Anda di halaman 1dari 7

Pengertian Konflik

Konflik adalah adanya situasi atau keadaan oposisi atau pertentangan pendapat, sikap, tindakan
di antara orang-orang, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi (Schermerhorn, 1986).
Menurut Wirawan (2013:1-2 ).Konflik merupakan salah satu esensi dari kehidupan dan
perkembangan manusia yang mempunyai karekteristik yang beragam. Konflik merupakan salah
satu gejala psikologis yang umumnya menggiring individu pada suasana kurang menguntungkan
terutama jika kita tidak mengatasinya.
PANDANGAN PARA AHLI TERHADAP KONFLIK
1. Konflik Menurut Robbin
Robbin ( 1996: 431 ) mengatakan konflik dalam organisasi disebut sebagai The Conflict
Paradoks, yaitu pandangan bahwa di satu sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja
kelompok, tetapi di sisi lain dapat menurunkan kinerja kelompok sehingga kebanyakan
kelompok dan organisasi berusaha untuk meminimalisasikan konflik. Pandangan ini dibagi
menjadi tiga bagian, antara lain:
Terdapat tiga pandangan tentang konflik, yaitu :
a. Pandangan tradisional ( The Traditional View ), menyatakan bahwa konflik harus dihindari
karena akan menimbulkan kerugian, aliran ini juga memandang konflik sebagai sesuatu yang
sangat buruk, tidak menguntungkan dalam organisasi. Oleh karena itu konflik harus dicegah dan
dihindari sebisa mungkin dengan mencari akar permasalahan.[2][2]
b. Pandangan hubungan manusia ( The Human Relation View ), Pandangan behaviorial (yang
berhubungan dengan tingkah laku) ini menyatakan bahwa konflik merupakan sesuatu yang
wajar, alamiah dan tidak terelakan dalam setiap kelompok manusia. Konflik tidak selalu buruk
karena memiliki potensi kekuatan yang positif di dalam menentukan kinerja kelompok, yang
oleh karena itu konflik harus dikelola dengan baik.[3][3]
c. Pandangan interaksionis ( The Interactionist View ), Yang menyatakan bahwa konflik
bukan sekedar sesuatu kekuatan positif dalam suatu kelompok, melainkan juga mutlak perlu
untuk suatu kelompok agar dapat berkinerja positif. Oleh karena itu konflik harus diciptakan.
Pandangan ini didasari keyakinan bahwa organisasi yang tenang, harmonis, damai ini justru akan
membuat organisasi itu menjadi statis, stagnan dan tidak inovatif. Dampaknya dalam kinerja
organisasi menjadi rendah. [4][4]
2. Konflik Menurut Stoner dan Freeman
Stoner dan Freeman ( 1989 : 392 ) membagi pandangan menjadi dua bagian, yaitu
pandangan tradisional ( Old view ) dan pandangan modern ( Current View ):
a. Pandangan tradisional. Pandangan tradisional menganggap bahwa konflik dapat dihindari.
Hal ini disebabkan konflik dapat mengacaukan organisasi dan mencegah pencapaian tujuan yang
optimal. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan yang optimal, konflik harus dihilangkan.
Konflik biasanya disebabkan oleh kesalahan manajer dalam merancang dan memimpin
organisasi. Dikarenakan kesalahan ini, manajer sebagai pihak manajemen bertugas
meminimalisasikan konflik.
b. Pandangan modern. Konflik tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan banyak faktor, antara
lain struktur organisasi, perbedaan tujuan, persepsi, nilai – nilai, dan sebagainya. Konflik dapat
mengurangi kinerja organisasi dalam berbagai tingkatan. Jika terjadi konflik, manajer sebagai
pihak manajemen bertugas mengelola konflik sehingga tercipta kinerja yang optimal untuk
mencapai tujuan bersama.
3. Konflik Menurut Myers
Selain pandangan menurut Robbin dan Stoner and Freeman, konflik dipahami
berdasarkan dua sudut pandang, yaitu: tradisional dan kontemporer (Myers, 1993:234):
a. Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang buruk yang harus
dihindari. Pandangan ini sangat menghindari adanya konflik karena dinilai sebagai faktor
penyebab pecahnya suatu kelompok atau organisasi. Bahkan seringkali konflik dikaitkan dengan
kemarahan, agresivitas, dan pertentangan baik secara fisik maupun dengan kata-kata kasar.
Apabila telah terjadi konflik, pasti akan menimbulkan sikap emosi dari tiap orang di kelompok
atau organisasi itu sehingga akan menimbulkan konflik yang lebih besar. Oleh karena itu,
menurut pandangan tradisional, konflik haruslah dihindari.
b. Pandangan kontemporer, mengenai konflik didasarkan pada anggapan bahwa konflik
merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai konsekuensi logis interaksi manusia.
Namun, yang menjadi persoalan adalah bukan bagaimana meredam konflik, tapi bagaimana
menanganinya secara tepat sehingga tidak merusak hubungan antarpribadi bahkan merusak
tujuan organisasi. Konflik dianggap sebagai suatu hal yang wajar di dalam organisasi. Konflik
bukan dijadikan suatu hal yang destruktif, melainkan harus dijadikan suatu hal konstruktif untuk
membangun organisasi tersebut, misalnnya bagaimana cara peningkatan kinerja organisasi.

