Anda di halaman 1dari 31

TUGAS

TEORI ADMINISTRASI PUBLIK


( DOSEN : DR. YULIUS YOHANES, M.Si )

MAKALAH KONFLIK ORGANISASI PUBLIK DALAM MANAJEMEN


PEMBERDAYAAN DAERAH

“MANAJEMEN KONFLIK DALAM ORGANISASI


PERANGKAT DAERAH”

Disusun Oleh :

DESSIE RIZZEKI PUTRIYANTI


NIM. E2072211012

PROGRAM MAGISTER ILMU SOSIAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2021

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Adanya sekelompok orang di dalam organisasi tersebut pasti juga terdapat beberapa

pemikiran dan pendirian yang berbeda-beda. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada

akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu timbulnya konflik. Konflik

tidak muncul seketika dan langsung menjadi besar. Konflik itu berkembang secara bertahap.

Jadi, jika konflik sudah teridentifikasi sejak awal, dicarikan langkah penyelesaian yang lebih

dini, maka relatif lebih mudah dalam penanganan konflik. Kebijakan-kebijakan dan cara anggota

berkomunikasi yang diterapkan pada suatu organisasi sangat mempengaruhi keberlangsungan

sebuah organisasi dalam mempertahankan anggota dan segenap unsurnya.

Konflik merupakan realita hidup, mau tidak mau, suka atau tidak suka, cepat atau lambat

pada suatu saat dalam menjalani kehidupannya setiap orang pasti akan menghadapi. Dalam

kehidupan sehari-hari, konflik dapat timbul kapan saja dan dimana saja. Konflik juga bisa

dialami oleh siapa saja tidak pandang bulu, orang tua, remaja, anak-anak, pria, wanita, orang

terpelajar, orang awam, orang mtskin, jutawan atau siapapun yang hidup di tengah pergaulan

umum pasti akan menghadapi dan mengalami konflik. Ada beberapa jenis konflik yang umum

dan sering muncul dalam suatu organisasi/perusahaan antara lain: (1) konflik peranan yang

terjadi di dalam diri seseorang (person-role conflict), (2) konflik antar peranan (inter-role

conflict), (3) konflik yang timbul karena seseorang harus memenuhi harapan beberapa orang

(intersender conflict), (4) konflik yang timbul karena disampaikannya informasi yang saling

bertentangan (intrasender conflict).

Konflik dalam organisasi sering dilihat sebagai sesuatu yang negatif. Oleh sebab itu,

penanganan yang dilakukan pun diarahkan kepada pernyelesaian konflik. Sebuah realita bahwa

konflik merupakan sesuatu yang sulit dihindari karena berkaitan erat dengan proses interaksi

manusia. Karenanya, yang dibutuhkan bukan meredam konflik, tapi bagaimana menanganinya

sehingga bisa membawa dampak yang tidak negatif bagi organisasi. Akan tetapi tidak semua

2
konflik merugikan, asalkan konflik tersebut ditata dengan baik maka dapat menguntungkan

organisasi. Dan semua anggota bisa menjadikan konflik dalam organisasi sebagai sebuah

pembelajaran dan bagian pertimbangan atas banyaknya pemikiran-pemikiran yang berbeda pada

setiap anggota organisasi.

Berdasarkan sumbernya, konflik dalam organisasi muncul karena beberapa sebab seperti:

(1) konflik individu, (2) konflik antar individu, (3) konflik kelompok, (4) konflik antar

kelompok, (5) konflik organisasi, dan (6) konflik kelompok dengan organisasi. Konflik dapat

bersifat negatif (merugikan) tetapi sekaligus dapat pula bersifat positif (menguntungkan),

tergantung bagaimana mengelolanya. Akibat positif konflik organisasi antara lain: (1) organisasi

menjadi lebih dinamis, (2) sebagai pengalaman berharga, (3) pimpinan lebih berhati-hati dalam

mengambil keputusan, (4) melahirkan pribadi yang kreatif, kritis, dan inovatif, (5)

menumbuhkan sikap toleransi. Secara negatif konflik dapat mengakibatkan: (1) komunikasi

organisasi terhambat, (2) kerjasama organisasi menjadi terhalang, (3) aktivitas produksi dan

distribusi terganggu, (4) memunculkan saling curiga, salah paham, dan intrik, (5) individu yang

berkonflik merasakan cemas, stres, apatis, dan frsutasi, (6) stres yang berkepanjangan

menyebabkan orang yang sedang berkonflik akan menarik din dari pergaulan dan mangkir dari

pekerjaan.

Konflik organisasi publik dalam manajemen pemberdayaan daerah dapat dilihat sebagai

contoh adalah Organisasi Perangkat Daerah atau biasa disingkat OPD. Konflik-konflik yang

terjadi dalam organisasi pemerintah daerah tidak terlepas dari apa yang dipapar diatas.

Bagaimana manajemen konflik dalam pemberdayaan daerah?

1.2 Maksud dan Tujuan

Tujuan terpenting dari penulisan makalah ini ialah sebagai salah satu alternatif solusi

konflik dalam organisasi perangkat daerah yang menyeluruh. Disisi lain agar pembaca dapat

memaknai konflik yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

3
Maksud dari penulisan ini yaitu meninjau lebih jauh konflik apa saja yang terjadi dalam

Organisasi Perangkat Daerah sebagai organisasi publik dalam manajemen pemberdayaan daerah.

Tujuan Penulisan ini diharapkan dapat menjadi saran atau pesan yang bisa diambil

manfaatnya dalam menghadapi sebuah konflik dalam organisasi publik sehingga organisasi yang

ada dapat tetap hidup dengan jati dirinya untuk mencapai tujuan teruma dalam pemberdayaan

pemerintah daerah yang terus berkembang dan dinamis.

1.3 Ruang Lingkup

Banyak sekali bahasan mengenai konflik dalam organisasi. Namun tentunya tidak semua

lingkup akan dibahas dalam makalah ini. Ada beberapa sub bab yang akan dijabarkan sebagai

salah satu topik konflik dalam organisasi publik, antara lain adalah : 1. Apa itu konflik?, 2. Apa

jenis dan sumber konflik dalam Organisasi Perangkat Daerah?, 3. Bagaimana strategi

penyelesaian konflik dalam Organisasi Perangkat Daerah?

4
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Konflik

Konflik berasal dari kata kerja configere yang artinya saling memukul. Dilihat dari sisi

sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga

kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan

menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Menurut Webster (1966) yang dikutip oleh

Dean G. Pruitt dan Feffrey Z. Rubin, istilah “conflict” dalam bahasa aslinya berarti suatu

“perkelahian, peperangan, atau perjuangan” yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak.

Arti kata itu kemudian berkembang menjadi “ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas

berbagai kepentingan”. Sedangkan konflik yang terjadi dalam organisasi, mengacu pada

pandangan Robbin (1996: 431), disebut sebagai the conflict paradoks. Pendapat tersebut

mengatakan bahwa di satu sisi konflik dianggap buruk untuk organisasi, tetapi di sisi lain konflik

dianggap mampu meningkatkan kinerja organisasi. Pandangan ini dibagi menjadi tiga bagian.

1. Pandangan tradisional (the traditional view) adalah pandangan bahwa konflik itu hal

yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus dihindari. Konflik

disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality, sebagai bentuk

disfungsional yang terjadi dari beberapa faktor antara lain: komunikasi yang buruk,

kurang kepercayaan, keterbukaan di antara orang-orang, dan kegagalan manajer untuk

tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.

2. Pandangan hubungan manusia (the human relation view) adalah pandangan yang

menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi di

dalam kelompok atau organisasi karena di dalam kelompok atau organisasi pasti terjadi

perbedaan pandangan atau pendapat antar anggota. Dalam pandangan ini konflik harus

dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja

organisasi. Dengan kata lain, konflik harus dijadikan sebagai motivasi untuk

melakukan inovasi atau perubahan di dalam tubuh kelompok atau organisasi.

