Anda di halaman 1dari 24

KOMUNIKASI

A. Model Dasar Komunikasi


Kebanyakan analisis komunikasi dimulai dengan model dasar proses
komunikasi. Model awal dan yang berpengaruh yang dikeMbangkan Shannon dan
Weaver (1948) mengonsep komunikasi sebagai kegiatan yang muncul antara dua
orang yaitu pengirim dan penerima. Pengirirn megodekan maksud ke dalam pesan
yang akan ditransmisikan ke Penerima. Pesan tersebut dapat dikodekan dalam
bahasa verbal (kata-kata dan kalimat), ekspresi nonverbal (mimik wajah dan
lambaian tangan), atau keduanya. Setelah dikodekan, pesan tersebut kemudian
ditransmisikan (melalui suara atau pernyataan tertulis), melalui saluran (channel)
atau medium (interaksi tatap muka, telepon, e-mail, pesan teks, surat) kepada
Penerima. Orang yang diberi pesan tersebut menerima transmisi secara langsung,
kemudian memecahkannya dan menginterpretasikannya, memberi makna serta
pemahaman kepada penerima.
Dalam komunikasi satu arah, dari pengirim ke penerima, proses ini
merupakan transmisi lengkap. Pengirim yang menulis pesan, membacanya ulang
untuk mengecek kejelasannya, dan mengirirnkannya melalui e-mail kepada
penerima biasanya berasumsi bahwa pesan tersebut diterima dan dimengerti. Akan
lebih berguna untuk menganalisis komunikasi dengan memperlakukan pertukaran
antara dua pihak sebagai proses dua arah yang terus-menerus terjadi hingga menjadi
sebuah siklus diantara individu yang terlibat.

0
Gambar 1. Model Transaksional Komunikasi yang Melibatkan Dua Pihak

Foulger (2004) mengajukan model transaksional yang menangkap sifat dua


arah dari komunikasi dua pihak dalam percakapan yang berlangsung, seperti yang
sering kali muncul dalam negosiasi. Model Foulger memperlakukan pihak yang
berkomunikasi dengan tepat sebagai pencipta dan pemakai pesan, bukan sebagai
salah satunya saja.
Dalam pertukaran dua pihak, seorang komunikan bukanlah penerima pesan
pasif, tetapi orang yang menerima pesan berperan aktif dalam beberapa cara.
Pertama, penerima menerima pesan dan kemudian mencoba memberi makna atas
pesan tersebut. Penerima kemudian menjadi pengirim, mengodekan respon verbal
atau nonverbal. Hal yang panting, komunikator yang merespon pesan, misalnya
orang yang mengirimkan pesan sebelumnya, memiiiki kesempatan bukan hanya
untuk memilih bagaimana mengodekan respon, tetapi juga untuk memilih saluran
atau medium yang digunakan untuk transmisi. Orang-orang sering kali memilih
saluran berdasarkan kebiasaan atau kenyamanan. Komunikator dan negosiator yang
efektif akan sering berhenti sebentar untuk mempertimbangkan implikasi strategis
atas pilihan saluran komumkasi dan tidak hanya sekedar merespon dengan cara
yang sama.
Dalam komunikasi dua arah, keseluruhan transaksi dapat tersusun dari
sesuatu yang sederhana seperti pertanyaa rutin dan anggukan persetujuan oleh
pihak lain, sampai pernyataan fakta dan pendapat yang kompleks dan respons yang
sama kompleksnya saat negosiator membentuk persetujuan komprehensif yang
menuntut penerimaan oleh beberapa pihak yang berdebat.

1
Distorsi dalam Komunikasi
Komunikasi bekerja sampai pada tahapan di mana berbagai jenis informasi
dibagi dengan lengkap dan menyeluruh, dan secara akurat diterima dan dipecahkan,
mengarah ke pemahaman bersama. Sistem komunikasi manusia jarang bekerja
optimal, justru elemen-elemen model yang telah dijelaskan dan hubungan antara
mereka tunduk pada faktor eksternal yang mendistosi pesan dan maknanya yang
membatasi pemahaman dan pengertian bersama. Berikut adalah bagaimana distorsi
muncul dalam komunikasi dengan melihat beberapa elemen individual yang
termasuk dalam proses komunikasi.
1. Komunikator individu (baik pengirim maupun penerima) memiliki tujuan dan
sasaran yang ingin mereka capai. Komunikator A mungkin ingin mengubah
pikiran Komunikator B mengenai sebuah isu atau mengamankan konsesi
menuju ke arah perjanjian yang dinegosiasikan. Komunikator B mungkin
tidak ingin mengubah pikirannya atau membuat konsesi, apalagi ia cenderung
menginginkan agar pengirim mengubah atau membuat konsesi. Semakin
beragam tujuan kedua belah pihak, atau semakin antagonis hubungan mereka,
semakin besar kemungkinan munculnya distorsi dan kesalahan (de Dreu,
Nauta, dan Van de Vliert, 1995).
2. Pesan merupakan bentuk simbolis di mana informasi dikomunikasikan.
Manusia memiliki keunikan dalam kemampuan mereka menggunakan
simbol-simbol untuk mentransmisi informasi. Beberapa pesan merupakan
ungkapan langsung dari makna, sementara pesan yang lainnya merupakan
representasi simbolis. Semakin rentan kita menggunakan komunikasi
simbolis, semakin besar kecenderungan bahwa simbol-simbol yang kita pilih
mungkin kidak mengomunikasikan tujuan kita yang sebenamya dengan
akurat.
3. Pengodean adalah proses di mana pesan dimasukkan ke dalam bentuk
simbolis. Proses pengodean akan dipengaruhi oleh berbagai tingkatan
keterampilan dalam pengodean, misalnya kefasihan berbahasa dan
keterampilan ekspresi tertulis. Distorsi cenderung muncul saat pengirim
mengodekan pesan dengan cara yang menghalangi pemahaman atau
interpretasi akurat oleh penerima.

2
4. Saluran (channel) dan media adalah alat dimana informasi dikirim dan
diterima melaluinya. Pilihan yang tersedia bagi komunikator terdapat dalam
beberapa tingkatan yang berbeda. Pertama, apakah pesan tersebut harus
ditransmisikan secara verbal, nonverbal atau secara simbolis. Kedua, apa
yang harus menjadi saluran untuk transmisi. Ucapan dapat ditransmisikan
melalui tatap muka, telepon, atau online. Terdapat banyak kesempatan untuk
distorsi komunikasi berdasarkan saluran yang digunakan. Pesan yang
kompleks mungkin perlu ditulis daripada diucapkan, sehingga penerima
dapat menggunakannya dengan kecepatannya sendiri dan meninjaunya ulang
jika diperlukan. Interaksi tatap muka dapat menjadi tidak baik ijak jika
dilakukan di lingkungan bising yang dapat meningkatkan distorsi.
5. Penerimaan merupakan proses pemahaman. Jika kedua pihak berbicara
bahasa yang sama atau menggunakan gestur nonverbal yang sama untuk
mengomunikasikan pesan, prosesnya mungkin cukup sederhana. Saat orang-
orang berbicara dengan bahasa yang berbeda, pemecahan kode (pesan)
melibatkan tingkat kesalahan yang lebih tinggi
6. Interpretasi merupakan proses memastikan arti dan pentingnya pesan yang
dipecahkan untuk situasi yang sedang berlangsung. Fakta-fakta, gagasan,
reaksi atau pemikiran yang ada dalam individu bertindak sebagai satu set
filter untuk menginterpretasi pesan yang dipecahkan.
Suatu cara yang penting unluk menghindari beberapa masalah dalam
komunikasi yang telah dijelaskan di atas adalah dengan memberikan umpan balik
kepada pihak lain, menginformasikan pengirim bahwa pesan telah diterima,
dikodekan, dan sesuai dengan anggapan pengirim. Tidak adanya umpan balik dapat
menyebabkan distorsi yang signifikan dalam komunikasi, terutama ketika pengirim
tidak mengetahui apakah pesan sudah diterima, apalagi dimengerti.

