Anda di halaman 1dari 11

Penciptaan Dan Pengembangan Budaya Organisasi

Budaya organisasi tidaklah statis. Budaya organisasi muncul dan


berubah sesuai tuntutan atas perubahan organisasi itu sendiri. Beberapa
ahli di bidang ilmu organisasi menulis tentang formasi budaya organisasi
dalam konteks yang berbeda. Misalnya , Edgar Schein , Christian Scholt ,
Charles Fombrun dan Meryl Louis.
Formulasi budaya organisasi dari masing-masing ilmuwan tersebut ,
oleh Hodge et al.(2003) merangkum sebagai berikut :

Schein , yang dikenal dengan Scheins Stage of Culture Formation,


yang memiliki penekanan utama pada tingkatan evolusi berakhirnya

budaya.
Scholt, dengan Scholzs Typologi of Culture Formation, yang
mendeskripsikan evolusi budaya meliputi internal dan eksternal

atribut dari budaya.


Frombun, dengan Frombuns Levels of Culture, berargumentasi
bahwa kita harus mempertimbangkan level/kategori yang berbeda
dari setiap budaya, dan bagaimana budaya masyarakat misalnya
dapat berpengaruh besar terhadap budaya organisasi. Frombun
mengingatkan bahwa organisasi perlu mengintegrasikan budaya
yang telah ada, misalnya budaya masyarakat (komunitas) lokal, dan

budaya (nasional).
Louis, dengan Louiss Multiple Cultures menekankan pada lokasi asal
atau kejadian budaya. Elemen yang berbeda dari budaya, dan
bahkan bagian dari budaya yang berbeda dapat muncul dari bagian
atau unit-unit organisasi itu sendiri, dan atau bahkan dapat berasal
dari luar organisasi.
Menurut Robbins (1990), budaya organisasi merupakan persepsi

umum yang diyakini oleh individu dengan berbagai latar belakang dan
tingkatan yang berbeda dalam organisasi, cenderung untuk menjelaskan
budaya organisasi dalam pengertian yang sama.

Pengakuan bahwa budaya organisasi mempunyai sifat yang sama


bukanlah berarti bahwa tidak akan terdapat sub-budaya di dalam budaya
tertentu. Kebanyakan organisasi besar mempunyai sebuah budaya yang
dominan dan sekumpulan sub-sub budaya. Sebuah budaya dominan
mengungkapkan nilai inti yang dimiliki bersama oleh sebagian besar
anggota organisasi.pandangan makro mengena budaya inilah yang
memberikan kepribadian berbeda pada sebuah organisasi. Sub-sub
budaya cenderung berkembang pada organisasi-organisasi yang besar
dan mencerminkan masalah bersama, situasi, atau pengalaman yang
dihadapi para anggotanya. Sub-sub budaya tersebut dapat berbentuk
vertikal maupun horizontal.
Setiap kelompok dalam sebuah organisasi dapat mengembangkan
suatu sub budaya. Tetapi untuk sebagian besar, sub budaya cenderung
ditetapkan oleh penunjukan departemen atau oleh pemisahan secara
geografis. Departemen pembelian misalnya, dapat mempunyai sebuah
sub budaya yang secara khusus dianut dan dirasakan besar oleh anggota
departemen tersebut. Di dalamnya termasuk nilai-nilai inti dari budaya
yang dominan, ditambah dengan nilai-nilai yang hanya berlaku bagi
anggota departemen tersebut. Demikian pula sebuah kantor

atau unit

organisasi yang secara fisik dipisahkan dari kegiatan utama organisasi


tersebut dapat mempunyai kepribadian yang berlainan. Sekali lagi, nilainilai inti budaya pada dasarnya tetap dipertahankan tetapi dimodifikasi
sehingga mencerminkan situasi budaya yang khas dari masing-masing
unit organisasi yang terpisah tersebut.
Dalam perspektif waktu penciptaan budaya organisasi dapat di lihat
dari dua titik waktu, yakni :
i.
ii.

Budaya yang diciptakan pada awal berdirinya suatu organisasi


Budaya organisasi yang diciptakan setelah organisasi didirikan
Penciptaan

budaya

organisasi

pada

wal

berdirinya,

biasanya

diciptakan oleh pendiri (the founding fathers) oeganisasi itu sendiri.