5
3. Pandangan interaksionis (the interactionist view) adalah pandangan yang cenderung

mendorong suatu kelompok atau organisasi untuk menciptakan konflik. Suatu

organisasi yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung menjadi statis, apatis,

tidak aspiratif, dan tidak inovatif (berada dalam comfort zone).

Berdasarkan pandangan ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimum secara

berkelanjutan sehingga tiap anggota di dalam kelompok tersebut tetap semangat, kritis, dan

kreatif.

Konflik dilatar belakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu. Hal itu lalu

menimbulkan perbedaan yang menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat,

keyakinan, dan lain sebagainya. Karena ciri-ciri individu dibawa dalam hal interaksi sosial,

konflik merupakan hal yang wajar. Dalam kehidupan sehari-hari tidak satu masyarakat pun yang

tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya,

konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Definisi konflik

menurut para ahli:

Nardjana (1994), konflik adalah akibat situasi dimana keinginan atau kehendak yang

berbeda atau berlawanan antara satu dengan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling

terganggu.

Killman dan Thomas (1978), konflik adalah kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai

atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu maupun dalam

hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu

bahkan menghambat tercapainya emosi atau stres yang mempengaruhi efisiensi dan

produktivitas kerja.

Wood, Walace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, dan Osborn (1998), yang dimaksud dengan

konflik (dalam ruang lingkup organisasi) yaitu : Conflict is a situation which two or more people

disagree over issues of organisational substance and/or experience some emotional antagonism

with one another. Yang artinya, konflik adalah suatu situasi dimana dua atau banyak orang

saling tidak setuju terhadap suatu permasalahan yang menyangkut kepentingan organisasi

dan/atau dengan timbulnya perasaan permusuhan satu dengan yang lainnya.

6
Stoner, konflik organisasi ialah mencakup ketidaksepakatan soal alokasi sumberdaya yang

langka atau peselisihan soal tujuan, status, nilai, persepsi, atau kepribadian.

Robbins, merumuskan konflik sebagai sebuah proses dimana sebuah upaya sengaja

dilakukan oleh seseorang untuk menghalangi usaha yang dilakukan oleh orang lain dalam

berbagai bentuk hambatan yang menjadikan orang lain tersebut merasa frustasi dalam usahanya

mancapai tujuan yang diinginkan atau merealisasi minatnya. Lebih jauh Robbins menulis bahwa

sebuah konflik harus dianggap ada oleh pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Dengan

demikian apakah konflik itu ada atau tidak ada, adalah masalah persepsi dan bila tidak ada

seorangpun yang menyadari bahwa ada konflik, maka dapat dianggap bahwa konflik tersebut

memang tidak ada. Tentu saja ada konflik yang hanya dibayangkan ada sebagai sebuah persepsi

ternyata tidak riil. Sebaliknya dapat terjadi bahwa ada situasi-situasi yang sebenarnya dapat

dianggap sebagai bernuansa konflik ternyata tidak dianggap sebagai konflik karena anggota-

anggota kelompok tidak menganggapnya sebagai konflik.

Selanjutnya, setiap konflik dalam organisasi konflik selalu diasosiasikan dengan antara

lain, oposisi (lawan), kelangkaan, dan blokade. Di asumsikan pula bahwa ada dua pihak atau

lebih yang tujuan atau kepentingannya tidak saling menunjang. Kita semua mengetahui pula

bahwa sumber daya dana, daya reputasi, kekuasaan, dan lain-lain, dalam kehidupan dan dalam

organisasi tersedianya terbatas. Setiap orang, setiap kelompok atau setiap unit dalam organisasi

akan berusaha memperoleh sumber daya tersebut secukupnya dan kelangkaan tersebut akan

mendorong perilaku yang bersifat menghalangi oleh setiap pihak yang punya kepentingan yang

sama. Pihak-pihak tersebut kemudian bertindak sebagai oposisi terhadap satu sama lain. Bila ini

terjadi, maka status dari situasi dapat disebut berada dalam kondisi konflik.

Cathy A Constantino dan Chistina Sickles Merchant, menyatakan bahwa konflik pada

dasarnya adalah sebuah proses mengekspresikan ketidak puasan, ketidak setujuan, atau harapan-

harapan yang tidak terealisasi. Kedua penulis tersebut sepakat dengan Robbins bahwa konflik

pada dasarnya adalah sebuah proses.

7
2.2 Sumber Konflik

2.2.1 Jenis Konflik

Faktor komunikasi, misalnya pegawai lini memiliki wewenang dalam proses pengambilan

keputusan, sementara staf lebih pada memberikan rekomendasi atau saran. Sering pegawai lini

merasa lebih penting, sementara staf merasa lebih ahli. Ujung-ujungnya miss understanding di

kalangan pelaku organisasi karena informasi yang diterima kurang jelas atau bertentangan

dengan tujuan yang sebenarnya.

Faktor struktur tugas maupun struktur organisasi, misalnya dalam hubungan kerja, bagian

pemasaran ingin agar produknya cepat laku. Kalau perlu dijual murah dan dengan cara kredit.

Sebaliknya, bagian keuangan menghendaki pembayaran harus tunai agar posisi keuangan

perusahaan tetap stabil.

Faktor yang bersifat personal, misalnya di waktu yang sama, seseorang harus membuat

pilihan menerima promosi jabatan yang sudah lama didambakan atau pindah tempat tugas ke

tempat lain dengan iming-iming gaji yang besar.

Faktor lingkungan, misalnya seseorang yang harus menjual produk dengan harga tinggi,

padahal dia sadar bahwa calon konsumennya membutuhkan keuangan untuk ongkos sekolahnya.

2.3 Mengelola Konflik

Apapun perspektif konflik yang muncul, tetaplah memerlukan sebuah pengelolaan yang

tepat. Menurut Fisher dan kawan-kawan (2001), mengelola konflik meliputi beberapa tahapan,

yaitu:

1. Pencegahan konflik, bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras;

2. Penyelesaian konflik, bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui persetujuan

damai;

3. Pengelolaan konflik, bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan

mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak yang terlibat;

4. Resolusi konflik, menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan

baru dan yang bisa tahan lama di antara kelompok-kelompok yang bermusuhan;

8
5. Transformasi konflik, mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas

dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan

politik yang positif.

Tahapan-tahapan di atas merupakan satu kesatuan yang harus dilakukan dalam mengelola

konflik. Masing-masing tahap akan melibatkan tahap sebelumnya. Misalnya, pengelolaan

konflik akan mencakup pencegahan dan penyelesaian konflik.

Konsep pengelolaan konflik ini apabila diterapkan ke dalam organisasi sektor publik dapat

menjadi solusi komprehensif dalam mengantispasi kegagalan komunikasi agar tidak

dipertontonkan secara demonstratif kepada publik. Dalam upaya pencegahan konflik, dapat

dilakukan hal-hal yang sifatnya koordinatif dan tentunya instruksi yang tegas dari pucuk

pimpinan terhadap perbaikan dan prioritas program yang diharapkan.

2.4 Strategi Penyelesaian Konflik

1. Kompetisi

Penyelesaian konflik yang menggambarkan satu pihak mengalahkan atau

mengorbankan yang lain. Penyelesaian bentuk kompetisi dikenal dengan istilah win-

lose orientation.

2. Akomodasi

Penyelesaian konflik yang menggambarkan kompetisi bayangan cermin yang

memberikan keseluruhannya penyelesaian pada pihak lain tanpa ada usaha

memperjuangkan tujuannya sendiri. Proses tersebut adalah taktik perdamaian.

3. Sharing

Suatu pendekatan penyelesaian kompromi antara dominasi kelompok dan kelompok

lain untuk berdamai. Satu pihak memberi dan yang lain menerima sesuatu. Kedua

kelompok berpikiran positif, dengan alasan yang tidak lengkap, tetapi memuaskan.

9
4. Kolaborasi

Bentuk usaha penyelesaian konflik yang memuaskan kedua belah pihak. Usaha ini

adalah pendekatan pemecahan problem (problem-solving approach) yang memerlukan

integrasi dari kedua pihak.

