Anda di halaman 1dari 25

MATA KULIAH TEORI ADMINISTRASI PUBLIK

DOSEN: DR. YULIUS YOHANES, M.Si.

DISUSUN OLEH :
ALEX SANDRO
NIM. E2072211004

TUGAS MAKALAH
KONFLIK ORGANISASI PUBLIK
DALAM MANAJEMEN PEMBERDAYAAN DAERAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


PROGRAM MAGISTER ILMU SOSIAL
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2021
KONFLIK ORGANISASI PUBLIK

DALAM MANAJEMEN PEMBERDAYAAN DAERAH

A. LATAR BELAKANG

1. Konflik Organisasi beserta definisi

Setiap individu akan selalu memiliki persepsi atau sudut pandang yang

berbeda-beda terhadap sesuatu hal, sehingga perbedaan tersebut dapat

menimbulkan konflik. Konflik merupakan perbedaan pendapat antara anggota

satu dengan yang lainnya akibat kurangnya komunikasi di dalam suatu organisasi.

Konflik menurut Robbins adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya

ketidaksesuaian antara dua pendapat atau sudut pandang yang berpengaruh

terhadap pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh positif maupun pengaruh

negatif. Konflik merupakan suatu peristiwa yang sering terjadi dalam aktivitas

organisasi. Adanya individu yang beraneka-ragam karakteristik, sikap dan

kepentingan mendorong terjadinya konflik, baik konflik dalam diri individu itu

sendiri, konflik antar kelompok, konflik antara individu dengan kelompok dan

konflik antara kelompok dengan kelompok.

            Konflik tidak terjadi begitu saja tanpa adanya alasan, penyebab terjadinya

konflik dalam organisasi yaitu seperti perbedaan individu yang meliputi

perbedaan pendirian dan perasaan, perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga

membentuk pribadi-pribadi yang berbeda pula, perbedaan kepentingan individu

atau kelompok, perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam


masyarakat dan perbedaan pola interaksi yang satu dengan lainnya. Dengan

perbedaan-perbedaan tersebut, maka konflik dapat terjadi.

            Perlu kita sadari bahwa konflik dalam organisasi tidak selalu berdampak

negatif, namun ada kalanya konflik dapat berdampak positif yang dapat dipandang

sebagai peluang untuk pertumbuhan organisasi dan dapat dijadikan sebagai

penguat hubungan antar tim kerja atau individu di dalamnya. Terdapat beberapa

langkah yang dapat dilakukan oleh organisasi agar konflik yang terjadi dapat

diolah menjadi konflik yang positif. Metode yang dapat digunakan untuk

menciptakan konflik ke arah yang fungsional yaitu melalui :

 Menciptakan persaingan

Menciptakan persaingan dapat dilakukan dengan menawarkan imbalan kepada individu

atau kelompok yang mencapai prestasi terbaik. Kompensasi baik secara finansial maupun

non-finansial dapat digunakan sebagai motivasi untuk peningkatan prestasi mereka. Hal

ini juga dapat bermanfaat untuk menjaga adanya persaingan yang sehat yang dapat

memberikan sumbangan terhadap konflik yang fungsional.

 Mangubah struktur organisasi

Struktur yang panjang dengan kelompok yang besar akan berpotensi menimbulkan

konflik. Umumnya tingkat konflik akan menurun jika kelompok lebih kecil. Dengan

merancang struktur organisasi besar ke dalam kelompok-kelompok kecil dapat

menciptakan situasi yang lebih kondusif bagi konflik. Masing-masing kelompok akan

bersaing secara sehat dalam meningkatkan prestasi mereka.


 Mendatangkan ahli dari luar

Ahli dari luar dapat mendatangkan suasana baru dengan pandangan baru yang akan

membawa konflik menjadi bersifat fungsional.

2. Jenis-Jenis Konflik Organisasi

Dalam konflik di sebuah organisasi terdapat 5 jenis konflik dalam organisasi;

a. Konflik dalam diri individu, konflik ini sering terjadi dan di hadapi oleh

individu dalam memenuhi suatu pekerjaan mereka, seperti tuntutan pekerjaan

yang menjadi prioritas dan kebimbangan diri dalam menentukan pilihan tugas

atau pun terjadi karena proses internal dalam dirinya yang saling

bertentangan. Konflik ini juga terjadi apabila pekerjaan yang dilakukan

seseorang tidak sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.

b. Konflik antar individu, konflik ini sering muncul diantara para anggota dalam

organisasi, seperti adanya adanya perbedaan pendapat dan adanya perbedaan

dalam menghadapi isu tertentu. Konflik ini berasal dari adanya konflik antar

peranan, seperti atasan dengan bawahan.

c. Konflik antar individu dan kelompok, konflik ini berhubungan dengan cara

individu menanggapi tekanan untuk keseragaman yang dipaksakan oleh

kelompok kerja mereka. Seperti, seorang individu yang diasingkan karena

melanggar norma kelompok.

d. Konflik antar kelompok, konflik ini terjadi saat setiap kelompok ingin

mengejar kepentingan atau tujuan kelompoknya masing-masing. Konflik

antar kelompok ini dibagi menjadi 2 (dua) yaitu konflik afektif dan substantif.