Pendiri dimaksud dapat terdiri dari satu orang atau lebih yang sepakat

untuk

mendirikan

organisasi

dan

sekaligus

merumuskan

atau

menciptakan budaya organisasi yang di bentuknya. Karena itu, budaya


yang diciptakan bersamaan dengan berdirinya organisasi, biasa disebut
sebagai

budaya awal atau disebut pula sebagai budaya inti .

Sebutan ini didasarksn pada anggapan bahwa dalam suatu titik waktu
perjalanan organisasi akan mengalami perubahan atau modifikasi tertentu
tanpa menghilangkan keseluruhan nilai-nilai inti tau nilai-nilai budaya awal
yang telah dibentuk oleh para pendiri atau pencipta sebelumnya.
Bagaimana bentuk perubahan atau modifikasi budaya dimaksud sangat
ditentukan oleh kebutuhan organisasi dalam menyesuaikan diri dengan
dinamika perubahan lingkungan organisasi, baik eksternal maupun
internal organisasi yang bersangkutan. Karena itu, merger , akuisisi
, dan network redesign dapat menyebabkan terjadinya perubahan
budaya organisasi.
Eksistensi budaya organisasi untuk dipertahankan atau tidak,
sangat

ditentukan

oleh

kemampuan

budaya

organisasi

itu

dalam

mengantisipasi perubahan dan perkembangan lingkungan eksternal


organisasi. Dengan kata lain, bahwa barometer yng menentukan apakah
budaya

organisasi

itu

masih

perlu

dipertahankan,

dimodifikasi,

dikembangkan atau di ubah secara keseluruhannya tergantung tingkat


kesesuaiannya dengan tuntutan atau kebutuhan organisasi itu sendiri
dalam konteks perubahan atau perkembangan lingkungan organisasi.
Ketika suatu budaya organisasi sudah dianggap tidak mampu sama
sekali mengakomodir kebutuhan organisasi dalam menyensuaikan dengan
perubahan lingkungannya, maka pada titik inilah budaya organisasi akan
ditinggalkan, kemudian dilakukan penciptaan budaya yang baru. Oleh
karena

itu

penciptaan

budaya

organisasi

ketika

organisasi

telah

berlangsung, lebih bersifat penciptaan budaya baru yang menggantikan


budaya sebelumnya.
Dalam konteks proses pelestarian dan atau sosialisasi budaya
organisasi, oleh Luthans (2002) mengemukakan 7 (tujuh) tahapan proses,
yaitu :

1) Selection of entry-level personnel ( seleksi karyawan baru). Pada


tahap awal ini adalah meliputi kegiatan seleksi karyawan baru. Pada
tahapan ini, organisasi akan menyeleksi orang-orang dengan
menggunakan berbagai standar penilaian termasuk standar nilai
budaya organisasi.
2) Placement on the job (penempatan pada tugas). Dalam konteks
penempatan

seorang

karyawan

pada

suatu

tugas/pekerjaan

tertentu, maka pada saat itulah ia akan diperkenankan bagaimana


nilai-nilai (values) dan norma-norma (norms) dalam organisasi yang
seharusnya diyakini, dipelihara, dikembangkan, dan ditegakkan.
Karena

itu,

pada

tahapan

ini

seseorang

mulai

belajar

untukmemperoleh pemahaman dan pengalaman tentang budaya


organisasi, terutama yang menyangkut tentang

values dan

norms yang berlaku dalam organisasi.


3) Job mastery ( pembelajaran tugas). Proses atau tahapan ini
bertujuan agar karyawan baru memiliki pengetahuan, keterampilan,
pengalaman yang lebih luas baik yang berkaitan dengan bagaimana
ia menyelesaikan tugas/ pekerjaan maupun yang berkaitan dengan
aspek penguatan mental atau penguatan moral kerja yang sesuai
dengan nilai-nilai budaya organisasi. Salah satu aspek pembelajaran
tugas

yang umum dilakukan adalah melalui program pendidkan

dan pelatihan.
4) Measuring and rewarding performance. Inti dari penilaian dan
pemberian imbalan

kinerja (prestasi) karyawan adalah keadilan

, yakni keadilan dalam penilaian da keadilan dalam pemberian


imbalan atas jasa prestasi karyawan. Keadilan dalam hal penilaian
kinerja lebih bersandar pada keadilan prosedural (procedural
justice), sedangkan keadilan dalam pemberian imbalan atas jasa
kinerja

karyawan

lebih

bersandar

pada

keadilan

distributif

(distributive justice).
5) Adherence o important values (kristalisasi nilai-nilai inti organisasi).
Kristalisasi nilai-nilai inti organisasi (nilai inti yang bersumber dari
budaya organisasi) adalah proses (pembelajaran) dimana setiap
karyawan (baru) dapat menerima dan mempercayai atau meyakini