5. Penghindaran

Menyangkut ketidakpedulian dari kedua kelompok. Keadaaan ini menggambarkan

penarikan kepentingan atau mengacuhkan kepentingan kelompok lain.

Terdapat juga cara bersikap untuk penyelesaian konflik :

1. Bersikap proaktif

Setiap anggota tim harus turut aktif dalam menyelesaian konflik secara proaktif.

2. Komunikasi

Komunikasi yang lancar dapat menghindari diri dari kesalahpahaman sehingga lebih

mudah dalam menyelesaikan konflik yang timbul.

3. Keterbukaan

Setiap anggota harus terbuka supaya konflik tidak berlarut-larut dan dapat

diselesaikan dengan baik. Dengan keterbukaan konflik yang terjadi dapat ditangani

sehingga menjadi konflik yang fungsional.

2.5 Teori Organisasi

Secara sederhana, organisasi adalah suatu kerjasama sekelompok orang untuk mencapai

tujuan bersama yang diinginkan dan mau terlibat dengan peraturan yang ada. Organisasi bisa

disebut juga sebagai wadah atau tempat untuk melakukan kegiatan bersama, agar dapat mencapai

tujuan yang telah ditetapkan bersama. Adapun ciri-ciri dari organisasi adalah :

- Adanya komponen ( atasan dan bawahan)

- Adanya kerja sama (cooperative yang berstruktur dari sekelompok orang)

- Adanya tujuan

10
- Adanya sasaran

- Adanya keterikatan format dan tata tertib yang harus ditaati

- Adanya pendelegasian wewenang dan koordinasi tugas-tugas

Menurut Berelson dan Steiner (1964:55) sebuah organisasi memiliki ciri-ciri sebagai

berikut :

1. Formalitas, merupakan ciri organisasi sosial yang menunjuk kepada adanya perumusan

tertulis daripada peratutan-peraturan, ketetapan-ketetapan, prosedur, kebijaksanaan,

tujuan, strategi, dan seterusnya.

2. Hierarkhi, merupakan ciri organisasi yang menunjuk pada adanya suatu pola kekuasaan

dan wewenang yang berbentuk piramida, artinya ada orang-orang tertentu yang memiliki

kedudukan dan kekuasaan serta wewenang yang lebih tinggi daripada anggota biasa pada

organisasi tersebut.

3. Besarnya dan Kompleksnya, dalam hal ini pada umumnya organisasi sosial memiliki

banyak anggota sehingga hubungan sosial antar anggota adalah tidak langsung

(impersonal), gejala ini biasanya dikenal dengan gejala “birokrasi”.

Lamanya (duration), menunjuk pada diri bahwa eksistensi suatu organisasi lebih lama

daripada keanggotaan orang-orang dalam organisasi itu. Ada juga yang menyatakan bahwa

organisasi sosial, memiliki beberapa ciri lain yang behubungan dengan keberadaan organisasi

itu. Diantaranya ádalah:

1. Rumusan batas-batas operasionalnya (organisasi) jelas. Seperti yang telah dibicarakan

diatas, organisasi akan mengutamakan pencapaian tujuan-tujuan berdasarkan keputusan

yang telah disepakati bersama. Dalam hal ini, kegiatan operasional sebuah organisasi

dibatasi oleh ketetapan yang mengikat berdasarkan kepentingan bersama, sekaligus

memenuhi aspirasi anggotanya.

2. Memiliki identitas yang jelas. Organisasi akan cepat diakui oleh masyarakat

sekelilingnya apabila memiliki identitas yang jelas. Identitas berkaitan dengan informasi

11
mengenai organisasi, tujuan pembentukan organisasi, maupun tempat organisasi itu

berdiri, dan lain sebagainya.

3. Keanggotaan formal, status dan peran. Pada setiap anggotanya memiliki peran serta tugas

masing masing sesuai dengan batasan yang telah disepakati bersama.

Jadi, dari beberapa ciri organisasi yang telah dikemukakan kita akan mudah membedakan

yang mana dapat dikatakan organisasi dan yang mana tidak dapat dikatakan sebagai sebuah

organisasi. Unsur-Unsur Organisasi :

1. Organisasi Sebagai Wadah atau Tempat Untuk Bekerja Sama

Organisasi adalah suatu tempat dimana sekelompok orang bersama mencapai suatu

tujuan yang ditetapkan, misalnya organisasi buruh bertujuan untuk kepentingan buruh,

organisasi wanita bertujuan untuk hak wanita, organisasi mahasiswa bertujuan untuk

pencapaian mahasiswa dan sebagainya.

2. Proses kerja sama sedikitnya antar dua orang

Selain tempat kerja sama suatu organisasi merupakan proses kerja sama, proses tersebut

sedikitnya melibatkan antar dua orang, makin banyak orang yang melakukan kerjasama,

maka proses organisasi tersebut harus disusun lebih baik dan teroganisir lagi.

3. Jelas tugas kedudukannya masing-masing

Supaya tidak bentrok atau terjadi kesalahpahaman, setiap anggota organisasi sudah ada

tugasnya masing-masing, tugas tersebut disesuaikan dengan keahlian dari setiap anggota,

sehingga sudah jelas apa yang harus dilakukan masing-masing anggota.

4. Ada tujuan tertentu

Suatu perencanaan manager yang baik akan membuat organisasinya menghasilkan hasil

yang baik pula, keuntungannya perkerjaan akan efesien dan efektif.

Unsur-Unsur pendukung Organisasi :

1. Man, adalah unsur utama pembentuk organisasi yang disebut sebagai personil atau

anggota yang menurut fungsi dan tingkatannya terdiri atas unsur pimpinan

(administrator) sebagai pemimpin tertinggi organisasi, para manajer pemimpin unit

12
tertentu suatu kerja sesuai fungsinya dan para pekerja (workers). Setiap hal tersebut

merupakan kekuatan organisasi.

2. Kerja Sama, adalah unsur organisasi dimana setiap anggota atau personil melakukan

perbuatan secara bersama-sama untuk tujuan bersama.

3. Tujuan Bersama, adalah Sasaran yang ingin dicapai/ diharapkan baik dari prosedur,

program, pola atau titik akhir dari pekerjaan organisasi tersebut.

4. Peralatan (Equipment), adalah sarana dan prasarana yang berupa kelengkapan dari

organisasi tersebut baik itu berupa bangunan (gedung, kantor), materi, uang, dan

kelengkapan lainnya.

5. Lingkungan (Environment), adalah unsur organisasi yang juga memiliki pengaruh. Faktor

tersebut adalah ekonomi, sosial budaya, strategi, kebijaksanaan. anggaran, dan peraturan

yang telah ditetapkan.

6. Kekayaan Alam, yang termasuk dengan kekayaan alam adalah air, cuaca, keadaan iklim,

flora dan fauna.

7. Kerangka/Kontruksi Mental Organisasi, adalah landasan dari organisasi yang berada pada

visi organisasi tersebut dibuat.

Teori organisasi adalah teori yang mempelajari kinerja dalam sebuah organisasi, Salah satu

kajian teori organisasi, diantaranya membahas tentang bagaimana sebuah organisasi

menjalankan fungsi dan mengaktualisasikan visi dan misi organisasi tersebut. Selain itu,

dipelajari bagaimana sebuah organisasi mempengaruhi dan dipengaruhi oleh orang didalamnya

maupun lingkungan kerja organisasi tersebut.

Menurut Lubis dah Husein (1987) bahwa teori organisasi itu adalah sekumpulan ilmu

pengetahuan yang membecarakan mekanisme kerjasama dua orang atau lebih secara sistematis

untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Teori organisasi merupakan sebuah teori untuk

mempelajari kerjasama pada setiap individu.

Dalam pembahasan mengenai teori organisasi, mencakup masalah teori-teori organisasi

yang pernah ada dan berlaku beserta sejarah dan perkembangannya hingga sekarang. Yaitu

meliputi teori organisasi klasik, teori organisasi neoklasik dan teori organisasi modern.

