Anda di halaman 1dari 12

Nama : Listia Ocktavia

NPM : 161103040341
Kelas : Manajemen Reguler 4 C
No. HP : 085692759383

Soal-soal UTS Budaya Organisasi

1) Jelaskan dengan rinci bagaimana cara memahami budaya organisai ?


2) Berikan pandangan anda tentang dominasi budaya pada perusahaan ?
3) Jelaskan dengan rinci budaya yang kuat/strong culture atau budaya yang lemah/weak
culture. Perlihatkan perbedaan dan persamannya !
4) Jelaskan pandangan anda tentang mitos budaya organisasi !
5) Jelaskan dengan rinci tipe budaya organisasi yang baik pada perusahaan manufaktur !
6) Jelaskan 3 tingkat budaya organisasi
1. visible
2. Invisible
3. Asumsi
7) Berikan pandangan anda tentang customer service culture dan safety culture !
8) Jelaskan dengan rinci karakteristik budaya organisasi !
9) Berikan pandangan anda tentang 3 konsep value (nilai) pada budaya organisasi !
10) Empat fungsi budaya organisasi secara internal yang mendukung kinerja organisasi !
Jawaban UTS Budaya Organisasi
1) Untuk memahamai budaya organisasi maka kita perlu untuk mengetahui dulu asumsi
dasar memahami manusia dalam organisasi, yakni :
1. Setiap manusia mempunyai tujuan dalam hidupnya yang mewarnai setiap gerakan dan
tindakannya baik diluar maupun didalam organisasi.
2. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, manusia berperilaku dan bertindak yang
cenderung serupa atau ajeg sebagai pola normatif (patten for behavior) atau sebagai
sesuatu yang sudah membudaya (patten of behavior).
3. Tindakan atau perilaku manusia (individu) tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor
yang dapat membentuk perilaku dan tindakannya itu sendiri baik ketika individu akan
memasuki organisasi dalam organisasi maupun akan keluar dari organisasi.
4. Perilaku manusia tidak selamanya tetap, tetapi bisa berubah baik dalam jangka pendek
maupun dalam jangka panjang.
5. Perilaku manusia adalah akibat yang diarahkan oleh tujuan dan dapat diamati dan
diukur serta dapat dimotivasi dan didorong.
Kemudian untuk mendapatkan gambaran utuh dan memahami mengenai budaya
suatu organisasi, dapat dilakukan dengan cara menilai suatu organisasi berdasarkan
karakteristik-karakteristik budaya organisasi tersebut. Masing-masing dari karakteristik
tersebut berada dalam suatu kontinum mulai dari yang rendah sampai yang tinggi.

2) Sebagian besar organisasi memiliki budaya dominan/dominant culture dan banyak sub-
budaya/sub-culture. Budaya dominan mengungkapkan nilai-nilai inti yang dimiliki
bersama oleh mayoritas anggota organisasi, sedangkan sub-budaya cenderung
berkembang di dalam organisasi besar untuk merefleksi masalah, situasi, atau
pengalaman sama yang dihadapi oleh pra anggotanya.
Sub budaya ini biasanya muncul di tingkat departemen dan disebabkan oleh faktor
geografis. Sub-budaya mencakup nilai-nilai di seluruh organisasi. Misalnya departemen
pemasaran memiliki sebuah sub-budaya yang dimiliki bersama secara unik oleh para
anggota departemen tersebut. Sub-budaya itu mencakup nilai-nilai inti dari budaya
dominan ditambah nilai-nilai tambahan yang unik bagi anggota departemen pemasaran.
Apabila suatu organisasi tidak memiliki budaya dominan dan hanya tersusun atas
sub-budaya saja, maka budaya organisasi sebagai sebuah variabel independen akan
berkurang secara signifikan, karena tidak ada keseragaman penafsiran mengenai perilaku
yang semestinya dan perilaku yang tidak semestinya. Sesuai dengan definisi budaya,
yaitu sistem makna bersama, maka aspek makna bersama tersebut merupakan alat
potensial yang menuntun dan membentuk perilaku (Robbins dan Judge, 2007) untuk itu
dominasi budaya pada perusahaan juga penting dimiliki perusahaan.

