dari
penerima utang dalam keadaan merugi performa usaha penerima modal
3 Dalam keadaan likuidasi, pemberi utang Hak pemberi modal (pemegang saham) atas
(kreditor) memiliki hak prioritas untuk atas aset aset merupakan hak tagih terakhir setelah
kreditor
4 Pemberi utang (kreditor) tidak memiliki kontrol Pemberi modal (pemegang saham memiliki
atas perusahaan control atas perusahaan)

7
Menurut Duncan, Hybrid financial instruments dapat didefinisikan sebagai instrumen
keuangan yang memiliki karakteristik ekonomi yang tidak konsisten, baik secara parsial
maupun secara keseluruhan terhadap bentuk legalnya. Sementara itu, OECD mendifinisikan
hybrid financial instrument sebagai instrumen keuangan yang diklasifikasikan berbeda
diantara negara-negara yang terlibat dalam transaksi instrumen tersebut, misalnya sebagai
pinjaman di satu negara dan sebagai modal di negara lainnya. Contoh hybrid financial
instruments yang sering ditemui antara lain: saham preferen (preference shares), silent
partnership, shareholder loan, participation bonds, convertible bonds, warrant bonds, dan
profit participation loans.
Dalam aspek perpajakan, hybrid financial instrument seringkali digunakan dalam
perencanaan pajak pada tingkat internasional karena terdapat perbedaan dalam
pengklasifikasian dan perlakuan pajak di beberapa negara yang mengakibatkan peluang tax
arbitrage meningkat. Hybrid financial instrument sering digunakan untuk tujuan
penghindaran pajak (tax avoidance) melalui profit shifting yang mengakibatkan dasar
pengenaan pajak dalam negeri suatu negara bisa terkikis (Base Erosion Effect). Isu ini
membuat OECD membahas secara mendetail dalam laporannya yang berjudul “Addressing
BEPS (Base Erosion Profit Sharing)”. Dalam laporan tersebut, OECD memaparkan
bagaimana BEPS menjadi ancaman serius terhadap penerimaan, kedaulatan, dan keadilan
dalam sistem perpajakan. Hal ini menandakan bahwa isu BEPS ini tidak hanya dihadapi oleh
negara-negara berkembang saja, melainkan juga negara-negara maju yang merupakan negara
asal dari perusahaan multinasional.
Ketentuan di Indonesia lebih menekankan pembedaan antara penghasilan dan biaya
dalam menghitung penghasilan kena pajak bukan pada pembedaan antara utang dan ekuitas
secara eksplisit. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 18 ayat 3 UU PPh yang berbunyi: “Direktur
Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan
pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan
Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak
lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan
istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak independen, metode
harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya”
Dalam penjelasan Pasal 18 ayat 1 UU PPh dijelaskan bahwa apabila pebandingan
antara utang dan modal sangat besar melebihi batas-batas kewajaran, pada umumnya
perusahaan tersebut dalam keadaan tidak sehat. Dalam hal demikian, untuk penghitungan
Penghasilan Kena Pajak, Undang-Undang ini menentukan adanya modal terselubung. Terkait
8
dengan modal terselubung yang imbal hasilnya dikategorikan dividen ketentuan perpajakan
Indonesia tidak mendefinisikan istilah modal terselubung, sehingga tidak menutup
kemungkinan akan diinterpretasikan berbeda dan tentunya hal ini tidak memenuhi prinsip
kepastian.
Tujuan perpajakan yang dapat dicapai dengan menggunakan hybrid financial
instruments dalam perencanaan pajak adalah sebagai berikut:
1. Memperoleh pengurangan ganda (double dipping) atas pembayaran bunga.
2. Perusahaan yang memungkinkan pembebanan bunga pada suatu negara dan tidak
dikenakan pajak di negara lainnya.
3. Mengatasi tax avoidance rule dengan struktur pembiayaan yang mengindari
permasalahn thin-capitalization rule atau aturan back-to-back loan.
4. Menghindari atau mengurangi tarif pemotongan pajak penghasilan dan pajak atas
laba pengalihan harta.
5. Menunda penerimaan penghasilan atau mendapatkan pengurangan pajak secara
dini.

