Anda di halaman 1dari 9

1.

Konflik menurut para ahli

Pandangan Konflik Menurut Robbin

Robbin (1996: 431) mengatakan konflik dalam organisasi disebut sebagai The Conflict Paradoks, yaitu
pandangan bahwa di sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di sisi lain
kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk meminimalisasikan konflik. Pandangan ini dibagi
menjadi tiga bagian, antara lain: Pandangan tradisional (The Traditional View). Pandangan ini
menyatakan bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus dihindari.
Konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality. Konflik ini merupakan suatu
hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan di antara orang –
orang, dan kegagalaan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.

Pandangan hubungan manusia (The Human Relation View). Pandangan ini menyatakan bahwa konflik
dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi di dalam kelompok atau organisasi. Konflik dianggap
sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari karena di dalam kelompok atau organisasi pasti terjadi
perbedaan pandangan atau pendapat antar anggota. Oleh karena itu, konflik harus dijadikan sebagai
suatu hal yang bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja organisasi. Dengan kata lain, konflik
harus dijadikan sebagai motivasi untuk melakukan inovasi atau perubahan di dalam tubuh kelompok
atau organisasi.
Pandangan interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini cenderung mendorong suatu
kelompok atau organisasi terjadinya konflik. Hal ini disebabkan suatu organisasi yang kooperatif, tenang,
damai, dan serasi cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu,
menurut pandangan ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimum secara berkelanjutan
sehingga tiap anggota di dalam kelompok tersebut tetap semangat, kritis – diri, dan kreatif. (http://e-
journal.uajy.ac.id/2617/3/2TS13316.pdf)

Stephen P. Robbins dalam bukunya Perilaku Organisasi (Organizational Behaviour) menjelaskan bahwa
terdapat banyak definisi konflik. Meskipun makna yang diperoleh definisi itu berbeda-beda, beberapa
tema umum mendasari sebagian besar dari konflik tersebut. Konflik harus disarankan oleh pihak-pihak
yang terlibat, apakah konflik itu ada atau tidak ada merupakan persoalan persepsi. Jika tidak ada yang
menyadari akan adanya konflik, secara umum lalu disepakati konflik tidak ada. Kesamaan lain dari
definisi-definisi tersebut adalah pertentangan atau ketidakselarasan dan bentuk-bentuki interakis.
Beberapa faktor ini menjadi kondisi yang merupakan titik awal proses konflik.

Menurut Stoner konflik organisasi adalah mencakup ketidaksepakatan soal alokasi sumber daya yang
langka atau perselisihan soal tujuan, status, nilai, persepsi, atau kepribadian. (Wahyudi, 2006: 17).
Sementara itu Daniel Webster mendefinisikan konflik sebagai:

1. Persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain.

2. Keadaan atau perilaku yang bertentangan (Pickering, 2001).


Soerjono Soekanto (dalam Ahmadi, 2009: 281) menyebut bahwa konflik merupakan suatu proses sosial
individual atau kelompok yang berusahan untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak
lawan yang disertai dengan ancaman dan/atau kekerasan. Lebih lanjut Lewis A. Coser (dalam Ahmadi,
2009: 281) berpendapat bahwa konflik adalah sebuah perjuangan mengenai nilai atau tuntutan atas
status, kekuasaan dan sumber daya yang bersifat langkah dengan maksud menetralkan, mencederai
atau melenyapkan lawan.
Gillin dan Gillin (dalam Ahmadi, 2009: 282) melihat konflik sebagai bagian dari proses interaksi sosial
manusia yang saling berlawanan (Oppositional Proces). Artinya, konflik adalah bagian dari proses
interaksi sosial yang terjadi karena adanya perbedaan-perbedaan baik fisik emosi, kebudayaan dan
perilaku. Kemudian Pruit & Rubin (dalam Susan, 2009:9) konflik berarti presepsi mengenai perbedaan
kepetingan (Perceived divergence of interest) atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang
berkonflik tidak dicapai secara simultan. Lebih lanjut dijelaskaan bahwa jika memahami konflik pada
dimensi ini, maka unsur-unsur yang ada didalam konflik adalah persepsi, aspirasi dan aktor yang terlibat
di dalamnya.

