Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

PERILAKU ORGANISASI
“KONFLIK DAN NEGOSIASI”

Dosen Pengampu :
Zainur Rochman, S.E.,M.Sc

Disusun Oleh :

Kelompok 9
1. Kukuh Prahesti 18080574013
2. Septasari Cahya Na-zhifah 18080574064
3. Nur Laili Fitriana 18080574101

MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Kehadiran dan ketidakhadiran konflik dan negosiasi seringkali rumit – dan
kontroversial – proses interpersonal. Sementara kita secara umum memandang konflik
sebagai sebuah topik yang negatif dan negosiasi sebagai sebuah topik yang positif, apa
yang kita anggap positif atau negatif seringkali bergantung pada sudut pandang kita.
Tidak terdapat definisi singkat mengenai konflik, tetapi pendapat yang paling umum
adalah bahwa konflik merupakan sebuah persepsi. Jika tidak ada seorang pun yang
menyadari konflik, maka pada umumnya tidak akan ada konflik yang terjadi.
Kita mendefinisikan konflik secara luas sebagai sebuah proses yang dimulai
ketika salah satu pihak memandang pihak lainnya telah memengaruhi secara negatif atas
sesuatu hal yang dipedulikan oleh pihak pertama. Konflik menggambarkan poin dimana
aktivitas yang sedang berlangsung ketika interaksi menjadi ketidaksepakatan antar pihak.
Sedangkan negosiasi menyerap interaksi dari hampir setiap orang dalam
kelompok dan organisasi. Yang terlihat dengan jelas: tenaga kerja mnegadakan
perundingan dengan manajemen. Terdapat hal yang tidak begitu jelas: para manajer
melakukan negosiasi dengan para karyawan, rekan, dan para bos. Maka dalam makalah
ini, kita akan membahas mengenai konflik dan negosiasi yang terjadi dalam organisasi.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apakah definisi dari konlik dan negosiasi?
2. Bagaimanakah perbedaan pandangan konflik tradisional dan interaksionis?
3. Apa sajakah tipe konflik dan lokus konflik dalam organisasi?
4. Bagaimakah proses yang terjadi dalam konflik?
5. Apa sajakah tahapan dalam negosiasi?
6. Bagaimanakah peranan dan fungsi negosiasi bagi pihak ketiga?

1.3 TUJUAN DAN MANFAAT


1. Memenuhi tugas mata kuliah Perilaku Organisasi
2. Memahami pengertian konflik dan negosiasi
3. Memahami tahapan serta proses dalam konflik dan negosiasi
4. Menambah pengetahuan tentang konflik dan negosiasi
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI KONFLIK


Konflik adalah sebuah proses yang dimulai ketika salah satu pihak memandang
pihak lainnya telah memengaruhi secara negatif, atau akan berpengaruh secara negatif,
terhadap segala sesuatu hal yang dipedulikan oleh pihak pertama.
Pandangan Tradisional atas Konflik
Pandangan tradisional atas konflik sejalan dengan tingkah laku mengenai perilaku
kelompok yang berlaku pada tahun 1930-an hingga 1940-an. Konflik dipandang sebagai
hasil atas disfungsional (kegagalan fungsi) akibat komunikasi yang buruk, kurangnya
keterbukaan dan kepercayaan diantara orang-orang serta kegagalan dari para manajer
untuk menjadi responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi para karyawan mereka.
Pandangan ini berkeyakinan bahwa semua konflik berbahaya dan harus dihindari.
Pandangan Interaksionis atas Konflik
Pandangan interaksionis atas konflik mendorong konflik atas dasar bahwa
kerjasama kelompok yang harmonis, damai, dan tenang rentan untuk menjadi statis, acuh
tak acuh, dan tidak responsif terhadap kebutuhan untuk perubahan dan inovasi.
Kontribusi utama pandangan ini adalah memahami bahwa level konflik yang minimal
dapat membantu menjaga suatu kelompok menjadi bersemangat, kritis terhadap diri
sendiri, dan kreatif.
Pandangan interaksionis atas konflik tidak berpendapat bahwa seluruh konflik
adalah hal baik. Konflik fungsional akan mendukun tujuan kelompok, meningkatkan
kinerjanya, dan bahkan merupakan bentuk konflik yang bersifat konstruktif
(membangun). Konflik yang merintangi kinerja kelompok bersifat destruktif
(menghancurkan) atau konflik disfungsional.