B. Apa Saja yang Dikomunikasikan Selama Negosiasi


Sebagian besar komunikasi selama negosiasi bukanlah tentang preferensi
negosiator (Carnevale, Pruitt, dan Seilheimer, 1981). Meskipun campuran konten
integratif versus distributif bervariasi sebagai fungsi dari masalah yang dibahas
(Weingartm Hyderm dan Prietula, 1996), jelas bahwa isi dari komunikasi hanya

3
bertanggungjawab sebagian terhadap hasil negosiasi (Olekalns, Smith, dan Walsh,
1996). Misalnya, satu pihak mungkin memilih untuk tidak mengomunikasikan hal-
hal tertentu (misalnya, alasan ia memilih pemasok yang berbeda), sehingga
lawannya (misalnya, pemasok yang tidak dipilih) dapat saja tidak menyadari
mengapa beberapa hasil muncul. Berikut lima kategori komunikasi yang berbeda
yang terjadi selama negosiasi dan kemudian mempertimbangkan apakah lebih
banyak komunikasi akan selalu lebih baik daripada kurangnya komunikasi.
1. Tawaran, Tawaran Balik, dan Motif
Menurut Tutzauer (1992), mungkin komunikasi yang paling penting dalam
sesi tawar-menawar adalah komunikasi yang menyampaikan tawaran dan tawaran
balik pihak yang terlibat. Tutzauer menyatakan bahwa penawar memiliki preferensi
tertentu dan menunjukkan perilaku rasional dengan bertindak sesuai dengan
preferensi mereka, dan bahwa preferensi tersebut dapat dinyatakan menurut
beberapa skala numerik, yaitu bahwa mereka memiliki derajat utilitas atau nilai
yang berbeda. Preferensi negosiator tercermin dalam ukuran yang baik terhadap
motivasi yang mendasarinya, yang juga dikomunikasikan selama negosiasi, dan
mereka dapat memiliki pengaruh yang kuat terhadap tindakan pihak lain dan hasil
negosiasi. Negosiator dengan motif afiliasi cenderung untuk menyampaikan
konsesi positif yang menurunkan ketegangan atau memfasilitasi kesepakatan.
Sebaliknya, negosiator dengan motif kekuatan lebih cenderung menolak konsesi
dan meningkatkan konflik.
Sebuah kerangka komunikatif untuk negosiasi didasarkan pada asumsi bahwa
(1) komunikasi penawaran merupakan proses yang dinamis, (2) proses penawaran
merupakan proses yang interaktif, dan (3) bebagai faktor internal dan eksternal
mengendalikan interaksi dan memotivasi penawar untuk mengubah tawarannya
(Tutzauer, I992).
2. Informasi mengenai Alternatif
Komunikasi dalam negosiasi tidak terbatas pada pertukaran penawaran dan
penawaran. Aspek penting lainnya yang telah dipelajari adalah bagaimana kegiatan
berbagi informasi dengan pihak lain memengaruhi proses negosiasi. Misalnya,
Pinkley dkk. telah meneliti pertanyaan apakah dengan hanya memiliki alternatif
terbaik terhadap perjanjian yang dinegosiasikan (Best Alternative To a Negotiated

4
Agreement/BATNA) cukup untuk memberikan keuntungan kepada negosiator atas
pihak lain, atau apakah BATNA tersebut perlu dikomunikasikan kepada pihak lain.
Keberadaan BATNA mengubah beberapa hal dalam sebuah negosiasi (1)
dibandingkan dengan negosiator yang tidak memiliki BATNA yang menarik,
negosiator dengan BATNA yang menarik menetapkan harga yang lebih tinggi bagi
dirinya sendiri dibandingkan lawannya, (2) negosiator yang lawannya memiliki
BATNA yang menarik menetapkan poin yang lebih rendah bagi mereka sediri, (3)
ketika kedua pihak menyadari BATNA yang menarik yang dimiliki salah satu
negosiator, negosiator tersebut menerima hasil negosiasi yang lebih positif.
Negosiator dengan BATNA yang menarik harus memberi tahu pihak lain mengenai
hal tersebut jika mereka mengharapkan keuntungan penuh. Gaya dan nada yang
diigunakan untk menyampaikan informasi tentang BATNA yang menarik
merupakan hal yang penting. Membuat pihak lain mengetahui altenatif baik
seseorang dengan sopan dapat memberikan pengaruh tanpa mengasingkan pihak
lain. Di sisi lain, memperlihatkan BATNA yang baik dalam menghadapi pihak lain
dengan cara memaksakan atau merendahkan dapat ditafsirkan sebagai tindakan
agresif atau mengancam.
3. Informasi mengenai Hasil
Dalam sebuah studi simulasi negosiasi, Thompson, Valley, dan Kramer
(1995) meneliti efek dari berbagi jenis informasi yang berbeda, bagaimana pihak
lain mengevaluasi keberhasilannya dalam negosiasi, dan bagaimana hal ini
memengaruhi evaluasi negosiator terhadap keberhasilan mereka sendiri. Penelitian
ini fokus pada bagaimana pihak yang menang dan yang kalah mengevaluasi hasil
negosiasi mereka. Thompson dkk. menemukan bahwa pemenang dan yang kalah
mengevaluasi sendiri hasil mereka dangan cara yang sama ketika mereka tidak
mengetahui sebaik apa yang telah dilakukan pihak lain, namun jika mereka
menemukan bahwa negosiator yang lainnya telah bekerja dengan lebih baik, atau
cukup puas dengan hasilnya, maka negosiator merasa bahwa basil mereka sendiri
kurang positif. Negosiator harus berhati-hati mengenai pembagian hasil mereka
atau bahkan reaksi positif mereka terhadap hasil dengan pihak lain, terutama jika
mereka akan bernegosiasi lagi dengan pihak tersebut di masa mendatang.