Ciri-Ciri dan Tahapan Terjadinya Konflik Menurut Wiyono (1993: 37) ciri-ciri konflik adalah:
1. Setidak-tidaknya ada dua pihak secara perorangan maupun kelompok yang terlibat dalam suatu
interaki yang saling bertentangan. 2. Paling tidak timbul pertentangan antara dua pihak secara
perorangan maupun kelompok dalam mencapai tujuan, memainkan peran dan ambigius atau adanya
nilai-nilai atau norma yang saling berlawanan.
3. Munculnya interaksi yang sering ditandai oleh gejala-gejala perilaku yang direncanakan untuk saling
meniadakan, mengurangi dan menekan terhadap pihak lain agar dapat memperoleh keuntungan
seperti: status, jabatan, tanggung jawab, pemenuhan berbagai macam kebutuhan fisik: sandang-pangan,
materi dan keejahteraan atau tunjangan-tunjangan tertentu: mobil, rumah, bonu, atau pemenuhan
kebutuhan sosio-psikologis seperti: rasa aman, kepercayaan diri, kasih, penghargaan dan aktualisasi diri.

4. Munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat pertentangan yang berlarut-larut.
5. Munculnya ketidakseimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang terkait dengan
kedudukan, status sosial, pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, pretise dan
sebagainya. (Andri Wahyudi, Konflik, Konsep Teori dan Permasalahan, Artikel, hal. 1-15)

Tahapan-tahapan perkembangan kearah terjadinya konflik sebagai berikut:


1. Konflik masih tersembunyi(laten)

Berbagai macam kondisi emosional yang dirasakan sebagai hal yang biasa dan tidak dipersoalkan
sebagai hal yang mengganggu dirinya.
2. Konflik yang mendahului (antecedent condition) Tahap perubahan dari apa yang dirasakan secara
tersembunyi yang belum mengganggu dirinya, kelompok atau organisasi secara keseluruhan, seperti
timbulnya tujuan dan nilai yang berbeda, perbedaanperan dan sebagainya.
3. Konflik yang dapat diamati (perceived conflicts) Munculnya akibat antecedentcondition yang tidak
terselesaikan.
4. Konflik terlihat secara terwujud dalam perilaku (manifest behavior) Upaya untuk mengantisipasi
timbulnya konflik dan sebab serta akibat yang ditimbulkannya, individu, kelompok atau organisasi
cenderung berbagai mekanisme pertahanan diri melalui perilaku.
5. Penyelesaian atau tekanan konflik Pada tahap ini, ada dua tindakan yang perlu diambil terhadap suatu
konflik, yaitu penyelesaian konflik dengan berbagai strategi atau sebaliknya malah ditekan.
6. Akibat penyelesaian konflik Jika konflik diselesaikan dengan efektif dengan strategi yang tepat maka
dapat memberikan kepuasan dan dampak positif bagi semua pihak. Sebaliknya bila tidak, maka bisa
berdampak negative terhadap kedua belah pihak sehingga mempengaruhi produktivitas kerja (Wijono,
1993, 38-41).

2. Konflik yang terjadi pada pembangunan jalan tol di bamda Aceh dengan para pihak

Menurut Abu Ahmadin (2009: 291) Secara umum faktor-faktor penyebab terjadinya konflik sosial adalah
sebagai berikut:a) Perbedaan antar anggota masyarakat, baik secara fisik maupun mental, atau
perbedaan kemampuan, pendirian dan perasaan, sehingga menimbulkan pertikaian atau bentrok antar
mereka.b) Perbedaan pola kebudayaan: seperti perbedaan adat-istiadat, suku bangsa, agama, bahasa,
paham politik, pandangan hidup, sehingga mendorong timbulnya persaingan dan pertentangan bahkan
bentrok di antara anggota masyarakat tersebut.c) Perbedaan status sosial: seperti kesenjangan antara si
kaya dan si miskin, generasi tua dan generasi muda dan sejenisnya.d) Perbedaan kepentingan antar-
anggota masyarakat, baik secara pribadi maupun kelompok, sepeti perbedaan kepentingan politik,
ekonomi, sosial, agama dan sejenisnya.e) Terjadinya perubahan sosial, antara lain berupa perubahan
sistim nilai, akibat masuknya nilai baru yang mengubah masyarakat tradisional menjadi masyarakat
modern, juga menjadi faktor penyebab terjadinya konflik sosial. f) Interdependensi

