Anda di halaman 1dari 41

KONFLIK DALAM ORGANISASI

A. HAKIKAT KONFLIK

Orang-orang dan kelompok di dalam organisasi mengembangkan keahlian dan


pandangan yang berbeda tentang pekerjaannya/ tugasnya dan pekerjaan// tugas kelompok
yang lain. Ketika interaksi diantara mereka terjadi maka konflik menjadi potensial untuk
muncul.

Konflik di dalam organisasi dapat menimbulkan konsekuensi positif dan negatif. Dapat
mendorong inovasi organisasi. kreatifitas dan adaptasi. Organisasi tidak berkembang bisa
juga karena pimpinan terlalu berpuas diri, sehingga kurang peka terhadap perubahan dari
faktor lingkungan eksternal, tidak ada perbedaan pendapat maupun gagasan baru. Sekalipun
beberapa konflik yang terjadi bermanfaat bagi kemajuan organisasi, akan tetapi konflik yang
sering terjadi dan muncul kepermukaan adalah konflik yang bersifat disfungsional. Konflik
seperti itu dapat menurunkan produktivitas, menimbulkan ketidakpuasan, meningkatkan
ketegangan dan stres dalam organisasi.

Kehadiran konflik biasanya diawali dengan munculnya bibit konflik, sehingga para
pemimpin baik formal maupun informal bertanggung jawab untuk mengidentifikasi sumber
dan tipe bibit-bibit konflik secara dini, menganalisa akibat yang harus ditanggung, serta
mengidentifikasi kekuatan dan kelemahannya untuk menentukan langkah preventif secara
tepat. Jika tahap pertama tidak dapat diatasi dan bibit konflik meningkat, maka anggota
organisasi akan semakin jeli terhadap kehadiran bibit tersebut, dan sering menimbulkan
dampak emosional.

Konflik dapat diibaratkan “pedang bermata dua”, di satu sisi dapat bermanfaat jika
digunakan untuk melaksanaan suatu pekerjaan, di sisi lain dapat merugikan dan menda
- tangkan malapetaka jika digunakan untuk bertikai atau berkelahi. Demikian halnya dalam
organisasi, meskipun kehadiran konflik sering menimbulkan ketegangan, tetap diperlukan
untuk kemajuan. dan perkembangan organisasi. Dalam hal ini, konflik dapat menjadi energi
yang dahsyat jika dikelola dengan baik, bahkan dapat dijadikan sebagai alat untuk melakukan
perubahan, tetapi dapat menurunkan kinerja jika tidak dapat dikendalikan.

Berdasarkan manfaatnya, konflik dapat dikelompokkan ke dalam konflik fungsional


dan disfungsional. Menurut Gibson (1996), konflik fungsional adalah suatu konfrontasi di
antara kelompok yang menambah keuntungan kinerja. Pertentangan antar kelompok yang
fungsional dapat memberikan manfaat bagi peningkatan efektivitas dan prestasi organisasi.
Konflik ini tidak hanya membantu tetapi juga merupakan suatu kondisi yang diperlukan
untuk menumbuhkan kreativitas. Kelompok yang anggotanya heterogen menimbulkan
adanya suatu perbedaan pendapat yang menghasilkan solusi lebih balk dan kreatif. Konflik
fungsional dapat mengarah pada penemuan cara yang lebih efektif untuk menyesuaikan diri
dengan tuntutan perubahan lingkungan sehingga organisasi dapat hidup terus dan
berkembang. Adapun konflik disfungsional adalah konfrontasi atau pertentangan
antarkelompok yang merusak, merugikan, dan menghalangi pencapaian tujuan organisasi.
Sehubungan dengan itu, setiap organisasi harus mampu menangani dan mengelola, serta
mengurangi konflik agar memberikan dampak positif, dan meningkatkan prestasi, karena
konflik yang tidak dikelola dengan baik dapat menurunkan prestasi dan kinerja organisasi.

Pada umumnya konflik berlangsung dalam lima tahap, yaitu tahap potensial, konflik
terasakan, pertentangan, konflik terbuka, dan akibat konflik.

1. Tahap potensial, yaitu munculnya perbedaan di antara individu, organisasi, dan


lingkungan yang merupakan potensi terjadinya konflik.

2. Konflik terasakan, yaitu kondisi ketika perbedaan yang muncul dirasakan oleh individu,
dan mereka mulai memikirkannya.

3. Pertentangan, yaitu kondisi ketika konflik berkembang menjadi perbedaan pendapat di


antara individu atau kelompok yang saling bertentangan.

4. Konflik terbuka, yaitu tahapan ketika pertentangan berkembang menjadi permusuhan


secara terbuka.

5. Akibat konflik, yaitu tahapan ketika konflik menimbulkan dampak terhadap kehidupan
dan kinerja organisasi. Jika konflik terkelola dengan baik, maka akan menimbulkan
keuntungan, seperti saling tukar pikiran, ide dan menimbulkan kreativitas. Tetapi jika
tidak terkelola dengan baik, dan melampaui batas, maka akan menimbulkan kerugian,
seperti saling permusuhan.

Konflik akan berkembang disekolah jika tidak cepat ditanggulangi, serta mendorong
para tenaga kependidikan untuk menentukan sikap dan tindakan apabila konflik benar -
benar muncul ke permukaan secara terbuka, dan jika tidak dapat ditanggulangi maka akan
menjadi kenyataan yang diwujudkan dalam pernyataan, tingkah laku dan reaksi diantara
pihak yang bertentangan.

Mengetahui adanya konflik sedini mungkin dapat dilakukan dengan memperhatikan


hubungan-hubungan yang ada, karena pada umumnya hubungan yang tidak normal
merupakan gejala konflik, misalnya ketegangan, kekakuan, ketakutan, kekalutan dan saling
fitnah. Meskipun demikian, tidak semua konflik dapat diketahui gejala -gejalanya,
untuk mengetahuinya pimpinan harus aktif melakukan berbagai tindakan. Tindakan yang
dapat dilakukan kepala sekolah untuk mengetahui adanya konflik secara dini adalah
menciptakan komunikasi timbal balik, menggunakan jasa pihak ketiga dan menggunakan
jasa pengawas informal.

a) Menciptakan komunikasi timbal balik. Komunikasi timbal balik akan mendorong tenaga
kependidikan aktif mengemukakan pendapat, sehingga dapat diperoleh kemungkinan
petunjuk adanya konflik.

b) Menggunakan jasa pihak ketiga. Pada umumnya pihak yang sedang terlibat konflik
akan terbuka kepada pihak ketiga yang netral, sehingga untuk mengetahui adanya
konflik sedini mungkin perlu bantuan pihak yang netral.

c) Menggunakan jasa pengawas informal. Pengawas informal merupakan orang yang


ditempatkan secara rahasia dan bertugas sebagai Intel yang harus melaporkan setiap
kejadian. Untuk mencapai keberhasilan, pengawas informal harus bertinclak secara
wajar agar ticlak diketahui oleh teman-temannya.
Konflik dapat terjadi karena setiap pihak atau salah satu pihak merasa dirugikan, baik
secara material maupun non material. Untuk mencegahnya, harus dipelajari penyebabnya,
antara lain sebagai berikut :

a) Perbedaan pendapat. Konflik dapat terjadi karena perbedaan pendapat dan masing-
masing merasa paling benar. Jika perbedaan pendapat ini meruncing dan mencuat ke
permukaan, maka dapat menimbulkan ketegangan.

b) Salah paham. Konflik dapat terjadi karena salah paham (misunderstanding), misalnya
tindakan seseorang mungkin tujuannya baik, tetapi dianggap merugikan oleh pihak
lain. Kesalahpahaman ini akan menimbulkan rasa kurang nyaman, kurang simpati, dan
kebencian.

c) Salah satu atau kedua pihak merasa dirugikan. Konflik dapat terjadi karena tindakan
salah satu pihak mungkin dianggap merugikan yang lain atau masing-masing pihak me-
rasa dirugikan. Pihak yang dirugikan merasa kesal, kurang nyaman, kurang simpati atau
benci. Perasaan-perasaan ini dapat menimbulkan konflik yang mengakibatkan kerugian
baik secara materi, moral, maupun sosial.

d) Terlalu sensitif. Konflik dapat terjadi karena terlalu sensitif, mungkin tindakan
seseorang adalah wajar, tetapi karena pihak lain terlalu sensitif maka dianggap merugi
- kan, dan menimbulkan konflik, walaupun secara etika tindakan ini tidak
termasuk perbuatan yang salah.

B. PERUBAHAN PANDANGAN TENTANG KONFLIK

P a n d an g an t r a di s io n al . P a n d an g a n t r ad i s i o n a l t e n t an
g kon flik an tarkelomp ok terjadi an tara tahun 1930an d an tah un 1940an.
Pandangan ini menganggap bahwa semua konflik adalah b erbah aya d an oleh
karen an ya h aru s d ih in dari. Kon flik dilih at seb agai h asil yan g d i sfu n g sion
al s eb agai aki b at d ari b u ru kn ya komunikasi. kurangnya keterbukaan dan
kepercayaan di antara ang gota organisasi, dan kegagalan manajer untuk
memberikan respon atas kebutuhan dan aspirasi dari para pekerja.
P an da ng an al i ra n hub un gan man us ia wi . P an d an ga n aliran hu
bungan man u siawi men gan ggap bah wa kon flik adalah sesuatu yang lumrah dan
terjadi secara alami dalam setiap kelompok dan organisasi. Karena keberadaan dari
konflik dalam organisasi tidak dapat dihindari, maka aliran hubungan manusiawi
mendukung penerimaan dari konflik tersebut dan menyadari adakaLanya konflik tersebut
bermanfaat bagi prestrasi suatu kelompok. Pandangan aliran hubungan manusiawi
mendominasi teori tentang konflik pada akhir tahun 1940-an sampai pertengahan tahun
1970-an.

Pandangan interaksionis. John Aker dari IBM menjelaskan pandangan baru tentang
konflik yang disebut sebagai perspektif interaksionis. Kalau pendekatan aliran hubungan
manusiawi menerima keberadaan dari konflik, maka pendekatan interaksionis mendorong
konflik pada keadaan yang “harmonis” tidak adanva perbedaan pendapat yang cenderung
menyebabkan organisasi menjadi statis. apatis, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan akan
perubahan dan inovasi. Sumbangan utama dari pendekatan interaksionis adalah mendorong
pimpinan organisasi untuk selalu mempertahankan tingkat konflik yang optimal agar mampu
menimbulkan semangat dan kreativitas kelompok.