3) Dalam kehidupan sebuah organisasi dapat dibedakan antara budaya organisasi Kuat atau
unggul (strong organization culture) dengan budaya organisasi lemah (Weak oganization
culture). Budaya organisasi yang kuat atau unggul menunjukkan seberapa banyak para
anggota organisasi mengakui dan menjalankan tugas-tugasnya sesuai nilai-nilai yang
ditetapkan organisasi tersebut. Budaya organisasi yang kuat merupakan budaya yang
menganut berdasarkan nilai inti suatu organisasi. Semakin banyak para anggota
organisasi mengakui nilai-nilai inti, maka makin kuat budaya organisasi tersebut.
Sebaliknya, semakin sedikit para anggota organisasi yang menerima dan melaksanakan
ketentuan dan peraturan yang ditetapkan organisasi, maka semakin lemah budaya suatu
organisasi tersebut. Budaya organisasi lemah menunjukkan semakin rendahnya komitmen
para karyawan terhadap suatu organisasi.
Kekuatan budaya organisasi dapat diukur dari sejauh mana budaya tersebut dianut
oleh semua anggota dan sejauh mana anggota organisasi mempercayainya. Semakin
intens budaya organisasi, semakin kuat pengaruhnya pada semua tingkatan dimana
budaya memanifestasikan diri, yaitu mempengaruhi tak sekedar sikap karyawan namun
juga nilai-nilai, asumsi dasar dan keyakinan mereka. Kuat atau lemahnya budaya
organisasi sangat penting karena punya beberapa manfaat bagi organisasi, antara lain
menjadi perekat yang mempersatukan organisasi.
Persamaan budaya kuat dan budaya lemah yakni sama-sama terdapat :
 Distinctive (Ciri Tersendiri)
 Satisfying (Anggota tim mendapatkan kepuasan kerja)
 Protective (Saling memperhatikan)
 Inclusive/exclusive (Anggota tim dihargai)
 Objective (Memiliki sasaran)
 Instructive (Keterampilan pribadi)
 Continious (Konsisten dalam setiap kebijakan)
Perbedaan antara budaya organisasi yang kuat dan lemah dapat dilihat dari tabel
dibawah ini :
Budaya organisasi yang kuat Budaya Organisasi yang Lemah
Budaya yang menanamkan nilai-nilai utama Budaya yang tidak menanmkan nilai-nilaiutama
secara kokoh dan diterima secara luas secara kokoh dan tidak bias diterima secara luas
dikalangan para karyawan serta setiap orang dikalangan para karyawan serta setiap orang
yang bekerja di dalam suatu perusahaan atau yang bekerja di dalam suatu perusahaan atau
organisasi dan memiliki pengaruh yang lebi organisasi sehingga tidak memiliki pengaruh
besar terhadap perilakunya. yang lebih terhadap perilakunya.
Nilai-nilai hanya dianut oleh segolongan orang
Nilai-nilai bias diterima secara luas. saja didalam organisasi, biasanya kalangan
manajemen puncak.
Para karyawan sangat mengidentikkan jati Para karyawan tidak begitu peduli dengan
diri mereka dengan budaya rganisasi. identitas budaya organisasi mereka
Terdapat kaitan yang erat diantara tidak ada kaitan yang kuat diantara perilaku
penerimaan nilai-nilai dan perilaku para para anggota organisasi.
anggota organisasi.