Suatu instrumen keuangan hybrid yang bertujuan memanfaatkan perbedaan sistem


perpajakan diantara 2 negara tidak memiliki tujuan yang bonafide mengakibatkan dasar
pengenaan pajak dalam negeri suatu negara bisa terkikis sehingga hal ini dianggap sebagai
bentuk penghindaran pajak yang menjadi ancaman serius berbagai negara. Saat ini, Indonesia
masih belum memiliki ketentuan pencegahan penghindaran pajak baik secara khusus maupun
umum yang dapat menangkal praktik penghindaran pajak melalui penggunaan instrumen
keuangan hybrid. Walaupun otoritas pajak Indonesia memiliki wewenang untuk
merekarakterisasi transaksi utang sebagai modal, namun dengan tidak adanya peraturan yang
dapat digunakan sebagai batasan antara utang dan modal menjadi kendala bagi kepastian
hukum untuk menjustifikasi wewenang otoritas pajak tersebut.

C. KASUS: SUMBER PEMBIAYAAN FACTORING & LEASING


1. FACTORING
Misalkan perusahaan PT XYX mendapatkan fasilitas anjak piutang dari factor PT CDE di
mana tagihan yang sedang diajukan sejumlah Rp 125.000.000 dengan tingkat pembiayaan
80% di mana jatuh tempo tagihan selama 89 hari sebesar 35% per tahun, maka besarnya
bunga yang dibebankan oleh factor adalah sebagai berikut:

9
Rumus True Discount Method
𝑃𝑜𝑘𝑜𝑘 𝑃𝑒𝑚𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎𝑎𝑛 𝑥 365
Bunga yang dibebankan = Pokok Pembiayaan - (𝑅 𝑥 𝑁)+365
100.000.000 𝑥 365
Bunga yang dibebankan = 100.000.000 - (35% 𝑥 89)+365

Bunga yang dibebankan = 100.000.000 – 92.136.817


Bunga yang dibebankan = 7.863.183

Bunga yang akan dibebankan oleh factor sebesar Rp 7.863.183 dan jumlah advanced
payment yang diterima oleh client Rp 92.136.817.

Rumus Simple Interest


Bunga yang dibebankan = Pokok Pembiayaan x N/360 x R
Bunga yang dibebankan = 100.000.000 x 89/360 x 35%
Bunga yang dibebankan = 8.625.778
Bunga yang harus dibayar oleh client adalah sebesar Rp 8.625.778, sedangkan jumlah
advanced payment yang diterima oleh client adalah sebesar Rp 100.000.000 karena
bunga akan dibayar belakangan.

2. LEASING
Lessor PT ABC meng-SGU-kan mesin golongan II dengan harga. pokok Rp
200.000.000,00 kepada PT DEF (Lessee). Jangka waktu leasing 24 bulan dan nilai sisa
barang setelah periode leasing adalah nihil. Dalam kontrak SGU tidak tercantum klausula
pilihan bagi lessee untuk membeli mesin tersebut dengan harga murah pada akhir periode
SGU. Pembayaran per bulan Rp8.000.000,00.

Perlakuan Pajaknya sebagai berikut:


Jumlah seluruh pembayaran yang akan diterima lessor PT ABC sebesar Rp 8.000.000,00
x 24 bulan = Rp 192.000.000,00. Jumlah tersebut lebih kecil dari jumlah pokok mesin
sebesar Rp 200.000.000,00. Selain itu tidak ada klausa pilihan bagi penyewa untuk
memiliki mesin tersebut pada akhir periode leasing. Oleh karena itu SGU ini tergolong
SGU tanpa hak opsi (Operating Lease) atau sewa menyewa biasa.
Lessor (PT ABC) Lessee (PT DEF)
Menerima pendapatan sewa setiap bulan = 8.000.000 Membayar sewa = 8.000.000
Memungut PPN 10% = 800.000 Membayar PPN = 800.000
Dipotong PPh 23 = (480.000) Dipotong PPh 23 = (480.000)
Diterima dari Lessee = 8.320.000 Dibayar ke Lessor = 8.320.000
Menyusutkan mesin per tahun = 50.000.000