13
2.6.1 Teori Organisasi Klasik

Teori klasik (classical theory) kadang-kadang disebut juga teori tradisional, yang berisi

konsep-konsep tentang organisasi mulai dari tahun seribu delapan ratusan (abad 19) yang

mendefinisikan organisasi sebagai struktur hubungan, kekuasaan-kekuasaan, tujuan-tujuan,

peranan-peranan, kegiatan-kegiatan, komunikasi dan faktor-faktor lain yang terjadi bila orang-

orang bekerja sama.

Dalam teori ini, organisasi secara umum digambarkan oleh para teoritisi klasik sebagai

sangat tersentralisasi dan tugas-tugasnya terspesialisasi, serta memberikan petunjuk mekanistik

structural yang kaku tidak mengandung kreativitas. Teori ini juga berkembang dalam tiga aliran

yang dibangun atas dasar anggapan-anggapan yang sama dan mempunyai efek yang sama, yaitu:

1. Teori birokrasi, dikemukakan oleh Max Weber dalam bukunya “The Protestant Ethic and

Spirit of Capitalism.

2. Teori administrasi, dikembangkan atas dasar sumbangan Henry Fayol dan Lyndall

Urwick dari Eropa serta Mooney dan Reiley dari Amerika.

3. Manajemen ilmiah, dikembangkan mulai tahun 1900 oleh Frederick Winslow Taylor.

2.6.2 Teori Organisasi Neoklasik

Teori neoklasik secara sederhana dikenal sebagai teori/aliran hubungan manusiawi (The

human relation movement). Teori neoklasik dikembangkan atas dasar teori klasik. Anggapan

dasar teori ini adalah menekankan pentingnya aspek psikologis dan social karyawan sebagai

individu maupun sebagai bagian kelompok kerjanya, atas dasar anggapan ini maka teori

neoklasik mendefinisikan “suatu organisasi” sebagai sekelompok orang dengan tujuan bersama.

Perkembangan teori neoklasik dimulai dengan inspirasi percobaan-percobaan yang dilakukan di

Howthorne dan dari tulisan Huga Munsterberg.

Dalam hal pembagian kerja, teori neklasik telah mengemukaan perlunya hal-hal sebagai

berikut:

1. Partiipasi, yaitu melibatkan setiap orang dalam proses pengambilan keputusan.

14
2. Perluasan kerja (job enlargement) sebagai kebalikan dari pola spesialisasi.

3. Manajemen bottom-up yang akan memberikan kesempatan kepada para yunior untuk

berpartisipasi dalam pengambilan keputusan manajemen puncak.

2.6.3 Teori Organisasi Modern

Teori modern ditandai dengan ahirnya gerakan contingency yang dipelopori Herbert

Simon, yang menyatakan bahwa teori organisasi perlu melebihi prinsip-prinsip yang dangkal

dan terlalu disederhanakan bagi suatu kajian mengenai kondisi yang dibawahnya dapat

diterapkan prinsip yang saling bersaing. Kemudian Katz dan Robert Kahn dalam bukunya “the

social psychology of organization” mengenalkan perspektif organisasi sebagai suatu sistem

terbuka. Buku tersebut mendeskripsikan keunggulan-keunggulan perspektif sistem terbuka

untuk menelaah hubungan yang penting dari sebuah organisasi dengan lingkungannya, dan

perlunya organisasi menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang berubah jika organisasi ingin

tetap bertahan.

Teori modern yang kadang – kadang disebut juga sebagai analisa system pada organisasi

merupakan aliran besar ketiga dalam teori organisasi dan manajemen. Teori modern melihat

bahwa semua unsur organisasi sebagai satu kesatuan an saling ketergantungan, yang di dalamnya

mengemukakan bahwa organisasi bukanlah suatu system tertutup yang berkaitan dengan

lingkungan yang stabil, akan tetapi organisasi merupakan system terbuka.

2.6 Pendapat tentang organisasi yang baik

Pendapat tentang organisasi yang baik bisa di kemukakan dengan mengetahui ciri-cirinya

sebagai berikut :

1. Memiliki anggota yang kuantitas dan identitasnya jelas.

Dalam suatu organisasi, seperti yang kita ketahui, memiliki anggota (minimal dua orang)

yang bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan tertentu dan tentunya dengan cara-cara

tertentu. Suatu organisasi yang baik, pasti memiliki jumlah anggota yang jelas dan

identitas yang jelas. Misalnya dalam suatu perekrutan, telah terpilih anggota sebanyak 50

15
orang, dan masing-masing anggota ditandai dengan suatu surat keputusan atau pun kartu

tanda anggota. Serta mempunyai aturan dalam perekrutan anggota yang jelas.

2. Organisasi memilik identitas yang jelas.

Suatu organisasi yang baik memiliki identitas yang jelas, seperti namanya, latar belakang

berdirinya, anggaran dasar/anggaran rumah tangga, bergerak di suatu bidang tertentu, dan

alamatnya jelas serta lambang organisasi yang jelas.

3. Memiliki struktur organisasi yang jelas.

Di dalam organisasi yang baik, terdapat suatu struktur yang memiliki pembagian dan

tugas yang jelas. Paling tidak terdapat ketua, sekretaris, dan masing-masing divisi.

Sehingga dalam organisasi tersebut jelas arah koordinasinya.

4. Mengacu pada manajemen yang sehat.

Dalam manajemen organisasi sekurang-kurangnya memiliki :

 Planning –> perencanaan, langkah-langkah yang akan diambil dengan suatu

pertimbangan yang matang

 Action –> aksi, pelaksanaan dari sesuatu yang telah direncanakan sebelumnya

 Evaluation –> evaluasi, penilaian terhadap kekurangan-kekurangan yang telah terjadi

pada tahap pelaksanaan, serta ditemukannya solusi agar ke depannya dapat semakin

baik dan berkembang. Tiga hal tersebut lah yang digunakan dalam setiap pelaksanaan

suatu program kerja.

5. Memiliki manfaat bagi lingkungan.

Organisasi yang baik tidak hanya memberikan keuntungan dan manfaat bagi anggota-

anggotanya, tapi juga manfaat yang positif bagi lingkungan. Dalam arti suatu organsasi

tidak hanya baik dari segi internnya, tapi juga ekstern dari organisasi tersebut. Misalnya,

suatu organisasi mahasiswa hukum, yang memberikan penyuluhan hukum kepada

masyarakat sekitar dengan tujuan membantu meningkatkan kesadaran hukum dalam

masyarakat awam. Sehingga Organisasi tersebut dapat diterima dan diakui oleh

masyarakat disekitarnya.

16
2.7 Teori Motivasi

Motivasi adalah proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan seorang individu

untuk mencapai tujuannya. Tiga elemen utama dalam definisi ini adalah intensitas, arah, dan

ketekunan. Dalam hubungan antara motivasi dan intensitas, intensitas terkait dengan seberapa

giat seseorang berusaha, tetapi intensitas tinggi tidak menghasilkan prestasi kerja yang

memuaskan kecuali upaya tersebut dikaitkan dengan arah yang menguntungkan organisasi.

Sebaliknya elemen yang terakhir, ketekunan, merupakan ukuran mengenai berapa lama

seseorang dapat mempertahankan usahanya. Berikut ini adalah 5 teori motivasi menurut para ahli

Teori Motivasi oleh Douglas Mc Gregor (Teori X dan Y), Douglas Mc Gregor menemukan

teori X dan Y setelah mengkaji cara para manager berhubungan dengan para karyawan. Ada

empat asumsi negatif yang dimiliki oleh manager dalam teori X, yaitu karyawan pada dasarnya

tidak menyukai pekerjaan dan sebisa mungkin berusaha untuk menghindarinya. Karena

karyawan tidak menyukai pekerjaan, mereka harus dikendalikan atau diancam dengan hukuman

untuk mencapai tujuan. Karyawan akan menghindari tanggung jawab dan mencari perintah

formal (asumsi ketiga). Sebagian karyawan menempatkan keamanan di atas semua faktor lain

terkait pekerjaan dan menunjukkan sedikit ambisi.

