Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Pada hakikatnya, organisasi dan menajemen tidak dapat dipisahkan.
Organisasi merupakan alat menajemen untuk mencapai tujuannya. Organisasi
adalah bentuk perserikatan untuk mencapai tujuan bersama. Dalam organisasi
terdapat tiga faktor atau unsur penting, yaitu :
1. Adanya sekelompok orang
2. Adanya hubungan dan pembagian kerja diantara mereka
3. Adanya tujuan yang ingin dicapai

Secara ringkas dapat diberikan batasan organisasi sebagi berikut:

1. Dalam arti badan, organisasi adalah sekelompok orang yang bekerja sama
untuk mencapai tujuan tertentu.
2. Dalam arti bagan, organisai adalah gambaran skematis tentang hubungan
kerja sama antara orang-orang yang terdapat dalam suatu badan untuk
mencapai suatu tujuan.
3. Dalam arti dinamis, organisasi adalah suatu proses penetapan dan
pembagian pekerjaan, pembatasan tugas dan bertanggung jawab, serta
penetapan hubungan antara unsur-unur organisasi, sehingga
memungkinkan orang bekerja sama secara efektif untuk mencapai tujuan.
Dalam pelaksanaannya, organisasi dapat dibedakan menjadi organisasi
formal dan organisasi informal.
Organisasi Formal merupakan sistem tugas, hubungan wewenang
tanggung jawab, dan pertanggung jawaban yang dirancang oleh
manajemen agar pekerjaan dapat di lakukan. Beberapa faktor yang harus
diperhatikan dalam penyusunan struktur organisasi formal adalah :
a. Wewenang
b. Tanggung jawab
c. Pertanggung jawaban
d. Delegasi
e. Koordinasi

Organisasi informal adalah jaringan hubungan pribadi dan social yang


umumnya tidak dilakukan atas dasar aturan formal. Organisasi informal selalu ada
dalam setiap organisasi, keberadaannya tidak direncanakan, terjadi atas dasar
keakraban dan hubungan-hubungan baik yang menyangkut pekerjaan ataupun
tidak.Organisasi informal adalah jaringan hubungan pribadi dan social yang
umumnya tidak dilakukan atas dasar aturan formal.

Dalam berorganisasi pasti ada konflik yang terjadi. Konflik berasal dari kata
kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik
diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga
kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik dilatarbelakangi
oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-
perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian,
pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan
dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan
situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang
tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok
masyarakat lainnya. Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi
berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan
menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat
menciptakan konflik.Maka dari itu kita perlu untuk mengetahui bagaimana cara
mengelola konflik dalam organisasi. agar tidak terjadi perselisihan dalam
organisasi.

1.2 Tujuan
Untuk mengetahui bagaimana cara mengelola konflik dalam organisasi
1.3 Manfaat
Manusia mampu melihat konflik dari sudut pandang positif, dan mampu
mengelola konflik yang terjadi dalam organisasi.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Organisasi
Organisasi pada inti adalah interaksi-interaksi orang dalam sebuah wadah
untuk melakukan sebuah tujuan yang sama. Organisasi berarti kerja bersama,
organisasi tidak diartikan semata-mata sebagai wadah. Pengertian organisasi itu
ada dua, yaitu pertama, organisasi sebagai wadah atau tempat dan kedua
pengertian organisasi sebagai proses yang dilakukan bersama-sama, dengan
landasan yang sama, tujuan yang sama dan juga dengan cara-cara yang sama.

Sebuah organisasi dapat terbentuk karena dipengaruhi oleh beberapa aspek


seperti penyatuan visi dan misi serta tujuan yang sama dengan perwujudan
eksistensi sekelompok orang tersebut terhadap masyarakat Organisasi yang
dianggap baik adalah organisasi yang dapat diakui keberadaannya oleh
masyarakat di sekitarnya, karena memberikan kontribusi seperti; pengambilan
sumber daya manusia dalam masyarakat sebagai anggota-anggotanya sehingga
menekan angka pengangguran. Orang-orang yang ada di dalam suatu organisasi
mempunyai suatu keterkaitan yang terus menerus. Rasa keterkaitan ini, bukan
berarti keanggotaan seumur hidup. Akan tetapi sebaliknya, organisasi menghadapi
perubahan yang konstan di dalam keanggotaan mereka, meskipun pada saat
mereka menjadi anggota, orang-orang dalam organisasi berpartisipasi secara
relatif teratur.