10
3. SEWA GUNA USAHA DENGAN HAK OPSI (FINANCE LEASE)
Menurut ketentuan pajak, kegiatan SGU akan digolongkan sebagai SGU dengan hak
opsi (Finance Lease) apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Jumlah pembayaran SGU selama masa SGU pertama ditambah dengan nilai sisa
barang modal, harus menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan
lessor;
2. Masa Sewa Guna Usaha ditetapkan sekurang kurangnya 2 tahun untuk barang
mudal Golongan I, 3 tahun untuk barang modal Golongan II dan III, dan 7 tahun
untuk golongan bangunan;

Dalam hal Lessor dan Lessee membuat perjanjian. Sewa Guna Usaha dengan opsi
(Finance Lease) namun massanya tidak memenuhi ketentuan tersebut diatas, maka
perlakuan Pajak Pertambahan Nilai yang diberikan terhadap perjanjian tersebut sama
dengan perlakuan Pajak Pertambahan Nilai terhadap perjanjian SGU tanpa hak opsi
(Operating Leasse).

Perlakuan Perpajakan Bagi Lessor:


1. Penghasilan lessor yang menjadi objek PPh adalah seluruh pembayaran SGU
angsuran pokok (bunga + administration fee).
2. Lessor tidak boleh menyusutkan barang modal yang di SGU kan.
3. Lessor dapat membentuk Cadangan Piutang Ragu-Ragu sebesar 2,5% dari rata-rata
saldo awal dan akhir piutang SGU.
4. Kerugian piutang SGU yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada akun
Akumulasi Cadangan Penghapusan Piutang tahun yang bersangkutan.

Contoh Kasus:
Lessor PT ABC meng-SGU-kan mesin golongan II (masa manfaat 8 tahun) dengan harga
pokok Rp 200.000.000,00 kepada PT DEF (lessee). Jangka waktu leasing 36 bulan dan
nilai sisa barang setelah periode leasing adalah nihil. Dalam kontrak SGU tercantum
klausa pilihan bagi lessee untuk membeli mesin tersebut dengan harga murah pada akhir
periode SGU. Pembayaran per bulan Rp 8.000.000,00 terdiri dari pelunasan pokok hutang
leasing sebesar Rp 5.555.555,00 dan bunga Rp 2.444.445,00.

11
Perlakuan Pajaknya Sebagai Berikut:
Jumlah seluruh pembayaran yang akan diterima lessor PT ABC sebesar Rp 8.000.000,00
x 36 bulan = Rp 288.000.000,00. jumlah tersebut dapat menutupi harga pokok mesin
sebesar Rp 200.000.000,00 dan nilai sisa barang setelah periode leasing. Selain itu
terdapat klausa pilihan bagi penyewa untuk memiliki mesin tersebut. Jangka waktu
leasing adalah 3 tahun (36 bulan) sedangkan barang termasuk golongan II. Hal ini
memenuhi syarat Finance Lease karena untuk barang golongan II jangka waktu leasing
minimal 3 tahun. Oleh karena ke-3 syarat terpenuhi maka SGU ini tergolong SGU dengan
hak opsi (Finance Lease).