Konflik afektif adalah konflik yang terjadi karena adanya tanggapan


emosional kelompok pada suatu situasi tertentu. Sedangkan konflik substantif

terjadi karena latar belakang keahlian setiap kelompom berbeda.

e. Konflik antar organisasi, konflik ini terjadi karena adanya hubungan

organisasi dengan pihak luar, dan adanya persaingan ekonomi dalam sistem

perekonomian suatu negara. Konflik ini mengarah ke timbulnya

pengembangan produk baru, teknologi atau jasa.

          Konflik dalam organisasi tidak dapat kita hindari, namun dapat kita kelola

agar keberadaannya tidak merugikan organisasi, yaitu dengan cara berkompetisi,

menghindari konflik, akomodasi, kompromi, dan berkolaborasi yang dapat

dijelaskan sebagai berikut :

a) Berkompetisi

Tindakan ini dapat dilakukan jika kita mencoba memaksakan kepentingan

sendiri atas kepentingan yang lain. pilihan untuk melakukan tindakan ini dapat

sukses dilakukan jika situasi saat itu membutuhkan keputusan yang cepat,

kepentingan salah satu pihak lebih utama dan pilihan kita sangat penting. Situasi

menang-kalah akan terjadi, pihak yang kalah akan merasa dirugikan. Tindakan ini

dapat dilakukan dalam hubungan antara atasan dan bawahan, dimana atasan

menempatkan kepentingannya (kepentingan organisasi) di atas kepentingan

bawahannya.

a) Menghindari konflik

Tindakan ini dilakukan jika salah satu pihak menghindar dari situasi

konflik tersebut secara fisik maupun psikologis. Sifat tindakan ini hanyalah
menunda konflik yang terjadi. Menghindari konflik dapat dilakukan jika masing-

masing pihak mencoba untuk mendinginkan suasana dan membekukan konflik

untuk sementara.

b) Mengalah

Hal ini dilakukan jika kita mengalah dan mengorbankan beberapa

kepentingan kita sendiri agar pihak lain mendapat keuntungan dari situasi konflik

tersebut. Hal ini juga dilakukan jika kita merasa bahwa kepentingan pihak lain

lebih utama atau kita ingin tetap menjaga hubungan baik dengan pihak tersebut.

c) Kompromi

Tindakan ini dapat dilakukan jika kedua belah pihak merasa bahwa kedua

hal tersebut sama-sama penting dan hubungan baik menjadi hal yang utama.

Masing-masing pihak akan mengorbankan sebagaimana kepentingannya untuk

mendapat win-win solution.

d) Berkolaborasi

 Menciptakan situasi win-win solution dan dengan saling bekerja sama.

B. PENYEBAB TERJADINYA KONFLIK

Berdasarkan hasil kesimpulan beberapa definisi tentang konflik yang telah

disebut di atas, konflik sebagai sebuah situasi timbul karena adanya sebab yang

mengkondisikannya. Sebab-sebab umum yang sering menimbulkan konflik dalam

suatu organisasi menurut Agus Hardjana, 1994:24 antara lain:


1. Salah pengertian, informasi/berita yang tidak dikomunikasikan secara

lengkap/utuh dapat menimbulkan konflik. Informasi yang lengkap dan jelas

tetapi tidak disampaikan tepat waktu juga dapat menimbulkan konflik. Dari

sisi penerima informasi/pesan, semua pesan telah diterima secara utuh, jelas,

tepat waktu, tetapi salah dalam memahami dan menerjemahkan informasi

yang diterima tersebut. Pengumuman tentang akan adanya pemadaman listrik

di suatu organisasi tidak sampai pada operator genset/diesel penggerak listrik

pengganti akan menyebabkan terganggunya operasi mesin presensi online

atau bagian olah data di departemen penelitian dan pengembangan.

2. Perbedaan tujuan kerja karena perbedaan nilai hidup yang dianut. Orang yang

bekerja karena ingin mendapatkan upah/gaji demi menghidupi ekonomi

keluarga akan sangat berbeda motivasi/semangat dan cara kerjanya jika

dibandingkan dengan orang yang bekerja hanya karena ingin mengabdikan

dirinya sebagai panggilan hidup. Orang-orang yang secara materi 6 sudah

berkecukupan, bekerja kadangkala hanya digunakan untuk memperoleh status

sosial saja, sehingga kondisi semacam ini memunculkan disorientasi kerja

antara orang satu dengan lainnya.

3. Perebutan dan persaingan dalam hal fasilitas kerja dan suatu jabatan yang

terbatas. Konflik dapat muncul dalam situasi di mana orang-orang yang

berkeinginan untuk menduduki jabatan supervisor, manajer, direktur, sampai

presiden direktur sangat banyak sementara pospos jabatan yang ingin dituju

sangatlah terbatas. Perebutan/persaingan pos-pos jabatan seperti di atas sangat


potensial menimbulkan gesekan kepentingan. Keterbatasan fasilitas

kendaraan dinas, alat kerja seperti komputer, mesin ketik, kalkulator, dan

tempat parkir juga bisa menjadi perebutan dan saling menguasai satu sama

lain.