2.2 Konflik dalam organisasi

Dalam interaksi dan interelasi sosial antar individu atau antar kelompok,
konflik sebenarnya merupakan hal alamiah. Dahulu konflik dianggap sebagai
gejala atau fenomena yang tidak wajar dan berakibat negatif, tetapi sekarang
konflik dianggap sebagai gejala yang wajar yang dapat berakibat negatif maupun
positif tergantung bagaimana cara mengelolanya. (Jika Anda ingin mendapatkan
slide presentasi yang bagus tentang management skills dan personal development,
Dari pandangan baru dapat kita lihat bahwa pimpinan atau manajer tidak hanya
wajib menekan dan memecahkan konflik yang terjadi, tetapi juga wajib untuk
mengelola/memanaj konflik sehingga aspek-aspek yang membahayakan dapat
dihindari dan ditekan seminimal mungkin, dan aspek-aspek yang menguntungkan
dikembangkan semaksimal mungkin.

Ada beberapa pengertian konflik menurut beberapa ahli.

1. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan


warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan
akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan
pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.
2. Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan
kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal
ini terjadi jika masing – masing komponen organisasi memiliki
kepentingan atau tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja sama satu sama
lain.
3. Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi ditentukan
oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari
adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut
dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di
dalam organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi
kenyataan.
4. Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk minteraktif yang
terjadi pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada
tingkatan organisasi (Muchlas, 1999). Konflik ini terutama pada tingkatan
individual yang sangat dekat hubungannya dengan stres.
5. Menurut Minnery (1985), Konflik organisasi merupakan interaksi antara
dua atau lebih pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling
tergantung, namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan.
6. Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu
pihak yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau,
satu pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan
menyerang secara negatif (Robbins, 1993).
7. Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu
lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam
pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau
lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules,
1994:249).
8. Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku-
perilaku komunikasi (Folger & Poole: 1984).
9. Konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan
yang ingin dicapai, alokasi sumber – sumber yang dibagikan, keputusan
yang diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat
(Myers,1982:234-237; Kreps, 1986:185; Stewart, 1993:341).
10. Interaksi yang disebut komunikasi antara individu yang satu dengan yang
lainnya, tak dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang
berbeda – beda (Devito, 1995:381)

Konflik Menurut Robbin

Robbin (1996: 431) mengatakan konflik dalam organisasi disebut sebagai The
Conflict Paradoks, yaitu pandangan bahwa di sisi konflik dianggap dapat
meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di sisi lain kebanyakan kelompok dan
organisasi berusaha untuk meminimalisasikan konflik. Pandangan ini dibagi
menjadi tiga bagian, antara lain:

1. Pandangan tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan


bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan
harus dihindari. Konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction,
dan irrationality. Konflik ini merupakan suatu hasil disfungsional akibat
komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan di antara orang
– orang, dan kegagalaan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan
aspirasi karyawan.
2. Pandangan hubungan manusia (The Human Relation View. Pandangan ini
menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar
terjadi di dalam kelompok atau organisasi. Konflik dianggap sebagai
sesuatu yang tidak dapat dihindari karena di dalam kelompok atau
organisasi pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat antar anggota.
Oleh karena itu, konflik harus dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat
guna mendorong peningkatan kinerja organisasi. Dengan kata lain, konflik
harus dijadikan sebagai motivasi untuk melakukan inovasi atau perubahan
di dalam tubuh kelompok atau organisasi.
3. Pandangan interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini
cenderung mendorong suatu kelompok atau organisasi terjadinya konflik.
Hal ini disebabkan suatu organisasi yang kooperatif, tenang, damai, dan
serasi cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif.
Oleh karena itu, menurut pandangan ini, konflik perlu dipertahankan pada
tingkat minimum secara berkelanjutan sehingga tiap anggota di dalam
kelompok tersebut tetap semangat, kritis – diri, dan kreatif.

