Anda di halaman 1dari 7

KONSEP KONFLIK

Konflik akan terjadi apabila ada perbedaan pemahaman antara dua orang atau lebih
terhadap berbagai perselisihan, ketegangan, kesulitan-kesulitan diantara para pihak yang
tidak sepaham. Konflik juga bisa memicu adanya sikap berseberangan (oposisi) antara kedua
belah pihak dimana masing-masing pihak memandang satu sama lainnya sebagai
lawan/penghalang dan diyakini akan mengganggu upaya tercapainya tujuan dan tercukupinya
kebutuhan masing-masing. Terlepas dari banyaknya penyebab terjadinya konflik, perbedaan
latar belakang kedua belah pihak hingga terjadi konflik, perbedaan kepentingan diantara
individu dalam kelompok/masyarakat yang ke semuanya saling terkait dalam realitas sosial
yang kompleks.

Konflik harus disarankan oleh pihak-pihak yang terlibat, apakah konflik itu ada atau
tidak ada merupakan persoalan persepsi. Jika tidak ada yang menyadari akan adanya konflik,
secara umum lalu disepakati konflik tidak ada. Kesamaan lain dari definisi-definisi tersebut
adalah pertentangan atau Ketidak selarasan dan bentuk-bentuk interaksi. Beberapa faktor ini
menjadi kondisi yang merupakan titik awal proses konflik. Jadi, kita dapat mendefinisikan
konflik (conflict) sebagai sebuah proses yang dimulai ketika suatu pihak memiliki persepsi
bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara negatif, sesuatu yang menjadi kondisi yang
merupakan titik awal proses konflik. Jadi, kita dapat mendefinisikan konflik (conflict)
sebagai sebuah proses yang dimulai ketika suatu pihak memiliki persepsi bahwa pihak lain
telah mempengaruhi secara negatif, sesuatu yang menjadi kepedulian atau kepentingan pihak
pertama.

CIRI-CIRI DAN TAHAPAN TERJADINYA KONFLIK

Menurut Wiyono (1993: 37) ciri-ciri konflik adalah:

 Setidak-tidaknya ada dua pihak secara perorangan maupun kelompok yang terlibat
dalam suatu interaksi yang saling bertentangan.
 Paling tidak timbul pertentangan antara dua pihak secara perorangan maupun
kelompok dalam mencapai tujuan, memainkan peran dan ambisius atau adanya nilai-
nilai atau norma yang saling berlawanan.
 Munculnya interaksi yang sering ditandai oleh gejala-gejala perilaku yang
direncanakan untuk saling meniadakan, mengurangi dan menekan terhadap pihak lain
agar dapat memperoleh keuntungan seperti: status, jabatan, tanggung jawab,
pemenuhan berbagai macam kebutuhan fisik: sandang-pangan, materi dan
kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan tertentu: mobil, rumah, bonus, atau
pemenuhan kebutuhan sosio-psikologis seperti: rasa aman, kepercayaan diri, kasih,
penghargaan dan aktualisasi diri.
 Munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat pertentangan yang
berlarut-larut.
 Munculnya ketidakseimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang terkait
dengan kedudukan, status sosial, pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga
diri, prestise dan sebagainya.

MANAJEMEN KONFLIK

Pengertian

Istilah manajemen berasal dari bahasa Italia Maneggiare (Haney dalam Mardianto, 2000)
yang berarti melatih kuda-kuda atau secara harfiah to handle yang berarti mengendalikan,
sedangkan dalam kamus Inggris Indonesia (Echols dan Shadily, 2000) management berarti
pengelolaan dan istilah manager berarti tindakan membimbing atau memimpin, sedangkan
dalam bahasa Cina, manajemen adalah kuan lee yang berasal dari dua kata yaitu kuan khung
(mengawasi orang kerja) dan lee chai (menmanajemen konfliksi uang) (Mardianto, 2000).
Sehingga manajemem dapat didefinisikan sebagai mengawasi/mengatur orang bekerja dan
menmanajemen konfliksi administrasi dengan baik. Menurut kamus besar bahasa Indonesia
(1997) manajemen adalah proses penggunaan sumber daya secara efektif dan efisien untuk
mencaSpiritual tujuan. Manajemen merupakan proses penting yang menggerakkan
organisasi karena tanpa manajemen yang efektif tidak akan ada usaha yang berhasil cukup
lama. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa manajemen sebuah
tindakan yang berhubungan dengan usaha tertentu dan penggunaan sumber daya secara
efektif untuk mencaSpiritual tujuan. Sedangkan pengertian konflik. Menurut kamus bahasa
Indonesia (1997), konflik berati percekcokan, pertentangan, atau perselisihan. Konflik juga
berarti adanya oposisi atau pertentangan pendapat antara orang-orang atau kelompok-
kelompok. Setiap hubungan antar pribadi mengandung unsur-unsur konflik, pertentangan
pendapat, atau perbedaan kepentingan. Menurut Johnson (Supratiknya, 1995) konflik
adalah situasi dimana tindakan salah satu pihak berakibat menghalangi, menghambat atau
mengganggu tindakan pihak lain. Kendati unsur konflik selalu terdapat setiap bentuk
hubungan antar pribadi, pada umumnya masyarakat memandang konflik sebagai keadaan
yang harus dihindarkan karena konflik dianggap sebagai faktor yang merusak hubungan.
Maka dapat disimpulkan bahwa manajemen konflik adalah cara yang digunakan individu
untuk menghadapi pertentangan atau perselisihan antara dirinya dengan orang lain yang
terjadi di dalam kehidupan.