5
Negosiator harus mengevaluasi keberhasilan mereka sendiri sebelum mempelajari
evaluasi pihak lain terhadap hasil.
4. Akun Sosial
Tipe lain dari komunikasi yang terjadi selama negosiasi terdiri atas akun
sosial yang digunakan negosiator untuk menjelaskan sesuatu kepada pihak lain,
terutama ketika negosiator perlu untuk mejustifikasi berita buruk. Sebuah tinjauan
literatur oleh Sitkin dan Bies (1993) menunjukkan tiga penjelasan penting (1)
penjelasan keadaan mitigasi, dimana negosiator menunjukkan bahwa mereka tidak
memiliki pilhan kecuali mengambil posisi yang mereka ambil, (2) penjelasan
keadaan pembebasan tuduhan, di mana negosiator menjelaskan posisi mereka dari
sudut pandang yang lebih luas, menyatakan bahwa sementara posisi mereka saat itu
terlihat negatif, hal tersebut berasal dari motif yang positif (misalnya, kesalahan
yang jujur); dan (3) pembingkaian ulang penjelasan, dimana hasil dapat dijelaskan
dengan mengubah konteks (misalnya, kerugian jangka pendek untuk keuntungan
jangka panjang). Negosiator yang menggunakan beberapa penjelasan cenderung
mendapatkan hasil yang lebih baik dan bahwa efek negatif dari hasil yang buruk
dapat diatasi dengan mengomunikasikan penjelasan bagi mereka.
5. Komunikasi mengenai Proses
Beberapa komunikasi adalah mengenai proses negosiasi itu sendiri, seberapa
baik negosiasi tersebut berjalan atau prosedur apa saja yang mungkin diadopsi
untuk memperbaiki situasi. Beberapa komunikasi ini mengambil bentuk yang
tampaknya basa-basi yang mencairkan suasana atau membangun hubungan antara
negosiator. Terdapat bukti bahwa interaksi yang meningkatkan aktivitas berbagi
kognisi dan berbagi identitas di antara negosiator sebelum mereka membenamkan
diri dalam tugas mereka mengarah pada hasil integratif yang lebih baik (Swaab,
Postmes, van Beest, dan Spears, 2007). Beberapa komunikasi mengenai proses
tidak hanya membantu, tetapi juga penting, seperti ketika konflik semakin intensif
dan negosiator membiarkan terjadinya risiko permusuhan di atas kemajuan.
Pembahasan tentang apa itu komunikasi dalam negosiasi dengan tiga
pertanyaan kunci, yaitu sebagai berikut.
a) Apakah Negosiator Bersifat Konsisten atau Adaptif?

6
Negosiator yang efektif mampu menyesuaikan strategi mereka dan
mengacu ke situasi penawaran tertentu. Namun sementara hal ini mungkin
merupakan saran yang baik, penelitian menunjukkan bahwa ketika tiba pada
pola komunikasi, negosiator lebih cenderung untuk konsisten terhadap
strategi mereka dibandingkan dengan memvariasikan pendekatan mereka.
Ketika tiba saatnya untuk membuat pilihan mengenai komunikasi, banyak
negosiator memilih untuk tetap menerapkan pilihan yang sudah biasa
dibandingkan mencoba berimprovisasi.
b) Apakah Hal-hal yang Disebutkan di Awal Negosiasi Berguna?
Sejumlah kecil komunikasi dalam pertemuan negosiasi dapat memiliki
efek besar pada hasil yang dimunculkannya. Curhan dan Pentland (2007)
mengeksplor ide bahwa “irisan tipis” dari negosiasi memiliki pengaruh besar
terhadap kesepakatan yang dinegosiasikan yang akhirnya dicapai kedua
pihak. Dengan simulasi eksperimen negosiasi dua pihak, mereka menemukan
bahwa bagi beberapa negosiator (dengan peran berstatus tinggi), waktu
berbicara selama lima menit pertama memprediksikan seberapa baik yang
mereka lakukan dalam negosiasi. Namun, penelitian mereka juga
menunjukkan bahwa nada percakapan selama lima menit pertama itu penting,
semakin negosiator berbicara dengan penekanan, memvariasikan nada dan
volume suara, semakin buruk yang mereka lakukan dan semakin baik yang
pihak lain lakukan. Dengan kata lain, mengontrol di awal negosiasi memang
membantu, tetapi tidak dengan mendominasinya dengan komunikasi yang
emosional.
c) Apakah Lebih Banyak Informasi Selalu Lebih Baik?
Beberapa penelitian menyatakan bahwa menerima terlalu banyak
informasi selama negosiasi dapat saja merugikan negosiator. Negosiator yang
mengetahui keinginan kedua belah pihak dengan lengkap dapat mengalami
kesulitan dalam menentukan hasil yang adil dibandingkan negosiator yang
tidak memiliki informasi tersebut. Brodt (1994) menyimpulkan bahwa
memiliki lebih banyak informasi dari dalam dapat meningkatkan kekuatan
negosiator, mengusulkan bahwa efek informasi adalah kelemahan terbatas
sampai keadaan yang lebih spesifik.

7
Meskipun demikian, studi eksperimen oleh O’Connor (1997)
menunjukkan bahwa memiliki informasi lebih banyak tidak secara otomatis
menghasiikan hasil yang lebih baik. Berpartisipasi dalam simulasi negosiasi
manajemen serikat mengenai kontrak kerja yang melibatkan masalah
integratif dan kompatibel dimana kedua belah pihak menginginkan hasil yang
sama. Mereka bernegosiasi dalam berpasangan yang didorong untuk
kooperatif atau individualistis. O’Connor menemukan bahwa pasangan
kooperatif bertukar lebih banyak informasi dibandingkan pasangan
individualistik, tetapi sejumlah informasi tersebut tidak meningkatkan
akurasi persepsi masing-masing mengenai keinginan pihak lain secara
keseluruhan. Hasil penelitian O’Connor menyatakan bahwa pengaruh
penukaran informasi akurat dalam hasil negosiasi tidak bersifat langsung
seperti yang diharapkan orang-orang, yaitu hanya dengan bertukar informasi
tidak otomatis mengarah ke pengertian yang lebih baik mengenai keinginan
pihak lain atau ke arah hasil yang lebih baik. Justru, pengaruh pertukaran
informasi selama negosiasi tergantung pada jenis masalah yang didiskusikan
dan motivasi negosiasi untuk menggunakan informasi tersebut.

C. Bagaimana Orang-orang Berkomunikasi dalam Negosiasi


Bagaimana negosiator berkomunikasi sama pentingnya dengan apa yang
perlu mereka katakan, sementara itu penelitian telah menguji aspek yang berbeda
mengenai bagaimana orang-orang berkomunikasi dalam negosiasi. Terdapat tiga
aspek yang berhubungan dengan bagaimana komunikasi dalam bernegosiasi.
1. Karekteristik Bahasa
Gibbons, Bradac, dan Busch (1992) menyatakan bahwa negosiasi
merepresentasikan pertukaran informasi melalui bahasa yang mengkoordinasikan
dan mengelola makna. Dalam negosiasi, bahasa beroperasi dalam dua level yaitu
level logikal (untuk proposal atau penawaran) dan level pragmatis (semantik,
sintaksis, dan gaya). Makna yang disampaikan oleh proposisi atau pernyataan
merupakan kombinasi antara sebuah pesan logikal yang ada di permukaan dan
beberapa pesan pragmatis (misalnya, diisyaratkan atau disimpulkan). Dengan kata
lain, bukan hanya yang diucapkan dan bagaimana mengucapkannya yang menjadi