Konflik Menurut Stoner dan Freeman

Stoner dan Freeman(1989:392) membagi pandangan menjadi dua bagian, yaitu


pandangan tradisional (Old view) dan pandangan modern (Current View):

1. Pandangan tradisional. Pandangan tradisional menganggap bahwa konflik


dapat dihindari. Hal ini disebabkan konflik dapat mengacaukan organisasi
dan mencegah pencapaian tujuan yang optimal. Oleh karena itu, untuk
mencapai tujuan yang optimal, konflik harus dihilangkan. Konflik
biasanya disebabkan oleh kesalahan manajer dalam merancang dan
memimpin organisasi. Dikarenakan kesalahan ini, manajer sebagai pihak
manajemen bertugas meminimalisasikan konflik.
2. Pandangan modern. Konflik tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan
banyak faktor, antara lain struktur organisasi, perbedaan tujuan, persepsi,
nilai – nilai, dan sebagainya. Konflik dapat mengurangi kinerja organisasi
dalam berbagai tingkatan. Jika terjadi konflik, manajer sebagai pihak
manajemen bertugas mengelola konflik sehingga tercipta kinerja yang
optimal untuk mencapai tujuan bersama.

Konflik Menurut Myers

Selain pandangan menurut Robbin dan Stoner dan Freeman, konflik dipahami
berdasarkan dua sudut pandang, yaitu: tradisional dan kontemporer (Myers,
1993:234)

1. Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang


buruk yang harus dihindari. Pandangan ini sangat menghindari adanya
konflik karena dinilai sebagai faktor penyebab pecahnya suatu kelompok atau
organisasi. Bahkan seringkali konflik dikaitkan dengan kemarahan,
agresivitas, dan pertentangan baik secara fisik maupun dengan kata-kata
kasar. Apabila telah terjadi konflik, pasti akan menimbulkan sikap emosi dari
tiap orang di kelompok atau organisasi itu sehingga akan menimbulkan
konflik yang lebih besar. Oleh karena itu, menurut pandangan tradisional,
konflik haruslah dihindari.
2. Pandangan kontemporer mengenai konflik didasarkan pada anggapan
bahwa konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai
konsekuensi logis interaksi manusia. Namun, yang menjadi persoalan adalah
bukan bagaimana meredam konflik, tapi bagaimana menanganinya secara
tepat sehingga tidak merusak hubungan antarpribadi bahkan merusak tujuan
organisasi. Konflik dianggap sebagai suatu hal yang wajar di dalam
organisasi. Konflik bukan dijadikan suatu hal yang destruktif, melainkan
harus dijadikan suatu hal konstruktif untuk membangun organisasi tersebut,
misalnnya bagaimana cara peningkatan kinerja organisasi.
Konflik Menurut Peneliti Lainnya

1. Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini
dimaksudkan apabila kita ingin mengetahui konflik berarti kita harus
mengetahui kemampuan dan perilaku komunikasi. Semua konflik
mengandung komunikasi, tapi tidak semua konflik berakar pada
komunikasi yang buruk. Menurut Myers, Jika komunikasi adalah suatu
proses transaksi yang berupaya mempertemukan perbedaan individu
secara bersama-sama untuk mencari kesamaan makna, maka dalam proses
itu, pasti ada konflik (1982: 234). Konflik pun tidak hanya diungkapkan
secara verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk
raut muka, gerak badan, yang mengekspresikan pertentangan (Stewart &
Logan, 1993:341). Konflik tidak selalu diidentifikasikan sebagai
terjadinya saling baku hantam antara dua pihak yang berseteru, tetapi juga
diidentifikasikan sebagai ‘perang dingin’ antara dua pihak karena tidak
diekspresikan langsung melalui kata – kata yang mengandung amarah.
2. Konflik tidak selamanya berkonotasi buruk, tapi bisa menjadi sumber
pengalaman positif (Stewart & Logan, 1993:342). Hal ini dimaksudkan
bahwa konflik dapat menjadi sarana pembelajaran dalam memanajemen
suatu kelompok atau organisasi. Konflik tidak selamanya membawa
dampak buruk, tetapi juga memberikan pelajaran dan hikmah di balik
adanya perseteruan pihak – pihak yang terkait. Pelajaran itu dapat berupa
bagaimana cara menghindari konflik yang sama supaya tidak terulang
kembali di masa yang akan datang dan bagaimana cara mengatasi konflik
yang sama apabila sewaktu – waktu terjadi kembali.