Bertentangan dengan pandangan-pandangan negatif mengenai sifat manusia dalam teori X,

ada empat asumsi positif yang disebutkan dalam teori Y, yaitu karyawan menganggap kerja

sebagai hal yang menyenangkan seperti halnya istirahat atau bermain. Karyawan akan berlatih

mengendalikan diri dan emosi untuk mencapai berbagai tujuan. Karyawan bersedia belajar untuk

menerima, mencari dan bertanggung jawab. Karyawan mampu membuat berbagai keputusan

inovatif yang diedarkan ke seluruh populasi dan bukan hanya bagi mereka yang menduduki

posisi manajemen.

Teori Motivasi oleh Abraham Maslow (Teori Hierarki Kebutuhan), teori motivasi yang

paling terkenal adalah teori Hirarki Kebutuhan oleh Abraham Maslow. Ia membuat hipotesis

bahwa dalam setiap diri manusia terdapat hierarki dari lima kebutuhan, yaitu fisiologis (rasa

lapar, haus, seksual, dan kebutuhan fisik lainnya), rasa aman (rasa ingin dilindungi dari bahaya

fisik dan emosional), sosial (rasa kasih sayang, kepemilikan, penerimaan, dan persahabatan),

17
penghargaan (faktor penghargaan internal dan eksternal), dan aktualisasi diri (pertumbuhan,

pencapaian potensi seseorang, dan pemenuhan diri sendiri).

Maslow memisahkan lima kebutuhan ke dalam urutan-urutan. Kebutuhan fisiologis dan

rasa aman dideskripsikan sebagai kebutuhan tingkat bawah sedangkan kebutuhan sosial,

penghargaan, dan aktualisasi diri sebagai kebutuhan tingkat atas. Perbedaan antara kedua tingkat

tersebut adalah dasar pemikiran bahwa kebutuhan tingkat atas dipenuhi secara internal sementara

kebutuhan tingkat rendah secara dominan dipenuhi secara eksternal. Teori kebutuhan Maslow

telah menerima pengakuan luas di antara manajer pelaksana karena teori ini logis secara intuitif.

Namun, penelitian tidak memperkuat teori ini dan Maslow tidak memberikan bukti empiris dan

beberapa penelitian yang berusaha mengesahkan, teori ini tidak menemukan pendukung yang

kuat.

Teori Motivasi oleh David Mc Clelland (Teori Motivasi Kontemporer), teori motivasi

kontemporer bukan teori yang dikembangkan baru-baru ini, melainkan teori yang

menggambarkan kondisi pemikiran saat ini dalam menjelaskan motivasi karyawan. Teori

kebutuhan McClelland dikembangkan oleh David McClelland dan teman-temannya. Teori

kebutuhan McClelland berfokus pada tiga kebutuhan yang didefinisikan sebagai berikut:

1. Kebutuhan pencapaian: Dorongan untuk melebihi, mencapai standar, berusaha keras

untuk berhasil.

2. Kebutuhan kekuatan: Kebutuhan untuk membuat individu lain berperilaku sedemikian

rupa sehingga mereka tidak akan berperilaku sebaliknya.

3. Kebutuhan hubungan: Keinginan untuk menjalin suatu hubungan antarpersonal yang

ramah dan akrab.

Teori Motivasi oleh Herzberg (Teori Dua Faktor), Herzberg memandang bahwa kepuasan

kerja berasal dari keberadaan motivator intrinsik dan bahwa ketidakpuasan kerja berasal dari

ketidakberadaan faktor-faktor ekstrinsik. Faktor-faktor ekstrinsik (konteks pekerjaan) meliputi:

(1) Upah, (2) Kondisi kerja, (3) Keamanan kerja, (4) Status, (5) Prosedur perusahaan, (6) Mutu

penyelesaian, (7) Mutu hubungan interpersonal antar sesama rekan kerja, atasan, dan bawahan.

Keberadaan kondisi-kondisi ini terhadap kepuasan karyawan tidak selalu memotivasi mereka.

18
Tetapi ketidakberadaannya menyebabkan ketidakpuasan bagi karyawan, karena mereka perlu

mempertahankan setidaknya suatu tingkat “tidak ada kepuasan”, kondisi ekstrinsik disebut

ketidakpuasan, atau faktor hygiene.

Faktor Intrinsik meliputi: (1) Pencapaian prestasi, (2) Pengakuan, (3) Tanggung jawab, (4)

Kemajuan, (5) Pekerjaan itu sendiri, (6) Kemungkinan berkembang. Tidak adanya kondisi-

kondisi ini bukan berarti membuktikan kondisi sangat tidak puas. Tetapi jika ada, akan

membentuk motivasi yang kuat yang menghasilkan prestasi kerja yang baik. Oleh karena itu,

faktor ekstrinsik tersebut disebut sebagai pemuas atau motivator.

Teori dua faktor Herzberg mengasumsikan bahwa hanya beberapa ciri pekerjaan dan

karakteristik dapat menghasilkan motivasi. Beberapa karakteristik yang menjadi fokus manajer

akan bisa menghasilkan kondisi kerja yang nyaman, tetapi tidak memotivasi karyawan. Motivasi

ini diukur dengan cara mewawancarai karyawan untuk menguraikan kejadian pekerjaan yang

kritis.

19
BAB III

PEMBAHASAN

III.1 KONFLIK ORGANISASI PERANGKAT DAERAH

Sebuah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang merupakan salah satu organisasi publik

akan mengalami gesekan-gesekan di dalam tubuh organisasi tersebut. Merupakan hal yang wajar

bila kondisi tersebut terjadi karena bukanlah sesuatu yang berjalan konstan dari waktu ke waktu

dan juga dipengaruhi oleh banyak faktor.

Badan Pengelola Perbatasan Daerah (BPPD), merupakan salah satu Organisasi Perangkat

Daerah (OPD) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sintang Nomor 1 Tahun

2019 tentang Pembentukan Badan Pengelola Perbatasan Daerah Kabupaten Sintang yang

mempunyai tugas pokok dan fungsi BPPD merupakan unsur pendukung Pemerintah Daerah

yang dibentuk dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi pengelolaan perbatasan, berada di

bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah. BPPD merupakan

Lembaga Fungsi Penunjang Lainnya yang menjadi bagian dari perangkat daerah, dibentuk dalam

rangka melaksanakan tugas dan fungsi pengelolaan perbatasan. BPPD mempunyai tugas

menetapkan kebijakan program pembangunan perbatasan, menetapkan rencana kebutuhan

anggaran, mengoordinasikan pelaksanaan, dan melaksanakan evaluasi dan pengawasan terhadap

pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan.

Konflik ini terjadi yang disebabkan oleh adanya miss communication antar atasan dengan

bawahan. Adanya surat undangan atau permintaan data dari Kementerian/Badan Nasional

Pengelola Perbatasan atau dari BPPD Provinsi Kalbar yang mendadak dan perlu cepat, Pimpinan

belum memberitahukan atau mendisposisikan perintah tersebut secara resmi ke Kepala Bidang

namun perintah tersebut langsung ditujukan kepada Kepala Subbidang dan staf yang menanggani

pekerjaan tersebut, sehingga Kepala Bidang merasa dilangkahi dan tidak sesuai dengan hirarki

jabatan merasa diperlakukan semena-mena oleh Pimpinan yaitu Kepala Badan. Kepala Bidang

memprotes perintah tersebut dalam rapat staf yang biasa dilaksanakan sebulan sekali. .

20
OPD manapun pasti pernah mengalami konflik internal. Mulai dari tingkat individu,

kelompok, sampai unit. .Mulai dari derajat dan lingkup konflik yang kecil sampai yang besar.

Yang relatif kecil seperti masalah adu mulut tentang pribadi antarkaryawan, sampai yang relatif

besar seperti beda pandangan tentang pelaksanaan pekerjaan.