Suatu keadaan dimana seorang individu dan kelempok yang mengembangkan keinginanannya untuk
mencapai tujuan hidup. Namun kepentingan-kepentingan hidup-hidup masih mengharapkan bantuan
orang lain. Kondisi sosial yang mungkin saja tidak mendukung kebutuhan itu seketika akan menimbulkan
konflik.

Lewis A.Coser (dalam Ahmadi, 2009: 293) membedakan konflik atas dua bentuk, yakni konflik realistis
dan konflik non realistis.
a) Konflik yang realistis berasal dari kekecewaan indvidu atau kelompok atas tuntutan-tuntutan maupun
perkiraan kentungan yang terjadi dalam hubungan sosial.
b) Konflik non-realistis adalah konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan saingan yang antagonistis
(bertentangan, berlawanan), tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketengangan, paling tidak dari
salah satu pihak. Dalam masyarakat tradisional pembalasan dendam, lewat ilmu ghaib merupakan
bentuk konflik non-realistis.
Lebih lanjut Coser menyatakan bahwa dalam satu situasi bisa terdapat elemen konflik realistis dengan
non-realistis. Pemogokan melawan majikan, misalnya dapat betupa sikap atau sifat permusuhan dan
perlawanan yang timbul tidak hanya sebagai akibat dari ketegangan hubungan antara buruh dan
majikan. Sifak dan sikap bisa jadi juga timbul karena ketidakmampuan menghilangkan rasa permusuhan
terhadap figus-figur yang berkuasa. Misalnya figure ayah yang sangat otoriter. Dengan demikian energi-
energi agresif mungkin terakumulasi dalam proses-proses interaksi lain sebelum ketegangan dalam
situasi konflik di redakan. Berdasarkan kedua bentuk konflik diatas, Coser juga membagi konflik menjadi
konflik in-group dan konflik out-group. Konflik in-group adalah konflik yang terjadi dalam kelompok atau
masyarakat sendiri.
Contoh konflik yang terjadi antara anggota dalam satu geng. Sementara konflik out-group adalah konflik
yang terjadi antara suatu kelompok atau masyarakat dengan kelompok atau masayrakat lain. Contoh,
konflik yang terjadi antara satu geng dengan geng lainnya. Ahli lain yakni Ralf Dahrendorf (dalam
Ahmadi, 2009: 294) membedakan konflik atas empat macam, yakni sebagai berikut:

1) Konflik-konflik antara atau dalam peranan sosial. Misalnya antara peranan-peranan dalam kelurga
atau profesi seperti peranan seorang suami dan istri dalam mendapatkan penghasilan.
2) Konflik-konflik antara kelompok-kelompok sosial.
3) Konflik-konflik antara kelompok-kelompok yang teroganisasi dan tidak terorganisasi
4) Konflik-konflik antara satuan nasional, seperti antara partai politik, antara Negara-negara atau
organisasi-organisasi Internasional.