Konflik fungsional (Functional Conflict)


Konflik fungsional adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan kelompok, dan
memperbaiki kinerja kelompok. Konflik fungsional bersifat konstruktif dan membantu dalam
meningkatkan kinerja organisasi. Konflik ini mendorong orang untuk bekerja lebih keras,
bekerja sama dan lebih kreatif. Konflik kini berdampak positif atau dapat memberi manfaat atau
keuntungan bagi organisasi yang bersangkutan.Sebagai contoh adalah konflik yang terjadi antara
bagian staff akademik dengan bagian staff pengajar. Konflik tersebut bisa terjadi karena
perberdaan cara pandang para anggota bagian tersebut. Staff akademik hanya mengatur
penjadwalan pengajar sesuai dengan mata kuliahnya. Tanpa menghiraukan berapa lama pengajar
tersebut mengajar dalam satu hari. Sedangkan staff pengajar hanya dapat menerima jadwal yang
sudah dibuat oleh staff akademik. Mungkin sebagian pengajar mengeluh karena begitu padatnya
jadwal yang telah dibuat. Maka staff pengajar melakukan komplen kepada staff akademik. Hal
ini menyebakan staff akademik harus bekerja dua kali untuk mengatur ulang jadwal yang
telah dibuat.

2) Konflik disfungsional (Dysfunctional Conflict).


Konflik disfungsional adalah konflik yang merintangi pencapaian tujuan kelompok.
Konflik disfungsional dapat diartikan setiap konfrontasi atau interaksi diantara kelompok yang
merugikan organisasi atau menghalangi pencapaian tujuan organisasi. Contoh konflik ini adalah
dua orang karyawan yang tidak bisa bekerja sama karena permusuhan pribadi, anggota komite
yang tidak dapat menyetujui tujuan yang ditetapkan organisasi. Batas yang menentukan apakah
suatu konflik fungsional atau disfungsional sering tidak tegas(kabur).Suatu konflik mungkin
fungsional bagi suatu kelompok, tetapi tidak fungsional bagi kelompok yang lain. Begitu pula,
konflik dapat fungsional pada waktu tertentu,tetapi tidak fungsional diwaktu yang lain. Kriteria
yang membedakan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional adalah dampak konflik
tersebut terhadap kinerja kelompok, bukan pada kinerja individu. Jika konflik tersebut dapat
meningkatkan kinerja kelompok,walaupun kurang memuaskan bagi individu, maka konflik
tersebut dikatakan fungsional. Demikian sebaliknya, jika konflik tersebut hanya memuaskan
individu saja, tetapi menurunkan kinerja kelompok maka konflik tersebut disfungsional.

HUBUNGAN KONFLIK DENGAN PRESTASI KERJA

Banyak orang secara otomatis menganggap bahwa konflik berkaitan

dengan rendahnya prestasi kelompok maupun organisasi. Bab ini telah

menjelaskan bahwa asumsi seperti itu seringkali tidak benar. Konflik dapat bersifat

konstruktif atau destruktif bagi kelompok/subunit dan organisasi.

bahwa konflik dapat terlalu tinggi yang terjadi pada kondisi C,

atau terlalu rendah seperti yang terjadi pada kondisi A. Pada kedua ekstrim

tersebut konflik berdampak disfungsional yaitu penurunan prestasi organisasi.

Ketika tingkat konflik yang terjadi terlalu rendah, maka prestasi rendah karena

kurangnya dorongan dan rangsangan. Orang merasakan lingkungannya terlalu

menyenangkan dan nyaman, dan responnya apatis dan terjadi adanya stagnasi. Jika

mereka tidak dihadapkan pada tantangan mereka tidak akan mencari cara-cara dan

ide-ide baru, dan organisasi lambat beradaptasi dengan perubahan dari faktor

lingkungan ekstern. Di sisi lain ketika tinggat kònflik yang terjadi sangat tinggi,

prestasi rendah karena kurangnya koordinasi dan kerjasama. Organisasi dalam

keadaan kacau balau, di mana masingmasing orang lebih banyak menghabiskan

waktunya untuk mempertahankan / membela dirinya dan menyerang kelompok

lain daripada melakukan tugas-tugas yang produktif. Sedangkan konflik yang optimal terjadi
pada kondisi B, di mana tingkat

konflik yang terjadi cukup untuk mencegah adanya stagnasi, mendorong adanya

kreativitas, menimbulkan dorongan untuk melakukan perubahan, dan mencari cara


terbaik untuk memecahkan masalah.

