PERILAKU ORGANISASIONAL
DISUSUN OLEH :
PUTRI SANCOYORINI T.U. F0217084
RABI’AH HANUN A. F0217085
RIFKY I. KUSWAN F0217094
RIZALDI AL-FATAH F0217095
DEFINISI KONFLIK
Konflik didefinisikan sebagai sebuah proses yang dimulai ketika satu pihak
memiliki persepsi bahwa pihak lain telah memengaruhi secara negatif, atau akan
memengaruhi secara negative, sesuatu yang menjadi kepedulian atau kepentingan
pihak pertama. Hal ini menggambarkan satu titik dalam kegiatan yang sedang
berlangsung ketika sebuah interaksi “berubah” menjadi suatu konflik antar pihak.
1. PANDANGAN TRADISIONAL
Berpandangan bahwa semua konflik itu berbahaya dan harus dihindari. Pandangan
ini sejalan dengan sikap yang dianut banyak orang menyangkut perilaku kelompok
tahun 1930-an dan 1940-an. Konflik dipandang sebagai akibat disfungsional dari
komunikasi yang buruk, tidak adanya keterbukaan dan kepercayaan antar anggota,
serta ketidakmampuan para manager untuk tanggap terhadap kebutuhan dan
aspirasi karyawan mereka.
Ini merupakan pandangan sederhana. Karena semua konflik harus dihindari, kita
hanya perlu mengarahkan perhatian pada sebab-sebab konflik serta mengkoreksi
malfungsi ini untuk memperbaiki kinerja kelompok dan organisasi.
Pandangan ini berpendapat bahwa konflik adalah kejadian alamiah dalam semua
kelompok dan organisasi. Karena konflik tak terhindarkan, mazhab hubungan
manusia mendorong kita untuk menerima keberadaan konflik.pandangan hubungan
manusia ini mendominasi teori konflik dari akhir tahun 1940-an sampai pertengahan
tahun 1970-an.
3. PANDANGAN INTERAKSIONIS
PROSES KONFLIK
Proses Konflik (conflict process) dapat dipahami sebagai sebuah proses yang
terdiri atas lima tahapan: potensi pertentang atau ketidakselarasan, kognisi dan
personalisasi, maksud, perilaku, dan akibat.
Lebih jauh, saluran yang dipilih untuk komunikasi bisa mempengaruhi tingkat potensi
pertentangan. Proses penyaringan atau filterisasi yang terjadi ketika informasi
disampaikan diantara para anggota dan penyimpangan komunikasi atau distorsi dari
saluran-saluran formal atau yang dibangun sebelumnya juga membuka keran
peluang munculnya konflik.
Ada indikasi bahwa gaya kepemimpinan yang melekat meningkatkan potensi konflik,
tetapi bukti pendukungnya tidak terlalu kuat. Terlalu mengandalkan partisipasi juga
dapat merangsang konflik. Penelitian cenderung menemukan bahwa partisipasi dan
konflik sangat berkorelasi, tentu karena partisipasi mendorong dipromosikannya
perbedaan. Sistem imbalan juga diketahui menciptakan konflik ketika perolehan
salah seorang anggota dipandang merugikan anggota lain. Terakhir, jika sebuah
kelompok bergantung pada kelompok lain (berlawanan dengan dua kelompok yang
saling mandiri) atau jika saling ketergantungan memungkinkan satu kelompok
mendapat hasil sembari merugikan kelompok lain, daya konflik pun akan
terangsang.
1. Dalam Tahap II ini disinilah isu isu konflik biasanya didefinisikan. Pada
tahapan proses inilah, para pihak memutuskan konflik itu tentang apa dan
akan menentukan jalan panjang menuju akhir penyelesaian konflik.
2. Bahwa emosi memainkan peranan utama dalam membangun persepsi
Maksud (intentions) mengintervensi antara persepsi serta emosi orang dan perilaku
luaran mereka. Maksud adalah keputusan untuk bertindak dengan cara tertentu.
Banyak konflik bertambah parah semata mata karena salah satu dari pihak salah
dalam memahami maksud lain. Selain itu, biasanya perbedaan yang besar antara
maksud dan perilaku, sehingga perilaku tidak selalu mencerminkan secara akurat
maksud seseorang.