Menurut Ahmadi (2009: 295) dilihat dari segi bentuknya, konflik sosial mempunyai beberapa bentuk,
antara lain sebagai berikut:
1) Konflik pribadi, yaitu pertentangan yang terjadi secara perseorangan seperti pertentangan antara dua
orang teman, suami istri, pedangan, dan pembeli, atasan dan bawahan dan sebagainya.
2) Konflik kelompok, yaitu pertentangan yang terjadi secara kelompok seperti pertentangan antara dua
kelompok pelajar yang berbeda sekolah, antara kedua keseblasan sepak bola dan lain-lain.
3) Konflik antar kelas sosial yaitu pertentangan yang terjadi antara kelas sosial yang berbeda, seperti
antara kelas orang kaya dengan kelas orang miskin dan lain-lain.
4) Konflik rasial adalah pertentangan yang terjadi antar ras, seperti pertentangan antara ras kulit hitam
dan kulit putih.
5) Konflik politik, yaitu pertentangan yang terjadi dalam masyarakat karena perbedaan paham dan aliran
politik yang dianut seperti pertentangan antara masyarakat penjajah dan yang dijajah, antara golongan
politik dan sebagainya.
6) Konflik budaya, yaitu pertentangan yang terjadi didalam masyarakat akibat (Mustamin, M.Si, STUDI
KONFLIK SOSIAL DI DESA BUGIS DAN PARANGINA KECAMATAN SAPE KABUPATEN BIMA TAHUN 2014,
JIME, Vol. 2. No. 2, 2016, hlm. 1-21)

Konflik tidak muncul begitu saja dengan sendirinya, melainkan ada faktor-faktor yang melatar
belakanginya. Konflik bisa muncul pada skala yang berbeda, seperti konflik antar individu (interpersonal
conflict), konflik antar kelompok (intergroup conflict), konflik antar kelompok dengan negara (vertical
conflict) dan konflik antar negara (interstate conflict). Setiap skala memiliki latar belakang dan arah
perkembangannya masing-masing. Konflik sendiri hadir sebagai manifestasi dari ketegangan sosial,
politik, ekonomi dan budaya atau bisa juga disebabkan oleh perasaan ketidakpuasan umum,
ketidakpuasan terhadap komunikasi, ketidakpuasan terhadap simbol-simbol sosial danketidakpuasan
terhadap kemungkinan resolusi serta adanya sumber daya mobilisasi. Konflik merupakan proses
disosiatif, namun konflik sebagai salah satu bentuk proses sosial yang memiliki fungsi positif maupun
negatif. (Irwandi, Endah R. Chotim ANALISIS KONFLIK ANTARA MASYARAKAT, PEMERINTAH DAN
SWASTA (Studi Kasus di Dusun Sungai Samak, Desa Sungai Samak, Kecamatan Badau, Kabupaten
Belitung), JISPO VOL. 7 No. 2, Dosen FISIP Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung,
2017, hlm. 25-42)

Apabila konflik mampu dikelola dan diatasi dengan baik oleh setiap elemen masyarakat, maka akan
berdampak baik bagi kemajuan dan perubahan masyarakat. Namun sebaliknya, jika konflik yang terjadi
ditengah masyarakat tidak mampu dikelola dan diatasi dengan baik maka konflik akan menimbulkan
dampak buruk hingga timbulnya berbagai kerusakan baik itu fisik maupun non fisik, ketidak-amanan,
ketidakharmonisan, dan menciptakan ketidakstabilan, bahkan sampai mengakibatkan jatuhnya korban
jiwa.

Sebagaimana konflik yang terjadi antara masyarakat, pemerintah desa dan perusahaan tambang pasir
bangunan di Dusun Sungai Samak, Desa Sungai Samak Kecamatan Badau Kabupaten Belitung. Kehadiran
perusahaan tambang dengan segala aktivitas dan dampak yang ditimbulkannya melahirkan reaksi
penolakan dari masyarakat setempat. Masyarakat Dusun Sungai Samak, Desa Sungai Samak Kecamatan
Badau Kabupaten Belitung menolak keberadaan dua perusahaan tambang yang beroperasidi daerah
mereka. Kegiatan eksploitasi yang dilakukan oleh dua perusahaan tersebut dinilai mengganggu aktivitas
masyarakat setempat yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Selain itu masyarakat
mengatakan tidak ada informasi awal dari pemerintah desa terkait dengan akan adanya kegiatan
penambangan dari perusahaan itu, berapa jumlah lahan yang di ekploitasi, mekanisme tambang seperti
apa, serta apa manfaat yang akan diterima warga dan lainnya.