2.2 TIPE DAN LOKUS KONFLIK


Jenis Konflik
a. Konflik Tugas, yaitu konflik yang terkait dengan kandungan dan tujuan pekerjaan
b. Konflik Hubungan, konflik yang didasarkan pada hubungan interpersonal
c. Konflik Proses, konflik mengenai bagaimana pekerjaan akan diselesaikan.
Lokus Konflik
a. Konflik Dyadic, adalah konflik yang terjadi diantara dua orang
b. Konflik Intragrup, adalah konflik yang terjadi didalam sebuah kelompok atau tim
c. Konflik Antar Kelompok, konflik diantara kelompok atau tim yang berbeda

2.3 PROSES KONFLIK


Proses konflik memiliki lima tahapan: pertentangan yang berpotensial atau
ketidaksesuaian, kesadaran dan personalisasi, niatan, perilaku, dan hasil.
Tahap 1: Pertentangan yang Berpotensial atau Ketidaksesuaian
Tahap pertama dari konflik adalah penampilan kondisi – penyebab atau sumber –
yang menciptakan peluang bagi konflik untuk timbul. Kondisi-kondisi ini tidak lantas
mengarah secara langsung pada konflik, tetapi salah satu dari mereka yang diperlukan
jika hal ini muncul ke permukaan. Kita mengelompokkan kondisi-kondisi ke dalam tiga
kategori umum: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.
a. Komunikasi. Kondisi yang berpotensial konflik ditemukan meningkat pada kondisi
dengan komunikasi yang terlalu sedikit atau terlalu banyak. Komunikasi yang
fungsional sampai pada titik tertentu, setelah itu akan kemungkinan berkomunikasi
secara berlebihan dan meningkatkan resiko konflik.
b. Struktur. Istilah struktur dalam konteks ini meliputi variabel-variabel seperti ukuran
kelompok, derajat spesialisasi dalam pekerjaan yang ditugaskan kepada para anggota
kelompok, kejelasan yurisdiksional, kesesuaian antara anggota dan tujuan, gaya
kepemimpinan, sistem pemberian imbalan, dan tingkat ketergantungan diantara
kelompok
c. Variabel-variabel Pribadi. Kategori terakhir mengenai potensial sumber konflik
adalah variabel pribadi, yang mana meliputi kepribadian, emosi dan nilai. Orang-
orang yang memiliki sifat dari kepribadian tinggi yang tidak menyenangkan,
neurotisisme, atau pengawasan diri sendiri yang rentan terlibat kekacauan dengan
orang lain lebih sering – dan untuk bereaksi dengan buruk ketika konflik terjadi.
Emosi juga dapat menyebabkan konflik bahkan ketika mereka tidak diarahkan pada
orang lain.
Tahap II: Kesadaran dan Personalisasi
Tahap II penting karena inilah dimana permasalahan konflik cenderung
didefinisikan, di mana pihak-pihak memutuskan mengenai apakah konflik tersebut.
Dipandang sebagai konflik (perceived conflict) ketika kesadaran oleh salah satu pihak
mengenai keberadaan kondisi yang menciptakan peluang bagi konflik untuk muncul.
Dirasakan sebagai konflik (felt conflict) jika keterlibatan secara emosional dalam konflik
yang menciptakan kecemasan, ketegangan, frustasi atau permusuhan.
Tahap III: Niat
Niat memengaruhi antara persepsi dan emosi orang-orang serta perilaku terbuka