C. KONFLIK FUNGSIONAL DAN DISFUNGSIONAL

Seperti halnya pandangan tradisional masih banyak orang menganggap bahwa konflik
selalu bersifat tidak fungsional atau disfungsional dan oleh karenanya harUs dihindari.
Pendapat seperti itu tentu tidak benar. Pandangan masyarakat yang negatif tentang konflik
seperti itu bisa saja disebabkan konflik-konflik yang muncul kepermukaan dan diketahui oleh
masyarakat adalah konflik yang destruktif yang mengarah pada perpecahan.

Konflik sebenarnya dapat diibaratkan sebagai pedang bermata dua, disatu sisi pedang
dapat bermanfaat jika digunakan untuk melaksanakan pekerjaan yang produktif. Dan disisi
yang lain pedang juga dapat merugikan dan mendatangkan bencana apabila diper
gunakan untuk membunuh orang. Demikian juga konflik yang terjadi dalam organisasi dalam
batas- batas tertentu kehadiran konflik dalam suatu organisasi diperlukan dalam rangka
kemajuan dan perkembangan organisasi.
Konflik fungsional

Konflik fungsional berkaitan dengan pertentangan antarkelompok yang terjadi


bermanfaat bagi peningkatkan efektivitas dan prestasi organisasi. Dari hasil studi
menemukan bahwa konflik tidak hanya membantu tetapi juga merupakan suatu kondisi
yang diperlukan untuk menumbuhkan adanya kreativitas. Kelompok yang anggotanya
heterogen menimbulkan adanya suatu perbedaan pendapat yang menghasilkan solusi yang
lebih baik dan ide yang lebih kreatif. Dari hasil studi tentang proses pengambilan keputusan
kelompok telah mengarahkan teori pada suatu kesimpulan bahwa konflik dap
at menghasilkan banyak manfaat positif bagi organisasi jika dikelola dengan balk
(Cherrington,
1989). Konflik fungsional dapat mengarah pada penemuan cara yang lebih efektif untuk
menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan lingkungan, sehingga organisasi dapat hidup
terus dan berkembang.

Pada tingkat individu, konflik yang terjadi dapat menciptakan sejumlah akibat yang
diinginkan. Individu memerlukan rangsangan dan goncangan pada suatu tingkat tertentu,
agar merasa antusias terhadap pekerjaannya. Dalam batas-batas tertentu, konflik dapat
menimbulkan adanya ketegangan yang memotivasi seseorang untuk bertindak.
Penyaluran dari ketegangan tersebut dapat menimbulkan adanya prestrasi kerja dan
kepuasan yang tinggi. Akan tetapi untuk

memberikan hasil yang diinginkan, bagaimanpun juga konflik harus dibatasi atau memiliki
tingkat intensitas yang tepat. Jika tidak maka akan terjadi kosekuensi yang disfungsional.

Konflik disfungsional

Konflik disfungsional berkaitan dengan pertentangan antar kelompok yang merusak


atau menghalangi pencapaian tujuan organisasi/ kelompok. Sebagian organisasi dapat
menangani dan mengelola konflik yang terjadi sehingga memiliki dampak fungsional. Akan
tetapi, sebagian besar organisasi mengalami konflik pada tingkat yang lebih besar dari ya
ng diinginkan (yang fungsional), dan prestasi akan membaik jika konflik yang terjadi
dapat dikurangi. Jika konflik yang terjadi begitu parah, maka prestasi organisasi mulai
merosot.
Konflik seperti itu sering terjadi di berbagai Perguruan Tinggi, antara pengurus yayasan
dengan pimpinan universitas. Konflik pada tinggkat ini sering terjadi karena masing-masing
pihak berupaya untuk memperoleh kekuasaan (power) yang lebih besar terutama sekali
dalam pengeloaan sumberdaya keuangan. Pihak universitas mengklaim bahwa kekayaan
termasuk keuangan lembaga/ universitas adalah hasil jerih payah universitas sehingga
mereka berwenang mengelola pemanfaatannya. Sementara itu yayasan mengklaim bahwa
universitas adalah milik yayasan sehingga yang berwenang untuk mengelola su
mber finansialnya adalah pengurus yayasan. Masing-masing bersiteguh atas pendiriannya
masing- masing sehingga seringkali menjurus pada konflik yang disfungsional.

D. HUBUNGAN KONFLIK DENGAN PRESTASI KERJA

Banyak orang secara otomatis menganggap bahwa konflik berkaitan dengan


rendahnya prestasi kelompok maupun organisasi. Konflik dapat bersifat konstruktif atau
destruktif bagi kelompok/ sub-unit dan organisasi. Seperti terlihat pada gambar bahwa
konflik dapat terlalu tinggi yang terjadi pada kondisi C atau terlalu rendah seperti yang
terjadi pada kondisi A. Pada kedua ekstrim tersebut konflik berdampak disfungsional yaitu
penurunan prestasi organisasi. Ketika tingkat konflik yang terjadi terlalu rendah, maka
prestasi rendah karena kurangnya dorongan dan rangsangan. Orang merasakan
lingkungannya terlalu menyenangkan dan nyaman. dan responnya apatis dan terjadi adanya
stagnasi. Jika mereka tidak dihadapkan pada tantangan mereka tidak akan mencari cara -
cara dan ide-ide baru, dan organisasi lambat beradaptasi dengan perubahan dari faktor
lingkungan ekstern. Di sisi lain ketika tingkat konflik yang terjadi sangat tinggi, prestasi
rendah karena kurangnya koordinasi dan kerjasama. Organisasi dalarn keadaan kacau balau,
dimana masingmasing orang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mempertahankan/
membela dirinya dan menyerang kelompok lain daripada melakukan tugas-tugas yang
produktif.

Sedangkan konflik yang optimal terjadi pada kondisi B, di mana tingkat konflik yang
terjadi cukup untuk mencegah adanya stagnasi, mendorong adanya kreativitas,
menimbulkan dorongan untuk melakukan perubahan, dan mencari cara terbaik untuk
memecahkan masalah.
Hubungan antara Konflik dengan Prestasi Kerja

Tingkat Tingkat
Kondisi Karakteristik Perilaku Sifat Konflik
Konflik Prestasi

Apatis

Stagnasi
Rendah atau
A Tidak Responsif terhadap Disfungsional Rendah
tidak ada
perubahan

Kurangnya ide-ide baru

Bersemangat

Inovasi

B Optimal Dorongan melakukan perubahan Fungsional Tinggi

Mencari cara pemecahan


masalah

C Tinggi Kekacauan Disfungsional Rendah


Tidak adanya kerjasama

Tidak adanya koordinasi

E. JENIS-JENIS KONFLIK DALAM ORGANISASI

Kita dapat menjelaskan ada enam jenis dari konflik yaitu konflik dalam diri seseorang,
konflik antarpribadi, konflik intern antaranggota kelompok. konflik antarkelompok, konflik
intra organisasi, dan konflik antarorganisasi.

1. Konflik dalam diri seseorang

Seseorang dapat mengalami konflik internal dalam dirinya karena ia harus memilih
tujuan yang saling bertentangan. la harus merasa birnbang, mana yang harus dipilih atau
dilakukan. Konflik dalam diri seseorang juga dapat terjadi kerena tuntutan tugas yang
melebihi kemampuannya.

2. Konflik antarindividu

Konflik antarindividu terjadi seringkali disebabkan oleh adanya perbedaan tentang isu
tertentu, tindakan, dan tujuan di mana hasil bersama sangat menentukan.

3. Konflik antar anggota kelompok

Suatu kelompok dapat mengalami konflik subtantif atau konflik afektif. Konflik
subtantif adalah konflik yang terjadi karena latar belakang keahlian yang berbeda. Jika
anggota dari suatu komite menghasilkan kesimpulan yang berbeda atas data yang sama
dikatakan kelompok tersebut mengalami konflik subtantif. Sedangkan konflik afektif adalah
koflik yang terjadi didasarkan atas tanggapan emosional terhadap suatu situasi tertentu.
4. Konflik antar kelompok

Konflik antar kelompok terjadi karena masing-masing kelompok ingin mengejar


kepentingan atau tujuan kelompoknya masing-masing. Misalnya konflik yang mungkin
terjadi antara bagian produksi dengan bagian pemasaran. Bagian produksi misa
lnya menginginkan adanya jadwal produksi yang tetap dan standar sehingga pengawasan
dapat dilakukan dengan lebih mudah. Sedangkan bagian pemasaran menginginkan adanya
jadwal produksi yang fleksibel, sehingga mampu mengikuti fluktuasi permintaan pasar.

5. Konflik intra organisasi

Konflik intra organisasi meliputi empat sub jenis, yaitu konflik vertikal, horisontal, lini
- staff, dan konflik peran. Konflik vertikal terjadi antara manajer dengan bawahan yang tidak
sependapat tentang cara terbaik utuk menyelesaikan suatu tugas. Konflik horizontal terjadi
antara karyawan atau depertemen yang memiliki hirarki yang sama dalam organisasi. Konflik
lini-staff yang sering terjadi karena adanya perbedaan persepsi tentang keterlibatan staff
(staf ahli) dalam proses pengambilan keputusan oleh manajer lini. Akhirnya konflik peran
dapat terjadi karena seseorang memiliki lebih dari satu peran yang saling bertentangan.
Misalnya saja seseorang di satu sisi ia menjabat sebagai kepala sub bagian proses produksi
dan dipihak lain ia menjabat sebagai serikat pekerja. Suatu saat karyawan menuntut adanya
kenaikan upah yang disebabkan kenaikan biaya hidup yang semakin meningkat. Sementara
itu dilain pihak kondisi perusahaan tidak memungkinkan untuk memenuhi tuntutan tersebut
karena perusahaan sedang dilanda kesulitan financial. Kondisi seperti itu dapat
menyebabkan konflik yang dialami oleh kepala sub bagian proses produksi, karena sebagai
kepala serikat pekerja ia merasa mempunyai kewajiban moral untuk memperjuangkan
kesejahteraan karyawan, tetapi sebagai unsur pimpinan dalam perusahaan ia memiliki
kewajiban menjaga kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan.