Penolakan masyarakat tersebut memiliki dasar dan alasan yang kuat karena setelah aktivitas
pertambangan tersebut berjalan warga sekitar mulai terkena dampak negatifnya. Dampak negatif
tersebut antara lain warga terganggu dengan kebisingan dari aktivitas pengangkutan pasir dilakukan
perusahaan yang sampai 24 jam dengan melalui jalan milik warga. Akibat aktivitas pengangkutan pasir
tersebut juga menyebabkan jalan dan saluran air menjadi rusak. Selain itu warga nelayan mulai resah
karena hasil tangkapan mereka menurun drastis dan terkadang tidak bisa melalut akibat pembuangan
limbah cucian pasir yang dialirkan ke muara sungai sehingga air menjadi keruh dan terjadi penumpukan
sedimen.

Tidak adanya sosialisasi kepada warga perihal rencana dan aktivitas penambangan yang dilakukan oleh
perusahaan serta dampak yang ditimbulkannya menyebabkanmasyarakat menuding bahwa pemerintah
desa setempat tidak transparan dan menjalin persekongkolan dengan pihak perusahaan. Hal ini
diperkuat dengan kenyataan bahwa laporan protes warga terhadap aktivitas penambangan dan dampak
yang ditimbulkannya tidak mendapat tanggapan serius dari pemerintah desa setempat. Disinilah
kemudian muncul gerakan penolakan terhadap aktivitas penambangan pasir di Dusun Sungai Samak
Kecamatan Badau Kabupaten Belitung ini yang kemudian memicu konflik antara masyarakat dengan
pemerintah desa dan perusahaan tambang pasir tersebut.

3. Faktor yang menjadi hambatan dlm pembebasan lahan dan upaya mengatasi hambatan tsb

Pembangunan jalan Tol Malang-Pandaan tidak akan pernah terlepas dari permasalahan pengadaan
tanah untuk kepentingan umum terutama di wilayah Kecamatan Pakis yang menjadi salah satu wilayah
yang terdampak pembangunan tersebut. Dalam hal ini ganti rugi menjadi komponen paling sensitif
disetiap pengadaan tanah. Negoisasi mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi seringkali menjadi proses
paling panjang dan berlarut-larut, akibatnya, tidak ada titik temu yang disepakati oleh para pihak yang
bersangkutan. Kondisi ini yang menjadi ironi, karena disatu sisi tanah berharga sangat tinggi karena
permintaanya tapi dilain pihak jumlah tanah tidak sesuai dengan penawaranya. (Bambang Tri Cahyo,
Ekonomi Pertanahan, (Yogyakarta: Liberty, 1983), h. 16.) Kecamatan Pakis merupakan daerah yang
memiliki banyak sarana dan prasarana yang cukup baik karena berbatasan langsung dengan wilayah
Kota Malang, sehingga wilayah Kecamatan Pakis merupakan salah satu wilayah yang banyak dilalui
masyarakat dalam hal transportasi dan lain sebagainya. Sarana dan prasarana di wilayah ini terbilang
memadai meliputi sarana dan prasarana transportasi, sarana dan prasarana pendidikan, sarana dan