4. Masalah wewenang dan tanggung jawab. Jenis pekerjaan yang bermacam-

macam dan saling memiliki keterkaitan satu sama lain memungkinkan

terjadinya lempar tanggung jawab atas pekerjaan tertentu. Dalam organisasi

yang besar dengan kompleksitas pekerjaan dan masalah yang besar, batas-

batas wewenang dan tanggung jawab antar lini atau bagian/departemen

walaupun sudah jelas dan standar tetapi seringkali masih menyisakan

persoalan-persoalan yang di luar kebiasaan. Contoh nyata adalah bagian

persuratan, bagian distribusi, dan bagian pengemudi. Ketiga unit kerja dengan

tugas dan tanggung jawabnya masing-masing pada situasi tertentu bisa saling

melempar pekerjaan dalam hal pengiriman surat. Jika sudah terjadi demikian,

maka sebenarnya konflik sudah terjadi walaupun eksalasinya masih sangat

sempit dan sederhana. Akan tetapi bila kejadian ini terus terulang dan

pimpinan tidak ada upaya mengatasinya, maka bukan tidak mungkin konflik

akan meluas yang menyebabkan terganggunya pencapaian kinerja organisasi

secara luas.

5. Penafsiran yang berbeda atas suatu hal, perkara, dan peristiwa yang sama.

Organisasi yang beranggotakan orang-orang dengan berbagai latar belakang

suku, agama, pendidikan, jenis kelamin, dan usia memiliki tingkat

heteroginitas yang sangat tinggi. Karena anggota organisasi yang berbeda


latar belakang, sudah barang tentu keinginan, harapan, sudut pandang, ide,

gagasan, dan tujuan setiap orang juga berbeda-beda pula. Perbedaan sudut

pandang terhadap suatu peristiwa antar individu memungkinkan munculnya

pertentangan pendapat yang bias menimbulkan konflik. Organisasi yang

identik dengan birokrasi, aturan, dan tata tertib memaksa tiap individu

mematuhi dan menepati aturan-aturan tersebut. Dalam menjalankan aturan

dan tata tertib seorang pegawai/karyawan ada yang tidak sama antar pegawai

yang satu dengan yang lain, hal ini diakibatkan oleh perbedaan penafsiran,

sudut pandang, dan interpretasi atas peraturan yang ada.

6. Kurangnya kerja sama antar pegawai, antara pegawai dengan pimpinan, dan

antara pimpinan dengan pimpinan dapat menyebabkan hasil kerja tidak

optimal. Penyebab hasil kerja yang tidak optimal tersebut seringkali dicarikan

kambing hitam (scape goat), saling menyalahkan, saling mencari pembenaran

sendiri, bahkan saling mencaci yang akhirnya menimbulkan konflik dalam

organisasi.

7. Tidak menaati tata tertib yang berlaku bagi semua anggota oraganisasi. Jika

pada kasus nomor 5 di atas orang melanggar tata tertib (tidak sengaja) karena

perbedaan penafsiran, dalam kasus pegawai yang tidak menaati tata tertib

lebih disebabkan karena sikap pegawai yang tidak disiplin. Sikap tidak

disiplin yang ditunjukkan oleh seorang pegawai karena adanya

kecenderungan penyimpangan perilaku yang dapat menimbulkan

kecemburuan/kekecewaan terhadap pegawai-pegawai yang taat dan tertib


dengan peraturan. Kecemburuan/kekecewaan inilah yang bisa menjadi

pemicu timbulnya konflik dalam organisasi.

8. Ada usaha untuk menguasai dan merugikan. Pada dasarnya setiap orang tidak

ada yang mau dikuasi, dijajah, disepelekan, dan di tindas harga diri dan

eksistensinya dalam pergaulan di level manapun. Organisasi yang di

dalamnya terdapat kelompok-kelompok orang seringkali ingin mencari

pengaruh dan menunjukkan superiroritasnya diantara kelompok-kelompok

minoritas yang lain. Usaha kelompok tertentu dalam organisasi untuk

menguasai kelompok lain dengan tujuan mencari keuntungan di satu sisi dan

merugikan di sisi yang lain dapat memunculkan situasi/gejolak terutama

kelompok yang merasa dirugikan. Gejolak yang muncul inilah yang dapat

membulkan konflik organisasi yang harus diredam dan dicarikan

penyelesaiannya oleh para manajer/pimpinan.

9. Pelecehan pribadi dan kedudukan. Orang yang pribadi dan kedudukannya

dilecehkan merasa harga dirinya di injak dan dan direndahkan. Apalagi orang

yang melecehkan tersebut secara hirarki tidak setara kedudukannya

dibandingkan dengan orang yang dilecehkan. Seorang yang pribadi dan

kedudukannya diremehkan dan dihina orang lain biasanya melakukan

perlawanan. Kadangkala perlawanan melibatkan bawahan masing yang

berkonflik, sehingga cakupan konfliknya menjadi meluas.