mereka. Niat adalah keputusan untuk bertindak dalam suatu cara tertentu. Banyak konflik
yang meningkat hanya karena salah satu pihak memberikan atribut niat yang salah
kepada pihak lainnya. Dengan menggunakan dua dimensi – kegotongroyongan (suatu
keadaan dimana salah satu pihak berupaya untuk memuaskan perhatian dari pihak lain)
dan ketegasan (keadaan yang mana salah satu pihak berupaya untuk memuaskan
perhatiannya sendiri) – kita dapat mengidentifikasi lima niat dalam menangani konflik:
a. Bersaing, suatu keinginan untuk memuaskan kepentingan seseorang tanpa
memperhatikan dampak timbul konflik terhadap pihak lain.
b. Berkolaborasi. Sebuah situasi dimana para pihak melakukan konflik mengenai
keinginan masing-masing untuk memuaskan perhatian sepenuhnya dari semua pihak.
c. Menghindar. Keinginan untuk menarik diri atau menyembunyikan diri dari konflik.
d. Mengakomodasi, kesediaan dari salah satu pihak dalam sebuah konflik untuk
menempatkan kepentingan pihak lawan di atas kepentingannya sendiri.
e. Berkompromi. Sebuah situasi yang mana tiap-tiap pihak atas suatu konflik bersedia
untuk menyerahkan sesuatu hal.
Tahap IV: Perilaku
Ketika sebagian besar orang berpikir mengenai konflik, mereka cenderung untuk
menitikberatkan pada Tahap IV karena di tahap ini konflik menjadi terlihat. Tahap IV
merupakan proses interaksi yang dinamis. Sebagai contoh, Anda mengajukan tuntutan
terhadap saya, saya memberikan tanggapan dengan berdebat, Anda mengancam saya,
saya balik mengancam Anda, dan sebagainya.
Jika konflik bersifat disfungsional, hal ini akan membawa pada teknik-teknik
manajemen konflik. Manajemen konflik yaitu penggunaan dari resolusi dan teknik
stimulasi untuk mencapai level konflik yang diinginkan.
Tahap V: Hasil
a. Hasil yang Fungsional. Konflik bersifat konstruktif ketika dia meningkatkan kualitas
dari keputusan, menstimulasi kreativitas dan inovasi, mendorong kepentingan dan
keingintahuan diantara para kelompok, menyediakan media bagi permasalahan untuk
dipublikasikan dan melepaskan ketegangan, serta membantu perkembangan evaluasi
diri sendiri maupun perubahan.
b. Hasil yang Disfungsional. Konsekuensi dari konflik yang bersifat destruktif terhadap
kinerja kelompok atau organisasi yang secara umum dikenal: oposisi tidak terkendali
yang melahirkan ketidakpuasan, yang mana berperan untuk membubarkan ikatan
bersama dan akhirnya mengarah pada kehancuran kelompok.
c. Mengelola Konflik yang Fungsional. Salah satu kunci untuk meminimalkan konflik
yang kontraproduktif adalah dengan memahami kapan sebenarnya terjadinya
ketidaksepakatan. Pendekatan lainnya adalah dengan membiarkan kelompok yang
menentang mengambil bagian dari solusi yang sangat penting bagi mereka dan
kemudian menitikberatkan pada bagaimana sisi satunya dapat mencapai
terpenuhinya kebutuhan pokok.