Biasanya masalah timbul karena lingkungan yang kurang kondusif di suatu OPD.

Misalnya, kondisi cahaya yang kurang, atau sirkulasi yang kurang baik, dan temperature ruangan

yang tinggi sangat mungkin untuk meningkatkan emosi seseorang, jadi kondisi dari lingkungan

juga harus di perhatikan.

Konflik dalam OPD juga sering terjadi antar staf, hal ini biasanya terjadi karena masalah

diluar urusan pekerjaan, misalnya tersinggung karena ejekan, masalah ide yang dicuri, dan

senioritas. OPD yang baik harus bisa menghilangkan masalah senioritas dalam intansi tersebut.

Hal ini dapat meminimalisir masalah yang akan timbul, kerena dengan suasanya yang harmonis

dan akrab maka masalah akan sulit untuk muncul.

Seharusnya pimpinan harus bisa membaca pikiran atau keinginan para stafnya, atasan juga

harus sering berkomunikasi langsung dengan para stafnya sehingga tidak terjadi miss

communication, dengan begitu atasan dapat mengetahui bagaimana sifat dan keinginan para

stafnya tersebut. Dalam memberi perintah mendadak dan langsung ditujukan kepada bawahan

yang melaksanakan pekerjaan tersebut walaupun tidak resmi melalui perintah/disposisi dapat

dikomunikasi melalui media elektronik yaitu WhatsApp Grup yang dibuat khusus untuk seluruh

staf dan pimpinan dilingkungan tersebut atau Grup WhatsApp khusus pimpinan sehingga

komunikasi tetap terjalin walaupun yang bersangkutan tidak ada ditempat dikarenakan tugas

luar. Organisasi Perangkat Daerah hampir pasti pernah mengalami dan menyelesaikan konflik-

konfliknya, seperti jenis-jenis konflik yang dijabarkan oleh Sukanto, (1996:232), masing-masing

sebagai berikut:

1. Konflik peranan yang terjadi di dalam diri seseorang (person-role conflict).

Dimana peraturan yang berlaku tak dapat diterima oleh seseorang sehingga orang tersebut

memilih untuk tidak melaksanakan sesuatu sesuai dengan peraturan yang berlaku

tersebut.

21
2. Konflik antar peranan (inter-role conflict)

Dimana orang menghadapi persoalan karena dia menjabat dua atau lebih fungsi yang

saling bertentangan seperti seseorang yang menjadi Pejabat Pembuat Komitmen dalam

sebuah instansi tetapi juga sebagai Anggota Pokja Pengadaan.

3. Konflik yang timbul karena seseorang harus memenuhi harapan beberapa orang

(intersender conflict)

Misalnya seorang Kepala Dinas yang harus memenuhi permintaan dari Kepala-Kepala

Bidang yang berlainan dan harus mengakomodir semua kepentingan/kebutuhan yang juga

sangat bermacam-macam.

4. Konflik yang timbul karena disampaikannya informasi yang saling bertentangan

(intrasender conflict).

Berdasarkan hasil kesimpulan beberapa definisi tentang konflik dalam sebuah organisi

perangkat daerah, konflik sebagai sebuah situasi timbul karena adanya sebab yang

mengkondisikannya. Sebab-sebab umum yang sering menimbulkan konflik dalam suatu

organisasi tersebut menurut Agus Hardjana, 1994:24 antara lain :

1. Salah pengertian, informasi/berita yang tidak dikomunikasikan secara lengkap/utuh dapat

menimbulkan konflik. Informasi yang lengkap dan jelas tetapi tidak disampaikan tepat

waktu juga dapat menimbulkan konflik. Dari sisi penerima informasi/pesan, semua pesan

telah diterima secara komplit/utuh, jelas, tepat waktu, tetapi salah dalam memahami dan

menterjemahkan informasi yang diterima tersebut..

2. Perbedaan tujuan kerja karena perbedaan nilai hidup yang dianut. Orang yang bekerja

karena ingin mendapatkan upah/gaji demi menghidupi ekonomi keluarga akan sangat

berbeda motivasi/semangat dan cara kerjanya jika dibandingkan dengan orang yang

bekerja hanya karena ingin mengabdikan dirinya sebagai panggilan hidup. Orang-orang

yang secara materi sudah berkecukupan, bekerja kadangkala hanya digunakan untuk

memperoleh status sosial saja, sehingga kondisi semacam ini memunculkan disorientasi

kerja antara orang satu dengan lainnya.

22
3. Perebutan dan persaingan dalam hal fasilitas kerja dan suatu jabatan yang terbatas.

Konflik dapat muncul dalam situasi di mana orang-orang yang berkeinginan untuk

menduduki jabatan eselon IV, eselon III, sampai jabatan eselon II sangat banyak

sementara pospos jabatan yang ingin dituju sangatlah terbatas. Perebutan/persaingan pos-

pos jabatan seperti di atas sangat potensial menimbulkan gesekan kepentingan.

Keterbatasan fasilitas kendaraan dinas, alat kerja seperti komputer, mesin ketik,

kalkulator, dan tempat parkir juga bisa menjadi perebutan dan saling menguasai satu

sama lain.

4. Masalah wewenang dan tanggungjawab. Jenis pekerjaan yang bermacam-macam dan

saling memiliki keterkaitan satu sama lain memungkinkan terjadinya lempar

tanggungjawab atas pekerjaan tertentu. Dalam organisasi perangkat daerah yang besar

dengan kompleksitas pekerjaan dan masalah yang besar, batas-batas wewenang dan

tanggungjawab antar lini atau bagian walaupun sudah jelas dan terstandar tetapi

seringkali masih menyisakan persoalan-persoalan yang di luar kebiasaan.

5. Penafsiran yang berbeda atas suatu hal, perkara, dan peristiwa yang sama. Organisasi

yang beranggotakan orang-orang dengan berbagai latar belakang suku, agama,

pendidikan, jenis kelamin, dan usia memiliki tingkat heteroginitas yang sangat tinggi.

Karena anggota organisasi yang berbeda latar belakang, sudah barang tentu keinginan,

harapan, sudut pandang, ide, gagasan, dan tujuan setiap orang juga berbeda-beda pula.

Perbedaan sudut pandang terhadap suatu peristiwa antar individu memungkinkan

munculnya pertentangan pendapat yang bias menimbulkan konflik. Organisasi yang

identik dengan birokrasi, aturan, dan tata tertib memaksa tiap individu mematuhi dan

menepati aturan-aturan tersebut. Dalam menjalankan aturan dan tata tertib seorang

pegawai/karyawan ada yang tidak sama antar pegawai yang satu dengan yang lain, hal ini

diakibatkan oleh perbedaan penafsiran, sudut pandang, dan interpretasi atas peraturan

yang ada.

6. Kurangnya kerja sama antar pegawai, antara pegawai dengan pimpinan, dan antara

pimpinan dengan pimpinan dapat menyebabkan hasil kerja tidak optimal. Penyebab hasil

23
kerja yang tidak optimal tersebut seringkali dicarikan kambing hitam (scape goat), saling

menyalahkan, saling mencari pembenaran sendiri, bahkan saling mencaci yang akhirnya

menimbulkan konflik dalam organisasi.

7. Tidak menaati tata tertib yang berlaku bagi semua anggota oraganisasi. Jika pada kasus

nomor 5 di atas orang melanggar tata tertib (tidak sengaja) karena perbedaan penafsiran,

dalam kasus pegawai yang tidak menaati tata tertib lebih disebabkan karena sikap

pegawai yang tidak disiplin. Sikap tidak disiplin yang ditunjukkan oleh seorang pegawai

karena adanya kecenderungan penyimpangan perilaku yang dapat menimbulkan

kecemburuan/kekecewaan terhadap pegawai-pegawai yang taat dan tertib dengan

peraturan. Kecemburuan/kekecewaan inilah yang bisa menjadi penyulut timbulnya

konflik dalam organisasi.