10. Perubahan dalam sasaran dan prosedur kerja. Pada dasarnya orang yang

sudah berada pada posisi nyaman (comfort zone) memiliki kecenderungan


untuk memepertahankan status quo alias tetap. Bagi orang yang berada dalam

wilayah nyaman, perubahan dianggap sebagai ancaman yang harus dilawan.

Perubahan hanya akan merugikan dirinya, baik dari sisi karir, kedudukan,

kewenangan, pestise, pengaruh maupun secara ekonomi.

Selain itu, jika dipandang dari sumbernya konflik juga bisa timbul karena

adanya beberapa sebab antara lain:

1) Konflik individu, timbul ketika seorang individu sedang menghadapi

pekerjaan yang tidak disukainya di satu sisi tetapi harus dilakukannya pada

sisi yang lain sebagai bentuk konsekuensi dari status dan jenjang kepangkatan

yang melekat pada dirinya. Selain itu pada situasi tertentu seseorang akan

mengalami konflik individu ketika target pekerjaan yang harus

diselesaikannya tidak didukung oleh kemampuan teknis yang dimilikinya

karena faktor pendidikan, usia, dan kesehatan.

2) Konflik antar individu, timbul dalam suatu organisasi akibat perbedaan latar

belakang, etnis, suku, agama, tujuan, dan kepribadian antar individu. Konflik

semacam ini juga bisa muncul karena antar individu dibedakan oleh peranan

masing-masing dalam organisasi seperti direktur dengan manajer, manajer

dengan mandor, dan mandor dengan para buruh atau sebaliknya. Perbedaan

peran tentunya memunculkan perbedaan tujuan, orientasi, dan kepentingan

masing-masing.

3) Konflik antara individu dengan kelompok, hal ini terjadi karena individu

tertentu seabagai bagian dari kelompok dalam suatu organisasi tidak/kurang


bisa memberikan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung

sehingga dikucilkan dari pergaulan kelompok tersebut. Perasaan dikucilkan,

tidak dihargai, tidak dipandang/dihormati seperti individu yang lain

menimbulkan konflik individu yang dapat mengganggu integritas dan

keseimbangan hubungan antar individu sehingga dapat merugikan organisasi

secara keseluruhan.

4) Konflik antar kelompok, konflik ini terjadi karena perbedaan kepentingan dan

tujuan yang satu sama lain tidak ada yang mau mengalah. Biasanya konflik

antar kelompok ini muncul karena ingin saling menguasai, yang mayoritas

merasa lebih berhak menjadi pemimpin dan menentukan tujuan kelompok

tersebut. Sedangkan kelompok minoritas berasumsi bahwa dalam kelompok

tidak boleh ada superior dan inferior, semua memiliki hak dan kewajiban

yang sama, berhak atas perlakuan dan keadilan yang sama.

5) Konflik antara kelompok dengan organisasi, konflik ini timbul ketika

organisasi menuntut target produktivitas terlalu tinggi sedangkan para

individu anggota organisasi hanya bisa memberikan terlalu rendah. Seorang

direktur ingin perusahaannya maju dengan tingkat produksi yang optimal agar

dicapai laba perusahaan secara optimal pula, sementara dari sisi manajer,

mandor, buruh/karyawan berkeinginan bagaimana memperoleh gaji/upah

yang setinggi-tingginya agar dapat mencukupi kebutuhan ekonomi

keluarganya.
6) Konflik antar organisasi, timbul sebagai akibat persaingan bisnis, persaingan

memperoleh pengakuan/pengaruh dari masyarakat, kesalahpahaman antar

individu anggota organisasi saja tetapi mengakibatkan eskalasi masalahnya

melibatkan masing-masing organisasi sehingga pihak manajemen harus turun

tangan. Dari sisi bisnis, perang harga, perebutan pangsa pasar, pengembangan

produk, dan kemajuan teknolgi menimbulkan konflik sesama organisasi.

Konflik pada dasarnya bisa muncul pada aktivitas diri seseorang (sebagai

konflik internal) maupun pada aktivitas sosial yang cakupannya lebih luas.

Konflik yang timbul dari internal individu/organisasi cara menanggulanginya

akan jauh lebih mudah dibandingkan dengan konflik yang timbulnya dari

kelompok dengan kelompok dan kelompok dengan organisasi atau antar

organisasi. Kecepatan meredam, memanajemen, dan menyelesaikan berbagai jenis

konflik yang muncul sangat dipengaruhi oleh tingkat respon dan ketepatan dalam

memilah/memilih strategi penyelesaian konflik tersebut.

Konflik dengan skala cakupan sempit yang berasal dari individu dengan

individu akan menjadi konflik besar jika dalam merespon dan menanganinya tidak

bisa tuntas serta memuaskan dua individu yang berkonflik. Hal ini sangat

mungkin terjadi karena konflik antar individu kemungkinan berasal dari dua

kelompok yang berbeda sehingga. Dalam situasi seperti ini pihak pimpinan

organisasi harus cepat merespon dan meminimalisir konflik yang ada, karena jika

konflik antar individu yang berasal dari dua kelompok yang berbeda tersebut terus

dibiarkan berlarut-larut bukan tidak mungkin konflik akan berubah menjadi

konflik antar kelompok.