4) Mitos budaya organisasi menurut saya merupakan hal-hal yang juga menjadi faktor
terbentuknya suatu budaya yang menciptakan keberagaman. Namun tidak selalu mitos
tersebut harus dipertahankan keberadaannya, karena terkadang mitos membuat seseorang
berpandangan salah terhadap organisasi yang akhirnya mengakibatkan kesalahan dalam
memahami budaya dan pengambilan keputusan. Hal ini beresiko terutama dalam sebuah
perusahaan. Setiap perusahaan tentunya memiliki budaya yang berbeda-beda, kendatipun
ada yang mirip. Setiap budaya perusahaan memiliki karakteristik budaya yang beragam
pula. Dibawah ini 8 Mitos Mengenai Budaya Perusahaan menurut Terrence E. deal dan
allan a. Kennedy
1. Budaya adalah alat yang tepat memecahkan persoalan secara cepat.
Yang bisa diterapkan secara cepat untuk memecahkan masalah adalah strategi
bukan budaya perusahaan. Misalnya, sebuah perusahaan penerbangan menutup rute
tertentu karena tingkat keterisian pesawat rendah. Strategi tersebut bisa saja diubah
bilamana tingkat keterisian pesawat naik kembali.
2. Budaya dan strategi tidak ada hubungannya sama sekali.
Budaya dan strategi perusahaan sejatinya tidak dapat dipisahkan. Strategi
menjelaskan bagaimana cara mencapai tujuan dan budaya perusahaan memastikan
bagaimana karyawan harus berperilaku untuk meraih keberhasilan. Ahli strategi yang
baik biasanya membangun strategi berdasarkan kekuatan alamiah dan budaya
perusahaan yang dimiliki.
3. Budaya menolak semua bentuk perubahan.
Mitos ini tidak tepat karena budaya perusahaan mengalami penyesuaian
mengikuti segala perubahan yang terjadi pada lingkungan. Bilamana nilai-nilai dan
praktik utama sudah tidak lagi dianggap relevan, anggota organisasi akan melakukan
kajian dan pendefinisian ulang budaya perusahaan.
4. Perubahan budaya dapat dikelola.
Mitos ini benar dengan beberapa catatan; perubahan budaya bisa dilakukan jika
anggota organisasi merasa perlu melakukannya dan siap untuk berubah. Perubahan
budaya tidaklah mudah untuk dikelola. Perubahan budaya muncul karena kesadaran
kolektif yang menginginkan perubahan dan hal ini kerap kali memakan waktu.
5. Kepemimpinan yang hebat merupakan kunci untuk menanamkan budaya perusahaan
yang kuat.
Kepemimpinan memang menentukan pembentukan budaya perusahaan yang
kuat. Kepemipinan membentuk lingkungan kerja dimana setiap orang kemudian
mengidentifikasikannya. Kepemimpinan memang kunci membangun budaya yang
kuat, tetapi bukan berarti untuk menanamkan budaya perusahaan diperlukan pimpinan
yang luar biasa.
6. Orang bergantung kepada budaya yang dipahami bahkan ketika sudah tidak relevan
lagi.
Orang berpegang kepada cara lama karena membantu mereka mencapai kondisi
seperti sekarang ini. Status quoseperti ini jika dibiarkan akan sangat berbahaya. Maka,
manajemen perusahaan yang baik harus segala melakukan langkah terencana untuk
mulai mempertanyakan kebijakan-kebijakan yang konvensional.
7. Budaya yang kuat bersifat monolitik.
Budaya yang kuat tidaklah monolitik karena dia dibangun berdasarkan
keberagaman dan dinamika lingkungan yang terjadi.
8. Budaya tidak untuk setiap orang.
Budaya kerja jelas mempengaruhi bagaimana kita berpersepsi, berpikir dan
bertindak. Budaya perusahaan meresap ke setiap individu dalam organisasi dan akan
terus mewarnai perilaku karyawan. Maka, budaya perusahaan harus berlaku untuk
setiap orang. Mereka yang tidak merasa sesuai dengan budaya organisasi pada
akhirnya akan memilih ke luar dari organisasi.