6. Konflik antar organisasi

Konflik bisa juga terjadi antar organisasi karena mereka memilki saling ketergantungan
satu sama lain terhadap pemasok, pelanggan, maupun distributor. Seberapa jauh konflik
terjadi tergantung kepada seberapa besar tindakan suatu organisasi menyebabkan adanya
dampak negatif terhadap organisasi yang lainnya. atau mencoba mengendalikan sumber
- sumber vital organisasi.

F. TAHAPAN-TAHAPAN KONFLIK DALAM ORGANISASI

Louis R. Pondy telah mengembangkan suatu model yang dapat dipergunakan untuk
menganalisis konflik yang terjadi dalarn organisasi. Pertama-tama Pondy mengidentifikasi
sumber-sumber konflik dan kemudian menganalisis salah satu Jenis tahapan dari suatu epi-
sode. Model tersebut menyediakan beberapa petuntuk tentang bagaimana mengendalikan
dan mengelola konflik di dalam organisasi. Menurut model Pondy tentang konflik bahwa
konflik yang terjadi dalam organisasi meliputi lima tahapan, yaitu konflik yang bersifat laten,
konflik yang dipersepsikan, konflik yang dirasakan, dan konflik yang dimanifestasikan, dan
buntut konflik. Berikut ini akan disajikan gambaran ringkas tentang konflik model Pondy.

Konflik Organisasi Model Pondy

Tahap 1 : Tahap 2 : Tahap 3 :

Konflik Laten Konflik Dipersepsikan Konflik Dirasakan

Tidak ada konflik yang Sub-unit menyadari adanya Masing-masing sub-unit


muncul secara seketika akan konflik dan mulai memberikan tanggapan
tetapi ada satu potensi menganalisisnya. Konflik secara emosional dan
munculnya konflik karena meningkat selama kelompok menunjukan sikap yang
beberapa faktor. bersitegang atas sumber dari bertentangan. Apa yang
konflik. terjadi pada awalnya
merupakan masalah kecil
berkembang menjadi
masalah besar.

Sumber-sumber konflik : Tahap 5 : Tahap 4 :

1. Saling ketergantungan Buntut konflik Konflik Dimanifestasikan

2. Perbedaan tujuan dan


prioritas
Konflik diatasi dengan Masing-masing sub-unit
3. Factor-faktor Birokrasi menghilangkan perasaan melakukan agresi secara
bermusuhan dan terbuka, sehingga
4. Criteria penentuan
menggantinya dengan efektivitas/ prestasi
prestasi yang tidak
kerjasama. organisasi menurun.
tepat

5. Persaingan atas
sumber-sumber

1. Konflik yang bersifat Laten

Konflik yang terjadi tidak seketika, tetapi potensi untuk rnunculnya konflik dalam
organisasi tetap ada yaitu bersifat laten, oleh karena operasi organisasi itu sendiri. Menurut
model ini bahwa konflik yang terjadi dalam organisasi karena adanya deferensiasi secara
vertikal dan horizontal yang mengarah kepada pembentukan sub-unit yang berbeda dengan
tujuan yang berbeda dan bahkan seringkali dengan persepsi yang berbeda tentang cara
terbaik untuk mencapai tujuan. Dalam perusahaan misalnya, manajer dari berb
agai departemen fungsional maupun divisi sependapat tentang tujuan utama dari
perusahaan adalah mengoptimalkan kemampuan perusahaan untuk menciptakan nilai
(value) dalam jangka panjang. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang cara-cara
untuk mencapai tujuan tersebut.
2. Tahap kedua : Konflik yang dipersepsikan (perceived conflict)

Tahap kedua dari konflik terjadi ketika suatu kelompok atau sub -unit menganggap
atau mempunyai persepsi bahwa tujuannya mulai dihalangi oleh tindakan dari kelompok
yang lain. Dalam tahap ini masing-masing sub-unit atau kelompok mulai menentukan
mengapa konflik itu muncul dan menganalisis kejiadian-kejadian yang menyebabkannya.
Masing- masing kelompok mencari asal mula timbulnya konflik dan membuat suatu skenario
yang menerangkan masalah-masalah yang dialami dengan sub-unit yang lain. Bagian pabrik
misalnya, segera menyadari bahwa penyebab masalah yang dihadapinya dalam produksi
adalah karena cacatnya bahan-bahan yang dipakai. Setelah bagian produksi mengadakan
penelitian, mereka menemukan bagian material selalu membeli bahan baku dari pemasok
yang menawarkan harga yang terendah dan tidak mencoba mengembangkan suatu
kerjasama jangka panjang yang dapat meningkatkan kualitas dan reliabilitas dari bahan baku
tesebut. Praktik bagian material melakukan pengurangan biaya bahan baku dalam rangka
memperbaiki fungsinya, tetapi meningkatkan biaya manufaktur atau biaya pabrik meningkat
karena banyaknya bahan baku yang tidak dapat dipakai dan merusak tujuan bagian pabrik.
Tidak mengherankan bagian pabrik menganggap, bahwa bagian material menghalangi
tujuannya.

Umumnya yang terjadi pada kondisi seperti itu adalah tingkat konflik meningkat
karena sub-unit atau kelompok berjuang atau bertengkar atas penyebab dari permasalahan.
Untuk merubah Praktik pembelian yang dilakukan oleh bagian. pembelian, maka bagian
pabrik menyampaikan keluhan kepada top manajer tentang pratek pembelian yang
dilakukan oleh bagian material. Bagian material membantah tuduhan bahwa bagiannya telah
membeli bahan baku yang berharga murah yang kualitasnya rendah. Sebaliknya bagian
material mengkaitkan permasalahan produksi tersebut sebagai kegagalan dari bagian pabrik
untuk memberikan pelatihan yang memadai terhadap para karyawannya untuk
mengoperasikan teknologi baru dan melempar tanggung jawab atas permasalahan tersebut
kepangkuan bagian pabrik. Sekalipun kedua bagian tersebut unit mempunyai andil atas
rendahnya kualitas produksi, mereka mengkaitkan rendahnya produksi dengan cara yang
sangat berbeda.
3. Tahap ketiga : Konflik yang dirasakan (felt conflict)

Pada tahap ini, sub-unit atau kelompok yang sedang mengalami konflik dengan cepat
mengembangkan tanggapan emosional kearah satu sarna lainnya. Khususnya, sub-unit yang
memiliki hubungan dekat dan mengembangkan suatu pertentangan secara mental dan
menyalahkan sub-unit atau kelompok yang lain. Selagi konflik meningkat, kerjasama di
antara sub-unit atau kelompok menurun dan demikian pula halnya efektivitas organisasi juga
menurun. Tentunya sulit mengembangan produk baru dengan cepat jika bagian penelitian
dan pengembangan, bagian material, dan bagian pabrik berselisih paham tentang kualitas
dan spesifikasi dari produk akhir.

Selagi sub-unit atau kelompok yang sedang mengalami konflik bertengkar dan
berargumentasi sesuai pandangan masing-masing, maka konflik yang terjadi akan terus
meningkat. Sekalipun permasalahan awalnya relatif kecil, tetapi jika tidak melakukan upaya
untuk meredakannya, maka masalah yang kecil dapat berkembang menjadi konflik yang
besar sehingga menjadi lebih sulit untuk mengelolanya. Jika konflik tidak segera diatasi maka
akan cepat naik ketahapan berikutnya.

4. Tahap keempat : Konflik yang dimanifestasikan

Tahap keempat dari konflik model pondy terjadi jika suatu sub-unit kembali mencoba
untuk menghalangi tujuan dari sub-unit yang lainnya. Wujud dari konflik pada tahap
keempat ini bisa bermacam-macam. Agresi secara terbuka antar kelompok yang mengalami
konflik adalah yang paling sering terjadi. Pergolakan yang terjadi pada para pucuk pimpinan
sering terjadi karena seseorang berupaya mempromosikan dirinya sendiri dengan
mengorbankan orang lain dalam organisasi tersebut.

5. Tahap kelima : Ekor Konflik

Cepat atau lambat, konflik yang terjadi jadi dalam organisasi akan teratasi dengan
beberapa cara, seringkali melalui keputusan yang diambil oleh manajer senior/ manajer
puncak. Demikian pula jika sumber dari konflik tidak segera diatasi maka cepat atau lambat
perselisihan dan permasalahan yang menvebabkan konflik akan muncul kembali dalam
kontek yang berrbeda.

Setiap tahapan dari konflik meninggalkan suatu buntut konflik yang berpengaruh
terhadap cara masing-masing kelompok bereaksi terhadap konflik yang mungkin akan terjadi
dimasa yang akan datang. Jika konflik dapat dipecahkan sebelum mencapai tahap konflik-
manifestasi, maka buntut konflik akan meningkatkan hubungan kerja yang baik di masa yang
akan datang. Jika konflik yang terjadi tidak teratasi sampai akhir dari tahap konflik-
manifestasi, ekor konflik akan mengakibatkan hubungan kerja yang tidak baik diwaktu yang
akan datang, dan budaya organisasi akan diracuni oleh hubungan tidak bersahabat yang
bersifat permanen.

G. SUMBER-SUMBER KONFLIK

Konflik dalam organisasi dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti adanya saling
ketergantungan, perbedaan tujuan dan prioritas, faktor birokrasi (lini-staff), kriteria
penilaian prestasi yang tidak tepat, dan persaingan atas sumberdaya yang langka.

1. Saling ketrgantungan tugas

Masing-masing sub-unit atau kelompok dalam organisasi mengembangkan suatu


keinginan untuk memperoleh otonomi dan mulai mengejar tujuan dan kepentingannya
masing-masing. Oleh karena adanya saling ketergantungan aktivitas dari masing-masing sub-
unit atau kelompok, dan masing-masing sub-unit menginginkan adanya otonomi maka
menyebabkan terjadinya konflik dalam organisasi.