8
hal penting, tapi juga informasi tambahan, tersirat, atau tersembunyi yang
dimaksud, disampaikan, atau ditangkap dalam penerimaan. Pemilihan kata-kata
yang dilakukan negosiator tidak hanya mengisyaratkan sebuah posisi, namun juga
membentuk dan memprediksikan percakapan yang dikembangkan. Simons (1993)
meneliti pola linguistik komunikasi dalam negosiasi, yaitu:
a) Pihak yang pernyataannya mengomunikasikan minat dalam substansi
negosiasi (banyak hal) dan hubungan dengan pihak lain mencapai hasil lebih
baik, solusi yang lebih integratif dibandingkan pihak-pihak yang memiliki
pernyataan yang memiliki perhatian sepenuhnya hanya pada substansi atau
hanya pada hubungan.
b) Pola linguistik pada awal negosiasi membantu untuk mendefinisikan isu
dengan cara yang dapat menunjang para pihak untuk menemukan
kemungkinan integratif.
2. Penggunaan Komunikasi Nonverbal
Kebanyakan apa yang dikomunikasikan orang satu sama lain ditransmisikan
oleh komunikasi nonverbal. Contohnya, termasuk ekspresi wajah, bahasa tubuh,
gerakan kepala, dan nada bicara, hal itu hanya sebagian kecil saja. Beberapa
tindakan nonverbal, yang disebut dengan attending behaviors, merupakan hal yang
sangat penting dalam berhubungan dengan orang lain dalam interaksi yang
terkoordinasi seperti negosiasi. Berikut merupakan pembahasan mengenai
attending behaviors.
a. Membuat Kontak Mata
Orang yang tidak jujur dan pengecut tidak akan mampu melihat mata
orang lain. Pujangga menyatakan bahwa mata adalah cerminan jiwa
seseorang. Peryataan-pernyataan tersebut mengilustrasikan pentingnya
kontak mata. Pada umumnya, kontak mata merupakan salah satu cara untuk
menunjukan bahwa anda memperhatikan dan mendengarkan dan bahwa anda
menganggap mereka penting. Jika ada orang yang tidak melihat anda saat
anda berbicara, anda mungkin bertanya-tanya apakah mereka mendengarkan
atau tidak. Tentu saja sangat mungkin untuk mendengarkan dengan baik
tanpa melihat orang yang berbicara; kenyataannya, mungkin lebih mudah
untuk melihat kea rah lain karena anda akan fokus pada kata-kata yang

9
diucapkan dan tidak teralihkan oleh infomasi visual. Namun,
permasalahannya adalah dengan tidak membuat kontak mata, anda tidak
memberikan isyarat bahwa Anda terlibat dan mendengarkan orang lain.
Meskipun demikian, kita tidak boleh mempertahankan kontak mata
secara terus menerus pada orang lain. Jika tidak, kita akan dituduh
memandangi orang tersebut. yang biasanya mengarah pada kecurigaan
bukannya kepercayaan. Malah, sebaiknya kita kadang-kadang tidak melihat
orang tersebut. Pada umumnya, tempo dalam kontak mata lebih sedikit dan
lebih pendek saat aktif mendengarkan dibandingkan saat berbicara. Saat
berbicara, seseorang kadang-kadang melihat ke arah lain, terutama saat
mencari sebuah kata atau frasa atau saat meraba mengingat-ingat suatu detail.
Menghindari tatapan secara singkat saat berbicara menandakan isyarat
penting pada orang lain bahwa pembicara belum selesai.
Ketika membujuk seseorang, membuat kontak mata merupakan hal
yang penting ketika menyampaikan bagian terpenting sebuah pesan (Beebe.
1980: Burgoon, Coker. dan Coker, 1986; Kleinke, 1986). Dalam hal ini,
sistem pararel verbal dan nonverbal menekankan pada pentingnya pesan yang
dikirimkan Selain itu, seseorang harus mempertahankan kontak mata tidak
hanya saat berbicara, namun juga saat menerima komunikasi (Kellerman,
Lewis. dan Laird, 1989).
Namun demikian, perlu juga diketahui bahwa pola yang dijelaskan di
sini merupakan karekteristik masyarakat Barat. Di bagian lain dunia, terdapat
pola yang berbeda. Di beberapa masyarakat Asia, misalnya, menundukan
pandangan saat orang lain berbicara merupakan tanda hormat (lvey dan
Simek-Downing. 1980).
b. Menyesuaikan Posisi Tubuh
Para orangtua sering kali menyarankan anak-anaknya bagaimana cara
berdiri dan duduk, terutama saat mereka berada dalam situasi formal, seperti
sekolah, gereja, atau pesta makan malam. Perintah “duduk tegak!” sering kali
diiringi dengan “Perhatikan” Di sini, orangtua mengajarkan anaknya nilai
yang diyakini secara luas sikap tubuh seseorang mengindikasikan apakah
orang tersebut memperhatikan lawan bicara atau tidak. Untuk memastikan

10
bahwa anda memperhatikan lawan bicara anda, tegakkan tubuh anda.
bersandar sedikit ke depan, dan hadapi lawan bicara anda secara langsung
(lvey dan Simek-Downing, 1980). Jika anda menerima dan menyetujui pesan
lawan bicara, perlu diperhatikan untuk tidak menunjukan sikap tidak hormat
melalui sikap tubuh dengan bungkuk, berbalik, atau mengangkat kaki ke atas
meja (Stack dan Burgoon, 1981). Sebaliknya, menyilangkan tangan.
menganggukan kepala, mengerutkan dahi, dan mengerutkan alis umumnya
dapat menandakan penolakan atau ketidaksetuiuan yang sangat kuat
(Nierenberg dan Calero, 1971).
c. Mendukung atau Menolak Apa yang Dibicarakan Orang Lain secara
Nonverbal
Seseorang dapat mengindikasikan perhatian dan minat terhadap apa
yang dibicarakan orang lain melalui berbagai perilaku sederhana. Anggukan
kepala, isyarat tangan yang sederhana untuk melanjutkan, atau bisikan “he
eh” semuanya untuk mengindikasikan pemahaman dalam memberi tahu
lawan bicara untuk melanjutkan, bahwa anda mendengarkan. Bahkan, anda
dapat membesarkan hati lawan bicara untuk berbicara mengenai banyak hal
dengan cukup menganggukan kepala saat ia berbicara. Kontak mata singkat
atau sebuah senyuman dan anggukan kepala akan menuniukan isyarat yang
membesarkan hati. Sama halnya, kerutan dahi, pandangan marah, gelengan
kepala, atau berpura-pura sakit akan mengisyaratkan penolakan terhadap
pesan lawan bicara.
Komunikasi nonverbal yang dilakukan dengan benar dapat membantu
negosiator mecapai hasil yang lebih baik melalui koordinasi mutual. Drolet
dan Morris (2000) membandingkan hubungan antara negosiator yang
memiliki dengan yang tidak memiliki akses visual satu sama lain selama
bernegosiasi. Mereka mendefinisikan hubungan sebagai “keadaan positivitas
dan minat satu sama lain yang muncul melalui pertemuan perilaku ekspresif
nonverbal dalam sebuah interaksi”. Hasilnya menyatakan bahwa interaksi
tatap muka menstimulasi hubungan melalui komunikasi nonverbal, yang pada
gilirannya meningkatkan koordinasi dan mengarah ke keuntungan bersama
yang lebih tinggi. Tentu saja. keuntungan-keuntungan ini mungkin akan