5) Kotter dan Heskett (1992:22) menjelaskan pentingnya kandungan budaya yang cocok
dan serasi dengan kondisi objektif perusahaan dimana perusahaan itu berada. Artinya,
suatu budaya dikatakan baik apabila serasi dan selaras dengan konteks bisnis dalam
karakteristik lingkungan industrinya, dan segmen industrinya yang dispesifikasikan oleh
strategi perusahaan atau strategi bisnisnya. Semakin besar kecocokan dengan lingkungan,
maka semakin baik kinerjanya, sebaliknya semakin kurang kecocokannya dengan
lingkungan, maka semakin jelek kinerjanya. Dengan demikian, tidak ada kriteria umum
untuk menyatakan seperti apa hakikat budaya yang baik dan bersifat satu ukuran untuk
semua, dan berfungsi baik dalam organisasi apapun.
Kritik terhadap tipe budaya organisasi ini adalah bahwa lingkungan organisasi tidak
pernah stabil, melainkan selalu berubah, sehingga budaya yang dianggap cocok pada
kurun waktu tertentu, mungkin tidak akan cocok di waktu yang lain. Implikasinya budaya
organisasi harus selalu mengadaptasikan dirinya dengan tuntutan perubahan dari
lingkungan.

6) Budaya Organisasi ada 3 tingkat :


1. Visible adalah Budaya Organisasi yg tampak, contohnya :“cara berpakaian, simbol-
simbol fisik, perayaan/seremonial, dan tata ruang kantor.
2. Invisible adalah Budaya Organisasi yg tidak tampak, contohnya “ disiplin dan makna
prestasi.
3. Asumsi maksudnya adalah keyakinan yg paling dalam atau asumsi-asumsi yg
tersembunyi, contohnya “adanya keyakinan bahwa atasan tidak pernah salah -anak
buah selalu salah atau konsumen adalah raja.