Teori-teori konflik

Ada tiga teori konflik yang menonjol dalam ilmu sosial. Pertama adalah teori
konflik C. Gerrtz, yaitu tentang primodialisme, kedua adalah teori konflik Karl.
Marx, yaitu tentang pertentangan kelas, dan ketiga adalah teori konflik James
Scott, yaitu tentang Patron Klien.
penyebab konflik

 Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan


perasaan.

Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki
pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan
pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat
menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial,
seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung
pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan
berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang
merasa terhibur.

 Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-


pribadi yang berbeda.

Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan


pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya
akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.

 Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.

Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang


berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau
kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat
melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh,
misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh
masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari
kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani
menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk
membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang
dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka
pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari
lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan
kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan
mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan
kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan
budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan
individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi
karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah
yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk
dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.

 Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam


masyarakat.

Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan
itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu
terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami
proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab
nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian
secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang
berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja
dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan
kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi
formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan
nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah
menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam
dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak,
akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan
terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap
mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.

Jenis-jenis konflik

Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 6 macam :

 Konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara


peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role))
 Konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
 Konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan
massa).
 Konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara)
 Konflik antar atau tidak antar agama
 Konflik antar politik.
 konflik individu dengan kelompok

Akibat konflik

Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut :

 meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang


mengalami konflik dengan kelompok lain.
 keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
 perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam,
benci, saling curiga dll.
 kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
 dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.

Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat
memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi;
pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak
lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut:

 Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan
percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.

 Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan
percobaan untuk "memenangkan" konflik.

 Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan
percobaan yang memberikan "kemenangan" konflik bagi pihak tersebut.

 Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan


untuk menghindari konflik.

Contoh konflik

 Konflik Vietnam berubah menjadi perang.


 Konflik Timur Tengah merupakan contoh konflik yang tidak terkontrol,
sehingga timbul kekerasan. hal ini dapat dilihat dalam konflik Israel dan
Palestina.
 Konflik Katolik-Protestan di Irlandia Utara memberikan contoh konflik
bersejarah lainnya.
 Banyak konflik yang terjadi karena perbedaan ras dan etnis. Ini termasuk
konflik Bosnia-Kroasia (lihat Kosovo), konflik di Rwanda, dan konflik di
Kazakhstan.

 Penyebab Konflik

Konflik di dalam organisasi dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai


berikut:

 A. Faktor Manusia
1. Ditimbulkan oleh atasan, terutama karena gaya kepemimpinannya.
2. Personil yang mempertahankan peraturan-peraturan secara kaku.
3. Timbul karena ciri-ciri kepriba-dian individual, antara lain sikap
egoistis, temperamental, sikap fanatik, dan sikap otoriter.

 B. Faktor Organisasi

1. Persaingan dalam menggunakan sumberdaya. Apabila sumberdaya baik


berupa uang, material, atau sarana lainnya terbatas atau dibatasi, maka
dapat timbul persaingan dalam penggunaannya. Ini merupakan potensi
terjadinya konflik antar unit/departemen dalam suatu organisasi.