11
muncul hanya jika pihak-pihak yang terlibat mampu menginterpretasikan
komunikasi nonverbal secara akurat. Hal ini lebih mudah diucapkan daripada
dilakukan: kemampuan untuk menilai perilaku nonverbal bervariasi sesuai
dengan konteks sosial dan gender di antara faktor-faktor lainnya (Puccinelli,
Tickle Degnam, dan Rosentha, 2003).
3. Pemilihan Saluran Komunikasi
Komunikasi dialami secara berbeda ketika komunikasi tersebut muncul
melalui saluran yang berbeda. Kita mungkin berpikir bahwa negosiasi biasanya
terjadi secara tatap muka asumsi yang ditekankan oleh metafora umum "meja
negosiasi" Namun, kenyataannya adalah bahwa orang-orang bernegosiasi melalui
berbagai jenis media komunikasi: melalui telpon, tulisan, dan lebih banyak lagi
melalui saluran elektronik, seperti e-mail, telekonferensi, pesan instan, dan bahkan
SMS. Penggunaan teknologi infomasi jaringan dalam negosiasi kadang-kadang
disebut sebagai negosiasi virtual (atau juga “e-negotiation”). Penggunaan saluran
tertentu membentuk pandangan tugas komunikasi secara praktis dan norma
berdasarkan perilaku yang sesuai; sehingga, variasi saluran memiliki pengaruh
potensial yang penting terhadap proses dan hasil negosiasi (Bazerman, Curhan,
Moore, dan Valley, 2000: Lewicki dan Dmeen, 2002).
Untuk tujuan kita di sini, variasi kunci yang membedakan saluran komunikasi
yang satu dengan yang lainnya adalah bandwidth sosial Barry dan Fulmer, 2004)
kemampuan saluran untuk membawa dan menyampaikan isyarat-isyarat sosial dan
relasional dari pengirim ke penerima yang melampaui teks literal dari pesan itu
sendiri. Bandwidth sosial yang lebih besar mengandung arti bahwa sebuah saluran
dapat menyampaikan lebih banyak isyarat yang mengandung isi sosial, relasional,
atau simbolis. Misalnya, sebagai alternatif untuk interaksi tatap muka, telepon
menjaga kemampuan seseorang untuk menyampaikan isyarat sosial melalui
perubahan nada suara, tetapi mengorbankan kemampuan berkomunikasi melalui
ekspresi walah atau sikap tubuh. Dalam komunikasi tertulis, hanya terdapat kata-
kata dan simbol dalam kertas, meskipun pilihan kata seseorang dan cara kata-kata
tersebut disusun untuk dapat menyampaikan nada, (in)formalitas, dan emosi.

12
E-mail, sebagai sebuah jenis komunikasi personal dan organisasional yang
umum, dapat dipandang sebagai komunikasi tertulis jenis lain yang kebetulan
melibatkan transmisi elektronik. Meskipun demikian, terdapat perbedaan penting
antara e-mail dan komunikasi tertulis jenla lain. Banyak orang, yang
memperlakukan e-mail sebagai media yang sangat informal, merasa nyaman
mengirimkan pesan yang secara ragam atau tata bahasa tidak dipoles dalam situasi
(misalnya pekerjaan) di mana mereka tidak akan pernah mengirimkan komunikas
tertulis yang ditulis dengan ceroboh dalam secarik kertas. Beberapa orang
menggabungkan emotikon berbasis teks untuk menyampatkan isyarat emosional
sosial dalam pesen mereka. Penelitian awal dalam komunikasi interpersonal dan
kelompok kecil melalui komputer mengindikasikan bahwa kurangnya isyarat sosial
menurunkan halangan komunikator dan mengarah pada perilaku berkomunikasi
yang lebih agresif yang tidak dibatasi oleh norma-norma sosial. seperti flaming-
istilah yang secara umum merujuk pada komunikasi permusuhan atau penghinaan
(Sproull dan Kiesier, 1986).
Memperlakukan e-mail hanya sebagai alat lain untuk komunikasi tertulis
secara analisis sederhana karena interaksi e-mail sering kali mengganti komunikasi
lain yang muncul melalui telepon, tatap muka, atau bahkan tidak sama sekali. Oleh
karena itu, tidaklah cukup dengan hanya menanyakan apakah komunikasi e-mail
berbeda dengan menulis konvensional, kita juga perlu memahami bagaimana
interaksi (seperti negosiasi) terpengaruhi ketika orang memilih untuk menggunakan
e-mail dibandingkan komunikasi melalui saluran dengan bandwith sosial yang lebih
tinggi.
Peneliti telah meneliti pengaruh saluran pada umumnya, dan e-mail pada
khususnya, terhadap proses negosiasi dan hasil yang dicapai selama dekade
terakhir. Sayangnya, hanya “terdapat sedikit temuan yang konsisten yang menunjuk
pada pengaruh yang jelas. Kita mengetahui bahwa pihak yang berinteraksi dapat
lebih mudah mengembangkan hubungan personal melalui komunikasi tatap muka
dibandingkan melalui saluran lain (Droiet dan Morris, 2000) dan bahwa negosiator
tatap muka cenderung memberikan infomasi dengan benar, meningkatkan
kemampuan mereka untuk mencapai keuntungan bersama (Valley, Moag, dan
Bazerman, I998). Penelitian telah menemukan bahwa negosiasi melalui saluran

13
tertulis cenderung berakhir dengan kebuntuan dibandingkan negosiasi tatap muka
atau telepon (Valley, dkk., I998), meskipun upaya untuk memperluas penelitian ini
ke e-mail tertulis tidak menghasilkan temuan yang jelas (Crown, 1999).
Terdapat juga bukti bahwa negosiator e-mail mencapai kesepakatan yang
lebih adil (sebuah divisi sumber daya yang seimbang) dibandingkan negosiator
tatap muka (Croson, I999). Menurut Croson, hal ini mungkin terjadi karena
komunikasi elektronik "menyamaratakan lapangan bermain antara negosiator kuat
dan negosiator lemah“. Dengan memberikan individu kesempatan untuk
mempertimbangkan lebih matang pesan pihak lain, dan untuk mengkaji ulang serta
merevisi komunikasinya sendiri, e-mail dapat juga membantu pihak yang kurang
terampil dalam hubungan interpersonal untuk meningkatkan kinerjanya, terutama
ketika alternatif lainnya adalah dengan berkomunikasi secara spontan (tatap muka
atau telepon) dengan pihak lain yang lebih terampil, Dengan menganalisis tindakan
pasangan-pasangan yang bernegosiasi melalui internet. van Es, French, dan
Stellmaszek (2004) menemukan bahwa negosiator online sering kali membaca dan
mengkaji ulang asumsi dan pernyataan terdahulu.
Moore, Kurtzberg. Thompson dan Morris (1999) mengkaji alasan mengapa
negosiasi melalui e-mail berakhir buntu. Dalam eksperimen mereka, mahasiswa
bernegosiasi melalui email dengan mahasiswa lain, baik dari universitas yang sama
(pengelompokan 'in-group') maupun dari uninversitas lain (pengelompokan “our-
group”). Selain itu, beberapa negosiator memberikan informasi personal mengenai
diri mereka kepada pihak lain; dan yang lainnya tidak. Mereka menemukan bahwa
kebuntuan cenderung terjadi dalam negosiasi e-mail di mana orang-orang
berkomunikasi dengan pihak “out-group” dan ketika tidak terdapat informasi
personal yang seimbang. Penelitian lain menunjukan, mungkin tidak mengejutkan,
bahwa mencapai kesepakatan dengan e-mail menjadi lebih sulit seiring
bertambahnya pihak yang terlibat. Kurtzberg, Dunn-Jensen, dan Matsibekker
(2005) menemukan tingkat kebuntuan yang sangat tinggi dalam simulasi negosiasi
empat pihak melalui e-mail, dengan banyak partisian mengungkapkan tingkat
ketidakpuasan yang tinggi setelahnya.