prasarana kesehatan, sarana dan prasarana peribadatan, kegiatan perindustrian, perkantoran dan lain
sebagainya. Pembangunan perekonomian terutama akses jalan untuk menunjang kesejahteraan rakyat
dan kemudahan akses di wilayah Kecamatan Pakis perencanaan sarana dan prasarana yang memadai
tersebut memerluakan lahan yang luas untuk pembangunannya. Tidak semua lahan untuk
pembangunan tersebut dimiliki pemerintah, banyak tanah yang merupakan kepemilikan masyarakat.
Maka dari untuk pembangunan kepentingan umum tidak dapat lepas dari peran masyarakat. Untuk
mendapatkan tanah dalam rangka pembangunan fasilitas umum seperti Jalan Tol Malang-Pandaan,
maka pemerintah harus melaksanakan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum.
Pembangunan Jalan Tol Malang-Pandaaan diberitakan dalam media surat kabar mengatakan, bahwa
selama proses ganti rugi pengdaan tanah dinilai banyak merugikan warga sebagai pemilik hak atas lahan
tersebut. Beberapa warga mengeluh dengan dalih harga yang ditawarkan terlalu rendah dan belum
sesuai dengan nilai jual tanah dan bangunannya, tak sedikit pula yang mengatakan selama proses
konsutasi publik dari pihak panitia pengadaan tanah menawarkan ganti rugi yang fantastis, namun
ketika pencairan dana ganti rugi tidak sesuai pada saat sosialisasi, beberapa juga mengeluhkan tentan
nilai ganti rugi untuk bangunan dan tanaman diatas tanah warga tidak dimasukan kedalam nilai ganti
rugi, waktu pemberian ganti rugi yang dianggap terlalu mepet dengan eksekusi pembebasan lahan
warga.
Dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum pembangunan jalan tol Malang-
Pandaan di wilayah Kecamatan Pakis, tidak semua masyarakat dapat langsung menerima kebijakan
tersebut, beberapa masyarakat menilai hal tersebut justru merugikan warga sebagai pemilik tanah.
Namun, sebagian juga menerima kebijakan tersebut. Sehingga dalam prakteknya penulis akan
memaparkan hasil penelitian langsung dengan kebijakan yang terkandung dalam Undang-Undang No.2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Undang-Undang No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum mengatur bagaimana prosedur dalam pelakasanaan ganti rugi tanah untuk masyarakat, sehingga
dalam prakteknya perlu adanya tahapan-tahapan yang harus dilaksanakan pemerintah agar tidak
merugikan salah satu pihak. Tahap awal dalam pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum
sedikitnya harus memuat beberapa ketentuan-ketentuan seperti yang dijelaskan dalam pasal 15 ayat (1)
UU No. 2 Tahun 2012 dijelaskan dokumen perencanaan tanah paling sedikit memuat:
a) Maksud dan tujuan rencana pembangunan;
b) Kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana Pembangunan Nasional dan Daerah;
c) Letak tanah;