LESSOR PT ABC
Mencatat piutang Leasing : Rp. 288.000.000
Menerima pendapatan bunga/bulan : Rp. 2.444.445
Menerima pelunasan pokok/bulan : Rp. 5.555.555
Jumlah yang diterima : Rp. 8.000.000
Tidak menyusutkan mesin

Mendebet Biaya Penyisihan Piutang Leasing 2,5% dari saldo piutang leasing
(Deductible Expense)

LESSE PT DEF
Membayar leasing: Rp. 8.000.000 (Deductible Expense)
Tidak menyusutkan mesin;
Tidak memungut PPh Pasal 23

D. KASUS: SUMBER PEMBIAYAAN HYBRID FINANCIAL INSTRUMENT


Kasus Transfer Pricing Pada PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia
Dalam era globalisasi seperti saat ini, dunia seolah-olah tanpa batas. Pengaruh
globalisasi juga terjadi dalam bidang ekonomi dan bisnis. Perusahaan-perusahaan tidak hanya
melakukan kegiatan bisnisnya hanya satu negara saja. Banyak perusahaan yang
melaksanakan kegiatan lintas negara, baik melalui cabang maupun anak perusahaannya.
Perusahaan-perusahaan semacam ini dinamakan perusahaan multinasional (multinational
corporation atau multinational company/MNC).
Salah satu perusahaan multinasional terbesar di dunia adalah Toyota. Toyota adalah
perusahaan otomotif yang berpusat di Jepang. Toyota memiliki banyak cabang, anak
perusahaan, dan perusahaan terafiliasi di berbagai negara di seluruh dunia. Salah satu anak
perusahaan Toyota adalah PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia yang berkedudukan di

12
Indonesia. Pengelolaan perusahaan multinasional tentunya berbeda dengan pengelolaan yang
hanya berbasis di satu negara. Pengelolaan keuangan perusahaan multinasional menggunakan
suatu skema yang lebih kompleks guna memaksimalkan keuntungannya. Salah satu skema
pengelolaan keuangan yang digunakan oleh perusahaan multinasional adalah transfer pricing,
terutama untuk perencanaan pajaknya. Transfer pricing adalah suatu mekanisme yang umum
digunakan oleh perusahaan multinasional untuk perencanaan pajaknya. Transfer pricing
untuk tujuan perencanaan pajak tidak sepenuhnya ilegal, asalkan memenuhi persyaratan-
persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah suatu negara. Idealnya, transfer pricing suatu
perusahaan multinasional dapat mengurangi beban pajak perusahaan dari sudut pandang
konsolidasi, sementara di sisi lain tetap memenuhi persyaratan persyaratan yang ditetapkan
oleh pemerintah.
Akan tetapi, hal yang terjadi untuk kasus PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
tidaklah demikian. Berdasarkan hasil pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terhadap
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh) PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia Tahun Pajak 2005 sampai dengan Tahun Pajak 2008, PT Toyota
Motor Manufacturing Indonesia dianggap telah melakukan transfer pricing yang ilegal
sehingga mengecilkan pajak yang harus dibayarnya di Indonesia.

Pembahasan
Hansen dan Mowen (2007, 834) menyatakan bahwa “if all countries had the same tax
structure, then transfer prices would be set independently of taxes”. Namun, karena negara-
negara di dunia ini memiliki struktur dan peraturan perpajakan yang berbeda-beda, kebijakan
transfer pricing juga dipengaruhi oleh aspek perpajakan. Transfer pricing kebanyakan
digunakan oleh perusahaan multinasional untuk tujuan perencanaan pajak daripada untuk
tujuan pengukuran kinerja.
Penggunaan transfer pricing untuk tujuan perencanaan pajak sebenarnya sah-sah saja.
Menurut Madura (2014, 468), “multinational corporations are subject to certain guidelines on
transfer pricing, but they usually have some flexibility and tend to use a transfer pricing
policy that will minimize taxes while satisfying the guidelines”. Secara umum, skema
perencanaan pajak yang digunakan oleh perusahaan multinasional dengan transfer pricing
adalah memindahkan laba dari negara dengan tarif pajak tinggi ke negara dengan tarif pajak
yang lebih rendah.