14
Sejumlah bukti yang terus bertambah menunjukan kesimpulan bahwa
negosiator yang menggunakan e-mail perlu untuk bekerja lebih keras dalam hal
membangun hubungan personal dengan pihak lain jika mereka ingin mengatasi
kekurangan e-mail yang jika tidak diatasi akan membatasi perjanjian optimal atau
mendorong terjadi kebuntuan. Kekurangan e-mail adalah proses merayu-keluar dari
tugas atau percakapan yang berfokus pada hubungan yang sering muncul di
negosiasi tatap muka (Morris, Nadler.,Kurtzberg, dan Thompson, 2000). Merayu
merupakan kesempatan penting untuk membangun hubungan dan menciptakan rasa
percaya dalm hubungan negosiasi. Kenyataannya, negosiator yang merayu melalui
telepon sebelum bernegosiasi melalui e-mail berakhir dengan perjanjian yang lebih
dinegosiasikan, hasil yang lebih baik, kerja sama yang meningkat, dan kepercayaan
dan optimisme yang lebih besar mengenai hubungan di masa depan dengan pihak
lain (Moms, dkk., 2000). Di salah satu penelitian terakhir, peneliti mencoba
mengatasi masalah hubungan dengan memberi tahu negosiator e-mail mengenai
kesulitan penggunaan e-mail untuk negosiasi dan menginstruksi mereka untuk
mengajukan pertanyaan mengenai lawan mereka sebagai usaha untuk membangun
hubungan personal (Sheehy dan Palanovics, 2006). Hal ini berhasil terdapat lebih
banyak kesepakatan yang mengikuti instruksi ini, dan perjanjian-perjanjian lebih
integratif, menunjukkan bahwa beberapa kekurangan e-mail sebagai salah satu
saluran bernegosiasi dapat diatasi jika negosiator mendapati dan menyesuaikan diri
pada kekurangan-kekurangan tersebut.
Dengan begitu banyak perhatian terhadap e-mail, penting untuk diingat
bahwa terdapat mekanisme online lainnya untuk negosiasi virtual. Satu dari sedikit
penelitian untuk, membandingkan saluran online yang berbeda adalah eksperimen
yang dilakukan oleh Loewenstein, Morris, Chakravarti, Thompson, dan Kopelman
(2005) yang membandingkan negosiasi melalui e-mail dan negosiasi melalui
Instant Messaging (IM). Loewenstein dkk. berargumen bahwa perbedaan penting
dari kedua saluran ini adalah kecepatan pergantian giliran: e-mail merupakan media
dengan 'tempo lambat", sementara IM merupakan media dengan “tempo cepat"
yang lebih menyerupai komunikasi oral yang sebenarnya. Penelitian ini
membandingkan bagaimana kedua saluran ini berbeda saat negosiator memiliki
argumen yang rumit dengan argumen yang sederhana. Dalam sebuah simulasi

15
negosasi penjual pembeli, beberapa penjual disediakan argumen yang rumit untuk
digunakan untuk mendukung posisi mereka; sementara yang lainnya disediakan
argumen yang sederhana. Para peneliti memprediksikan dan mendapatkan bahwa
para penjual bekerja lebih baik dengan argumen yang rumit melalui media yang
“cepat” (IM), tapi tidak melalui media yang 'lambat' (e-mail). Hal ini muncul,
menurut hasil penelitian tersebut, karena penjual yang dipersenjatai dengan
argumen yang rumit lebih mampu mendominasi percakapan dalam lingkungan
yang pergilirannya cepat yang dimiliki IM, dan dengan melakukan hal tersebut
mereka mendapatkan pertimbangan dari pihak lain.
Ringkasnya, negosiasi melalui e-mail dan teknologi jaringan lainnya
menciptakan kesempatan sekaligus tantangan krusial yang akan dipahami dengan
baik oleh negosiator sebelum memilih media tertentu untuk peristiwa penting.
Analoginya, kita dapat memperkirakan beberapa tantangan yang ditimbulkan oleh
negosiasi virtual sebagai 'bias' yang berisiko terhadap kelancaran, kesopanan dan
efektivitas negosiasi. Thompson dan Nadler (2002) mengidentifikasi empat bias
spesifik yang dapat menghambat keberhasilan negosiasi online:
a) Temporal Synchrony bias merupakan kecenderungan negosiator untuk
bertingkah seolah olah mereka berada dalam situasi yang sinkron padahal
sebetulnya tidak.
b) Burned bridge bias adalah kecenderungan individu untuk menerapkan
perilaku yang berisiko selama negosiasi e-mail yang tidak akan mereka
gunakan selama pertemuan tatap muka.
c) Squeaky wheel bias adalah kecenderungan yang dilakukan negosiator melalui
e-mail untuk menggunakan gaya emosional negatif untuk mencapai tujuan.
d) Sinister attribution bias muncul saat seseorang keliru mengasumsikan
perilaku orang lain disebabkan cacat kepribadian saat menghadapi faktor
situasional.
Menciptakan hubungan yang positif dengan partner negosiasi, baik secara
tatap muka atau melalui telepon, dapat membantu menghilangkan bias-bias
tersebut. Sayangnya, merupakan hal yang tidak mungkin untuk memperpanjang
hubungan negosiasi melampaui interaksi online. Pada kasus-kasus tersebut,
merupakan hal yang penting untuk menemukan cara untuk menciptakan konteks

16
akuntabilitas untuk tindakan-tindakan yang dilakukan. Misalnya, melibatkan pihak
ketiga yang netral dalam pertukaran e-mail atau meluangkan waktu untuk merayu
melalui e-mail untuk mengembangkan rasa percaya dan persahabatan sebelum
negosiasi.