1. BERSAING (COMPETING)
Ketika seseorang brusaha memperjuangkan kepentingan sendiri, tanpa
mempedulikan dampaknya atas pihak lain yang berkonflik.
2. BEKERJA SAMA (COLLABORATING)
Ketika pihak yang berkonflik berkeinginan untuk bersama sama
memperjuangkan kepentingan kedua belah pihak, dan mengupayakan hasil
yang sama sama menguntungkan serta pencarian kesimpulan yang
menyertakan wawasan yang valid dari kedua belah pihak.
3. MENGHINDAR (AVAIDING)
Hasrat untuk menarik diri dari atau menekan sebuah konflik. Contoh dari
perilaku menghindar (avaiding) adalah mencoba mengabaikan suatu konflik
dan menghindari orang lain yang tidak bersepakat dengan diri sendiri.
4. AKOMODATIF (ACCOMODATING)
Kesediaan salah satu pihak yang berkonflik untuk menempatkan kepentingan
lawannya diatas kepentingannya sendiri. Contoh dari akomodatif
(accommodating) adalah kesediaan untuk mengorbankan kepentingan diri
sendiri sehingga tujuan pihak lain dapat tercapai, mendukung pendapat orang
lain meskipun diri sendiri sebenarnya enggan, serta memaafkan seseorang
atas suatu pelanggaran dan membuka pintu bagi pelanggaran selanjutnya.
5. KOMPROMIS (COMPROMISING)
Suatu situasi dimana masing-masing pihak yang berkonflik bersedia
mengalah dalam satu atau lain hal. Ketika masing-masing pihak yang
berkonflik berusaha mengalah dalam satu atau lain hal, terjadilah tindakan
berbagi yang mendatangkan kompromi. Ciri khas dari maksud kompromis
adalah bahwa masing-masing pihak rela menyerahkan sesuatu atau
mengalah. Contohnya yaitu kesediaan dalam menerima kenaikan gaji 2 dollar
per jam dan bukannya 3 dollar, untuk menerima kesepakatan parsial dengan
sudut pandang tertentu, dan untuk mengaku turut bertanggung jawab atas
sebuah pelanggaran.
Dari maksud-maksud yang diuraikan diatas, dapat memberikan panduan umum bagi
para pihak yang berada dalam situasi konflik dimana panduan tersebut menentukan
tujuan dari masing-masing pihak. Akan tetapi, maksud orang tidak selalu sama.
Selama konflik itu masih berjalan, maksud itu bisa saja berubah karena
rekonseptualisasi atau reaksi emosional terhadap perilaku pihak lain. Jadi lebih tepat
memandang memandang kelima maksud penanganan konflik itu relatif pasti
daripada memandangnya sebagai sekumpulan pilihan untuk menyesuaikan dengan
situasi yang semestinya. Artinya ketika berhadapan dengan konflik, sebagian orang
ingin menanganinya apa pun bayarannya, sebagian ingin mencari solusi yang
optimal, sebagian ingin “cuci tangan”, sebagian lainnya ingin membantu, dan
sebagian lainnya ingin “berbagi perbedaan”.
TAHAP IV: PERILAKU
Ketika berpikir tentang situasi konflik, maka sebagian besar orang akan cenderung
memusatkan perhatian mereka pada Tahap IV yaitu perilaku. Tahap perilaku ini
meliputi pernyataan, aksi, dan reaksi yang dibuat oleh pihak-pihak yang berkonflik.
Perilaku konflik ini biasanya merupakan upaya kasat mata untuk mengoperasikan
maksud dari masing-masing pihak. Tetapi perilaku ini memiliki kualitas stimulus yang
berbeda dari maksud. Sebagai akibat dari salah perhitungan atau ketrampilan
operasional yang rendah, perilaku yang tampak terkadang menyimpang dari maksud
semula.
Jika suatu konflik bersifat disfungsional, apa yang dapat dilakukan oleh para pihak
untuk meredakannya? Atau, sebaliknya, pilihan apa yang tersedia jika konflik terlalu
rendah dan perlu dieskalasi? Hal ini akan menuntun pada teknik-teknik manajemen
konflik (conflict management). Manajemen konflik merupakan pemanfaatan dari
teknik-teknik resolusi dan dorongan (stimulasi) untuk mencapai tingkat konflik yang
diinginkan.