Ketergantungan tugas terjadi jika dua atau lebih kelompok tergantung satu sama
lainnya dalam menyelesaikan tugasnya. Potensi meningkatnya konflik tergantung pada
sejauh mana kadar dan saling ketergantungan tersebut. Semakin tinggi saling
ketergantungan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain, semakin tinggi
kemungkinan timbulnya konflik. Ada tiga Jenis ketergantungan yang diidentifikasi,
ketergantungan yang dikelompokkan (pooled interdependence), ketergantungan berurutan
(sequential interdependece), dan ketergantungan timbal balik (reciprocal interdependence).

a. Ketergantungan yang dikelompokkan

Ketergantungan yang dikelompokkan terjadi jika masing-masing kelompok dalam


melakukan aktivitasnya tidak tergantung antara kelompok yang satu dengan yang lain-
nya, akan tetapi prestasi yang dikelompokkan akan menentukan prestasi organisasi
secara keseluruhan. Potensi timbulnya konflik dengan adanya ketergantungan yang
dikelompokkan relatif rendah.

b. Ketergantungan berurutan

Ketergantungan berurutan terjadi jika suatu kelompok baru dapat memulai tugasnya
jika kelompok yang lainnya telah menyelesaikan tugasnya. Ketergantungan seperti ini
sangat potensial menimbulkan adanya konflik. Dalam perusahaan karoseri misainya,
bagian pengecatan baru dapat memulai tugasnya jika bagian pengelasan telah
menyelesaikan tugasnya.

c. Ketergantungan timbale balik

Ketergantungan timbal balik terjadi jika prestasi kelompok saling tergantung atara
kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya. Saling ketergantungan timbal
balik terjadi pada berbagai organisasi, seperti berbagai unit dalam lembaga rumah
sakit : bagian rontgen, bagian laboratorium, bagian kebidanan, dan bagian anestesia
semuanya tergantung pada keahlian satu sama lain dalam menyembuhkan pasien.

2. Perbedaan tujuan dan prioritas

Perbedaan orientasi dari masing-masing sub-unit atau kelompok mempengaruhi cara


dari masing-masing sub-unit atau kelompok mengejar tujuannya, dan seringkali tujuan dari
masing-masing sub-unit atau kelompok tersebut saling bertentangan. Tujuan bagian
produksi adalah memproduksi barang dengan biaya yang rendah dengan proses produksi
jangka panjang, yang berarti model, warna dan jenis sangat sedikit. Tujuan ini bertentangan
dengan tujuan bagian pemasaran yang mencoba untuk meningkatkan penju alan
dengan menjanjikan kepada konsumen barang dengan corak yang unik, warna yang anggun
dan dapat melayani konsumen dengan segera. Bagian pemasaran juga menginginkan produk
dijual dengan kredit dan pembayaran pertama dapat ditunda tiga bulan. Akan tetapi bagian
kredit menghendaki pembayaran dengan kas.

3. Faktor Birokratis (lini-staf)

Jenis konflik birokratik yang bersifat klasik adalah konflik antara fungsi atau wewenang
garis dan staf. Fungsi atau wewenang garis adalah terlibat secara langsung dalam meng-
hasilkan keluaran organisasi. Manajer lini atau garis mempunyai wewenang dalam proses
pengambilan keputusan dalam lingkup bidang fungsionalnya. Sedangkan fungsi adalah
memberikan rekomendasi atau saran dan tidak berhak mengambil suatu keputusan. Di
beberapa organisasi orang-orang yang berada dalam fungsi lini menganggap dirinya sebagai
sumber organisasi yang menentukan dan orang-orang yang berada dalam fungsi staff
sebagai pemain kedua. Bertindak atas dasar persepsi seperti itu, orang-orang lini secara
terus menerus menggunakan status yang menurut dugaanya lebih tinggi dalam
menghasilkan keluaran organisasi (barang atau jasa) dan menempatkan kepen tingannya
di depan kepentingan fungsi-fungsi yang lainnya.

Kondisi seperti ini menimbulkan adanya konflik dalam organisasi.

4. Kriteria penilaian prestasi yang saling bertentangan

Kadang kala konflik antar sub-unit atau kelompok dalam organisasi tidak disebabkan
oleh karena tujuan yang saling bertentangan, tetapi karena cara organisasi dalam menilai
prestasi yang dikaitakan dengan perolehan imbalan membawanya kedalam konflik. Kembali
contohnya adalah konflik yang terjadi antara bagian produksi dan bagian pemasaran. Bagian
pemasaran meminta kepada bagian produksi agar bagian produksi mampu berproduksi
sesuai dengan permintaan pasar, dalam arti produk yang dibuat bervariasi dan jadwal waktu
proses produksi dibuat luwes sehingga dapat memenuhi permintaan konsumen yang
mendadak dengan cepat. Akibatnya biaya produksi menjadi meningkat. Jika sistem imbalan
yang diberikan organisasi menguntungkan bagian pemasaran yang memperoleh kenaikan
bonus karena kenaikan penjualan, sedangkan bagian produksi tidak mendapatkan bonus
karena biaya produksi meningkat maka konflik akan segera muncul.

5. Persaingan terhadap sumber daya yang langka

Persaingan dalam memperebutkan sumber daya tidak akan menimbulkan konflik


manakala sumberdaya yang tersedia secara berlimpah sehingga masing-masing sub-unit
dapat memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhannya. Akan tetapi ketika sumberdaya yang
ada tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dari masing-masing sub-unit atau kelompok,
maka masingmasing sub-unit atau kelompok berupaya untuk mendapatkan porsi
sumberdaya yang langka tersebut lebih besar dari yang lain maka konflik mulai muncul.
Sumberdaya yang paling sering menimbulkan konflik dalam organisasi adalah sumberdaya
keuangan karena sumberdaya tersebut pada sebagian besar organisasi merupakan
sumberdaya yang langka. Sementara itu sub-unit atau divisi akan cepat berkembang apabila
didukung dengan sumber keuangan yang memadai.

6. Sikap Menang Kalah

Jika dua kelompok berinteraksi dalam persaingan kalah menang, maka dengan mudah
bisa dipahami mengapa konflik itu terjadi. Dalam kondisi seperti itu maka ada kelompok
yang menang dan ada kelompok yang kalah. Ada sejumlah kondisi yang memungkinkan
terjadinya sikap menang-kalah.

a. jika satu kelompok hanya mengejar kepentingannya saja.

b. Jika kelompok tertentu mencoba untuk meningkatkan kekuasaan posisinya.

c. Jika kelompok tertentu menggunakan ancaman untuk mencapai tujuannya.


d. Jika kelompok tertentu selalu berusaha untuk mengeksploitasi kelompok yang lainnya.

e. Jika kelompok tertentu berusaha mengisolasi kelompok yang lainnya.

H. DAMPAK KONFLIK

Dampak konflik antarkelompok terhadap perilaku kelompok dapat dianalisis di dalam


hal terjadinya perubahan perilaku, baik perubahan perilaku yang terjadi di dalam atau
intern kelompok itu sendiri maupun perubahan perilaku antara kelompok yang mungkin
akan terjadi.

1. Perubahan prilaku yang terjadi intern kelompok itu sendiri

Ketika dua kelompok terlibat dalam konflik antarkelompok maka perubahan perilaku
yang mungkin terjadi secara interen masing-masing kelompok adalah sebagai berikut:

a. Meningkatnya kohesivitas atau kepaduan

Konflik, persaingan. maupun ancaman dari luar biasanya menyebabkan anggota


kelompok mengesampingkan adanya perbedaan-perbedaan di antara mereka. Anggota
kelompok menjadi lebih loyal terhadap kelompoknya dan lebih terikat pada tujuan
kelompoknya. Begitu juga norma-norma kelompok pada umumnya lebih dihormati.

b. Meningkatnya loyalitas

Ketika suatu kelompok mendapat ancaman dari kelompok yang lainnya, maka masing-
masing anggota kelompok dituntut untuk meningkatkan loyalitasnya. Pengorbanan pribadi
dari anggota kelompok sangat dihargai clan diharapkan oleh kelompoknya.
c. Meningkatnya kepemimpinan yang bersifat otokratis

Di dalam situasi yang normal, gaya kepemimpinan demokratis yang lebih disukai
karena dengan kepemimpinan demokratis memungkinkan anggota kelompok berpartisipasi
dalam proses pengambilan keputusan dan untuk memuaskan kebutuhan akan keterlibatan
dan afiliasi. Akan tetapi dalam situasi konflik yang cukup berat, gaya kepemimpinan yang
demokratis dianggap tidak efektif dan terlalu banyak memakan waktu. Anggota kelompok
menginginkan dan lebih menyukai adanya kepemimpinan yang kuat.

d. Orientasi aktivitas

Kelompok yang sedang mengalami konflik cenderung memfokuskan dirinya pada


pencapaian tujuan kelompoknya. Anggota kelompok sangat perduli terhadap tugas-tugas
yang menjadi tanggung jawabnya.

e. Penilaian berlebihan

Persepsi anggota kelompok menjadi cacat karena mereka cenderung menilai prestasi
kelompoknya secara berlebihan dan merendahkan prestasi lawannya.

2. Perubahan yang terjadi diantara kelompok

Konflik antarkelompok selain menimbulkan adanya perubahan interen kelompok itu


sendiri, juga menimbulkan adanya perubahan yang terjadi di antara kelompok tersebut.

a. Menurunnya komunikasi

Ketika kelompok sangat membutuhkan komunikasi yang bersifat terbuka, agar


memungkinkannya untuk berdiskusi memecahkan permasalahan untu k
menyelesaikan konflik, proses komunikasi menjadi tegang. Selagi konflik meningkat
komunikasi menjadi semakin menurun. Masing-masing kelompok menjadi lebih berhati-hati
dan lebih formal. Seringkali komunikasi di antara kelompok terus menurun sampai tidak mau
berkomunikasi sama sekali.

b. Penyimpangan persepsi

Konflik menciptakan kecurigaan dan menjauhkan seseorang dari persepsi yang benar
terhadap kolompok lawan. Anggota kelompok menganggap bahwa segala sesuatu tentang
kelompoknya selalu baik, dan segala sesuatu tentang kelompok lawan adalah jelek.
Penyimpangan persepsi ini disebabkan karena masing-masing anggota kelompok keliru di
dalam menginterprestasikan komunikasi yang terjadi di antara mereka. Prestasi dan
keberhasilan dari kelompok lain atau lawan seringkali diremehkan.

c. Stereotip yang negatif

Anggota dari suatu kelompok cenderung menciptakan persepsi yang negatif terhadap
kelompok lawan. Ciri-ciri negatif dipergunakan untuk memojokkkan kelompok melawan,
seperti tamak, tidak jujur, tidak bersahabat dan lain sebagainya. Dalam konflik antara
karyawan dengan pimpinan misalnya, pihak manajemen menganggap bahwa ketua serikat
pekerja bersikap agitasi dan mencoba merusak citra perusahaan, sedangkan pihak karyawan
menganggap pihak pimpinan mencoba mengekploitasi karyawan dan menahan imbalan yang
menjadi hak dari karyawan.