D. Bagaimana Cara Meningkatkan Komunikasi dalam Negosiasi


Mengingat bahwa banyak cara berkomunikasi dapat terganggu dan
terdistorsi, kita hanya dapat menerka sejauh mana negosiator dapat mengerti satu
sama lain. Terdapat tiga teknik utama untuk meningkatkan komunikasi dalam
negosiasi: penggunaan pertanyaan, mendengarkan, dan pembalikan peran. Masing-
masing teknik akan dibahas lebih lanjut berikut ini.
1. Penggunaan Pertanyaan
Salah satu teknik yang paling umum untuk mengklarifikasi komunikasi dan
menghilangkan gangguan dan distorsi adalah penggunaan pertanyaan. Nierenberg
(1976) menekankan bahwa pertanyaan merupakan elemen penting dalam negosiasi
untuk memperoleh infomasi; menanyakan pertanyaan yang bagus memungkinkan
negosiator untuk mendapatkan sejumlah besar informasi mengenai posisi pihak
lain, alasan-alasan yang mendukung, dan kebutuhannya.
Nierenberg menyatakan bahwa pertanyaan dapat dibagi ke dalam dua
kategori dasar: pertanyaan yang dikelola dan pertanyaan yang tidak dikelola serta
menimbulkan kesulitan. Pertanyaan yang dikelola menyebabkan perhatian atau
menyiapkan pemikiran pihak lain untuk pertanyaan selanjutnya (“Bolehkah saya
mengajukan pertanyaan?”), mendapatkan infomasi (“Berapa harga yang akan harus
dibayar untuk ini?”) dan menghasilkan pemikiran ("Apakah Anda memiliki saran
untuk meningkatkan hal ini?"). Pertanyaan yang tidak dikelola menyebabkan
kesulitan. memberikan informasi (“Apakah Anda tidak tahu bahwa kita tidak dapat
membiayainya?”), dan membawa diskusi tersebut ke dalam kesimpulan yang salah
(“Tidakkah Anda berpikir bahwa kita telah cukup membicarakan hal ini.”).
Kebanyakan pertanyaan yang tidak dikelola cenderung menghasilkan kemarahan
dan sikap defensif dari pihak lain. Meskipun pertanyaan-pertanyaan ini dapat
menghasilkan informasi, pertanyaan ini dapat membuat pihak lain merasa tidak
nyaman dan kurang bersedia untuk memberikan informasi di kemudian hari.

17
Negosiator juga dapat menggunakan pertanyaan untuk mengelola kesulitan
atau negosiasi yang terhambat. Terlepas dari penggunaan tipikalnya untuk
mengumpulkan dan mendiagnosis infomasi atau membantu pihak lain dalam
menujukan dan mengutarakan kebutuhan dan kepentingannya, pertanyaan juga
dapat digunakan secara strategis untuk mengurai atau menyelesaikan kemacetan
atau jalan buntu yang muncul. Deep dan Sussman (1993) mengidentifikasi sejumlah
situasi tersebut dan menyarankan pertanyaan spesifik untuk mengatasinya. Nilai
dari pertanyaan tersebut tampaknya adalah kekuatan untuk membantu atau
memaksa pihak lain untuk menghadapi akibat atau konsekuensi dari sikapnya, baik
disengaja dan diantisipasi atau tidak sebagai tambahan. Ury (1991) menyarankan
bahwa menggunakan pertanyaan 'mengapa tidak “alih-alih “mengapa" merupakan
cara yang baik untuk membuka kembali negosiasi yang macet. Pihak yang lain
mungkin lebih siap untuk mendiskusikan apa yang salah dalam proposal daripada
apa yang benar; pertanyaaan “mengapa tidak” dan keterampilan mendengarkan
yang hati-hati dengan demikian dapat membantu negosiator mengidentifikasi
keinginan/pilihan pihak lain.
2. Mendengarkan
“Mendengarkan aktif” dan “refleksi” merupakan istilah yang biasa digunakan
dalam profesi di bidang bantuan, seperti konseling dan terapi (Rogers, 1957, 1961).
Konselor menyadari bahwa komunikasi sering kali sarat akan makna yang berbeda
dan konselor harus mencoba untuk mengidentifikasi makna-makna yang berbeda
ini tanpa membuat pihak yang berkomunikasi menjadi marah atau defensif. Selama
beberapa dekade sejak Carl Rogers menganjurkan dinamisme komunikasi kunci ini,
minat terhadap keterampilan mendengarkan, dan terutama mendengarkan aktif,
telah terus-menerus tumbuh, baik dalam konteks umum maupun domain spesifik
bisnis dan organisasi. Terdapat tiga bentuk utama mendengarkan:
a. Mendengarkan pasif melibatkan menerima pesan saat tidak ada umpan balik
bagi pengirim pesan mengenai keakuratan atau kelengkapan penerimaan.
Kadang-kadang. mendengarkan pasif hanya cukup bagi komunikan untuk
mengirimkan pesan. Beberapa orang senang berbicara dan tidak nyaman
dengan keheningan yang panjang. Seorang negosiator yang lawan bicaranya
senang berbicara mungkin menemukan bahwa strategi yang paling baik

18
adalah dengan duduk diam dan mendengarkan, sementara pihak lainnya
mengupayakan posisinya sendiri.
b. Pengakuanmerupakan bentuk kedua dari mendengarkan, sedikit lebih aktif
dibandingkan mendengarkan pasif. Saat mengakui, penerima sesekali
menganggukan kepalanya. mempertahankan kontak mata, atau menyisipkan
respons, seperti "Saya mengerti,” “mm-hmm,” “menarik,” “benarkah?”
"tentu," “lanjutkan," dan semacamnya. Respons-respons tersebut cukup
untuk membuat komunikan terus mengirimkan pesan, namun pengiriman
pesan mungkin salah mengartikan respons tersebut sebagai persetujuan
penerima pesan terhadap posisi mereka, bukannya sebagai pengakuan
penerima telah menerima pesan yang disampaikan.
c. Mendengarkan aktif merupakan bentuk ketiga. Ketika penerima pesan secara
aktif mendengarkan, mereka menyatakan kembali atau memparafrasakan
pesan pengirim dalam bahasa mereka sendiri. Gordon (1977) menyediakan
dialog berikut sebagai contoh mendengarkan aktif:
PENGIRIM : Saya tidak tahu bagaimana saya akan menyelesaikan
masalah yang rumit ini.
PENERIMA : Anda sangat kebingungan dalam menyelesaikan masalah
ini.
PENGIRIM : Tolong, jangan bertanya padaku tentang masalah tersebut
sekarang.
PENERlMA : Kedengarannya Anda sangat sibuk sekarang ini.
PENGIRIM : Kupikir rapat kali ini tidak menyelesaikan masalah apa pun.
PENERIMA : Anda sangat kecewa dengan rapat ini.
Athos dan Gabarro ( l978) mencatat bahwa respons refleksi yang
berhasil merupakan bagian penting dari mendengarkan aktif dan memiliki
elemen elemen: (1) penekanan yang lebih besar dalam mendengarkan
dibandingkan berbicara, (2) merespons ke personal dan bukan pada poin-
poin abstrak (misalnya, perasaan, keyakinan, dan posisi dibandingkan ide-ide
abstrak), (3) mengikuti pihak lain dan bukan memimpin mereka ke dalam area
yang dipikir pendengar sebaiknya dieksplorasi (misalnya, membiarkan
pembicara merumuskan proses pembicaraan), (4) mengklarifikasi apa yang

19
telah diutarakan pembicara mengenai perasaan dan pemikiran mereka dan
bukan menanyakan atau menyarankan apa yang sebaiknya mereka pikirkan
dan rasakan, dan (5) merespons perasaan yang telah diutarakan pihak lain.
Mendengarkan aktif secara luas telah direkomendasikan untuk
komunikasi konseling, seperti konseling karyawan dan peningkatan kinerja
karyawan. Dalam negosiasi, pada awalnya mendengarkan aktif mungkin
dirasa tidak cocok karena, tidak seperti konselor, penerima biasanya memiliki
serangkaian posisi dan berkeyakinan kuat terhadap masalah tesebut. Dengan
merekomendasikan mendengarkan aktif, kami tidak menyarankan bahwa
penerima secara otomatis setuju dengan posisi pihak lain dan mengabaikan
posisi mereka. Justru, kami memandang mendengarkan aktif sebagai
keterampilan yang mendorong pihak lain untuk lebih terbuka mengutarakan
perasaan, prioritas, kerangka acuan, dan, selanjutnya, posisi yang mereka
ambil. Ketika pihak lain melakukannya, negosiator akan lebih memahami
posisi pihak lain; faktor-faktor dan informasi yang mendukungnya; dan cara-
cara bagaimana posisi tersebut bisa dikompromikan, diselesaikan, atau
dinegosiasikan sesuai dengan pilihan atau prioritas mereka.