Faktor-faktor dan teori utama penyebab konflik

Konflik yang terjadi di dalam organisasi dapat disebabkan oleh beberapa faktor berikut,
antara lain: A. Faktor Manusia

Konflik dapat timbul karena faktor manusia, adalah karena: 1. Ditimbulkan oleh atasan,
karena gaya kepemimpinannya. 2. Personil yang mempertahankan peraturan organisasi
secara kaku. 3. Adanya ciri-ciri kepribadian individual, seperti sikap egoistis, sikap fanatik,
sikap otoriter, dan ciri kepribadian lainnya.

B. Faktor Organisasi Faktor organisasi yang dapat menyebabkan timbulnya konflik, antara
lain: 1. Persaingan dalam menggunakan sumber daya. Apabila sumber daya terbatas maka
akan timbul persaingan dalam penggunaannya. Ini merupakan potensi terjadinya konflik
antar unit/departemen dalam suatu organisasi. 2. Perbedaan tujuan antar unit dalam
organisasi. Tiap-tiap unit dalam organisasi mempunyai spesialisasi dalam fungsi, tugas, dan
bidangnya. Perbedaan ini sering mengarah pada konflik minat antar unit tersebut.

3. Interdependensi tugas. Konflik terjadi karena adanya saling ketergantungan antara satu
kelompok (departemen/divisi, dan lain-lain) dengan kelompok lainnya. Kelompok yang satu
tidak dapat bekerja karena menunggu hasil kerja dari kelompok lainnya. 4. Perbedaan nilai
dan persepsi. Suatu kelompok/bagian tertentu mungkin saja mempunyai persepsi yang
negatif, karena merasa mendapat perlakuan yang tidak adil. Misalnya, para manajer yang
relatif masih muda memiliki persepsi bahwa mereka mendapat tugas-tugas yang cukup
berat, dan rumit, dibanding dengan manajer senior yang mendapat tugas lebih ringan dan
lebih sederhana. 5. Kekaburan yurisdiksional. Konflik bisa terjadi karena batas-batas aturan
tidak jelas, yaitu adanya tanggung jawab yang tumpang tindih antara seseorang dengan
lainnya. 6. Masalah status dalam organisasi. Konflik dapat terjadi karena suatu
unit/departemen mencoba memperbaiki dan meningkatkan status, sedangkan bagi
unit/departemen lainnya hal ini bisa merupakan sesuatu yang dapat mengancam posisinya
dalam status hierarki organisasi, dll.

Sedangkan beberapa teori utama tentang penyebab konflik dalam organisasi, antara lain:
1. Teori kebutuhan manusia.

Konflik disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik, mental dan sosial) yang tidak
terpenuhi atau dihalangi. Hal yang sering menjadi inti pembicaraan adalah identitas,
pengakuan, partisipasi, otonomi, dan keamanan. Pendekatan: mengidentifikasi dan
mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, serta menghasilkan opsi-
opsi untuk memenuhi kebutuhan itu. 2. Teori identitas.

Konflik disebabkan oleh identitas yang terancam, yang berakar dari hilangnya sesuatu atau
penderitaan di masa lalu yang tidak tuntas. Pendekatan: memfasilitasi lokakarya dan dialog
antara pihak-pihak yang berkonflik, sehingga dapat mengidentifikasi ancaman dan
ketakutan yang bertujuan untuk membangun empati dan rekonsiliasi di antara pihak-pihak
yang konflik. 3. Teori hubungan masyarakat. Konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus
terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu
masyarakat. Pendekatan: meningkatkan rasa saling pengertian dan komunikasi antara
kelompok yang konflik, dan mengupayakan toleransi dengan tujuan agar masyarakat lebih
bisa saling menerima keberagamaan, dll.

Tujuan Manajemen KonflikKonflik merupakan suatu fenomena yang sering kali terjadi dan
tidak bisa dihindari serta dapat menghambat pencapaian tujuan organisasi. Oleh karena itu
manajemen konflik harus dilakukan secara sistematis untuk mencapai suatu tujuan. Berikut
ini beberapa tujuan manajemen konflik, di antaranya sebagai berikut:

1. Mencegah dan meminimalisir terjadinya gangguan terhadap anggota organisasi, sehingga


dapat fokus kepada visi, misi, dan tujuan perusahaan atau organisasi.