2.4 NEGOSIASI
Negosiasi merupakan suatu proses yang mana dua atau lebih pihak saling bertukar
barang atau jasa dan berupaya untuk setuju dengan nilai tukar bagi mereka.
Strategi Perundingan
a. Perundingan Distributif, yaitu negosiasi yang berupaya untuk membagi jumlah
sumber daya secara tetap; situasi kemenangan atau kekalahan. Contohnya adalah
negosiasi yang terjadi diantara tenaga kerja dan manajemen mengenai jumlah gaji.
Ketika Anda terlibat perundingan distributif, salah satu hal terbaik yang dapat Anda
lakukan adalah dengan mengajukan penawaran pertama dan lakukan dengan cara
yang agresif. Taktik perundingan distributif lainnya adalah dengan mengungkapkan
tenggat waktu.
b. Perundingan Integratif, yaitu negosiasi yang berupaya mencari satu atau lebih
kesepakatan yang dapat memberikan solusi kemenangan bagi kedua belah pihak.
Dalam istilah perilaku intraorganisasi, perundingan integratif lebih dipilih
dibandingkan perundingan distributif karena pertama membentuk hubungan dalam
jangka panjang. Perundingan integratif mengikat para negosiator dan memungkinkan
mereka untuk meninggalkan meja perundingan bila mereka meras bahwa telah
mencapai kemenangan.
Proses Negosiasi
a. Persiapan dan Perencanaan. Sebelum Anda mulai melakukan negosiasi, lakukan
tugas pekerjaan Anda. Bagaimana sifat dari konflik tersebut? Apakah sejarah yang
mengarahkan pada negosiasi ini? Siapakah yang terlibat dan bagaimana persepsi
mereka mengenai konflik? Apa yang Anda inginkan dari negosiasi? Apakah yang
menjadi tujuan Anda?. Ketika Anda telah mengumpulkan informasi, kembangkan
sebuah strategi. Anda akan menentukan alternatif terbaik bagi Anda dan pihak
lainnya terhadap suatu perjanjian yang dinegosiasikan, atau disebut BATNA (Best
Alternative To a Negotiated Agreement).
b. Definisi dari Aturan yang Mendasar. Ketika Anda telah melakukan perencanaan dan
mengembangkan sebuah strategi, maka Anda telah siap untuk memulai
mendefinisikan dengan pihak lainnya mengenai aturan mendasar dan prosedur dari
negosiasi itu sendiri
c. Klarifikasi dan Pembenaran. Ketika Anda telah saling menukarkan proposal awal
Anda, maka Anda dan pihak lain akan menjelaskan, memperkuat, menjernihkan,
mendukung, dan membenarkan permintaan mula-mula Anda.
d. Melakukan Perundingan dan Pemecahan Masalah. Inti dari proses negosiasi adalah
upaya memberi dan mengambil secara aktual dalam mencoba untuk menyelesaikan
perjanjian. Hal ini adalah dimana kedua belah pihak perlu untuk membuat konsesi.
e. Penutupan dan Implementasi. Langkah terakhir dalam proses negosiasi adalah
merumuskan perjanjian Anda dan mengembangkan prosedur yang diperlukan untuk
mengimplementasi dan mengawasinya.
Perbedaan Individual dalam Efektivitas Negosiasi
a. Sifat Kepribadian dalam Negosiasi. Terlihat bahwa keadaan yang mana keramahan,
dan kepribadian yang lebih umum, memengaruhi hasil negosiasi akan bergantung
dengan situasi. Pentingnya menjadi ekstrover misalnya, akan sangat bergantung pada
bagaimana pihak lain bereaksi terhadap seseorang yang tegas dan antusias.
b. Suasana Hati/Emosi dalam Negosiasi. Sebagaimana yang dapat Anda amati, emosi –
terutama yang sifatnya negatif – berpengaruh terhadap negosiasi. Bahkan emosi yang
tidak dapat diprediksi memengaruhi hasil, para peneliti telah menemukan bahwa para
negosiator yang mengekspresikan emosi yang positif dan negatif dalam cara yang
tidak dapat diprediksi akan lebih banyak konsesi karena membuat pihak lainnya
merasakan kurang memegang kendali.
c. Budaya dalam Negosiasi. Orang-orang pada umumnya melakukan negosiasi dengan
lebih efektif di dalam budaya yang sama diantara mereka. Terlihat bahwa dalam
negosiasi lintas budaya, penting bahwa negosiator akan memiliki keterbukaan yang
tinggi terhadap pengalaman, tetapi juga menghindari faktor-faktor – misalnya tekanan
waktu – yang cenderung untuk menghalangi pembelajaran dalam memahami pihak
lainnya. Terakhir, karena emosi secara kultural bersifat sensitif, maka para negosiator
perlu untuk bersikap waspada dengan dinamika emosional dalam nehosiasi lintas
budaya.
d. Perbedaan Gender di Dalam Negosiasi. Terdapat banyak area dalam perilaku
organisasi yang mana pria dan wanita tidak dibedakan. Negosiasi bukanlah salah satu
dari mereka. Hal ini sekarang terlihat cukup adil bahwa pria dan wanita akan
melakukan negosiasi secara berbeda, dan perbedaan-perbedaan tersebut akan
memengaruhi hasil.
Negosiasi dengan Pihak Ketiga
Seorang mediator adalah piha ketiga yang netral yang memfasilitasi solusi yang
dinegosiasikan dengan menggunakan alternatif-alternatif pertimbangan, bujukan, saran,
dan sebagainya.
Seorang arbitrator adalah seorang pihak ketiga dengan otoritas untuk mendikte
perjanjian. Arbitrase dapat secara sukarela (diminta oleh para pihak) atau yang
diwajibkan (dipaksa terhadap para pihak oleh UU atau kontrak). Kelebihan terbesar dari
arbitrase atas mediasi adalah selalu menghasilkan penyelesaian.
Seorang konsiliator adalah seorang pihak ketiga yang terpercaya yang
menyediakan komunikasi secara informal diantara negosiator dengan lawan. Dalam
membandingkan antara konsiliasi dengan mediasi adalah dalam hal efektivitas yang telah
terbukti sulit karena keduanya sangat banya bertumpang tindihnya.
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
3.2 SARAN

DAFTAR PUSTAKA
Robbins, Stephen P. 2017. Perilaku Organisasi (Organizational Behaviour). Jakarta:
Salemba Empat.

Anda mungkin juga menyukai