Konflik atau pertentangan dapat terjadi antara individu dengan individu, individu
dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok. Konflik dapat terjadi di antara pihak
yang mempunyai tujuan sama karena salah satu pihak atau kedua belah pihak merasa
dirugikan. Individu dan kelompok dalam organisasi mengembangkan keahlian dan
pandangan yang berbeda tentang pekerjaan, tugas dengan yang lain, yang dalam
interaksinya dapat menimbulkan konflik.
Di sekolah, konflik dapat terjadi dalam semua tingkatan, baik intrapersonal,
interpersonal, intragroup, intergroup, intraorganisasi, maupun interorganisasi.

1. Konflik intrapersonal, yaitu konflik internal yang terjadi dalam diri seseorang. Konflik
intrapersonal akan terjadi ketika individu harus memilih dua atau lebih tujuan yang
saling bertentangan, dan bimbang mana yang harus dipilih untuk dilakukan. Misalnya,
konflik antara tugas sekolah dengan acara pribadi. Konflik ini bisa diibaratkan seperti
makan buah simalakama, dimakan salah tidak juga salah, dan kedua pilihan yang ada
memiliki akibat yang seimbang. Konflik intrapersonal juga bisa disebabkan oleh
tuntutan tugas yang melebihi kemampuan.

2. Konflik interpersonal, yaitu konflik yang terjadi antar individu. Konflik interpersonal
terjadi ketika adanya perbedaan tentang isu tertentu, tindakan dan tujuan dimana
hasil bersama sangat menentukan. Misalnya konflik antar tenaga kependidikan dalam
memilih mata pelajaran unggulan daerah.

3. Konflik intragroup, yaitu konflik antar anggota dalam satu kelompok. Setiap kelompok
dapat mengalami konflik substantif atau efektif. Konflik substantif terjadi karena
adanya latar belakang keahlian yang berbeda, ketika anggota dari suatu komite
menghasilkan kesimpulan yang berbeda atas data yang sama. Sedangkan konflik
efektif terjadi karena tanggapan emosional terhadap suatu situasi tertentu. Contoh
konflik intragroup, misalnya konflik yang terjadi pada beberapa guru dalam
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP).

4. Konflik intergroup, yaitu konflik yang terjadi antar kelompok. Konflik intergroup terjadi
karena adanya saling ketergantungan, perbedaan persepsi, perbedaan tujuan, dan
meningkatnya tuntutan akan keahlian. Misalnya konflik antara kelompok guru
kesenian dengan kelompok guru matematika. Kelompok guru kesenian memandang
bahwa untuk membelajarkan lagu tertentu dan melatih pernapasan perlu disuarakan
dengan keras, sementara kelompok guru matematika merasa terganggu, karena para
peserta didiknya tidak konsentrasi belajar.
5. Konflik intraorganisasi, yaitu,konflik yang terjadi antar bagian dalam suatu organisasi.
Misalnya konflik antara bidang kurikulum dengan bidang kesiswaan. Konflik intra
organisasi meliputi empat sub jenis :

 Konflik vertikal, yang terjadi antara pimpinan dan bawahan yang tidak
sependapat tentang cara terbaik untuk menyelesaikan sesuatu. Misalnya konflik
antara kepala sekolah dengan tenaga kependidikan.

 Konflik horizontal, yang terjadi antar karyawan atau departemen yang memiliki
hierarkhi yang sama dalam organisasi. Misalnya konflik antartenaga
kependidikan.

 Konflik lini-staf, yang sering terjadi karena adanya perbedaan persepsi tentang
keterlibatan staf dalam proses pengambilan keputusan oleh manajer lini.
Misalnya konflik antara kepala sekolah dengan tenaga administrasi.

 Konflik peran, yang terjadi karena seseorang memiliki lebih dari satu peran.
Misalnya kepala sekolah menjabat sebagai ketua dewan pendidikan.

6. Konflik interorganisasi, yang terjadi antarorganisasi. Konflik interorganisasi terjadi


karena mereka memiliki saling ketergantungan satu sama lain, konflik terjadi
bergantung pada tindakan suatu organisasi yang menyebabkan dampak negatif
terhadap organisasi lain. Misalnya konflik yang terjadi antara sekolah dengan salah
satu organisasi masyarakat.

Konflik di sekolah dapat menimbulkan dampak positif dan negatif, serta dapat
mendorong inovasi, kreativitas dan adaptasi. Sekolah yang tidak berkembang bisa jadi dise
- babkan oleh kepala sekolah yang terlalu mudah merasa puas dengan prestasi yang telah
dicapai, sehingga kurang peka terhadap perubahan lingkungan, dan tidak ada perbedaan
pendapat maupun gagasan baru. Meskipun konflik sering bermanfaat bagi kemajuan
sekolah, tetapi dapat menurunkan kinerja, menimbulkan ketidakpuasan, meningkatkan ke
-
tegangan, dan stres. Konflik dapat berakibat positif atau menguntungkan dan negatif atau
merugikan.

1. Akibat positif atau menguntungkan.

a) Menimbulkan kemampuan instrospeksi diri. dapat dirasakan oleh pihak lain, dan
mereka dapat mengambil keuntungan sehingga mampu melakukan instrospeksi
diri, karena mengetahui sebab-sebab terjadinya konflik.

b) Meningkatkan kinerja. Konflik bisa menjadi cambuk sehingga menyebabkan


peningkatan kinerja. Konflik dapat mendorong individu untuk menunjukkan
kepada orang lain bahwa dia mampu meningkatkan kinerja dan mencapai sukses.

c) Pendekatan yang lebih baik. Konflik bisa menimbulkan kejutan (surprise) karena
kehadirannya sering tidak diduga, sehingga setiap orang berusaha lebih hati -
hati dalam berinteraksi, dan menyebabkan hubungan yang lebih baik.

d) Mengembangkan alternatif yang lebih baik. Konflik bisa menimbulkan hal -hal
yang merugikan pihak tertentu jika terjadi antara atasan dan bawahan, misalnya
tidak memberikan suatu jabatan atau memberi hukuman yang berlebihan. Kondisi
ini sering menjadi tantangan untuk mengembangkan solusi yang lebih baik.

2. Akibat negatif atau merugikan

a) Subjektif dan emosional. Pada umumnya pandangan pihak yang sedang konflik
satu sama lain sudah tidak objektif dan bersifat emosional.

b) Apriori. Jika konflik sudah meningkat bukan hanya subjektivitas dan emosional
yang muncul tetapi dapat menyebabkan apriori, sehingga pendapat pihak lain
selalu dianggap salah dan dirinya selalu merasa benar.

c) Saling menjatuhkan. Konflik yang berkelanjutan bisa mengakibatkan saling benci,


yang memuncak dan mendorong individu untuk melakukan tindakan kurang
terpuji untuk menjatuhkan lawan, misalnya memfitnah, menghambat, dan
mengadu.

d) Stres. Konflik yang berkepanjangan, tidak saja dapat menurunkan kinerja, tetapi
bisa menimbulkan stres. Stres terjadi karena konflik yang berkepanjangan
menimbulkan ketidakseimbangan fisik dan psikis, sebagai bentuk reaksi terhadap
tekanan yang intensitasnya sudah terlalu tinggi.

e) Frustrasi. Konflik dapat memacu berbagai pihak yang terlibat untuk lebih
berprestasi, tetapi jika konflik tersebut sudah pada tingkat yang cukup parch dan
di antara pihak-pihak yang terlibat ada yang lemah mentalnya bisa menimbulkan
frustrasi.

Di sekolah pun, konflik dapat berdampak positif dan negatif. Positifnya antara lain (a)
memungkinkan ketidakpuasan yang tersembunyi muncul ke permukaan, sehingga sekolah
sebagai suatu organisasi dapat melakukan penyesuaian; (b) mendinamiskan suatu organisasi
sekolah, sehingga tidak berjalan rutin dan statis. Negatifnya antara lain (a) menciptakan
suasana tidak nyaman dan tidak kondusif sehingga menghambat komunikasi dan bahkan
menimbulkan ketegangan; (b) menimbulkan perpecahan dalam sekolah yang dapat
niengganggu perhatian guru clan tenaga kependidikan terhadap program sekolah.

Mengingat konflik tidak dapat dihindari, maka pendekatan yang baik untuk diterapkan
kepala sekolah adalah mencoba memanfaatkan konflik sedemikan rupa, sehingga dapat
dengan tepat dan efektif untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kepala sekolah sebagai
pimpinan tertinggi di sekolah harus mampu mengelola konflik dengan balk sehingga
memberikan manfaat positif dan terhindar dari akibat yang negatif. Kepala sekolah
seharusnya tidak mengelak terhadap adanya konflik, tetapi mengelolanya agar dapat
mendorong sekolah menjadi dinamis dan konflik tidak menghambat program sekolah.
I. MANAJEMEN KONFLIK

Konflik akan terjadi sejalan dengan meningkatnya kompleksitas organisasi, oleh


karenanya maka manajer atau pimpinan organisasi harus mampu untuk mengendalikan
konflik yang disfungsional yang terjadi dalam organisasi. Karena konflik seperti itu dapat
menurunkan prestasi organisasi. Kemampuan untuk mengendalikan konflik, yang terjadi
dalam organisasi membutuhkan keterampilan manajemen tertentu. Ada empat strategi yang
dapat dipergunakan untuk mengurangi konflik yang terjadi dalam organisasi, yaitu strategi
penghindaran, Strategi intervensi kekuasaan, strategi penggembosan, dan strategi resolusi.