2. Membangun rasa saling menghormati antar sesama anggota organisasi dan menghargai
keberagaman.

3. Meningkatkan kreativitas anggota organisasi dengan memanfaatkan konflik yang terjadi.

4. Meningkatkan kualitas keputusan berdasarkan berbagai informasi dan sudut pandang.

5. Memfasilitasi pelaksanaan kegiatan bersama dan kerja sama.


6. Menciptakan prosedur dan penyelesaian konflik.

7. Menghindarkan dari lingkungan kerja yang tidak menyenangkan: takut, moral rendah,
saling curiga.

8. Mencegah terjadinya pemogokan.

9. Mencegah sabotase oleh pihak yang kalah dalam konflik.

10. Meningkatkan loyalitas dan komitmen organisasi.

PENYELESAIAN KONFLIK

Mengatasi dan menyelesaikan suatu konflik bukanlah suatu yang sederhana. Cepat
tidaknya suatu konflik dapat diatasi tergantung pada kesediaan dan keterbukaan pihak-pihak
yang bersengketa untuk menyelesaikan konflik, berat ringannya bobot atau tingkat konflik
tersebut serta kemampuan campur tangan (intervensi) pihak ketiga yang turut berusaha
mengatasi konflik yang muncul. Solusi pemecahan:

 Rujuk: Merupakan suatu usaha pendekatan dan hasrat untuk kerja sama dan menjalani
hubungan yang lebih baik, demi kepentingan bersama.
 Persuasi: Usaha mengubah posisi pihak lain, dengan menunjukkan kerugian yang
mungkin timbul, dengan bukti faktual serta dengan menunjukkan bahwa usul kita
menguntungkan dan konsisten dengan norma dan standar keadilan yang berlaku.
 Tawar menawar: suatu penyelesaian yang dapat diterima kedua pihak, dengan saling
mempertukarkan konsesi yang dapat diterima. Dalam cara ini dapat digunakan
komunikasi tidak langsung, tanpa mengemukakan janji secara eksplisit.
 Pemecahan masalah terpadu: usaha menyelesaikan masalah dengan memadukan
kebutuhan kedua pihak. Proses pertukaran informasi, fakta, perasaan, dan kebutuhan
berlangsung secara terbuka dan jujur. Menimbulkan rasa saling percaya dengan
merumuskan alternatif pemecahan secara bersama dengan keuntungan yang
berimbang bagi kedua pihak.
 Penarikan diri: Suatu penyelesaian masalah, yaitu salah satu atau kedua pihak menarik
diri dari hubungan. Cara ini efektif apabila dalam tugas kedua pihak tidak perlu
berinteraksi dan tidak efektif apabila tugas saling bergantung satu sama lain.
 Pemaksaan dan penekanan: Cara ini memaksa dan menekan pihak lain agar
menyerah, akan lebih efektif bila salah satu pihak mempunyai wewenang formal atas
pihak lain. Apabila tidak terdapat perbedaan wewenang, dapat dipergunakan ancaman
atau bentuk-bentuk intimidasi lainnya. Cara ini sering kurang efektif karena salah satu
pihak harus mengalah dan menyerah secara terpaksa.
 Interveni (campur tangan) pihak ketiga: Apabila pihak yang bersengketa tidak
bersedia berunding atau usaha kedua pihak menemui jalan buntu, maka pihak ketiga
dapat dilibatkan dalam penyelesaian konflik.
 Arbitrase (arbitration): pihak ketiga mendengarkan keluhan kedua pihak dan
berfungsi sebagai hakim yang mencari pemecahan mengikat. Cara ini mungkin tidak
menguntungkan kedua pihak secara sama, tetapi dianggap lebih baik daripada terjadi
muncul perilaku saling agresi atau tindakan destruktif.
 Penengahan (mediation): Menggunakan mediator yang diundang untuk menengahi
sengketa. Mediator dapat membantu mengumpulkan fakta, menjalin komunikasi yang
terputus, menjernihkan dan memperjelas masalah serta melapangkan jalan untuk
pemecahan masalah secara terpadu. Efektivitas penengahan tergantung juga pada
bakat dan ciri perilaku mediator.
 Konsultasi: Tujuannya untuk memperbaiki hubungan antar kedua pihak serta
mengembangkan kemampuan mereka sendiri untuk menyelesaikan konflik. Konsultan
tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan dan tidak berusaha untuk menengahi.
Ia menggunakan berbagai teknik untuk meningkatkan persepsi dan kesadaran bahwa
tingkah laku kedua pihak terganggu dan tidak berfungsi, sehingga menghambat proses
penyelesaian masalah yang menjadi pokok sengketa.

DAFTAR PUSTAKA

Murwani, Santosa. 2008. Pedoman

Tesis dan Disertasi, Jakarta:

Uhamka Press.

Robbins, Stephen P. 2008. Perilaku

Organisasi, Jakarta: Salemba Empat.


Covey. Stephen R. 2008. The 8th Habit.

Jakarta: Gramedia

Hikmat, 2009. Manajemen Pendidikan.

Bandung: Pustaka Setia.

Timpe, A. Dale. 1991. Memimpin

Manusia, Jakarta: Gramedia

Wirawan, 2010. Konflik dan Manajemen

Konflik, Teori, Aplikasi dan

Penelitian. Jakarta: Salemba

Humanika.

Sudarmanto, Eko. dkk. 2021. Manajemen Konflik. Makassar: Penerbit Yayasan Kita Menulis

Anda mungkin juga menyukai