13
Kasus PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia mulai tercium karena Wajib Pajak
melakukan permohonan pengembalian pajak (restitusi) untuk Tahun Pajak 2005, 2007, dan
2008. Atas permohonan restitusi tersebut, DJP melakukan pemeriksaan pajak terhadap PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia. Dari pemeriksaan pajak terhadap SPT Toyota pada
Tahun Pajak 2005, petugas pajak menemukan sejumlah kejanggalan. Pada 2004 misalnya,
laba bruto Toyota turun lebih dari 30%, dari Rp 1,5 triliun (2003) menjadi Rp 950 miliar.
Selain itu, rasio gross margin (perbandingan antara laba kotor dengan tingkat penjualan) juga
mengalami penurunan, dari sebelumnya 14,59% pada tahun 2003 menjadi hanya 6,58% pada
tahun 2004.
Sebelum restrukturisasi, gross margin PT Toyota Astra Motor mengalami peningkatan
11% hingga 14% per tahun. Namun setelah dilakukan restrukturisasi, gross margin PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia hanya sekitar 1,8% hingga 3% per tahun. Sementara
di PT Toyota Astra Motor (perusahaan agen tunggal pemegang merek yang didirikan setelah
restrukturisasi), gross margin mencapai 3,8% hingga 5%. Jika gross margin PT Toyota Astra
Motor digabung dengan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, persentasenya masih
sebesar 7%. Hal ini berarti margin laba sebelum pajak setelah restrukturisasi lebih rendah 7%
dibandingkan dengan margin laba kotor sebelum restrukturisasi yang mencapai 14%.
Berdasarkan hasil pemeriksaan pajak SPT Tahunan Toyota, petugas pajak
menyimpulkan penyebab turunnya gross margin adalah adanya transfer pricing dengan harga

14
di luar prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Untuk penjualan ekspornya, Toyota memiliki
kebijakan bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia harus melakukan penjualan
kepada Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd, unit bisnis Toyota yang
berkedudukan di Singapura. Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd inilah yang nantinya akan
menyalurkan penjualan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia ke negara-negara lainnya
seperti Filipina dan Thailand. Skema jual-beli melalui negara perantara semacam itu
sebenarnya lazim saja dalam perdagangan internasional, apalagi penjual dan pembelinya
adalah bagian dari kelompok perusahaan multinasional yang sama. Namun, hal ini akan
menjadi permasalahan di bidang perpajakan jika transfer price yang digunakan tidak
berdasarkan pada prinsip kewajaran dan kelaziman usaha serta digunakan untuk melakukan
penghindaran pajak.
Kebijakan Toyota dengan memilih Singapura sebagai negara perantara penjualan
ekspornya menarik untuk diperhatikan. Singapura adalah negara yang mempunyai tarif Pajak
Penghasilan korporasi yang paling rendah di Asia Tenggara, yaitu sebesar 15% sampai
dengan 17%. Tarif Pajak Penghasilan korporasi Singapura jauh berada di bawah Indonesia, di
mana untuk tahun pajak sebelum 2009 (tahun pajak untuk kasus transfer pricing PT Toyota
Motor Manufacturing Indonesia), tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan Indonesia
adalah progresif sebesar 10%, 15%, dan 30%. Hal ini tentunya memberikan insentif kepada
perusahaan perusahaan multinasional, seperti Toyota, untuk memindahkan pendapatannya
dari Indonesia ke Singapura guna meringankan beban pajaknya secara keseluruhan. Petugas
pajak menganggap PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan transfer pricing di
luar prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang ditujukan untuk mengecilkan pembayaran
pajaknya di Indonesia. Temuan DJP dari pemeriksaan pajak SPT PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia Tahun Pajak 2007 menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2007, PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia tercatat mengekspor 17.181 unit Fortuner ke
Singapura. Dari pemeriksaan atas laporan keuangan Toyota, petugas pajak menemukan
bahwa harga pokok penjualan atau cost of goods sold (COGS) Fortuner itu adalah Rp 161
juta per unit. Anehnya, dokumen internal Toyota menunjukkan bahwa semua Fortuner itu
dijual 3,49% lebih murah dibandingkan nilai tersebut. Dengan demikian, Toyota Indonesia
menanggung kerugian dari penjualan mobil-mobil itu ke Singapura. Petugas pajak juga
mendapatkan temuan pemeriksaan yang sama pada penjualan mobil Innova diesel dan Innova
bensin. PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia menjual Innova diesel dan Innova bensin
kepada Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd masing-masing dengan harga 1,73% dan 5,14%