Berbagai konflik yang timbul di dalam aktivitas organisasi, baik konflik

individu, antar individu, kelompok, antar kelompok, individu/kelompok dengan

organisasi, maupun antar organisasi seringkali hanya disebabkan oleh hal-hal

yang sepele. Komunikasi yang tidak lancar dan pebedaan persepsi tentang suatu

informasi sering menjadi pemicu/penyebab timbulnya konflik. Selain itu interaksi

yang terjadi antar individu dan antar kelompok ada kalanya tidak bisa saling

memahami hubungan interpersonal yang dikehendaki.

C. Akibat-Akibat Konflik

Konflik yang muncul dan terjadi dalam suatu organisasi/perusahaan yang

disebabkan oleh faktor apapun, memiliki konsekuensi atau akibat bagi seluruh

elemen oraganisasi tersebut. Sebagai sebuah sebab, maka konflik juga dapat

membawa akibat positif dan negatif.

1. Akibat Positif, yaitu :

a) Organisasi memiliki dinamika dan jalinan yang akrab satu sama lain karena

adanya interaksi yang intensif antar sesama anggota organisasi baik yang

terlibat langsung dengan konflik maupun yang lain. Konflik antar individu

atau antar kelompok yang diselesaikan dengan damai dan adil akan membawa

keharmonisan dan kebersamaan yang saling menguatkan.

b) Orang-orang yang pernah berkonflik memahami akan dampak yang

diakibatkan oleh konflik yang dilakukan, sehingga pengalaman masa lalu

dapat dijadikan sebagai pelajaran berharga dalam bekerja. Jika harus terjadi
konflik serupa, maka satu sama lain akan saling berusaha memahami dan

menyelaraskan dengan lingkungan di mana berada.

c) Konflik yang muncul akibat ketidakpuasan atas diberlakukannya peraturan

tentang upah/gaji dan jenis kesejahteraan lainnya yang sebelumnya ditentang,

boleh jadi oleh pihak manajemen pemberlakuannya ditunda atau dibatalkan.

d) Konflik yang timbul tetapi bisa diredam dan dikelola secara baik dapat

melahirkan kritik-kritik membangun, cerdas, kreatif, dan inovatif demi

kebaikan organisasi secara keseluruhan baik jangka pendek maupun jangka

panjang.

e) Anggota organisasi yang tidak terlibat secara langsung dalam suatu konflik,

dapat mengambil hikmah dan bisa belajar bagaimana menghadapi perbedaan

sifat, sikap, dan perilaku orang lain di tempat kerja.

2. Akibat Negatif , yaitu :

a) Komunikasi organisasi terhambat

b) Kerjasama yang sudah dan akan terjalin antar individu dalam organisasi

menjadi terhalang/terhambat.

c) Aktivitas produksi dan distribusi dalam perusahaan menjadi terganggu,

bahkan sangat mungkin dapat mengakibatkan turunnya omset penjualan

dalam kurun waktu tertentu.


d) Masing-masing pihak yang berkonflik sangat rentan terpicu adanya situasi

atau hal lain yang memancing kedua belah pihak untuk berkonflik lagi.

e) Bekerja dalam situasi yang sedang ada konflik menyebabkan orang yang

tidak ikut berkonflikpun ikut merasakan dampaknya seperti situasi kerja yang

tidak kondusif, antar pegawai/karyawan muncul saling mencurigai, salah

paham, dan penuh intrik yang mengganggu hubungan antar individu.

f) Individu yang sedang berkonflik merasa cemas, stres, apatis, dan frsutasi

terhadap situasi yang sedang dihadapi. Bekerja dalam situasi dan kindisi

psikologis seseorang seperti ini tentunya dapat menyebabkan menurunnya

etos kerja yang akhirnya merugikan produktivitas

organisasi/perusahaan/pemerintahan secara luas.

g) Akibat terburuk bagi orang-orang yang sedang berkonflik dalam suatu

organisasi adalah stres yang berkepanjangan hingga menarik diri dari

pergaulan dan mangkir dari pekerjaan. Akibat akumulasi dari kondisi ini

adalah yang bersangkutan berhenti atau diberhentikan dari pekerjaan karena

seringnya mangkir dari pekerjaan sehingga dapat merugikan

perusahaan/pemerintahan.

D. CONTOH KASUS KONFLIK ORGANISASI PUBLIK


DALAM MANEJEMEN DAERAH

Kebijakan otonomi daerah yang diberikan pemerintah pusat dalam

desentralisasi kebijakan berakibat konflik karena kurang mampunya pemerintah

daerah dalam memanajemen kebijakan investasi yang masuk. 


Akademisi Untirta Ail Muldi mengatakan, lingkaran konflik yang sering

terjadi melibatkan tiga aktor yaitu pemerintah daerah, perusahaan dan masyarakat

lokal. Belum modernnya pengelolaan pemerintah dalam meningkatkan sumber

Pendapatan Asli Daerah (PAD) membuat pemerintah berpikir instan yang

berimbas konflik di tengah masyarakat. 