7)  Budaya service (Service Culture) harus mampu menciptakan ’rasa yang berbeda’
ketika customer mendapatkan pelayanan. Customer harus merasa bahwa mereka
dilayani dengan hati dan tidak sekedar mendapatkan pelayanan step by step
berdasarkan SOP (Standard Operating Procedures) yang baku. Ingat bahwa SOP
hanya merupakan landasan awal supaya tim pelayanan tidak melakukan kesalahan
mendasar dalam melayani customer.
Hal pertama yang harus dilakukan untuk membangun budaya service adalah
menyatukan visi dan misi yang terkait dengan customer serta memberikan dasar yang
benar kepada semua orang di perusahaan tentang arti penting service, mulai dari
pucuk pimpinan hingga staf paling bawah.
Langkah berikutnya adalah melatih orang-orang di perusahaan untuk bisa
saling melayani satu sama lain (internal service) dan mengajarkan tentang cara
memberikan pelayanan yang berkesan kepada semua customer (external service).
Selanjutnya, manajeman harus membuat pengukuran kualitas pelayanan yang telah
dijalankan. Salah satu caranya adalah dengan meminta umpan balik dari customer
sehingga manajemen mengetahui harapan/ ekspektasi customer.
Tahap selanjutnya, manajemen harus melakukan evaluasi dan perbaikan
pelayanan secara terus menerus berdasarkan masukan dari customer. Lalu kembali
melakukan pelatihan ulang kepada pihak terkait.
Dengan reward dan punishment maka semua akan terdorong untuk
menciptakan hal-hal terbaik dalam mewujudkan budaya service.
 “Budaya keselamatan (Savety Culture) suatu organisasi adalah produk dari nilai-nilai
individu & kelompok, sikap, kompetensi dan pola perilaku yg menentukan komitmen,
dan gaya serta kecakapan terhadap program K3 organisasi. Organisasi dengan budaya
keselamatan positif ditandai dengan komunikasi yang didirikan dari saling percaya,
oleh persepsi bersama tentang pentingnya keselamatan, dan dengan keyakinan tentang
keberhasilan langkah-langkah pencegahan.” (ACSNI, 1993)
Guldenmund (2010) mengatakan bahwa budaya keselamatan sebagai aspek–aspek
dari budaya organisasi yang akan mempengaruhi sikap dan perilaku terkait dengan
peningkatan atau penurunan risiko. Model Bandura (1986) tentang determinisme
timbal balik menjelaskan bahwa budaya keselamatan terdiri dari 3 aspek yang saling
terkait, yaitu aspek psikologis, aspek perilaku dan aspek situasional.
Aspek psikologis dari budaya keselamatan sering disebut sebagai "iklim keselamatan
(safety climate)" atau dengan kata lain bagaimana orang merasa tentang keselamatan
dan sistem manajemen keselamatan. Aspek ini berhubungan dengan nilai-nilai
individu & kelompok serta sikap dan persepsi terhadap keselamatan.
Aspek perilaku budaya keselamatan memberikan perhatian pada apa yang dilakukan
orang-orang. Ini termasuk kegiatan yang terkait dengan keselamatan, perilaku, juga
komitmen manajemen terhadap keselamatan.
Aspek situasional mengacu pada apa yang organisasi punya. Ini termasuk misalnya
kebijakan, prosedur, peraturan, struktur organisasi, sistem
manajemen, sistem kontrol dan sistem komunikasi.
Sedangkan bila mengadopsi teori Guldenmund (2010) maka budaya keselamatan
(safety culture) itu sendiri terdiri dari lapisan-lapisan yang dianalogikan seperti
lapisan pada bawang merah dimana lapisan-lapisan tersebut berturut-turut dari luar ke
dalam antara lain :
o Artefak terdiri dari unsur-unsur nyata/terlihat dan diidentifikasi secara verbal
dalam sebuah organisasi. Contoh yaitu poster keselamatan, pesan dan slogan,
dokumen & laporan terkait dengan keselamatan, prosedur kerja & instruksi, cara
memakai peralatan & APD, dll.
o Nilai-nilai yang dianut (Espoused Value) meliputi aspek-aspek pernyataan atau
aspirasi yang dinyatakan oleh organisasi. Hal itu
antara lain pernyataan tertulis atau lisan yang dibuat oleh pengusaha / manajer
(misalnya prioritas tentang tujuan keselamatan sebelum produksi). Nilai2 juga
termasuk sikap (keselamatan) pekerja terhadap : Perilaku, Orang, dan masalah2
K3 di suatu organisasi.
o Asumsi dasar adalah hal yang mendasari keyakinan bersama tentang keselamatan
di antara anggota organisasi. Asumsi ini implisit dan tak terlihat, tapi nyata bagi
anggota. Beberapa contoh asumsi yang terkait dengan keselamatan antara lain
tentang apa yang aman dan apa yang tidak di sekitar tempat kerja, bahaya yang
pekerja hadapi, tentang waktu yang dihabiskan pada keselamatan, tentang apakah
orang2 tertentu yang cenderung menunjukkan perilaku berisiko, tentang sejauh
mana orang harus mengambil inisiatif atau menunggu instruksi & tentang apakah
itu diterima untuk mengoreksi perilaku yang tidak aman orang lain, dll.