1. Strategi Penghindaran

Strategi penghindaran pada umumnya tidak mempertimbangkan sumber-sumber


konflik tetapi membiarkan konflik tetap ada dalam kondisi yang terkendali. Dua strategi
penghindaran yang dapat dilakukan adalah mengabaikan konflik yang terjadi dan melakukan
pemisahan secara fisik.

a. Mengabaikan Konflik

Jika konflik yang terjadi tidak begitu berat dan tidak berbahaya, manajer/pimpinan
biasanya mengabaikannya dan seakan-akan konflik tersebut tidak ada. pimpinan organisasi
tidak mengidentifikasi sebab timbulnya konflik maupun menyelesaiakannya dan strategi ini
efektif jika situasi konflik tidak memburuk.

b. Pemisahan secara fisik

Jika dua kelompok yang bermusuhan secara fisik dipisahkan maka permusuhan dan
agresi secara terbuka dapat dikurangi. Strategi pemisahan secara fisik efektif hanya jika
kedua kelompok tidak memerlukan adanya interaksi dan pemisahan mengurangi gejala dari
konflik. Akan tetapi jika dua kelompok tersebut memerlukan interaksi dalam melaksanakan
tugasnya, maka strategi pemisahan hanya akan menyebabkan prestasi yang buruk.

2. Strategi Intervensi Kekuasaan

Ketika kelompok-kelompok yang sedang mengalami konflik tidak mampu


menyelesaikan konflik yang terjadi di antara mereka, beberapa bentuk dari penggunaan
kekuasaan dapat dipergunakan. Sumber kekuasan dapat berasal dari hirarkhi yang lebih
tinggi di dalam organisasi dalam bentuk perintah otoritatif, dan dengan manuver-manuver
politik.

a. Menggunakan perintah otoriatif dan penerapan peraturan

Jika konflik yang terjadi terialu besar untuk diabaikan, maka manajer atau pimpinan
yang lebih tinggi dapat mengendalikan atau menyelesaikan konflik dengan menggunakan
perintah otoritatif. Dalam keputusan secara sepihak agar konflik tidak terjadi kembali maka
perintah otoritatif perlu disertai dengan ancaman seperti pemecatan atau pemindahan ke
kelompok yang lainnya. Pimpinan diatasnya juga dapat menerapkan peraturan dan prosedur
yang membatasi konflik pada tingkat yang dapat diterima.

b. Manuver Politik

Dua kelompok yang mengalami konflik dapat memutuskan untuk mengakhiri konflik
dengan melakukan manuver-manuver politik di mana masing-masing kelompok mencoba
untuk menghimpun kekuatan untuk memaksa kelompok yang lainnya. Proses demokratis
yang biasanya dipergunakan adalah membawa isu tersebut ke dalam, pemungutan suara.
Semua kelompok berupaya untuk mempengaruhi hasil dari pemungutan suara tersebut
dengan meminta dukungan dari pihak luar. Pemecahan konflik dengan cara ini akan
meningkatkan situasi menang kalah, sementara sumber dari konflik tidak dieliminir. Pihak
yang kalah akan merasa dendam dan terns menentang pihak yang menang.
3. Strategi Penggembosan

Strategi penggembosan mencoba untuk mengurangi tingkat emosional dan kemarahan


dari konflik pihak-pihak yang sedang mengalami konflik. Fokus dari strategi penggembosan
umumnya hanya pada permukaannya saja dan tidak sampai menyentuh pada akar dari
permasalahannya. Tiga strategi penggembosan yang dapat dilakukan adalah pelunakan,
kompromi dan mengidentifikasi musuh bersama.

a. Pelunakan

Proses pelunakan dilakukan dengan cara menonjolkan kesamaan-kesamaan dan


kepentingan bersama di antara kelompok-kelompok yang sedang mengalami konflik, dan
sebaliknya memperkecil perbedaan-perbedaan di antara mereka. Dengan menekankan pada
kesamaan-kesamaan dan kepentingan bersama membantu kelompok yang sedang
mengalami konflik untuk rnelihat tujuannva tidak jauh berbeda dan ada sesuatu yang
didapat dengan bekerjasama. Sekalipun pelunakan mampu untuk menvadarkan kelompok
tentang tujuan bersama mereka, hal ini hanyalah penyelesaian yang bersifat sementara
karena cara ini tidak menyelesaikan sumber yang melandasi konflik.

b. Kompromi

Kompromi di antara kelompok, yang mengalami konflik melibatkan tawar menawar


atas massalah penyebab konflik, dan masing-masing pihak dibutuhkan adanva fleksibilitas.
Jika kedua belah pihak tidak fleksibel, tidak mau memberikan konsesi dan perundingan
mengalami jalan buntu maka konflik akan berlanjut. Seringkali keputusan, yang diambil
secara kompromi tidak memuaskan kedua belah pihak, dan mereka meningkatkan
kekuasaan posisinya untuk negosiasi berikurnya. Pernecahan konfilik dengan strategi
kompromi nampaknya tepat, jika yang menjadi sumber konflik adalah masalah keuangan
atau anggaran.
c. Mengidentifikasi musuh bersama

Jika dua kelompolk mengalami konflik menghadapi musuh bersama, maka mereka
seringkali mengembangkan kepaduan di antara mereka untuk memperkuat posisinya dalam
menghadapi musuh bersama tersebut. Perbedaan pendapat di antara kelompok-kelompok
yang sedang mengalami konflik untuk sementara waktu disingkirkan. dan sementara itu
kedua kelompok, bersatu untuk mengaliahkan musuh bersama tersebut. Akan tetapi apabila
musuh bersama sudah tidak ada maka konflik akar muncul kernbali.

4. Strategi Resolusi

Cara yang paling efektif untuk menanggulangi konflik adalah strategi resolusi dengan
mengidentifikasi dan memecahkan sumber yang menyebabkar, timbulnya konflik. Empat
jenis strategi resolusi yaitu interaksi antarkelompok, tujuan yang lebih tinggi, pemecahan
masalah, dan mengubah struktur.

a. Interaksi antar kelompok

Karena salah satu sebab timbulnya konflik adalah menurunnya komunikasi dan
interaksi di antara kelompok yang sedang mengalami konflik, nampaknya dengan
meningkatkan interaksi dan kontak di antara mereka akan dapat menurunkan konflik yang
terjadi. Kadangkala mempertemukan anggota kelompok yang mengalami konflik, masing-
masing anggota kelompok menunjukkan loyalitasnya dihadapan kelompok yang lainnya.

Strategi yang lebih baik yang dapat dilakukan adalah dengan mempertemukan
pimpinan dari kedua kelompok yang sedang mengalami konflik dan masing-masing me-
nyampaikan pendapatnya masing-masing. Ketika diskusi terjadi masing-masing dapat
mengemukakan pandangannya masing-masing secara terbuka. Diskusi seperti itu biasanya
membuahkan hasil dan merupakan titik awal dalam menanggulangi tingkat konflik yang
terjadi.

Strategi yang lain adalah dengan melakukan pertukaran dalam periode waktu tertentu.
Dengan melakukan pertukaran seperti itu diharapakan masing-masing kelompok memahami
per masalahan-permasalahan yang dihadapi oleh kelompok yang lain.

b. Tujuan yang lebih tinggi

Dengan menetapkan tujuan yang lebih tinggi/ penting (superordinate goals)


diharapkan merupakan motivasi yang kuat bagi kelompok untuk mengatasi perbedaan di
antara mereka dan meningkatkan kerjasama. Menggunakan tujuan yang lebih tinggi dalam
menanggulangi konflik harus memenuhi tiga kondisi. Pertama, kelompok harus saling
menerima saling ketergantungan di antara mereka; kedua, tujuan yang bersifat
superordinate atau lebih tinggi harus menjadi keinginan dari masing-masing kelompok; dan
ketiga, masing-masing kelompok harus mendapatkan imbalan atau manfaat dari
pencapainan tujuan tersebut.

c. Penyelasian masalah

Penyelesaian masalah secara bersama merupakan strategi resolusi yang efektif jika
kelompok yang sedang mengalami konflik memusatkan perhatiannya pada perma
salahan yang menjadi sumber konflik, dan bukan pada agumentasi tentang siapa yang benar
atau siapa yang salah. Strategi penyelesaian masalah biasanya dilakukan melalui
pertemuan secara langsung antara pihak-pihak yang sedang mengalami konflik. Dalam
pertemuan ini dilakukan identifikasi atas sumber yang menjadi penyebab timbulnya konflik
dan melakukan pengembangan alternatifalternatif solusi untuk menyelesaikannya. Startegi
ini akan sangat efektif jika keseluruhan analisis dari permasalahan dapat dibuat, dan
titik t emu dari kepentingan bersama dapat diidentifikasi, serta jika alternatif yang
disarankan telah digali secara hati-hati dan mendalam. Kelemahan dari strategi ini adalah
bahwa strategi ini memerlukan waktu dan komitmen yang besar. Selain dari pada itu, jika
masing-masing yang sedang terlibat konflik tidak mampu mengen-dalikan emosinya,
maka solusi yang memuaskan semua pihak sulit dicapai.
d. Mengubah struktur

Konflik seringkali timbul karena struktur organisasi. Terbentuknya bagian -bagian


atau deperteman-depertemen dalam organisasi seringkali masing-masing deperteman
hanya mengejar tujuannya masing-masing. Depertemen pemasaran misalnya, orang-orang
yang berada di lingkungannya akan bekerjasama menyelesaikan masalah-masalah bagian
pemasaran dan merencanakan suatu strategi pemasaran. Sejalan dengan semakin ahlinya
mereka dalam fungsi pemasaran, mereka akan lebih memusatkan perhatiannya pada tujuan
bagian pemasaran dan mengabaikan tujuan dari depertemen yang lainnya. Beberapa
kelompok begitu spesialisnya sehingga mereka kehilangan pandangan tentang tujuan
organisasi secara keseluruhan dan memfokuskan dirinya hanya pada tujuan kelompoknya
saja. Selain dari pada itu, seringkali terjadi bahwa struktur imbalan dalam organisasi
menghargai dan memberikan imbalan kepada kelompok atas dasar pencapain tujuan
kelompoknya dan bukan atas dasar pencapaian tujuan organisasi secara keseluruhan. Dalam
hal ini strategi yang efektif untuk mengurangi konflik adalah dengan mengubah strutur
organisasi. Dengan lebih menekankan, pada efektivitas organisasi daripada efektivitas
kelompok. Kelompok diberi penghargaan dan imbalan atas dasar kontribusinya terhadap
efektivitas kelompok yang lain serta tujuan organisasi secara keseluruhan.