8. Ada usaha untuk menguasai dan merugikan. Pada dasarnya setiap orang tidak ada yang

mau dikuasi, dijajah, disepelekan, dan di tindas harga diri dan eksistensinya dalam

pergaulan di level manapun. Organisasi yang di dalamnya terdapat kelompok-kelompok

orang seringkali ingin mencari pengaruh dan menunjukkan superiroritasnya diantara

kelompok-kelompok minoritas yang lain. Usaha kelompok tertentu dalam organisasi

untuk menguasai kelompok lain dengan tujuan mencari keuntungan di satu sisi dan

merugikan di sisi yang lain dapat memunculkan situasi/gejolak terutama kelompok yang

merasa dirugikan. Gejolak yang muncul inilah yang dapat membulkan konflik organisasi

yang harus diredam dan dicarikan penyelesaiannya oleh para manajer/pimpinan.

9. Pelecehan pribadi dan kedudukan. Orang yang pribadi dan kedudukannya dilecehkan

merasa harga dirinya di injak dan dan direndahkan. Apalagi orang yang melecehkan

tersebut secara hirarki tidak setara kedudukannya dibandingkan dengan orang yang

dilecehkan. Seorang yang pribadi dan kedudukannya diremehkan dan dihina orang lain

biasanya melakukan perlawanan. Kadangkala perlawanan melibatkan bawahan masing

yang berkonflik, sehingga cakupan konfliknya menjadi meluas.

10. Perubahan dalam sasaran dan prosedur kerja. Pada dasarnya orang yang sudah berada

pada posisi nyaman (comfort zone) memiliki kecenderungan untuk memepertahankan

24
status quo alias tetap. Bagi orang yang berada dalam wilayah nyaman, perubahan

dianggap sebagai ancaman yang harus dilawan. Perubahan hanya akan merugikan

dirinya, baik dari sisi karir, kedudukan, kewenangan, pestise, pengaruh maupun secara

ekonomi.

Selain itu, jika dipandang dari sumbernya konflik juga bisa timbul karena adanya

beberapa sebab antara lain:

1. Konflik individu, timbul ketika seorang individu sedang menghadapi pekerjaan yang

tidak disukainya di satu sisi tetapi harus dilakukannya pada sisi yang lain sebagai bentuk

konsekuensi dari status dan jenjang kepangkatan yang melekat pada dirinya. Selain itu

pada situasi tertentu seseorang akan mengalami konflik individu ketika target pekerjaan

yang harus diselesaikannya tidak didukung oleh kemampuan teknis yang dimilikinya

karena faktor pendidikan, usia, dan kesehatan.

2. Konflik antar individu, timbul dalam suatu organisasi akibat perbedaan latar belakang,

etnis, suku, agama, tujuan, dan kepribadian antar individu. Konflik semacam ini juga bisa

muncul karena antar individu dibedakan oleh peranan masing-masing dalam organisasi

seperti direktur dengan manajer, manajer dengan mandor, dan mandor dengan para buruh

atau sebaliknya. Perbedaan peran tentunya memunculkan perbedaan tujuan, orientasi, dan

kepentingan masing-masing.

3. Konflik antara individu dengan kelompok, hal ini terjadi karena individu tertentu

seabagai bagian dari kelompok dalam suatu organisasi tidak/kurang bisa memberikan

manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga dikucilkan dari pergaulan

kelompok tersebut. Perasaan dikucilkan, tidak dihargai, tidak dipandang/dihormati seperti

individu yang lain menimbulkan konflik individu yang dapat mengganggu integritas dan

keseimbangan hubungan antar individu sehingga dapat merugikan organisasi secara

keseluruhan.

4. Konflik antar kelompok, konflik ini terjadi karena perbedaan kepentingan dan tujuan

yang satu sama lain tidak ada yang mau mengalah. Biasanya konflik antar kelompok ini

25
muncul karena ingin saling menguasai, yang mayoritas merasa lebih berhak menjadi

pemimpin dan menentukan tujuan kelompok tersebut. Sedangkan kelompok minoritas

berasumsi bahwa dalam kelompok tidak bolah ada superior dan inferior, semua memiliki

hak dan kewajiban yang sama, berhak atas perlakuan dan keadilan yang sama.

5. Konflik antara kelompok dengan organisasi, konflik ini timbul ketika organisasi

menuntut target produktivitas terlalu tinggi sedangkan para individu anggota organisasi

hanya bisa memberikan terlalu rendah. Seorang direktur ingin perusahaannya maju

dengan tingkat produksi yang optimal agar dicapai laba perusahaan secara optimal pula,

sementara dari sisi manajer, mandor, buruh/karyawan berkeinginan bagaimana

memperoleh gaji/upah yang setinggi-tingginya agar dapat mencukupi kebutuhan ekonomi

keluarganya.

6. Konflik antar organisasi, timbul sebagai akibat persaingan bisnis, persaingan memperoleh

pengakuan/pengaruh dari masyarakat, kesalahpahaman antar individu anggota organisasi.

Konflik pada dasarnya bisa muncul pada aktivitas diri seseorang (sebagai konflik

internal) maupun pada aktivitas sosial yang cakupannya lebih luas. Konflik yang timbul dari

internal individu/organisasi cara menanggulanginya akan jauh lebih mudah dibandingkan dengan

konflik yang timbulnya dari kelompok dengan kelompok dan kelompok dengan organisasi atau

antar organisasi. Kecepatan meredam, memanaj, dan menyelesaikan berbagai jenis konflik yang

muncul sangat dipengaruhi oleh tingkat respon dan ketepatan dalam memilah/memilih strategi

penyelesaian konflik tersebut. Konflik dengan skala cakupan sempit yang berasal dari individu

dengan individu akan menjadi konflik besar jika dalam merespon dan menanganinya tidak bisa

tuntas serta memuaskan dua individu yang berkonflik. Hal ini sangat mungkin terjadi karena

konflik antar individu kemungkinan berasal dari dua kelompok yang berbeda sehingga. Dalam

situasi seperti ini pihak pimpinan organisasi harus cepat merespon dan meminimalisir konflik

yang ada, karena jika konflik antar individu yang berasal dari dua kelompok yang berbeda

tersebut terus dibiarkan berlarut-larut bukan tidak mungkin konflik akan berubah menjadi

konflik antar kelompok. Berbagai konflik yang timbul di dalam aktivitas organisasi, baik konflik

26
individu, antar individu, kelompok, antar kelompok, individu/kelompok dengan organisasi,

maupun antar organisasi seringkali hanya disebabkan oleh hal-hal yang sepele. Komunikasi yang

tidak lancar dan pebedaan persepsi tentang suatu informasi sering menjadi pemicu/penyebab

timbulnya konflik. Selain itu interaksi yang terjadi antar individu dan antar kelompok ada

kalanya tidak bisa saling memahami hubungan interpersonal yang dikehendaki.

Untuk menganalisa bentuk interaksi antara individu dengan individu lain, dapat

menggunakan jendela Johari (Joseph Lutf dan Harry Ingham) dalam Sukanto, (1996:240)

sebagai berikut:

1. Pribadi terbuka (open self), pola interaksi ini menunjukkan pribadi yang mengenal

dirinya sendiri dan juga mengenal pribadi orang lain. Pribadi lebih terbuka sehingga bisa

meminimalkan konflik yang mungkin timbul.

2. Pribadi tersembunyi (hidden self), pola interaksi ini pribadi cenderung hanya mengenal

dirinya sendiri dan tidak mengenal pribadi orang lain. Akibat dari kondisi ini adalah

pribadi tersebut menjadi lebih tertutup kepada orang lain, karena takut dalam

mengungkapkan sesuatu bisa menimbulkan reaksi (negatif) bagi orang lain. Akumulasi

dari pola-pola interaksi pribadi yang demikian sangat potensial memunculkan konflik

antar pribadi dalam organisasi.