8) Budaya organisasi menunjukkan suatu karakteristik tertentu. Victor Tan 2002


mengemukakan bahwa karakteristik budaya suatu organisasi adalah sebagai berikut.
1. Inisiatif individual (Individual Initiative)
yaitu tingkat tanggung jawab, kebebasan dan kemerdekaan yang dimiliki individu.
2. Toleransi terhadap tindakan beresiko (Risk tolerance)
yaitu suatu tingkatan dimana pekerja didorong mengambil resiko, menjadi agresif dan
inovatif.
3. Pengarahan (Direction)
yaitu kemampuan organisasi menciptakan tujuan yang jelas dan menetapkan harapan
kinerja.
4. Integrasi (Integration)
yaitu tingkatan dimana unit dalam organisasi didorong untuk beroperasi dengan cara
terkoordinasi.
5. Dukungan Manajemen (Management support)
yaitu tingkatan dimana manajer mengusahakan komunikasi yang jelas, bantuan dan
dukungan pada bawahannya.
6. Kontrol (Control)
yaitu jumlah aturan dan pengawasan langsung yang dipergunakan untuk melihat dan
mengawasi perilaku pekerja.
7. Identitas (Identity)
yaitu tingkatan dimana anggota mengidentifikasi bersama organisasi secara
keseluruhan daripada dengan kelompok kerja atau bidang keahlian profesional
tertentu.
8. Sistem imbalan (Reward System)
yaitu suatu tingkatan dimana alokasi reward, kenaikan gaji atau promosi, didasarkan
pada kriteria kinerja pekerja, dan bukan pada senioritas atau favoritisme.
9. Toleransi terhadap konflik (Conflict tolerance)
yaitu suatu tingkatan dimana pekerja didorong menyampaikan konflik dan kritik
secara terbuka.
10. Pola komunikasi (Communication patterns)
yaitu suatu tingkatan dimana komunikasi organisasional dibatasi pada kewenangan
hierarki formal.
Sehubungan dengan karakteristik tersebut, setiap karakteristik itu bergerak pada
suatu kontinum dari rendah ke tinggi.

9) Tiga Konsep value :


1. Nilai, yaitu Keyakinan yang dipegang teguh dan tampil dalam tingkah laku.
2. Nilai yg mendukung (Espaused Values) , yaitu Nilai dan norma yang telah dibuat
oleh organisasi. Misalnya Keanekragaman, rasa hormat, dan integritas.
3. Nilai yg diperankan (Enacted Values) , yaitu Nilai dan norma yang dimiliki
karyawan. Misalnya Sejauhmana nilai rasa hormat tercermin dalam perilaku setiap
karyawan.

10) Empat fungsi budaya organisasi secara internal terdiri dari :


1. Memberikan identitas organisasi kepada karyawannya
2. Memudahkan komitmen kolektif
3. Mendukung stabilitas sistem(hubungan) sosial antar personal
4. Memudahkan karyawan memahami tujuan organisasi
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Gibson, Ivancevich, Donnely. 1996. Organisasi, Perilaku, Struktur & Proses. Jakarta: Bina
Rupa Aksara

Sudaryono.2014. Budaya dan Perilaku Organisasi. Jakarta: Lentera Ilmu Cendikia

Suntoyo, Danang dan Burhanudin. 2015. Teori Perilaku Keorganisasian. Yogyakarta: CAPS
(Center Of Academic Publishing Service)

Umam, khaerul. 2012. Perilaku Organisasi. Bandung: CV Pustaka Setia

Web

http://elmagustriyani.blogspot.co.id/2015/07/budaya-organisasi-kuat-dan-lemah_2.html?m=l
(14 April 2018)

http://fanny.staff.uns.ac.id/files/2012/11/MJ104-072153-615-13.pptx
(14 April 2018)

http://rasto.staf.upi.edu/2016/03/15/tipe-budaya-organisasi/
(15 April 2018)

http://repository.unpas.ac.id/5941/5/5.%20BAB%20II.pdf
(14 April 2018)

https://id.linkedin.com/pulse/budaya-keselamatan-safety-culture-fatih-dani-prasetio
(14 April 2018)

https://publikasiilmiah.ums.ac.id/xmlui/bitstream/handle/11617/5844/LUKMAN%20HAKIM
%20BAB%20II.pdf?sequence=3&isAllowed=y
https://www.kanal.web.id/2017/08/8-mitos-mengenai-budaya-perusahaan.html
(14 April 2018)

https://www.scribd.com/doc/30976864/Perubahan-Budaya-Dalam-Organisasi
(14 April 2018)

Anda mungkin juga menyukai