“Pasca-otonomi daerah, pemerintah daerah cenderung

memudahkan investasi. Akhirnya berdampak terhadap marginalisasi masyarakat

lokal yang menjadikan SDA sebagai sumber penghidupan," kata Ail saat menjadi

pembicara pada diskusi bertajuk "Konflik Resolusi, Demokrasi dan Suara Kaum

Miskin" di Coloni Lebah, Pakupatan, Kota Serang, Selasa 8 Oktober 2019.

Akibat hal itu, masyarakat yang merasa dirugikan dengan

hadirnya investasi mengemukakan pendapatnya di hadapan publik yang

berakibat konflik dan seringkali berbuah kekerasan. Padahal, ujar dia, dalam

penyelesaian konflik agar tidak berbuah kekerasan terdapat dua metode yang bisa

dilakukan. 

"Ada dua solusi dalam menyelesaikan konflik yang saya tawarkan, pertama

adalah dialog konstruktif, yang kedua adalah join action," ucap dia.

Untuk kasus lainnya dalam upaya pemulihan di Indonesia dan

pemberdayaan (masyarakat) tidak hanya membutuhkan pembagian kerja yang

jelas dari instansi pusat maupun daerah, namun juga membutuhkan sinergi yang

membentuk kerjasama terpadu lintas departemen, bahkan lintas koordinasi. Hal


ini seperti dicantumkan dalam dokumen Instruksi Presiden tentang Percepatan

Pemulihan Pembangunan Propinsi Maluku dan Propinsi Maluku Utara Pasca

Konflik. Di dalamnya menuntut keterlibatan sinergi tiga kementerian koordinator,

21 kementerian, instansi TNI dan Kepolisian, dua badan tingkat nasional, serta

para pejabat di daerah konflik tersebut. (Inpres No 6 Tahun 2003). Untuk

membentuk koordinasi yang terpadu - dibutuhkan bukan hanya kompetensi yang

menjadi tugas dari setiap instansi, namun juga dukungan sistem informasi yang

lengkap, baik dan benar. Sistem informasi yang dapat mendukung sinergi tersebut

tidak hanya membutuhkan sarana pengolahan data, namun juga membutuhkan

dukungan komunikasi data yang menghubungkan petugas di Iapangan dengan

kantor pimpinannya.

Untuk menangani konflik yang tidak sederhana, karena harus didasari pada

filosofi, paradigma, pendekatan (model), serta penggunaan teknologi yang sesuai

dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat. Dalam pemberdayaan dengan aplikasi

Teknologi Informasi (TI) memerlukan kerjasama dengan pelbagai pihak terkait

(stakeholder), tentang pertukaran data antar kelompok masyarakat/daerah. Model

ini dapat dijadikan satu bentuk solusi bagi tugas-tugas penanganan konflik,

terutama dalam hal deteksi dini guna memperkuat dan memberdayakan ujung

tombak operasional serta mendukung upaya koordinasi strategis di tingkat

nasional. Rekomendasi tulisan ini memiliki spektrum luas, dari perlunya bahasan

dan kajian pada tingkatan filosofi dan prinsip-prinsip kerja, pendekatan

saintifik/akademik sampai memilih dan menentukan penggunaan teknologi yang

sesuai dengan kebutuhan di tingkat operasional. Namun, khusus pada tingkat


implementasinya difokuskan pada kajian pengembangan aplikasi TI yang perlu

dilakukan secara bertahap, dengan mengoptimalkan peran TI dalam masyarakat

sebagai media yang menunjang dalam proses percepatan tindakan dan penanganan

konflik. Karena itu perlu pula meningkatkan kepedulian publik mengenai

pentingnya TI melalui sosialisasi, promosi, motivasi dan edukasi, baik pada

masyarakat maupun pada aparat pemerintah daerah dan aparat keamanan di

daerah konflik; sekaligus mendorong penggunaan TI secara efektif dalam segala

bidang baik di lingkungan masyarakat maupun di lingkungan aparat pemerintah

daerah konflik, baik dalam proses pelayanan maupun dalam proses koordinasi

antar instansi, sehingga, dapat menciptakan masyarakat berbasis komunitas

informasi. Hal ini akan efektif dalam produktivitas informasi yang dibangun atas

azas transparansi dan akuntabilitas, dan mampu memberdayakan masyarakat

sebagai pemasok informasi dalam pendeteksian dini terjadinya konflik (di)

masyarakat; serta perlu adanya pola koordinasi berbasis TI yang lebih terarah,

baik antar instansi pemerintah daerah, antara pemerintah daerah dengan aparat

keamanan maupun antar instansi aparat keamanan sendiri. Koordinasi tersebut

dapat terjadi secara vertikal maupun horisontal.