15
lebih murah dari biaya produksinya per unit. Sementara itu, pada ekspor Rush dan Terios, PT
Toyota Motor
Manufacturing Indonesia hanya memperoleh keuntungan yang tipis, yaitu hanya
1,15% dan 2,69% dari biaya produksinya per unit. Temuan petugas pajak atas penjualan
ekspor PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia menjadi semakin menarik apabila
disandingkan dengan penjualan domestiknya. Toyota Indonesia menjual produk produk
serupa kepada pembeli lokal di Indonesia dengan harga yang berbeda. Ketika dijual di dalam
negeri, mobil-mobil tersebut dijual dengan gross margin sebesar 3,43% sampai dengan
7,67%. Akan tetapi, temuan pemeriksaan pajak tersebut belum cukup untuk menyimpulkan
bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan penghindaran pajak melalui
transfer pricing. Kebijakan diskriminasi harga antara penjualan ekspor dan domestik adalah
hal yang wajar apabila penentuan harganya berdasarkan pada prinsip kewajaran dan
kelaziman usaha. Selain itu, mungkin saja proses produksi yang dilakukan PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia atas produk produk yang menjadi temuan petugas pajak tersebut
tidak efisien sehingga PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia terpaksa melakukan
penjualan ekspor dengan harga jual di bawah biaya produksinya. Untuk membuktikan
terjadinya penghindaran pajak melalui transfer pricing, petugas pajak harus memeriksa nilai
kewajaran dari semua transaksi dari PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia ke Toyota
Motor Asia Pacific Pte., Ltd di Singapura. Adapun cara yang digunakan oleh DJP untuk
menilai kewajaran transfer price dari transaksi PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia ke
Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd di Singapura adalah dengan cara membandingkan harga
itu dengan traksaksi perusahaan sejenis di luar negeri.
Metode ini disebut dengan Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP). Cara ini merujuk
pada Transfer Pricing Guideline yang disusun Organization for Economic Cooperation and
Development (OECD). Petugas pajak kemudian menggunakan lima perusahaan otomotif
yang dianggap memiliki karakteristik serupa sebagai pembanding untuk Toyota. Kelima
perusahaan itu adalah Hindustan Motors (India), Yulon Motor (Taiwan), Force Motor
Limited (India), Shenyang Jinbei, dan Dongan Heibao (Cina). Dari penelaahan atas transaksi
afiliasi kelima perusahaan tersebut, pemeriksa pajak menetapkan bahwa kisaran gross margin
yang dapat dinilai wajar untuk perusahaan otomotif yang melakukan ekspor adalah 3,22%
sampai dengan 13,58%. Karena kisaran gross margin dari transaksi PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia ke Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd di Singapura berada di

16
bawah kisaran tersebut, DJP menyimpulkan bawah PT Toyota Motor Manufacturing
Indonesia melakukan transfer pricing guna penghindaran pajak.

Kendala yang Dihadapi oleh DJP


Penentuan besarnya transfer price yang wajar memang sangat susah untuk
dilaksanakan. Permasalahan yang dihadapi oleh DJP terutama adalah ketersediaan data
pembanding untuk menentukan besarnya transfer price yang wajar. Sebagian besar produk
perusahaan-perusahaan multinasional susah dicari pembandingnya karena setiap produk
mempunyai spesifikasi, fungsi, dan brand yang berbeda. Permasalahan penentuan besarnya
transfer price yang wajar tidak hanya dialami oleh DJP, tetapi juga oleh otoritas-otoritas
pajak negara lainnya di dunia.
Untuk mengatasi permasalahan penentuan besarnya transfer price yang wajar, otoritas
pajak di dunia, terutama negara anggota OECD, banyak yang menggunakan Advance Pricing
Agreement (APA) dan Mutual Agreement Procedure (MAP). Advance Pricing Agreement
dan Mutual Agreement Procedure terbukti cukup sukses untuk menangani kasus transfer
pricing. Oleh karena itu, terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015
tentang Tata Cara Pembentukan dan Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance
Pricing Agreement) patut diapresiasi.