d) Luas tanah yang dibutuhkan;


e) Gambaran umum status tanah;

f) Perkiraan waktu pelaksanaan pengadaan tanah;


g) Perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembangunan;
h) Perkiraan nilai tanah; dan
i) Rencana penganggaran.

Kepentingan umum dalam Pasal 10 UU No. 2 Tahun 2012 dijelaskan bahwa salah satu kepentingan
umum tersebut adalah Jalan Tol sehingga pembangunan Jalan Tol Malang-Pandaan merupakan bagian
dari progam yang telah diatur dalam perundang-undangan dengan pertimbangan yang telah disepakati.
Ibu Mega Juga menjelasakan bahwa dalam pelaksanaannya pihak panitia pengadaan tanah telah
melakukan prosedur sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku yakni melalui tahapan, perencanaan,
persiapan, pelaksanaan dan penyerahan hasil. Beliau menuturkan bahwa selama proses pengadaan
tidak terjadi permaslahan antara pihak panitia dan warga terdampak.
Hal tersebut telah sesuai dengan Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2012 yang menjelasakan pengadaan tanah
untuk kepentingan umum diselenggarakan melalui tahapan:
a) Perencanaan.
b) Persiapan.
c) Pelaksanaan.
d) Penyerahan hasil.

Tim Pengadaan Tanah harus melaksanakan sosialisasi/penyuluhan untuk menjelaskan manfaat, maksud
dan tujuan pembangunan kepada msyarakat dalam rangka memperolah kesediaan untuk memberikan
tanahnya yang diganti dengan ganti rugi oleh pemerintah. Sosialisai dilaksanakan di tempat yang
ditentukan dalam surat undangan yang dibuat oleh Panitia Pengadaan Tanah Kecamatan Pakis. Di
wilayah Kecamatan Pakis sosialisasi dilaksanakan ditiap-tiap balai desa bagi desa yang wilayahnya
terdampak pembangunan Tol Malang-Pandaan. Yakni Desa Tirtomoyo, Asrikaton, Ampeldento dan
Sekarpuro. Konsultasi publik merupakan sarana yang sangat dibutuhkan dalam tahapan pengadaan
tanah untuk kepentingan umum, panitia pengadaan tanah menjalaskan telah melaksanakan tahapan
konsultasi publik kepada seluruh warga terdampak untuk mencari kesepakatan nilai ganti rugi, warga
terdampakpun keseluruhan menjelaskan bahwa dalam pelaksaan ganti rugi tersebut juga mengikuti
sosialisasi sehingga hal tersebut tidak bertentangan dengan UU No. 2 Tahun 2012 dalam Pasal 19 yang
menjelaskan bahwa konsultasi publik harus dilaksanakan dengan melibatkan pihak yang berhak dan
masyarakat yang terkena dampak serta dilaksanakan di tempat rencana pembangunan atau ditempat
yang disepakati. Tujuan dari konsultasi publik sendiri dijalsakan dalam UU No. 2 Tahun 2012 adalah agar
tercapai asas kedilan, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan dan keselarasan antara pihak yang
membutuhkan tanah dengan warga yang memiliki tanah. Sehingga dalam pelaksanaan pembangunan
Jalan Tol Malang-Pandaan tidak ada pihak yang dirugikan berdaarkan kesepakatan dengan tujuan utama
adalah kemanfaatan bagi semua pihak dan warga negara.
Konsultasi Publik atau biasa disebut dengan sosialisasi bertujuan agar dalam pelaksanaan mencari
kesepakatan antara pihak yang membutuhkan tanah dan warga sebagai pemilik lahan yang dibutuhkan.
Pelaksanaan pengadaan tanah apabila terdapat ketidak sesuaian nilai ganti rugi dari warga maka pihak
panitia menjelaskan bahwa penentuan nilai ganti rugi telah di laksanakan secara aprrasial mengikuti
undang-undang dan peraraturan yang berlaku, sehingga setelah penjelasan tersebut masyarakat
mengerti dan tidak mempermasalahkan hal tersebut, begitu penjealasan yang diberikan oleh pihak
pengadaan tanah yakni Ibu Mega. Melihat hasil wawancara dengan warga terdampak, mereka telah
sepakat dengan penentuan harga yang diberikan oleh panitia pengadaan tanah setelah adanya
sosialisasi yang dilaksanakan.

Hal itu telah sesuai dengan UU No. 2 Tahun 2012 dalam Pasal 38, mengatakan bahwa dalam hal tidak
terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi, maka pihak yang berhak dapat
mengajukan kepada pengadilan negeri setempat selanjutnya jika masih terdapat keberatan dapat
melakukan kasasi kepada Mahkamah Agung, untukselanjutnya keputusan tersebut menajadi kekuatan
hukum sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Selama proses konsultasi publik pihak panitia pengadaan
tanah telah menjelaskan bagaimana prosedur penentuan nilai ganti rugi jual tanah sesuai aturan yang
berlaku dalam undang-undang, sehingga setelah proses sosialisasi tersebut, warga telah menyetujui dan
sepakat dengan harga tersebut dan tidak menuntut dengan harga yang lebih tinggi. (Machrus Basri,
PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN JALAN TOL MALANG-PANDAAN DITINJAU DARI
UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2012 DAN PERSPEKTIF AL-MASLAHAH AL-AMMAH (Studi Kasus
di Kecamatan Pakis Kabupaten Malang), Skripsi, FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG, 2019, hlm. 1-104)

Hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan pengadaan tanah meliputi a) masih adanya masyarakat
yang belum bersedia melepaskan tanahnya, b) adanya aktifitas forum yang ingin menjadi wakil dari
seluruh pemilik tanah, c) adanya ancaman dari forum kepada anggota forum yang melepaskan tanah
miliknya, d) adanya bangunan yang terkena sebagian, e) adanya permasalahan pengadaan tanah
pengganti Tanah Kas Desa (TKD), f)adanya jalan desa yang tidak disertai pelepasan oleh pemiliknya, dan
g) prosedur pembebasan tanah wakafyang lama dan panjang. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi
hambatan tersebut secara berturut-turut adalah a) melakukan pendekatan secara persuasif kepada
masyarakat yang belum bersedia melepaskan tanahnya, b) memberikan penjelasan kepada pemilik dan
forum bahwa keinginan forum untuk menjadi wakil dari seluruh pemilik tanah tidak dapat dilaksanakan,
c) pemerintah memberikan jaminan perlindungan keamanan kepada pemilik dengan dukungan tim
pengamanan, d) mengusulkan agar bangunan yang terkena sebagian dapat diganti rugi seluruhnya, e)
keberanian pemerintah desa mencari tanah pengganti TKD dengan uang pribadi atau pinjam bank, f)
untuk jalan desa dibuatkannya surat pernyataan pelepasan dari pemilik kepada desa, dan g) untuk
pembebasan tanah wakaf tetap mengikuti prosedur yang yang berlaku. (TRI SULISTYO RINI,
PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH, HAMBATAN, DAN UPAYA PENYELESAIANNYA (Studi Pengadaan
Tanah Untuk Jalan Tol Di Kabupaten Nganjuk Provinsi Jawa Timur), Skripsi, BADAN PERTANAHAN
NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL YOGYAKARTA, 2013, hlm.
1-108.
Hambatan serta upaya yang dilakukan, yaitu :
a. Pemilik belum setuju dengan besarnya ganti rugi, upayanya dengan melakukan pendekatan kepada
para pemilik.
b. Adanya aktifitas forum yang ingin menjadi wakil dari seluruh pemilik tanah, upayanya dengan
memberikan penjelasan kepada pemilik dan forum bahwa pemilik hanya dapat mewakilkan kepada 1
(satu) orang kuasa.
c. Adanya ancaman dari forum kepada anggota forum upayanya yaitu dibentuknya tim pengamanan.
d. Masyarakat masih terkonvensi oleh forum upayanya dengan menciptakan pola pendekatan secara
persuasif kepada pemilik.

e. Adanya bangunan yang terkena sebagian dan pemilik minta ganti rugi seluruhnya upayanya dengan
mengusulkan untuk diberikan ganti rugi seluruhnya.

f. Adanya Tanah Kas Desa (TKD) yang ditempati bangunan SD upayanya dengan mengusulkan agar
diberikan ganti rugi untuk TKD dan dibangunkannya gedung SD baru.
g. Pengadaan tanah untuk TKD terkendala uang muka upayanya yaitu pemerintah desa mencari tanah
pengganti TKD dengan uang pribadi atau pinjam ke bank.

h. Jalan desa yang tidak disertai pelepasan upayanya yaitu dibuatkan surat pernyataan pelepasan dari
pemilik ke desa.
i. Prosedur pembebasan tanah wakaf yang memerlukan proses panjang dan lama upayanya tetap
mengikuti prosedur yang berlaku.

Kesimpulan dan saran

Hambatan dalam pelaksanaan pengadaan tanah dan upaya yang dilakukan :

a. Hambatan disebabkan masih adanya masyarakat yang belum bersedia melepaskan tanahnya, adanya
aktifitas forum yang ingin menjadi wakil dari seluruh pemilik tanah, adanya ancaman dari forum kepada
anggota forum yang melepaskan tanah miliknya, adanya bangunan yang terkena sebagian, adanya
permasalahan pengadaan tanah pengganti Tanah Kas Desa (TKD), adanya jalan desa yang tidak disertai
pelepasan oleh pemiliknya, dan prosedur pembebasan tanah wakaf yang lama dan panjang.
b. Upaya yang dilakukan untuk mengatsi hambatan tersebut di atas yaitu dengan melakukan
pendekatan secara persuasif kepada masyarakat yang belum bersedia melepaskan tanahnya,
memberikan penjelasan kepada pemilik dan forum bahwa keinginan forum untuk menjadi wakil dari
seluruh pemilik tanah tidak dapat dilaksanakan, pemerintah memberikan jaminan perlindungan
keamanan kepada pemilik dengan dukungan tim pengamanan, mengusulkan agar bangunan yang
terkena sebagian dapat diganti rugi seluruhnya, keberanian pemerintah desa mencari tanah pengganti
TKD dengan uang pribadi atau pinjam bank, untuk jalan desa dibuatkannya surat pernyataan pelepasan
dari pemilik kepada desa, dan untuk pembebasan tanah wakaf tetap mengikuti prosedur yang berlaku.

Anda mungkin juga menyukai