Meskipun penyebab utama konflik adalah perbedaan di tengah

masyarakat, banyak faktor yang bisa terkait dengannya. Sebagai gejala sosial,

konflik sebenarnya hal yang wajar terjadi dalam setiap masyarakat. Sebab, setiap

individu atau kelompok punya keinginan meningkatkan kesejahteraan, kekuasaan,

prestise, dukungan sosial, hingga mengakses berbagai sumber daya. Saat individu

atau kelompok punya keinginan yang sama dengan individu atau kelompok
lainnya, sementara keinginan tersebut terkait dengan sumber daya yang langka,

lahirlah kompetisi. Adapun proses kompetisi yang berlebihan bisa berujung pada

konflik. Sama halnya ketika individu atau kelompok punya keinginan berbeda

dengan individu kelompok lain, perselisihan akan lahir. Perselisihan tersebut bisa

berujung pada konflik jika tak terdamaikan. Baca juga: Apa Saja Faktor Penyebab

Konflik Sosial dalam Masyarakat? Sementara dalam ilmu sosiologi, konflik sosial

dipahami sebagai bentuk salah satu dampak proses interaksi sosial. Interaksi sosial

dianggap bisa membawa efek asosiatif atau mempererat hubungan antarindividu

di masyarakat, dan juga bisa memunculkan dampak disosiatif, merenggangkan

hubungan. Contoh bentuk asosiatif adalah kerja sama. Adapun contoh bentuk

disosiatif yaitu konflik, demikian seperti dikutip dari Rumah Belajar Kemdikbud.

Ada banyak cara pandang terhadap konflik sosial di sosiologi. Maka itu, konflik

sosial juga tidak selalu dinilai sebagai hal yang negatif. Dalam kehidupan

masyarakat, konflik juga dapat berupa proses instrumental yang mengarah pada

pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial serta dapat menetapkan

dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Bahkan dengan konflik,

kelompok dapat memperkuat kembali identitas dan solidaritas di antara

anggotanya.

Contoh kasus lainnya yaitu Konflik Kewenangan Substansi Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 1999 merupakan simbolis pada daerah yang otonom. Istilah

tingkatan daerah otonom yang semula di kenal dengan Dati 1 dan Dati 11

kemudian di hapuskan, kemudian digantikan dengan istilah yang dianggap lebih

netral yakni tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Ini diupayakan untuk
menghindari citra bahwa tingkatan lebih tinggi Dati 1 secara hirarkis lebih

berkuasa dari pada tingkatan lebih rendah Dati 11, seperti era sebelumnya

(Pratikno, 2003). Kedua-duanya merupakan badan hukum yang terpisah dan

sejajar yang mempunyai kewenangan berbeda. Konflik kewenangan yang terjadi

di Kendari mengenai investor AGG justru membuat jurang hirarkis semakin

melebar. Adanya arogansi dari pihak provinsi yang secara arogan dengan

memberikan perijinan investor tanpa mematuhi rambu-rambu dari pihak

kabupaten ternyata menimbulkan resistensi dari pihak kabupaten/kota dimana

pihak kabupaten dengan sengaja menutup lahan-lahan investor AGG yang sedang

berjalan yang mengakibatkan konflik antar Gubernur dengan Walikota. Sebuah

fenomena yang sangat tragis mengingat keduaduanya merupakan elit-elit politik

yang merupakan penentu kebijakan ditingkat lokal. Undan-Undang Nomor 22

Tahun 1999 menyebut bahwa desentralisasi telah direalisasikan dan untuk

kelancaran tugas-tugas bidang penanaman modal. Mendagri juga telah

menerbitkan keputusan No. 130-167 tahun 2002 tentang pengakuan kewenangan

Bupati/ Walikota untuk menerbitkan persetujuan dan ijin pelaksanaan penanaman

modal dalam negeri, sedangkan untuk administrasi penanaman modal asing

dilakukan oleh pihak provinsi (Pangaribuan, 2006). Keputusan Presiden Nomor

29 Tahun 2004 mengatakan bahwa kewenangan penanaman modal diakui berada

pada tingkat Gubernur/Bupati/Walikota. Berikut ini adalah petikan keppres

tersebut. “Gubernur/Bupati/Walikota dapat melimpahkan kewenangan pelayanan

persetujuan, perijinan dan fasilitas penenaman modal kepada BKPM melalui

sistem pelayanan satu atap” Akan tetapi menurut Tiolina belum ada pemerintah
provinsi maupun kabupaten kota yang melimpahkan kepada BKPM. Disinilah

sering terjadinya konflik tersebut, kerena kewenangan diartikan tetap masih

berada ditingkat provinsi dan kabupaten/kota. Setidaknya ini akan menjadikan

investor akan semakin kebingungan karena ketidakjelasan dan ketidakpastian

peraturan yang mengatur bidang investasi sehingga banyak investor yang masih

menunggu kejelasan mengenai UU tersebut. Penelitian Yayasan Harkat Bangsa

mengatakan bahwa UU No 22/1999, memiliki beberapa persoalan mengenai

potensi munculnya konflik-konflik kewenangan. Berikut ini adalah beberapa hasil

penelitian dari Ratnawati, 2006 yaitu:

1. lemahnya koordinasi dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan diantara

tingkat pemerintahan, baik pusat provinsi maupun kabupaten/kota. Dalam

penyediaan public goods seringkali menjadi polemik siapa sebenarnya yang

bertanggung jawab.