2. Perbedaan tujuan antar unit-unit organisasi.Tiap-tiap unit dalam


organisasi mempunyai spesialisasi dalam fungsi, tugas, dan bidangnya.
Perbedaan ini sering mengarah pada konflik minat antar unit tersebut.
Misalnya, unit penjualan menginginkan harga yang relatif rendah dengan
tujuan untuk lebih menarik konsumen, sementara unit produksi
menginginkan harga yang tinggi dengan tujuan untuk memajukan
perusahaan.

3. Interdependensi tugas. Konflik terjadi karena adanya saling


ketergantungan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Kelompok yang satu tidak dapat bekerja karena menunggu hasil kerja dari
kelompok lainnya.

4. Perbedaan nilai dan persepsi. Suatu kelompok tertentu mempunyai


persepsi yang negatif, karena merasa mendapat perlakuan yang tidak
“adil”. Para manajer yang relatif muda memiliki presepsi bahwa mereka
mendapat tugas-tugas yang cukup berat, rutin dan rumit, sedangkan para
manajer senior men¬dapat tugas yang ringan dan sederhana.

5. Kekaburan yurisdiksional. Konflik terjadi karena batas-batas aturan


tidak jelas, yaitu adanya tanggung jawab yang tumpang tindih.
6. Masalah “status”. Konflik dapat terjadi karena suatu unit/departemen
mencoba memperbaiki dan meningkatkan status, sedangkan
unit/departemen yang lain menganggap sebagai sesuatu yang mengancam
posisinya dalam status hirarki organisasi.

7. Hambatan komunikasi. Hambatan komunikasi, baik dalam perencanaan,


pengawasan, koordinasi bahkan kepemimpinan dapat menimbulkan
konflik antar unit/ departemen

Akibat-akibat Konflik

Konflik dapat berakibat negatif maupun positif tergantung pada cara


mengelola konflik tersebut.

Akibat negative

Menghambat komunikasi. Mengganggu kohesi (keeratan hubungan).


•Mengganggu kerjasama atau “team work”.
•Mengganggu proses produksi, bahkan dapat menurunkan
produksi.
•Menumbuhkan ketidakpuasan terhadap pekerjaan.
• Individu atau personil menga-lami tekanan (stress), mengganggu
konsentrasi, menimbulkan kecemasan, mangkir, menarik diri,
frustrasi, dan apatisme.

Akibat Positif dari konflik:

•Membuat organisasi tetap hidup dan harmonis.


•Berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan.
• Melakukan adaptasi, sehingga dapat terjadi perubahan dan per-baikan
dalam sistem dan prosedur, mekanisme, program, bahkan tujuan
organisasi.
• Memunculkan keputusan-keputusan yang bersifat inovatif.
• Memunculkan persepsi yang lebih kritis terhadap perbedaan pendapat.

Cara atau Taktik Mengatasi Konflik

Mengatasi dan menyelesaikan suatu konflik bukanlah suatu yang


sederhana. Cepat-tidaknya suatu konflik dapat diatasi tergantung pada kesediaan
dan keterbukaan pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan konflik,
berat ringannya bobot atau tingkat konflik tersebut serta kemampuan campur
tangan (intervensi) pihak ketiga yang turut berusaha mengatasi konflik yang
muncul.

 Diatasi oleh pihak-pihak yang bersengketa:


Rujuk: Merupakan suatu usaha pendekatan dan hasrat untuk kerja-sama dan
menjalani hubungan yang lebih baik, demi kepentingan bersama.

 Persuasi: Usaha mengubah po-sisi pihak lain, dengan menunjukkan


kerugian yang mungkin timbul, dengan bukti faktual serta dengan menunjukkan
bahwa usul kita menguntungkan dan konsisten dengan norma dan standar
keadilan yang berlaku.

 Tawar-menawar: Suatu penyelesaian yang dapat diterima kedua pihak,


dengan saling mempertukarkan konsesi yang dapat diterima. Dalam cara ini dapat
digunakan komunikasi tidak langsung, tanpa mengemukakan janji secara eksplisit.

 Pemecahan masalah terpadu: Usaha menyelesaikan masalah dengan


memadukan kebutuhan kedua pihak. Proses pertukaran informasi, fakta, perasaan,
dan kebutuhan berlangsung secara terbuka dan jujur. Menimbulkan rasa saling
percaya dengan merumuskan alternatif pemecahan secara bersama de¬ngan
keuntungan yang berimbang bagi kedua pihak.