Advance Pricing Agreement (APA) dan Mutual Agreement Procedure (MAP)


APA menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015 adalah perjanjian
tertulis antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak, atau Direktur Jenderal Pajak dengan
Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra P3B yang melibatkan Wajib Pajak, untuk
menyepakati kriteria-kriteria dan/atau menentukan harga wajar atau laba wajar di muka.
Sementara itu, MAP adalah prosedur administratif yang diatur dalam P3B untuk
menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan P3B. Jadi, pembentukan APA
dilakukan melalui MAP dalam hal APA dimaksud melibatkan Otoritas Pajak Negara Mitra
atau Yurisdiksi Mitra P3B.
Secara formal, Indonesia telah menggunakan APA sejak 2010, dengan diterbitkannya
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010. Akan tetapi, Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 belum mengatur secara jelas prosedur pembentukan
dan pelaksanaan APA. Tata cara pembentukan dan pelaksanaan APA baru diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015.
APA memiliki keuntungan bagi kedua belah pihak, baik bagi Wajib Pajak maupun
DJP selaku otoritas pajak. Dengan membuat kontrak harga transfer (APA) dengan otoritas

17
pajak, Wajib Pajak akan memperoleh dua keuntungan utama, yaitu kepastian dalam transfer
pricing dan penghematan biaya dan waktu. APA akan membuat Wajib Pajak lebih nyaman
dalam menjalankan kegiatan usahanya karena sudah ada batasan yang telah disepakati dengan
otoritas pajak mengenai besarnya transfer price yang dianggap wajar. Hal ini akan
mengurangi potensi terjadinya sengketa pajak. Karena potensi terjadinya sengketa pajak
dapat dikurangi dengan adanya APA, maka Wajib Pajak dapat menghemat biaya dan waktu.
Dengan melakukan APA dengan Wajib Pajak, DJP akan mempunyai dasar yang lebih kuat
dalam penentuan transfer price yang wajar. Jika Wajib Pajak melakukan transfer pricing
dengan harga di bawah APA, maka DJP sudah dapat menyimpulkan bahwa Wajib Pajak
melakukan transfer pricing untuk penghindaran pajak. Di sisi lain, APA
juga dapat meningkatkan basis data perpajakan DJP karena APA paling sedikit memuat
tentang para pihak yang memiliki hubungan istimewa, transaksi yang termasuk dalam ruang
lingkup APA, metode transfer pricing, pembanding, jangka waktu berlakunya APA, asumsi
kritikal, dan penyesuaian transfer pricing. Sementara itu, dengan melakukan APA yang
melibatkan otoritas pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B, DJP dapat menghindari
terjadinya pengenaan pajak berganda terhadap Wajib Pajak.
Ketentuan dalam APA harus dibuat dengan sejelas mungkin agar tidak terjadi
perbedaan penafsiran antara DJP dan Wajib Pajak yang berpotensi menurunkan penerimaan
negara. Analisis yang mendalam dan hati-hati perlu dilakukan DJP sebelum menandatangani
APA dengan Wajib Pajak, terutama terkait transaksi yang termasuk dalam ruang lingkup
APA, metode transfer pricing, pembanding, jangka waktu berlakunya APA, asumsi kritikal,
dan penyesuaian transfer pricing.

18
DAFTAR PUSTAKA

Ikatan Akuntansi Indonesia (2015). Modul Chartered Accountant Manajemen Perpajakan.


IAI – Jakarta.

19

Anda mungkin juga menyukai