Jenis-Jenis Konflik Dalam Organisasi

Kita dapat menjelaskan ada enam jenis dari konflik yaitu konflik dalam diri

seseorang, konflik antarpribadi, konflik interen antaranggota kelompok, konflik

antar kelompok, konflik intra organisasi, dan konflik antar organisasi.

1. Konflik dalam diri seseorang

Seseorang dapat mengalami konflik internal dalam dirinya karena ia harus

memilih tujuan yang saling bertentangan. Ia merasa bimbang mana yang harus

dipilih atau dilakukan. Konflik dalam diri seseorang juga dapat terjadi kerena

tuntutan tugas yang melebihi kemampuannya.

2. Konflik antarindivïidu

Konflik antarindividu terjadi seringkali disebabkan oleh adanya perbedaan

tentang isu tertentu, tindakan, dan tujuan di mana hasil bersama sangat

menentukan.

3. Konflik antaranggota kelompok

Suatu kelompok dapat mengalami konflik subtantif atau konflik afektif.

Konflik subtantif adalah konflik yang terjadi karena latac belakang keahlian yang

berbeda. Jika anggota dari suatu komite mepghasilkan kesimpulan yang berbeda

atas data yang sama dikatakan kelompok tersebut mengalami konflik subtantif.

Sedangkan konflik afektif adalah koflik yang terjadi didasarkan atas tanggapan
emosional terhadap suatu situasi tertentu.

4. Konflik antarkelompok

Konflik antar kelompok terjadi karena masing-masing kelompok ingin

mengejar kepentingan atau tujuan kelompoknya masing-masing. Misalnya konflik

yang mungkin terjadi antara bagian produksi dengan bagian pemasaran. Bagian

misalnya menginginkan adanya jadwal produksi yang standar sehingga

pengawasan dapat dilakukan dengaa mudah. Sedangkan bagian pemasaran

menginginkan jadwal produksi yang fleksibel, sehingga mampu fluktuasi

permintaan pasar.

5. Konflik intraorganisasi

Konflik intraorganisasi meliputi empat subjenis. konflik vertikal, horisontal, lini

staff, dan konflik peran. vertikal terjadi antara manjer dengan bawahan ya

sependapat tentang cara terbaik utuk menyelesaikan tugas. Konflik horizontal

terjadi antara karyawan atau temen yang memiliki hirarkhi yang sama dalam or Konflik lini-staff
yang sering terjadi karena adanya pe persepsi tentang

keterlibatan staff (staf ahli) dalam pengambilan keputusan oleh manajer lini.

Akhirnya konflik peran dapat terjadi karena seseorang memiliki lebíh dari satu

peran yang saling bertentangan. Misalnya saja seseorang sisi ia menjabat sebagai

kepala subbagian proses produksi dipihak laín ía menjabat sebagai serikat pekerja.