2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pasal 3 telah memasukan wilayah

laut sebagai wilayah provinsi maupun kabupaten/kota, yang bertentangan

deangan Udang-Undang pembentukan daerah dimana laut dinyatakan sebagai

batas daerah wilayah.

3. Konflik kewenangan antara tingkat pusat, provisi kabupaten/kota berdasarkan

pasal 7 dan 9 serta pasal 11 menyatakan bahwa semua kewenangan diluar

kewenangan pemerintah pusat maupun provinsi menjadi menjadi kewenangan

kabupaten/kota yang berdampak pada konflik penyelenggaraan suatu fungsi

pemerintahan.
4. Konflik penyelenggaraan fungsi pemerintahan, terutama oleh kabupaten/kota

dengan pemerintah pusat departemen yang mengenai bidang sektoral. Daerah

mengacu kepada pasal 7, 11 dan pasal 119, sedangkan departemen sektoral

mengacu kepada pasal 7(b) serta undang- undang yang mengatur kewenangan

dari departemen sektoral yang bersangkutan, yang telah ditetapkan sebelum

berlakunya UU No 22/1999.

5. Konflik juga akan terjadi antara pemerintah kabupaten/kota dengan pihak

BUMN atau otoritas sebagai akibat ketentuan yang diatur dalam pasal 199,

dimana berdasarkan ketentuan tersebut pemerintah kabupaten/kota merasa

lebih berhak dalam fungsi pemerintahan yang ditangani oleh BUMN.

Mengenai hal ini YGB memiliki contoh konflik antara Pemerintah Daerah

Tanggerang dengan PT Angkasa Pura sebagai pengelola Bandara

SukarnoHatta dan konflik antara Pemerintah Daerah Batam dengan Badan

Otorita Batam.

6. Pemerintah daerah merasa berhak dalam mengelolah sumber daya alam jika

mengacu kepada pasal 10 Undan-Undang Nomor 22 Tahun 1999 sehingga

terjadi konflik dengan instansi departemen sektoral atau BUMN yang selama

ini menanganinya. Hal ini terjadi pada konflik Perum Perhutani yang

memiliki kewenangan untuk pengurusan hutan dengan Pemerintah Provinsi

yang juga memiliki kewenangan pada bidang kehutanan.

7. Konflik juga di perparah dengan ketentuan dalam pasal 133 UU No 22/1999

yang menyatakan bahwa ketentuan paraturan perundangundangan yang


bertentangan dan/atau tidak sesuai dengan undang-undang ini diadakan

penyesuaian.

8. Provinsi tidak dapat menjalankan kewenangan sebagai daerah otonom secara

maksimal, yaitu kewenangan yang mencakup lintas kabupaten/kota maupun

kewenangan yang tidak atau belum dapat dilakukan oleh kabupaten/kota.

Pengaturan kewenangan provinsi dalam pasal 4 PP No 25/2000 pada

pelaksanaannya seringkali sering kali berbenturan dengan kewenangan

kabupaten/kota yang mengacu pada pasal 7, 9 dan 111 UU No 22/1999.

9. Distribusi kewenangan dalam pasal 11 tidak membagi secara jelas fungsi

pemerintahan apa yang menjadi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat

lokal dan merupakan sektor unggulan.

Kabupaten/kota dalam pasal 11 juga mengemban bidang pemerintahan

yang wajib, tanpa membedakan karakteristik daerah perkotaan maupun pedesaan.

Contoh kasus Konflik kewenangan pemerintahan yang melibatkan pemerintah

provinsi dan pemerintah kota memberi pelajaran kepada kita betapa undang-

undang otonomi daerah itu masih menyisakan masalah di tingkat pemerintahan

daerah. Otonomi selama ini dianggap sebagai pintu masuk bagi pelaksanaan

kekuasaan yang lebih baik dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi, tapi

ternyata otonomi juga bisa menciptakan benih-benih konflik baru yang

mengarahkan daerah pada posisi yang berhadap-hadapan saling bersaing dalam

memperebutkan sumber daya yang ada. Ada beberapa hal penting yang memberi

pelajaran dalam konflik ini, pertama perlu adanya pemahaman baru ditingkat elit
bahwa otonomi dilakukan bukan atas kebebasan yang multi tafsir sehingga bebas

untuk melakukan tafsir tersebut pada tataran implementasi.

Kemudian, perlu perbaikan perundang-undangan baik pada tingkat

nasional maupun tingkat daerah. Di tingkat nasional perlunya menggaransi

undang-undang otonomi daerah dengan peraturan pemerintah (PP) yang mengikat

adil dan bijaksana dalam pelaksanaan otonomi daerah, sedangkan ditingkat daerah

perlu perbaikan perda-perda yang lahir atas pemahaman yang keliru terhadap

otonomi daerah. Perbaikan ini semua berujung kepada upaya agar tidak terjadi

kesalahpahaman dalam menjalankan otonomi daerah. Kecenderungan perilaku

koruktif dalam menjalankan program otonomi daerah dewasa ini, sesutu yang

tidak dapat dihindarkan. Perilaku ini memarginalkan esensi otonomi daerah ke

arah kepentingan sesaat yang dilakukan para elit politik.

Anda mungkin juga menyukai