nilai-nilai inti organisasinya. Pada proses inilah setiap orang


diarahkan

untuk

mengenal

lebih

jauh

tentang

kesesuaian-

kesesuaian antara nilai-nilai individualnya dengan nilai-nilai inti


organisasinya. Pada tahap ini pula setiap orang diarahkan untuk
menyadari apa yang dapat diberikan kepada organisasinya dan apa
yang ia harapkan dari organisasinya.
6) Reinforcing the stories and folklore. Setiap organisasi memiliki
sejarah perjalanan dari waktu ke waktu. Esensi waktu dalam
konteks ini adalah

pengalaman tentang keberhasilan dan

kegagalan organisasi dari waktu ke waktu. Esensi dari pengalaman


adalah cerita (story) tentang apa yang telah dilalui dan dicapai
pada masa-masa sebelumnya. Karena itu, cerita atau sejarah
pengalaman keberhasilan umumnya selalu didokumentasikan
untuk di ingat atau di kenang sepanjang perjalanan organisasi,
sedangkan cerita atau sejarah tentang kegagalan cenderung
dilupakan, sehingga kadangkala tidak ditonjolkan dalam catatan
sejarah perjalana organisasi.
7) Recognition and promotion. Pada tahap ini adalah merupakan tahap
akhir dari suatu siklus proses pembelajaran orang-orang dalam
organisasi.

Dalam

konteks

ini,

setiap

orang

diarahkan

dan

seharusnya ia dapat memahami peran, dan karir idividualnya.


Kesepahaman

antara

peran

dan

karir

yang

diekspektasikan

karyawan dengan apa yang dikonsepsikan oleh organisasi, biasanya


termanifestasikan dalam wujud promosi . Promosi dimaksud
adalah penempatan seseorang pada suatu jabatan/tugas/pekerjaan
yang lebih tinggi atau yang lebih sesuai dengan peran yang
sesungguhnya diharapkan oleh organisasi terhadap seseorang.
Setiap karyawan yang akan dipromosikan pada suatu jabatan/tugas
tertentu

umumnya

diberi

pendidikan

dan

pelatihan

tentang

berbagai aspek kerja termasuk budaya kerja pada unit kerja di


mana

ia

akan

pengembangan

dipromosikan.
atau

Dengan

pelestarian

demikian,

budaya

keberhasilan

organisasi

sangat

ditentukan pula oleh kebeerhasilan oeganisasi dalam menjalankan


kebijakan promosi yang sesuai dengan apa yang diekspektasikan

oleh karyawan, dengan asumsi bahwa nilai-nilai keadilan dalam


kebijakan promosi itu adalah bersumber dari budaya organisasi.
Oleh sebab itu dapat ditarik kesimpulan bahwa proses pembelajaran
budaya

organisasi

dalam

arti

proses

pengenalan,

pemahaman,

penerusan, dan pengembangan budaya organisasi adalah melalui fungsifungsi manajemen sumberdaya manusia (humsn resources management
functions).

5.Pengelolaan Budaya Organisasi


Kotter da Haskett (1992) menyatakan bahwa elemen kritis dalam
keberhasilan perubahan budaya adalah kepemimpinan puncak (top
management). Merekalah yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi
ata mengarahkan setiap anggota organisasi untuk menyesuaikan segala
beliefs, values, norms, dan berbagai atribut yang menjadi pandangan
hidup organisasi.
Dapat tidaknya suatu budaya dapat dikelola, msih terdapat
perdebatan dikalangan para ahli. Hatch (1997) mengemukakan bahwa
kelompok post-modernist berpendapat bahwa budaya dapat dikelola.
Alasannya , jika budaya dapat mempengaruhi prilaku melalui normanorma dan nilai-nilai, maka norma dan nilai-nilai dapat dikelola kearah
pembentukan sikap atau perilaku yang dapat meningkatkan prestasi kerja
organisasi. Dengan kata lain bahwa budaya dapat dijadikan sebagai
mekanisme kontrol prilaku anggota organisasi.
Mekanisme kontrol sebagai bagian dari pengelolaan budaya dapat
dilakukan melalui rekruitmen atau seleksi karyawan (Robbins, 1996;
Hatch, 1997; Luthans, 2002), sistem penggajian karyawan (Hatch, 1997;
Luthans, 2002), pendidikan dan pelatihan karyawan (Stoner et al., 1995;
Luthans, 2002). Bahkan secara empirik, Silvester (1999) menemukan
dalam penelitiannya bahwa budaya baru dapat diterima secara positif
para karyawan melalui intervensi program pelatihan secara terpadu.