Ekspansi Sumber Daya Ketika sebuah konflik timbul karena kelangkaan sumber
daya-katakan uang, promosi, kesempatan ruang kantor-
ekspansi sumber daya dapat menciptakan solusi yang
saling menguntungkan.
AKIBAT FUNGSIONAL
Dalam situasi persaingan global dewasa ini organisai yang tidak mendorong dan
tidak mendukung pebedaan bisa terancam kelangsungan hidupnya. Yang menjadi
pertanyaan bagi para manager adalah apa yang harus dilakukan untuk
memunculkan dan memelihara konflik agar funsional. Salah satu cara organisasi
menciptakan konflik fungsional adalah dengan memberi penghargaan kepada orang
yang berbeda pendapat dan menghukum mereka yang suka menghindari konflik.
Selanjutnya yang menjadi tantangan bagi para manajer adalah apakan mereka mau
mendengar sesuatu tidak ingin mereka dengar. Mereka harus belajar menerima
sesuatu tanpa menciptakan konfrontasi.
Hewlett- Packard
Memiliki system formal dimana karyawan dapat mengevaluasi dan mengkritik atasan
mereka
IBM
Memiliki system formal yang mendorong perbedaan. Para karyawan berhak menilai
dan mengkritik atasan mereka tanpa perlu takut kena hukuman. Jika perbedaan
tidak dapat terselesaikan, system tersebut memberi peluang kepada pihak ketiga
untuk memberikan nasehat atau saran.
Memunculkan Devil’s Advocates (lawan tanding yang tidak selalu mengiyakan apa
yang diyakini bersama) di dalam proses pengambilan keputusan mereka.
NEGOSIASI
Negosiasi adalah sebuah proses dimana dua pihak atau lebih melakukan pertukaran
barang atau jasa dan berupaya untuk menyepakati nilai tukarnya.
Ciri yang paling jelas ditunjukan bahwa strategi ini berjalan dibawah zero-sum. Itu
artinya, perolehan apapun yang saya dapatkan adalah dengan mengurbankan Anda,
dan sebaliknya. Jadi hakikat tawar-menawar distributif adalah menegosiasikan siapa
mendapat bagian apa dari sebuah kue yang besarnya sama dan tetap (fixed pie).
Dengan kue itu, yang kami maksudkan adalah bahwa tiap-tiap pihak yang saling
menawar meyakini hanya ada sejumlah barang atau jasa untuk dibagi. Karena itu,
kue tetap adalah permainan zero-sum dalam arti bahwa setiap 1 dollar di saku salah
satu pihak adalah 1 dollar yang keluar dari saku lawan tawar mereka. Ketika para
pihak meyakini kuenya tetap maka cenderungan melakukan penawaran distributif.
Contoh yang bisa diambil adalah negosiasi buruh – manajemen mengenai upah.
2. TAWAR MENAWAR INTEGRATIF (INTEGRATIVE BARGAINING)
Negosiasi dalam sebuah organisasi biasanya berupa dinamika asal saya senang.
Beberapa cara untuk mencapai hasil yang lebih integrative:
PROSES NEGOSIASI
Dalam pembahasan ini menyebutkan negosiasi tersusun atas lima tahap, yaitu :
Peran Suasana Hati Dan Sifat Kepribadian Dalam Negosiasi. Suasana hati
penting dalam negosiasi. Para perunding yang suasana hatinya positif memperoleh
hasil yang lebih baik daripada mereka yang suasana hatinya biasa-biasa saja. Hasil
penelitian terhadap hubungan kepribadian-negosiasi menunjukkan bahwa sifat-sifat
kepribadian tidak memiliki pengaruh langsung yang signifikan terhadap proses hasil
negosiasi. Ego yang besar juga dapat mempengaruhi negosiasi. Individu-individu
yang berpikir untuk menyelamatkan mukanya sendiri memiliki kemungkinan yang
lebih kecil untuk mencapai kesepakatan daripada mereka yang kurang peduli untuk
sukses. Jadi, orang yang mampu melepas ego mereka sendiri mampu
menegosiasikan kesepakatan secara lebih baik bagi mereka dan bagi pihak lain,
baik situasi tawar menawarnya distributif dan integratif.