 Penarikan diri: Suatu penyelesaian masalah, yaitu salah satu atau kedua
pihak menarik diri dari hubungan. Cara ini efektif apabila dalam tugas kedua
pihak tidak perlu berinteraksi dan tidak efektif apabila tugas saling bergantung
satu sama lain.

 Pemaksaan dan penekanan: Cara ini memaksa dan menekan pihak lain
agar menyerah; akan lebih efektif bila salah satu pihak mempunyai wewenang
formal atas pihak lain. Apabila tidak terdapat perbedaan wewenang, dapat
dipergunakan ancaman atau bentuk-bentuk intimidasi lainnya. Cara ini sering
kurang efektif karena salah satu pihak hams mengalah dan menyerah secara
terpaksa.

Intervensi (campur tangan) pihak ketiga:


Apabila fihak yang bersengketa tidak bersedia berunding atau usaha kedua pihak
menemui jalan buntu, maka pihak ketiga dapat dilibatkan dalam penyelesaian
konflik.

 Arbitrase (arbitration): Pihak ketiga mendengarkan keluhan kedua pihak


dan berfungsi sebagai “hakim” yang mencari pemecahan mengikat. Cara ini
mungkin tidak menguntungkan kedua pihak secara sama, tetapi dianggap lebih
baik daripada terjadi muncul perilaku saling agresi atau tindakan destruktif.

 Penengahan (mediation): Menggunakan mediator yang diundang untuk


menengahi sengketa. Mediator dapat membantu mengumpulkan fakta, menjalin
komunikasi yang terputus, menjernihkan dan memperjelas masalah serta mela-
pangkan jalan untuk pemecahan masalah secara terpadu. Efektivitas penengahan
tergantung juga pada bakat dan ciri perilaku mediator.

 Konsultasi: Tujuannya untuk memperbaiki hubungan antar kedua pihak


serta mengembangkan kemampuan mereka sendiri untuk menyelesaikan konflik.
Konsultan tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan dan tidak berusaha
untuk menengahi. la menggunakan berbagai teknik untuk meningkatkan persepsi
dan kesadaran bahwa tingkah laku kedua pihak terganggu dan tidak berfungsi,
sehingga menghambat proses penyelesaian masalah yang menjadi pokok
sengketa.

 Hal-hal yang Perlu Diperhati-kan Dalam Mengatasi Konflik:


1. Ciptakan sistem dan pelaksanaan komunikasi yang efektif.
2. Cegahlah konflik yang destruktif sebelum terjadi.
3. Tetapkan peraturan dan prosedur yang baku terutama yang menyangkut hak
karyawan.
4. Atasan mempunyai peranan penting dalam menyelesaikan konflik yang
muncul.
5. Ciptakanlah iklim dan suasana kerja yang harmonis.
6. Bentuklah team work dan kerja-sama yang baik antar kelompok/ unit kerja.
7. Semua pihak hendaknya sadar bahwa semua unit/eselon merupakan mata rantai
organisasi yang saling mendukung, jangan ada yang merasa paling hebat.
8. Bina dan kembangkan rasa solidaritas, toleransi, dan saling pengertian antar
unit/departemen/ eselon.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim,http://download.portalgaruda.org/article.php?article=90173&val=4283 .
Diakses tanggal 5 maret 2015

Anonim. http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik. Diakses tanggal 5 Maret 2015

Hafidfuddin, Dkk. 2003. Menajemen syariah dalam praktik. Gema Insane Press,
Jakarta.

Winardi, (2004), Manajemen Konflik(Konflik Perubahan dan Pengem -bangan),


CV Mandar Maju, Bandung.
Wexley, K.N. & Yukl, G.A. (1992). Perilaku Organisasi dan Psikologi
Personalia . Diterjemahkan oleh: Muh Shobaruddin. Jakarta: Rineka Cipta

Anda mungkin juga menyukai