Sementara itu karyawan menuntut adanya kenaikan upah yang di kenaikan biaya
hidup yang semakin meningkat.
Sumber-sumber konflik
Sumber-sumber konflik terdapat pada suatu kelompok kerja atau dalam organisasi, bersumber
pada 4 faktor berikut:
1. Faktor komunikasi
Faktor komunikasi dapat menyebabkan konflik didalam organisasi ketika para anggota didalam
organisasi maupun antar organisasi tidak dapat saling mengenal dan juga tidak dapat saling
memahami. Contohnya: dalam organisasi sekolah (OSIS) mempunyai beberapa defisi. Dalam
satu defisi jika ketua ataupun anggotanya tidak dapat saling mengenal didalam defisinya maka
komunikasi di dalam suatu organisasi tidak berjalan dengan baik sehingga menimbulkan konflik,
begitupun jika tidak saling memahami maka pekerjaan dalam suatu organisasi tidak efisien.
2. Faktor struktur tugas dan struktur organisasi
Faktor struktur tugas dan struktur organisasi merupakan sumber konflik dalam organisasi, ketika
sebagian anggota tidak bisa memahami pekerjaan mereka pada struktur tugas yang ada atau tidak
sesuai dalamm pembagian kerja, maupun prosedur kerja yang tidak dipahami. Contohnya: salah
satu anggota memiliki kemampuan dibidang IT di dalam organisasinya tetapi pada organisasi
anggota tersebut diletakkan pada defisi olahraga, maka pekerjaan yang dilakukan oleh anggota
tersebut tidak berjalan dengan baik dan bisa jadi bingung dalam bekerja, maka dari hal tersebut
dapat timbul konflik di dalam organisasi tersebut.
3. Faktor personal
Faktor personal dapat terjadi ketika individu-individu dalam organisasi tidak dapat saling
memahami, sehingga dapat menyebabkan konfik di dalam organisasi. Contohnya: seseorang di
dalam organisasi memiliki masalah dengan keluarga, tetapi masalah tersebut dikaitkan dengan
masalah organisasi, jadi hal tersebut dapat mengakibatkan konflik di dalam suatu organisasi.
4. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan terjadi ketika setiap individu bekerja tidak mendukung terwujudnya suasana
kerja yang kondusif bagi evektifitas pekerjaan, seperti lingkungan yang kurang ventilasi, panas,
hingga penataan ruang yang kurang baik. Contohnya: lingkungan yang panas dapat
menyebabkan pekerjaan yang tidak efektif dalam melakukan pekerjaan, sehingga dapat
menyebabkan kelelahan dan konflik.

Tahapan Terjadinya Konflik


Terdapat lima tahapan proses terjadinya konflik, yaitu:
1. Prakonflik
Ini merupakan periode dimana terdapat suatu ketidak sesuaian sasaran diantara dua belah pihak
atau lebih, sehingga timbullah sebuah konflik. Konflik tersembunyi dari pandangan umum,
meskipun satu pihak atau lebih mengetahui potensi terjadinya konfrontasi. Mungkin terdapat
ketegangan hubungan diantara beberapa pihak atau keinginan untuk menghindari kontak satu
sama lain pada tahap ini.
2. Konfrotasi
Pada tahap ini konflik terjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah.
Mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksi demonstrasi atau perilaku konfrontatif.
Pertikaian atau kekerasan pada tingkat rendah lainnya terjadi diantara kedua belah pihak.
Masing–masing pihak mungkin mengumpulkan sumber daya dan kekuatan dan mencari sekutu
dengan harapan dapat meningkatkan konfrontasi dan kekerasan. Hubungan diantara kedua belah
pihak menjadi sangat tegang, mengarah pada polarisasi antara para pendukung di masing-masing
pihak.
3. Krisis
Ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan kekerasan terjadi paling hebat. Dalam
konflik skala besar, ini merupakan periode perang, ketika kedua belah pihak jatuh korban dan
saling membunuh. Komunikasi normal diantara kedua belah pihak kemungkinan terputus.
Pernyataan–pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak-pihak lainnya.
4. Akibat
Suatu konflik pasti akan meninggalkan akibat. Satu pihak mungkin menaklukkan pihak lain, atau
mungkin melakukan gencatan senjata. Satu pihak mungkin menyerah dengan sendirinya, atau
menyerah atas desakan pihak lain. Kedua belah pihak mungkin setuju untuk bernegosiasi dengan
atau tanpa perantara. Suatu pihak yang mempunyai otoritas atau pihak ketiga yang mungkin
lebih berkuasa memaksa dua belah pihak untuk menghentikan pertikaian. Apapun keadaannya,
tingkat ketegangan, konfrontasi dan kekerasan pada tahap ini agak menurun, dengan
kemungkinan adanya penyelesaian.
5. Pasca konflik
Situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai macam konfrontasi kekerasan, ketegangan
berkurang dan hubungan mengarah pada situasi normal diantara kedua belah pihak. Namun isu-
isu dan masalah–masalah yang timbul karena sasaran mereka yang saling bertentangan tidak
diatasi dengan baik, tahap ini sering kembali lagi menjadi situasi prakonflik.

http://wiwiarifiyani.blogspot.com/2016/10/hakikat-konflik.html

http://yogisupra93.blogspot.com/2014/10/makalah-pandangan-terhadap-konflik.html

http://isengnugas.blogspot.com/2018/01/konflik-fungsional-dan-disfungional.html

https://elwamendri.wordpress.com/2017/04/20/sumber-sumber-konflik-dalam-organisasi/

https://www.kajianpustaka.com/2017/08/pengertian-jenis-penyebab-dan-tahapan-konflik.html

http://drholix.wixsite.com/megalomania/single-post/2017/06/03/Jenis---Jenis-dan-Sumber-Konflik-
dalam-Organisasi

Anda mungkin juga menyukai