3. Pribadi buta (blind self), pada situasi ini orang mengenal pribadi orang lain tetapi justru

tidak mengenal dirinya sendiri. Orang dengan pribadi seperti ini sangat menjengkelkan

orangorang yang ada di sekelilingnya karena banyak perilakunya yang menyimpang/salah

tetapi orang lain segan menegur/memberi tahu. Kejengkelan dan kekecewaan demi

27
kekecewaan orang lain akibat perilaku yang ditunjukkan pribadi buta dapat menimbulkan

konflik dalam organisasi.

4. Pribadi tak dikenal (undiscovered self), pada situasi ini orang sama sekali tidak mengenal

dirinya sendiri apalagi orang lain. Dalam praktek interaksi sosial sehari-hari pribadi tipe

ini seringkali mengalami konflik antar pribadi dalam setiap bersosialisasi dengan

siapapun. 2 Pribadi tersembunyi 1 Pribadi terbuka 4 Pribadi tak dikenal 3 Pribadi buta.

Akibat-akibat Konflik Konflik yang muncul dan terjadi dalam suatu organisasi yang

disebabkan oleh faktor apapun, memiliki konsekuensi atau akibat bagi seluruh elemen

oraganisasi tersebut. Sebagai sebuah sebab, maka konflik juga dapat membawa akibat positif dan

negatif.

1. Akibat Positif

a. Organisasi memiliki dinamika dan jalinan yang akrab satu sama lain karena

adanya interaksi yang intensif antar sesama anggota organisasi baik yang

terlibat langsung dengan konflik maupun yang lain. Konflik antar individu atau

antar kelompok yang diselesaikan dengan damai dan adil akan membawa

keharmonisan dan kebersamaan yang saling menguatkan.

b. Orang-orang yang pernah berkonflik memahami akan dampak yang

diakibatkan oleh konflik yang dilakukan, sehingga pengalaman masa lalu dapat

dijadikan sebagai pelajaran berharga dalam bekerja. Jika harus terjadi konflik

serupa, maka satu sama lain akan saling berusaha memahami dan

menyelaraskan dengan lingkungan di mana berada.

c. Konflik yang muncul akibat ketidakpuasan atas diberlakukannya peraturan

tentang upah/gaji dan jenis kesejahteraan lainnya yang sebelumnya ditentang,

boleh jadi oleh pihak manajemen pemberlakuannya ditunda atau dibatalkan.

d. Konflik yang timbul tetapi bisa diredam dan dikelola secara baik dapat

melahirkan kritik-kritik membangun, cerdas, kreatif, dan inovatif demi

28
kebaikan organisasi secara keseluruhan baik jangka pendek maupun jangka

panjang.

e. Anggota organisasi yang tidak terlibat secara langsung dalam suatu konflik,

dapat mengambil hikmah dan bisa belajar bagaimana menghadapi perbedaan

sifat, sikap, dan perilaku orang lain di tempat kerja.

2. Akibat Negatif

a. Komunikasi organisasi terhambat

b. Kerjasama yang sudah dan akan terjalin antar individu dalam organisasi

menjadi terhalang/terhambat.

c. Aktivitas produksi dan distribusi dalam perusahaan menjadi terganggu, bahkan

sangat mungkin dapat mengakibatkan turunnya omset penjualan dalam kurun

waktu tertentu.

d. Masing-masing pihak yang berkonflik sangat rentan tersulut adanya situasi

atau hal lain yang memancing kedua belah pihak untuk berkonflik lagi.

e. Bekerja dalam situasi yang sedang ada konflik menyebabkan orang yang tidak

ikut berkonflikpun ikut merasakan dampaknya seperti situasi kerja yang tidak

kondusif, antar pegawai/karyawan muncul saling mencurigai, salah paham, dan

penuh intrik yang mengganggu hubungan antar individu.

f. Individu yang sedang berkonflik merasa cemas, stres, apatis, dan frsutasi

terhadap situasi yang sedang dihadapi. Bekerja dalam situasi dan kindisi

psikologis seseorang seperti ini tentunya dapat menyebabkan menurunnya etos

kerja yang akhirnya merugikan produktivitas organisasi/perusahaan secara

luas.

g. Akibat terburuk bagi orang-orang yang sedang berkonflik dalam suatu

organisasi adalah stres yang berkepanjangan hingga menarik diri dari

pergaulan dan mangkir dari pekerjaan. Akibat akumulasi dari kondisi ini

adalah yang bersangkutan berhenti atau diberhentikan dari pekerjaan karena

seringnya mangkir dari pekerjaan sehingga dapat merugikan perusahaan.

29
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Organisasi perangkat daerah merupakan salah satu organisasi publik dalam lingkup

otonomi daerah merupakan salah satu pemberdayaan daerah adalah suatu tempat di mana

banyak orang berkumpul dan saling berinteraksi satu sama lain. Tetapi seiring berjalannya

waktu, di dalam organisasi pasti pernah mengalami konflik. Konflik tidak muncul seketika dan

langsung menjadi besar. Konflik itu berkembang secara bertahap. Yang dibutuhkan bukan

meredam konflik, tapi bagaimana menanganinya sehingga bisa membawa dampak yang tidak

negatif bagi organisasi. Dan semua anggota bisa menjadikan konflik dalam organisasi sebagai

sebuah pembelajaran dan bagian pertimbangan atas banyaknya pemikiran-pemikiran yang

berbeda pada setiap anggota organisasi. Konflik dilator belakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang

dibawa individu. Hal itu lalu menimbulkan perbedaan yang menyangkut ciri fisik, kepandaian,

pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.

Dari pembahasan yang telah disampaikan, maka dapat disimpulkan bahwa kehadiran

konflik dalam suatu organisasi tidak dapat dihindarkan tetapi hanya dapat diminimalisir. Konflik

dalam organisasi dapat terjadi antara individu dengan individu, baik individu pimpinan maupun

individu karyawan, konflik individu dengan kelompok maupun konflik antara kelompok tertentu

dengan kelompok yang lain. Tidak semua konflik merugikan organisasi. Konflik yang ditata dan

dikendalikan dengan baik dapat berujung pada keuntungan organisasi sebagai suatu kesatuan,

sebaliknya apabila konflik tidak ditangani dapat merugikan kepentingan organisasi. Yang

terpenting adalah mengembangkan pengetahuan yang cukup dan sikap yang positif terhadap

konflik, karena peran konflik yang tidak selalu negatif terhadap organisasi. Dengan

pengembalian yang cukup senang, pimpinan dapat cepat mengenal, mengidentifikasi dan

mengukur besarnya konflik serta akibatnya dengan sikap positif dan kemampuan

kepemimpinannya, seorang pimpinan akan dapat mengendalikan konflik yang akan selalu ada,

dan bila mungkin menggunakannya untuk keterbukaan organisasi dan anggota organisasi yang

30
dipimpinnya. Tentu manfaatnya pun dapat dirasakan oleh dirinya sendiri. Penyeselaian dari

konflik adalah dengan cara menimbulkan sikap dalam diri masing-masing, yaitu rasa saling

menghormati, menghargai dan rasa toleransi yang bisa menghindarkan kita dari permasalahan

yang menyebabkan terjadinya suatu konflik.

3.2 Saran

1. Menanggapi konflik dengan kepala dingin, jangan emosi agar konflik dapat di selesaikan

dengan baik.

2. Meminimalisir ego pada sifat alami diri sendiri saat sedang ada dalam kelompok.

3. Mengutamakan kepentingan bersama, jika mempunyai pendapat sosialisasikan bersama

anggota kelompok yang lain.

4. Motivasi rekan atau bawahan dengan apresiasi secara benar karena dukungan sangat

penting dalam menyelesaikan masalah.

5. Menghargai setiap pendapat yang disampaikan atau yang diutarakan.

6. Selalu berfikir positif setiap ada masukan pendapat.

7. Menyelesaikan setiap masalah yang timbul sampai tuntas.

8. Menghindari konflik dengan berkomunikasi baik sesama anggota.

9. Memanfaatkan setiap ide atau pendapat yang masuk.

10. Keterbukaan pada setiap anggota kelompok harus ada agar dapat menyelesaikan konflik

dengan baik dan tidak berlarut-larut.

31

Anda mungkin juga menyukai