Pada tahap seleksi, tidak hanya bertujuan untuk mengidentifikasi


pengetahuan, keterampilan dan kemampuan seseorang individu yang
diperlukan untuk menunjang kesuksesan kerja organisasi, melainkan
termasuk juga untuk memastikan apakah individu yang akan diterima
memiliki nilai konsisten dengan nilai-nilai organisasi atau paling tidak
sebagian besar dari nilai-nilai organisasi. Sebaliknya ,para pelamer baik
sengaja

maupun

tidak

sengaja,

mereka

akan

senatiasa

berusaha

mengenal dan mempelajari apakah nilai-nilai budaya organisasi itu


memiliki kesesuaian dengan nilai-nilai individual mereka. Jika mereka
merasa bahwa sebagian besar nilai-nilai organisasi tidak cocok dengan
nilai-nilai individualnya, maka kemungkinan besar pelamar itu akan
mengundurkan diri.
Pengelolaan budaya dapat pula dilakukan pada saat pendidikan dan
pelatihan karyawan baru khususnya. Dalam hal ini, ketika karyawan baru
bergabung

dengan

sebuah

organisasi,

para

manajer

akan

memperkenalkan budaya organisasi baik melalui ucapan (kata-kata)


maupn melalui tindakan mengenai aturan-aturan dan norma-norma baik
tertulis maupun tidak tertulis tentang bagaimana karyawan tersebut
berprilaku

di

dalam

organisasi.

Sejauhmana

tingkat

efektivitas

pengelolaan budaya melalui pendidikan dan latihan sangat ditentukan


oleh kemampuan pemimipin organisasi dalam melakukan sosialisasi
budaya organisasi kepada karyawan.
Cox, Jr., dan Blake (1991) dalam Stoner et al. (1995) mengemukakan
6 (enam) alasan perlunya mengelola budaya perusahaan sehubungan
dengan keanekaragaman budaya individual anggota organisasi. Ke enam
alasan dimaksud adalah sebaga berikut :
1. Argumen biaya, yang menyatakan bahwa jika organisasi tidak baik
dalam mengelola isu keanekaragaman budaya, maka biaya yang
harus

ditanggungnya

akan

lebih

tinggi.

Selain

itu

bila

issu

keanekaragaman tidak ditangani dengan baik, maka orang tidak


akan merasa nyaman seperti yang seharusnya dalam lingkungan
kerja, dan mereka akan banyak menghabiskan waktu serta energi

karena merasa khawatir mengenai diskriminasi, pelecehan dan


sebagainya.
2. Argumen akuisisi sumber daya, menyatakan bahwa perusahaan
yang

menangani

multibudaya

individu

secara

baik

akan

memenagkan persaingan dalam mendapatkan tenaga kerja yang


terbaik.
3.
4. Argumen kreativitas, menyatakan bahwa kelompok yang mempuyai
latar belakang berbeda-beda dapat lebih kreatif daripada kelompokkelompok latar belakang homogen, sepanjang anggota kelompok
dapat menyadari kemungkinan sikap yang berbeda dari orang lain.
5. Argumen pemecahan masalah, menyatakan bahwa heterogenitas
dalam

proses

keputusan

dan

pemecahan

masalah

kelompok

mempunyai potensi untuk menghasilkan keputusan yang lebih baik


melalui perspektif yang lebih luas dan analisis issu kritis yang lebih
lengkap.
6. Argumen flesibilitas sistem, menyatakan bahwa kemapuan dalam
mengelola keanekaragaman budaya individu akan menambah
kemampuan organisasi untuk beradaptasi dan bersikap fleksibel.
Issu eksternal dan internal dapat ditanggapi dengan lebih cepat.
Selain itu, implikasi dari model multi budaya dalam mengelola
keanekaragaman adalah dimana sistem akan kurang menentukan,
kurang terstandar, dan oleh karena itu harus diciptakan fleksibilitas
yang lebih besar untuk bereaksi pada perubahan lingkungan (yaitu
reaksi harus lebih cepat dan biayanya lebih rendah).