Perbedaan Gender dalam Negosiasi. Stereotip populer yang dianut banyak orang
mengatakan bahwa kaum perempuan lebih kooperatif dan menyenangkan dalam
negosiasi daripada kaum laki-laki. Namun laki-laki ditemukan mampu
menegosiasikan hasil yang lebih baik daripada perempuan, meskipun perbedaanya
relatif kecil. Keyakinan bahwa perempuan lebih menyenangkan daripada laki-laki
dalam negosiasi barangkali karena persoalan gender yang membingungkan dan
lebih rendahnya posisi yang dipegang kaum perempuan di kebanyakan organisasi
besar. Sedangkan dalam situasi dimana perempuan dan laki-laki memiliki basis
kekuasaan yang sama, rasanya tidak akan ada perbedaan yang signifikan dalam
gaya negosiasi mereka.
1. Studi pertama membandingkan orang Amerika Utara, Arab dan Rusia dalam
factor gaya bernegosiasi, cara menghadapi argument lawan, pendekatan
untuk menghasilkan konsensi dan negosiasi dengan waktu yang ditentukan.
a. Amerika Utara : mencoba membujuk dengan mengandalkan fakta dan
logika, menangkis argument dengan fakta dan logika, membuat konsensi
diawal negosiasi untuk membangun hubungan dan biasanya membalas
konsensi lawan, dan tenggat waktu sangat penting.
b. Arab : membujuk lawan dengan emosi, menangkis argument lawan
dengan perasaan subjektif, membuat konsensi sepanjang proses tawar
menawar dan hampir selalu membalas konsensi lawan, dan
memperlakukan tenggat waktu dengan santai.
c. Rusia : mendasarkan argument mereka pada standar yang tegas,
membuat sedikit, bila ada, konsensi. Konsensi apapun yang ditawrkan
lawan dipandang sebagai suatu kelemahan dan hamper tak pernah
dibalas. Cenderung mengabaikan tenggat waktu.
2. Studi kedua mengamati taktik negosiasi verbal dan non verbal antara orang
Amerika Utara, Jepang dan Brasil selama sesi perundingan berdurasi 30
menit.
a. Orang Brasil rata-rata mengatakan ‘tidak” 83 kali dibandingkan Jepang 5
kali dan Amerika Utara 9 kali.
b. Jepang menampilkan sikap diam selama lebih dari 10 detik selama lebih
dari 5 periode, Amerika Utara 3,5 kali, dan Brasil tidak sama sekali.
c. Jepang dan Amerika Utara mengintrupsi lawan mereka dengan frekuensi
yang sama, tetapi Brasil mengintrupsi lawan mereka 2,5 sampai 3 kali
lebih banyak.
d. Jepang dan Amerika Utara tidak mempunyai kontak fisik dengan lawan
mereka selama negosiasi kecuali berjabat tangan, tapi orang Brasil saling
menyentuh hampir 5 kali setiap setengah jam.
1. Mediator
Pihak ketiga yang bersikap netral yang memfasilitasi negosiasi solusi dengan
menggunakan penalaran dan persuasi, menyodorkan alternative dan
semacamnya. Mediator banyak digunakan dalam negosiasi buruh-
manajemen dan dalam sengketa perdata.
2. Arbitrator
Pihak ketiga yang memiliki wewenang untuk menentukan kesepakatan.
Arbitrase bisa bersifat sukarela (diminta) atau wajib (dipaksakan kepada para
pihak berdasarkan undang-undang atau kontrak yang berlaku). Kelebihannya
dibanding mediasi adalah menghasilkan penyelesaian.
3. Konsiliator
Pihak ketiga yang dipercaya untuk membangun relasi komunikasi informal
antara perunding dan lawannya.
4. Konsultan
Pihak ketiga yang terlatih dan tidak berpihak yang berupaya memfasilitasi
pemecahan masalah melalui komunikasi, analisis, dengan dibantu
pengetahuan mereka mengenai manajemen konflik.