Konflik yang dapat dikelola dengan baik dapat digunakan untuk mempromosikan dan
mencapai perubahan-perubahan yang dikehendaki. Pendekatan penanganan konflik perlu
dikembangkan dengan mempertimbangkan keuntungan berbagai hal, seperti sifat anggota
yang dihadapi, situasi dan kondisi secara keseluruhan. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan
bagaimana dampak konflik terhadap individu, baik yang terkait maupun tidak terkait dengan
organisasi. Demikian halnya waktu yang tersedia untuk mengelola konflik tersebut dan
derajat kekuatan yang dimiliki secara keseluruhan.

Thomas (1989) mengembangkan lima kecenderungan proses alamiah dalam


penyelesaian konflik, yaitu penghindaran diri, kompetisi, penyesuaian diri, kompromi, dan
kolaborasi. Kecenderungan ini disusun berdasarkan derajat kemampuan untuk memuaskan
kepentingan orang lain dan kepentingan diri sendiri. Kecenderungan tersebut bukan satu
- satunya pendekatan atau cara untuk menyelesaikan, dan mengelola konflik. Jika
konflik sudah benar-benar meluas maka usaha penyelesaian masalah perlu dilakukan
melalui
pertemuan tatap muka dengan pihak yang bertentangan untuk mengadakan negosiasi,
menjalin kerjasama, menghindarkan konflik dengan meningkatkan kualitas personil yang
menjadi sumber pertentangan sehingga dapat mengubah sikap dan perilakunya.

(2) (5)
KERJASAM

Kompetisi Kolaborasi

(4)

Kompromi

(1) (3)

Penghindaran Diri Penyesuaian Diri

KERJA SAMA

Lima kecenderungan penyelesaian konflik secara alamiah yang diungkapkan Thomas


tersebut merupakan interaksi antara dimensi kerja sama dan kegigihan pihak terkait, seperti
tampak pada gambar di atas.

Gambar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Jika kegigihan dan kerja sama pihak
terkait rendah, maka mereka akan berusaha menghindarkan diri, sehingga konflik tidak
tampak (1).

Jika pihak terkait sangat gigih dan sulit untuk bekerja sama, maka akan terjadi
kompetisi, dan pihak yang lebih kuat akan menang serta memaksakan kehendaknya kepada
yang lemah (2).

Jika dorongan untuk kerja sama antarpihak terkait sangat balk, tetapi kegigihannya
rendah, maka akan terjadi penyesuaian diri, dan mementingkan terjaganya hubungan,
sedangkar- prinsip dikesampingkan (3).
Jika kegigihan dan kemauan kerja sama antarpihak terkait sama-sama sedang, maka
akan terjadi kompromi (4).

Jika kegigihan dan kemauan kerja sama antarpihak terkait sama-sama tinggi, maka
akan terjadi kolaborasi untuk mencari pemecahan masalah yang paling efektif (5). Pola inilah
yang biasanya memberikan penyelesaian yang terbaik.

Kepala sekolah harus memahami kecenderungan-keeenderungan proses alamiah


dalam penyelesaian konflik diatas. Di samping itu, harus memahami berbagai pendekatan
pemecahannya, agar dapat memilih salah satu pendekatan yang paling tepat untuk
menyelesaikan konflik di sekolahnya.

Berdasarkan kencederungan proses alamiah dalam penyelesaian konflik yang


dikemukakan Thomas, dapat diidentifikasikan pendekatan penyelesaian konflik sebagai
berikut :

1. Mempersatukan (integrating), merupakan salah satu pendekatan penyelesaian konflik


melalui tukar menukar informasi dan ada keinginan untuk mengamati perbedaan serta
mencari solusi yang dapat diterima oleh semua pihak. Pendekatan ini diasosiasikan
dengan pemecahan masalah yang sangat efektif jika isu konflik sangat kompleks.
Penyelesaian konflik dengan pendekatan mempersatukan (integrating) mendorong
tumbuhnya berpikir kreatif yang menekankan diri sendiri dan orang lain dalam
mempersatukan informasi dari perspektif yang berbeda. Namun demikian pendekatan
penyelesaian konflik ini menjadi tidak efektif jika kelompok yang berselisih itu kurang
memiliki komitmen atau jika waktu menjadi sesuatu yang sangat penting, karena
penyelesaian konflik dengan cara mempersatukan membutuhkan waktu yang cukup
panjang. Pendekatan penyelesaian ini juga bisa menimbulkan frustrasi terutama dalam
konflik tingkat tinggi, karena penalaran dan pertimbangan rasional seringkali
dikalahkan oleh komitmen emosional.

2. Membantu (obliging) menetapkan nilai yang tinggi untuk orang lain sementara dirinya
sendiri dinilai rendah. Pendekatan ini mencerminkan rendahnya penghargaan
terhadap diri sendiri oleh individu yang bersangkutan. Pendekatan ini juga dapat
dipakai secara sengaja untuk mengangkat dan menghargai orang lain, membuat
mereka merasa lebih baik dan senang terhadap sesuatu. Penggunaan pendekatan
penyelesaian konflik membantu orang lain (obliging) dengan menaikkan statusnya
sangat bermanfaat, terutama jika peran kepala sekolah secara politis tidak berada
dalam posisi yang membahayakan. Pendekatan rela membantu berperan dalam
menyempitkan perbedaan antar kelompok dan mendorong mereka untuk mencari
persamaan. Perhatian tinggi akan menyebabkan orang lain puas dan merasa
keinginannya terpenuhi, sehingga mau mengorbankan sesuatu yang penting bagi
dirinya. Jika digunakan secara efektif, maka pendekatan penyelesaian konflik ini dapat
mengharmoniskan dan melanggengkan hubungan. Pendekatan ini juga tanpa disadari
dapat secara cepat membuat orang rela mengalah. Melalui pendekatan ini kepala
sekolah dapat menerima kekuasaan orang lain, dan meluangkan waktu untuk
memperkirakan situasi serta kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.

3. Mendominasi (dominating). Pendekatan ini menekankan pada diri sendiri dan


meremehkan kepentingan orang lain, sehingga kewajiban bisa dikalahkan oleh
keinginan pribadi. Pendekatan ini efektif digunakan untuk menentukan keputusan
secara cepat, dan jika permasalahan tersebut kurang penting. Pendekatan ini
merupakan reaksi untuk pertahanan diri yang tercermin dalam sebuah penyerangan
untuk menang, sehingga lahir falsafah “lebih baik menyerang daripada diserang”.
Pendekatan ini paling tepat digunakan dalam keadaan mendesak, sepanjang kepala
sekolah merasa memiliki hak, sesuai hati nurani.

4. Menghindar (avoiding). Pendekatan ini tidak menempatkan nilai pada diri sendiri atau
orang lain, tetapi berusaha menghindar dari persoalan. Pendekatan ini memiliki aspek
negatif seperti menghindar dari tanggung jawab atau menghindar dari kenyataan,
termasuk mengelak. Kepala sekolah yang menggunakan pendekatan ini akan lari dari
peristiwa yang dihadapi, dan meninggalkan pertarungan untuk mendapatkan hasil.
Pendekatan ini paling efektif digunakan jika suatu peristiwa tidak penting, sehingga
tindakan menangguhkan dibolehkan untuk mendinginkan konflik. Pendekatan ini juga
efektif jika waktu memang sangat diperlukan. Namun pendekatan ini dapat membuat
orang lain frustrasi karena jawaban penyelesaian konflik sangat lambat, dan
menimbulkan rasa kecewa sehingga konflik bisa meledak.

5. Mengadakan kompromi (compromising). Pendekatan ini memiliki keseimbangan yang


sedang dalam memperhatikan diri sendiri dan orang lain, sebagai jalan tengah. Dalam
pendekatan ini setiap orang memiliki sesuatu untuk diberikan dan menerima sesuatu,
kompromi akan menjadi salah jika salah satu pihak salah, tetapi akan menjadi kuat jika
kedua sisi benar. Pendekatan ini paling efektif jika pendekatan lain gagal, dan dua
pihak mencari penyelesaian jalan tengah. Pendekatan ini bisa menjadi pemecah
perbedaan, sehingga kompromi hampir selalu dijadikan sarana oleh semua pihak yang
berselisih untuk memberikan jalan keluar atau pemecahan masalah.

Sehubungan dengan pendekatan manajemen konflik di atas, sedikitnya terdapat


empat strategi untuk menyelesaikan konflik yang efektif di sekolah, yaitu menggunakan kon
- frontasi, menggunakan gaya tertentu, memperbaiki praktik organisasi, serta
mengadakan perubahan peran dan struktur organisasi.

1. Konfrontasi digunakan untuk mencapai penyelesaian yang menguntungkan kedua


belah pihak yang terlibat dalam konflik (win-win). Melalui teknik ini konflik
didiskusikan untuk mencari jalan ke luar melalui negosiasi, dengan bantuan pihak
ketiga, atau keputusan integratif.

2. Gaya penyelesaian tertentu diterapkan secara alamiah, sehingga penyelesaian konflik


dibiarkan secara wajar mengikuti lima kecenderungan di atas.

3. Perbaikan praktik organisasi dilakukan jika hasil evaluasi menunjukkan bahwa konflik
terjadi karena praktik organisasi sekolah yang kurang tepat. Sehubungan dengan itu,
dilakukan langkah-langkah perbaikan visi, misi, tujuan sekolah, klarifikasi peran dan
fungsi setiap tenaga kependidikan, penyempurnaan kebijakan, rotasi tenaga
kependidikan nonguru, dan mengadakan pelatihan untuk meningkatkan
profesionalisme.
4. Perubahan struktur organisasi sekolah dilakukan jika hasil evaluasi menunjukkan
bahwa konflik yang terjadi merupakan akibat dari sturktur organisasi sekolah yang
kurang balk.

Terdapat dua hal penting yang perlu diperhatikan kepala sekolah dalam menerapkan
manajemen konflik di sekolah. Pertama; jika kepala sekolah yakin bahwa konflik yang terjadi
belum mencapai titik kritis, maka sebaiknya dilakukan pencegahan untuk menghindari
dampak negatif. Kedua; jika kepala sekolah belum yakin dengan konflik yang terjadi, dan
memerlukan pengalaman untuk memastikannya, maka sebaiknya berkonsultasi dengan ahli.