Ke enam argumen tersebut, oleh Cox dan Blake (1991) dalam Stoner et al.
(1995)

merangkumnya

dalam

bentuk

kerangka

pengelolaan

keanekaragaman budaya individual seperti berikut :


PENGATURAN
PIKIRAN MENGENAI
KEANEKARAGAMAN
Masalah atau
peluang?
Tantangan
dihadapi atau
hanya ditangani
Tingkat yang
diterima
mayoritas budaya

Menghargai perbedaan
Menetapkan sisitem nilai
yang paling lazim
Penyertaan budaya

MANAJEMEN
KEANEKARAGAM
AN BUDAYA

SISTEM
MANJ.SDM
-

PERBEDAAN BUDAYA:
- MEMAJUKAN
PENGETAHUAN
DAN PENERIMAAN
- MENGAMBIL
KEUNTUNGAN
DARI PELUANG
YANG
DISEDIAKAN
OLEH
KEANEKARAGAMA

MASALAH PENDIDIKAN
- MEMPERBAIKI
PENDIDIKAN
- MENDIDIK
MANAJEMEN UNTUK
MENGHARGAI
PERBEDAAN

Rekruitmen
PELATIHAN
DAN
PENGEMBA
NGAN
PENILAIA
PRESTASI
KERJA
KOMPENSA
SI DAN
TUJANGAN

KARIR LEBIH TINGGI


YANG MELIBATKAN
KAUM WANITA
- KARIR GANDA
- PELECEHAN
SEKSUAL
- KONFLIK KERJA
- KERJA

HETEROGENITAS DALAM
RAS/ETNIK/KEBANGSAAN
- PENGARUH
KEKOMPAKAN,
KOMUNIKASI, KONFLIK,
SEMANGAT PENGARUH
IDENTITAS KELOMPOK
PADA INTERAKSI (YAITU
STEREOTIPE)
- PRADUGA
(RASISME,ETNOSENTRIS
ME)

Berdasarkan berbagai penjelasan tentang budaya organisasi yang


telah dikemukakan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1) Budaya oeganisasi merupakan suatu konsep yang bersifat abstrak,
karena itu terdapat banyak definisi yang selalu menyertainya. Akan
tetapi ada kesepakatan bahwa budaya organisasi adalah suatu
sistem tata nilai dari makna bersama yang diterima secara kolektif
sebagai petunjuk bagi setiap individu dalam bersikap di dalam
organisasi. Makna bersama tersebut lahir dari sebuah asumsi dasar
(basic assumption) yang dikembangkan oleh suatu kelompok atau
organisasi yang mencerminkan kepercayaan, nilai-nilai, normanorma
2) Budaya yang efektif adalah budaya yang mampu berfungsi sebagai
direction,

pervasiveness,

strength,

dan

sebagai

pembentuk

flexibility bagi organisasi dlam mengembangkan potensinya untuk


mencapai

tujuan,

beradaptasi

dengan

perubahan

lingkungan,

sekaligus pembentuk motivasi dan daya inovasi bagi segenap


anggotanya untuk mencapai keunggulan kompetitif (competitive
advantage) jangka panjang.
3) Budaya organisasi bukanlah sesuatu yang bersifat tidak adaptif ,
selain akan menjadi beban atau penghalang terjadinya perubahan,
juga dapat menjadi penghalang daya inovasi individual, dan menjadi
penghambat daya kompetisi organisasi ketika berhadapan dengan
lingkungan eksternal yang selalu berubah secara dinamis.
4) Budaya organisasi bukanlah sesuatu yang bersifat statis atau
permanen sepanjang hidup organisasi. Budaya dapat diciptakan
atau diubah dan dikelola sesuai dengan perubahan tuntutan
lingkungan

organisasi.

dikembangakan

agar

Budaya
dapat

organisasi

menjadi

dapat

penunjang

dikelola

dan

terbentuknya

kondisi internal organisasi yang solid dan dinamis, pembentuk sikap


kreatif,

motivasi,

dan

komitmen

bersama

sebagai

strategi

pencapaian tujuan organisasi jangka panjang.


5) Budaya dapat dikelola mulai dari tahapan seleksi atau rekruitmen
karyawan,
penggajian,

pendidikan
dan

dan

promosi

pelatihan,
jabatan.

penempatan,
Sejaumana

sistem

efektivitas

pengelolaan budaya melalui tahapan atau cara tersebut sangat


ditentukan oleh kemampuan para pemimpin organisasi dalam
melakukan sosialisasi atau pembelajaran budaya organisasi yang
ingin ditegakkan.

Anda mungkin juga menyukai