3. Pembalikan Peran
Komunikasi juga dapat ditingkatkan melalui pembalikan peran, Rapoport
(1964) mengemukakan bahwa terus-menerus berargumen pada satu posisi tertentu
dalam debat mengarah pada “kebutaan keterlibatan,” atau siklus memperkuat diri
dari argumentasi yang membatasi negosiator dalam menyadari kesesuaian yang
mungkin terjadi antara posisi mereka dengan posisi pihak yang lain. Dalam diskusi
mendengarkan aktif, kami menyarankan bahwa salah satu tujuannya adalah untuk
mendapatkan pemahaman mengenai pandangan pihak lain atau kerangka acuan.
Meskipun demikian, mendengarkan aktif masih merupakan proses yang pasti.
Teknik pembalikan peran memungkinkan negosiator untuk memahami lebih
lengkap posisi pihak lain dengan secara aktif mempertahankan posisi tersebut
sampai pihak lain yakin bahwa ia dimengerti. Misalnya, seseorang dapat bertanya
pada Anda bagamana Anda akan merespons situasi yang dihadapi orang tersebut.
Saat melakukannya, Anda dapat memahami posisi orang tersebut, mungkin

20
menerima validitasnya, dan menemukan bagaimana memodifikasi kedua posisi
Anda agar lebih sesuai. Penelitian yang meneliti dampak dan keberhasilan teknik
pembalikan peran (seperti Johnson, 1971; Walcott, Hopmann, dan King, 1977)
menyimpulkan beberapa hal berikut ini:
a. Pembalilun peran efektif untuk menghasilkan perubahan kognitif
(pemahaman yang lebih besar mengenai posisi pihak lain) dan perubahan
sikap (menerima persamaan-persamaan dari kedua posisi).
b. Ketika posisi semua pihak pada dasarnya sesuai satu sama lain, pembalikan
peran kemungkinan menghasilkan hasil yang dapat diterima (perubahan
kognitif dan sikap); ketika posisi semua pihak pada dasarnya tidak sesuai,
pembalikan peran mungkin dapat mempertajam persepsi ketidak sesuaian dan
membatasi perubahan sikap yang positif.
c. Meskipun pembalikan peran dapat menimbulkan pemahaman yang lebih
besar terhadap posisi pihak lain dan menyoroti area kesamaan yang mungkin
terjadi, pembalikan peran tidak selamanya efektif dalam pencapaian
kesepakatan antara pihak-pihak terlibat.
Pendeknya, pembalikan peran dapat merupakan alat yang efektif untuk
meningkatkan komunikasi dan pemahaman yang tepat dan apresiasi terhadap posisi
pihak lain dalam negosiasi. Hal ini dapat menjadi sangat berguna selama tahap
persiapan negosiasi atau selama terjadi desakan saat proses tidak berjalan lancer.
Meskipun demikian, meningkatkan pemahaman tidak selamanya mengarah pada
resolusi konflik, terutama saat komunikasi yang tepat mengungkap ketidaksesuaian
yang mendasar dalam posisi semua pihak.

E. Pertimbangan Komunikasi Khusus pada Penutupan Negosiasi


Karena negosiasi bergerak menuju perjanjian yang hampir dicapai, negosiator
harus memenuhi dua aspek kunci komunikasi dan negosiasi secara
berkesinambungan; penghindaran kesehalan fatal dan pencapaian
penutupan/kesepakatan yang memuaskan dengan cara yang konstruktif.
1. Menghindari Kesalahan-kesalahan Fatal
Mencapai kesepakatan dalam negosiasi pada umumnya melibatkan
pembuatan keputusan untuk menerima tawaran, mengompromikan prioritas, untuk

21
bertukar masalah dengan pihak lain, atau untuk mengombinasikan tahapan-tahapan
tersebut. Proses pengambilan keputusan tersebut dapat dibagi ke dalam empat
elemen kunci: pembingkaian, mengumpulkan inteligensi, membuat keputusan, dan
belajar dari umpan balik (Russo dan Schoemaker, 1989) Tiga elemen pertama telah
kita bahas di bagian lain; elemen keempat, yaitu belajar (atau gagal untuk belajar)
dari umpan balik, sebagian besar merupakan masalah komunikasi, yang melibatkan
“tetap berada di jalur yang diharapkan akan terjadi, secara sistematis
mempertahankan diri dari harapan yang menguntungkan diri sendiri, dan
memastikan bahwa Anda meninjau pelajaran yang diberikan dari umpan balik saat
nanti terjadi hal yang sama” (Russo dan Schoemaker. hlm. 3).
2. Mencapai Penutupan
Gary Karrass (1935), berfokus terutama pada negosiasi penjualan, memiliki
saran spesifik mengenai komunikasi di sekitar akhir negosiasi. Karrass
menganjurkan negosiator untuk, “mengetahui kapan untuk tutup mulut,” untuk
menghindari penyerahan informasi penting yang tidak perlu dilakukan, dan agar
tidak untuk mengucapkan “kata-kata konyol” yang dapat membuatnya menjauh
dari kesepakatan yang hampir dibuat. Sisi lain dari hal ini adalah untuk menyadari
kesalahan yang dibuat pihak lain dan ucapan-ucapan konyol mengenai mereka
sendiri dan apa yang mereka tolak untuk merespons atau teralihkan oleh mereka.
Karrass juga mengingatkan para negosiator perlunya memperhatikan masalah-
masalah di menit terakhir, seperti nit-picking atau “tebakan kedua" oleh pihak yang
tidak berpartisipasi dalam proses tawar-menawar, tetapi memiliki hak atau
tanggung jawab untuk meninjaunya. Karrass menganjurkan negosiator untuk
memperhatikan tantangan tersebut dan siap untuk menangainya dengan percaya
diri. Terakhir, Karrass mencatat pentingnya menamakan perjanjian tersebut ke
dalam bentuk tertulis, menyadari bahwa pihak yang menuliskan kontrak berada
dalam posisi untuk mencapai kejelasan tujuan dan pelaksanan permen.

22
DAFTAR PUSTAKA

Lewicki, Roy J., Bruce Barry, & David M. Saunders. 2012. Negosiasi. Edisi 6. Jakarta:
Salemba Humanika.

23

Anda mungkin juga menyukai