Dalam kondisi konflik yang sudah benar-benar meluas, sebaiknya penyelesaian


masalah dilakukan negosiasi melalui tatap muka dengan pihak yang bertentangan. Negosiasi
merupakan cara paling efektif untuk mengatasi dan menyelesaikan konflik, dan biasanya
terjadi ketika pihak lain memiliki dan menguasai sesuatu yang kita inginkan, sehingga harus
melakukan negosiasi untuk mendapatkan apa yang diinginkan dan memberikan sebagian
milik kita. Hasil negosiasi ditentukan oleh kesiapan ke dua belah pihak untuk menukarkan
miliknya yang berharga dengan sesuatu yang diinginkan dari pihak lain.

Agar negosiasi berhasil sesuai dengan yang diharapkan, diperlukan adanya pihak
perunding yang mampu menjembatani pihak yang sedang berkonflik. Untuk itu, kelompok
perunding sebaiknya memahami pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, menjaga
kepercayaan, mengetahui semua pilihan, memahami strategi negosiasi, dan
mengembangkan alternatif untuk mengarahkan perundingan.

Negosiasi merupakan cara menetapkan keputusan yang bisa diterima oleh semua
pihak dengan berbagai konsekuensinya di masa depan, yang memiliki beberapa karakteristik
sebagai berikut :

1. Melibatkan orang, balk sebagai individu, perwakilan organisasi maupun perusahaan.

2. Mengandung konflik yang terjadi sejak awal sampai ada kesepakatan untuk melakukan
negosiasi.
3. Menggunakan pertukaran atau barter melalui tawar menawar (bargaining), dan
kesepakatan bersama.

4. Menggunakan pertemuan tatap muka melalui bahasa lisan, gerak tubuh, dan ekspresi
wajah.

5. Menyangkut sesuatu yang ada di masa, dan diharapkan terjadi.

6. Menghasilkan kesepakatan bersama, misalnya kedua belah pihak sepakat untuk tukar
guling tanah.

Pengendalian konflik di sekolah yang paling baik adalah memahami penyebabnya dan
berusaha menghilangkannya. Misalnya memindahkan tenaga kependidikan nonguru untuk
penyegaran, dan mengatasi kejenuhan dalam melakukan pekerjaannya. Di samping itu,
dapat juga dilakukan dengan menciptakan lingkungan kerja baru yang lebih kondusif, aman,
nyaman, dan menyenangkan.

J. MENCIPTAKAN KONFLIK YANG BERSIFAT FUNGSIONAL

Pada pembahasan sebelumnya telah dikemukakan tentang konflik yang optimal yang
mendorong organisasi pada prestasi yang maksimal. Sejalan dengan meningkatnya konflik
yang terjadi orang-orang dalam organisasi akan mengalami dorongan atau motivasi yang
lebih kuat untuk meningkatkan prestasinya. Oleh karenanya, dalam organisasi yang
mengalami kelesuan di mana gagasan-gagasan baru tidak ada, perilaku hanva bersifat rutin,
konflik diperlukan pada kondisi seperti itu untuk mendorong munculnya gagasan -
gagasan baru dan memotivasi anggota organisasi untuk mencapai tingkat prestasi yang lebih
tinggi. Ada tiga metode yang dapat dipergunakan untuk menciptakan adanya konflik
yang fungsional di dalam organisasi yaitu menciptakan persaingan, mengubah struktur
organisasi, dan mengadakan tenaga ahli dari luar.
1. Menciptakan persaingan

Lingkungan bersaing dapat diciptakan dengan menawarkan imbalan kepada individu


atau kelompok yang mencapai prestasi yang terbaik. Insentif finansial dan imbalan ekstrinsik
yang lainnya jika dimanfaatkan dengan baik akan dapat men ciptakan dan menjaga
adanya persaingan yang sehat yang dapat memberikan sumbangan terhadap konflik yang
bersifat fungsional. Imbalan yang ditawarkan harus cukup menarik dan dapat memotivasi
pada prestasi yang tinggi, dan bagi mereka yang kalah tidak merasa kecewa dan frustasi.

2. Mengubah Struktur Organisasi

Struktur organisasi dapat dirancang untuk mendorong timbulnya konflik atau


mengurangi tingkat konflik yang terjadi. Pada umumnya tingkat konflik yang lebih tinggi akan
terjadi jika kelompok menjadi lebih kecil dan sangat spesialis dan cenderung hanya
memusatkan perhatiannya pada tujuan kelompoknya. Membagi kelompok-kelompok besar
ke dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil, sub-kelompok spesialis misalnya, akan
menciptakan suatu situasi yang lebih kondusif bagi konflik, sepanjang masing-masing
kelompok bersaing dalam peningkatan prestasi masing-masing.

3. Mendatangkan ahli dari luar

Kebijakan promosi dari dalam kadangkala dikecam sebagai “kawin sedarah” karena
manajer yang baru cenderung mengikuti pola dari manajer yang lama dan kurang
memberikan gagasan-gagasan baru. Dengan mendatangkan ahli dari luar biasanya akan
menyebabkan adanya suasana baru, pandangan-pandangan baru yang membawa kepada
situasi konflik yang bersifat fungsional.

K. TIP UNTUK KEPALA SEKOLAH DALAM MANAJEMEN KONFLIK

Tidak semua kepala sekolah memiliki kemampuan untuk menyelesaikan konflik dengan
baik, bahkan tanpa pengalaman yang memadai bisa salah langkah, dan justru terlibat dalam
konflik tersebut, atau “kena getahnya”. Untuk menghindari hal tersebut, kepala sekolah
harus melatih diri dalam tiga hal, yakni mengelola waktu, mengembangkan energi, dan
memecahkan masalah.

1. Mengelola waktu

Kepala sekolah harus berlatih membiasakan diri untuk menghargai waktu, karena
sering terjadi banyak waktu tersita hanya untuk beberapa kegiatan tertentu. Hal ini
disebabkan oleh kegiatan administratif yang sulit diatur menurut jadwal, berbeda dengan
kegiatan pembelajaran.

Waktu bagi kepala sekolah itu jarang dipakai untuknya sendiri, ia harus mampu berbagi
waktu dengan peserta didik, tenaga kependidikan, orang tua peserta didik, tokoh masya
- rakat, dinas pendidikan, organisasi profesi, dan lembaga swadaya masyarakat, bahkan
mungkin tamu tak diundang yang sering datang ke sekolah. Tidak jarang tenaga
kependidikan minta waktu untuk berkonsultasi dengan kepala sekolah ketika sedang bersiap
untuk pulang, dan percakapan sering berlarut-larut. Demikian halnya orang tua peserta didik
dengan alasan itu ini, sering mengadakan pertemuan melewati waktu jam kerja. Sebagai
kepala sekolah yang profesional, anda harus berlatih membiasakan diri mengelola waktu
sedemikian rupa, agar seluruh tugas dapat diselesaikan secara proporsional, tepat waktu,
dan tepat sasaran; termasuk bagaimana berbagi rasa dengan para wakil di sekolah, dan
dengan anggota keluarga di rumah. Disiplinkan diri anda untuk beristirahat secara teratur
dan bersantailah dengan melakukan aktivitas yang menyenangkan. Dalam jangka panjang,
barangkali anda perlu merencanakan liburan ke luar kota.

2. Mengembangkan energi

Kepala sekolah harus tampil beda dan lebih energik dari para tenaga kependidikan lain.
Meskipun mungkin kepala sekolah tidak melakukan kegiatan fisik seperti tenaga
kependidikan lain, tetapi memiliki banyak tugas yang harus diselesaikan, bahkan seringkali
merasa bahwa tugasnya tidak pernah ada habis-habisnya. Di samping kesibukannya di
sekolah, kepala sekolah juga sering terpilih menjadi pengurus organisasi kemasyarakatan,
yang harus mencurahkan energi untuk memenuhi berbagai macam harapan, misalnya
memberikan sambutan, mencari pemecahan masalah, merancang penelitian, bahkan
melakukan ceramah keagamaan.

Kesibukan-kesibukan tersebut seringkali membosankan, karena secara ekonomis pun


mungkin kurang menguntungkan. Namun demikian, kepala sekolah harus tetap menjaga
wibawa, sesuai dengan hak dan tanggung jawabnya. Dalam hal ini kepala sekolah profesional
harus berlatih mengembangkan energi yang positif untuk menumbuhkan kreatifitas diri,
stabilitas emosi, dan keajegan spiritual. Mungkin niat ibadah, murah hati tanpa mengharap
imbalan, dan bekerja karena Allah harus senantiasa tertanam dalam hati sanubari kepala
sekolah profesional.

3. Memecahkan masalah

Tidak sedikit masalah yang dihadapi oleh kepala sekolah, apalagi kalau baru
menduduki jabatan tersebut. Oleh karena itu, kepala sekolah harus mampu berperan
sebagai penyangga di sekolahnya, harus menyerap dan memahami penderitaan serta
masalah yang dialami oleh tenaga kependidikan agar mereka dapat melaksanakan tugas
dengan baik.

Banyak tenaga kependidikan yang enggan dan merasa takut menyampaikan


masalahnya kepada kepala sekolah. Pada umumnya masalah tenaga kependidikan berkaitan
dengan pembelajaran, disiplin peserta didik, beban mengajar yang terlalu berat, tidak ada
kerja sama dengan sesama guru, dan masalah-masalah yang sifatnya pribadi. Masalah--
masalah tersebut akan menggangu konsentrasi kerja tenaga kependidikan, yang menuntut
kepala sekolah memahami dan membantu memecahkannya. Sikap empatik dan merasakan
masalah yang sedang dihadapi oleh para tenaga kependidikan di sekolah, barangkah
merupakan alternatif untuk memecahkan masalah, menjaga hubungan baik, dan memberi
teladan kepada seluruh tenaga kependidikan dalam memecahkan masalah akan membantu
meringkankan beban mereka dan meningkatkan kinerjanya. Dalam pada itu, perlu
dibiasakan untuk memberikan kesempatan, dan perlakuan yang sama kepada seluruh tenaga
kependidikan, jangan membedakan mereka karena predikat sebelumnya. Ciptakan suasana
yang menyenangkan di antara tenaga kependidikan agar mereka memiliki keberanian untuk
mengungkapkan setiap masalah dan mencari solusinya.

Anda mungkin juga menyukai