Anda di halaman 1dari 14

PERILAKU KEORGANISASIAN

Dosen Pengampu : Drs. I Wayan Mudiartha Utama, M.M.

Disusun Oleh :

Ni Komang Wahyuni (1707522090)

Anak Agung Mirah Pradnyaswari (1707522106)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN NON REGULER

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

2019
KONFLIK DAN PERUNDINGAN DALAM ORGANISASI

A. KONSEP MENGENAI KONFLIK


a) Pengertian Konflik
Berikut merupakan definisi konflik menurut para ahli antara lain :
- Menurut Robbins&Judge (2013) konflik adalah sebuah proses yang dimulai ketika satu
pihak memiliki persepsi bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara negatif, atau akan
mempengaruhi secara negatif, sesuatu yang menjadi kepedulian atau kepentingan pihak
pertama.
- Menurut Soetopo (2010) konflik adalah suatu pertentangan dan ketidaksesuaian
kepentingan, tujuan, dan keutuhan dalam situasi formal, sosial, dan psikologis, sehingga
menjadi antagonis, ambivalen, dan emosional.
- Menurut Kreitner (2005) konflik adalah sebuah proses di mana satu pihak menganggap
bahwa kepentingan-kepentingannya ditentang atau secara negatif dipengaruhi oleh pihak
lain.

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa konflik adalah suatu bentuk
pertentangan yang terjadi antara dua pihak atau leb ih di mana salah satu pihak merasa dirugikan
atau dipengaruhi secara negatif sehingga menimbulkan ketidakpuasan terhadap perilaku pihak
lain.

b) Ciri-ciri konflik
- Ada dua pihak yang secara perseorangan maupun kelompok yang terlibat dalam suatu
interaksi dan bertentangan satu sama lain.
- Terjadi pertentangan dalam mencapai tujuan, pembagian peran dan nilai serta norma yang
saling berlawanan.
- Munculnya interaksi yang ditandai gejala- gejala perilaku yang direncanakan untuk saling
meniadakan, mengurangi, dan menekan terhadap pihak lain.
- Munculnya ketidakseimbangan dalam organisasi.
c) Faktor Penyebab Konflik

Menurut Stephen P. Robbins (1996), konflik muncul karena ada kondisi yang
melatarbelakanginya. Kondisi tersebut, yang disebut sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri
dari tiga ketegori yaitu :

1. Komunikasi

Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan kesalah pahaman
antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil penelitian
menunjukkan bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan
dalam saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi yang dapat memicu
terjadinya konflik.

2. Struktur

Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup ukuran
(kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan wilayah
kerja, kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem
imbalan, dan derajat ketergantungan antara kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran
kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin
besar kelompok, dan makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan
terjadinya konflik.

3. Variabel Pribadi

Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang meliputi sistem nilai
yang dimiliki tiap individu, karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu memiliki
keunikan yang berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe
kepribadian tertentu, misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah
orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial. Jika salah satu dari kondisi tersebut terjadi
dalam kelompok, dan para karyawan menyadari akan hal tersebut, maka muncullah persepsi
bahwa di dalam kelompok terjadi konflik. Keadaan ini disebut dengan konflik yang
dipersepsikan. Kemudian jika individu terlibat secara emosional, dan mereka merasa cemas,
tegang, frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik berubah menjadi konflik yang
dirasakan. Selanjutnya, konflik yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan berubah
menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk
perilaku. Misalnya, serangan secara verbal, ancaman terhadap pihak lain, serangan fisik,
pemogokan, dan sebagainya.

d) Jenis-jenis Konflik

Terdapat berbagai macam jenis konflik, tergantung pada dasar yang digunakan untuk
membuat klasifikasi.

1. Konflik dilihat dari Fungsi

Berdasarkan fungsinya, Stephen P. Robbins (1996) membagi konflik menjadi dua


macam, yaitu konflik fungsional dan konflik disfungsional. Konflik fungsional adalah konflik
yang mendukung pencapaian tujuan kelompok, dan memperbaiki kinerja kelompok. Sedangkan,
Konflik disfungsional adalah konflik yang merintangi pencapaian tujuan kelompok.

Menurut Stephen P. Robbins, batas yang menentukan suatu konflik fungsional atau
disfungsional sering tidak tegas (kabur). Suatu konflik mungkin fungsional bagi suatu kelompok,
tetapi tidak fungsional bagi kelompok yang lain. Begitu pula, konflik dapat fungsional pada
waktu tertentu, tetapi tidak fungsional di waktu yang lain. Kriteria yang membedakan suatu
konflik fungsional atau disfungsional adalah dampak konflik tersebut terhadap kinerja kelompok,
bukan pada kinerja individu. Jika konflik tersebut dapat meningkatkan kinerja kelompok,
walaupun kurang memuaskan bagi individu, maka konflik tersebut dikatakan fungsional.
Demikian sebaliknya, jika konflik tersebut hanya memuaskan individu saja, tetapi menurunkan
kinerja kelompok maka konflik tersebut disfungsional.

2. Konflik dilihat dari Pihak yang Terlibat di Dalamnya

Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik, Stoner dan Freeman (1989)
membagi konflik menjadi enam macam, yaitu :

- Konflik dalam diri individu, terjadi jika seseorang harus memilih tujuan yang saling
bertentangan, atau karena tuntutan tugas yang melebihi batas kemampuannya.
- Konflik antar individu, terjadi karena perbedaan kepribadian antara individu yang satu
dengan individu yang lain.
- Konflik antara individu dan kelompok, terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri dengan
norma kelompok tempat ia bekerja.
- Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama, terjadi karena masing-masing
kelompok memiliki tujuan yang berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya.
- Konflik antar organisasi, terjadi jika tindakan yang dilakukan oleh organisasi menimbulkan
dampak negatif bagi organisasi lainnya. Misalnya, dalam perebutan sumberdaya yang sama.
- Konflik antar individu dalam organisasi yang berbeda, terjadi sebagai akibat sikap atau
perilaku dari anggota suatu organisasi yang berdampak negatif bagi anggota organisasi yang
lain. Misalnya, seorang manajer public relations yang menyatakan keberatan atas
pemberitaan yang dilansir seorang jurnalis.

3. Konflik dilihat dari Posisi Seseorang dalam Struktur Organisasi


Berdasarkan konflik yang dilihat dari posisi seseorang dalam struktur organisasi, Winardi
(1992) membagi konflik menjadi empat macam. Keempat jenis konflik tersebut adalah sebagai
berikut :
- Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan yang memiliki kedudukan yang
tidak sama dalam organisasi. Misalnya, antara atasan dan bawahan.
- Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjandi antara mereka yang memiliki kedudukan
yang sama atau setingkat dalam organisasi. Misalnya, konflik antar karyawan, atau antar
departemen yang setingkat.
- Konflik garis staf, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan lini yang biasanya memegang
posisi komando, dengan pejabat staf yang biasanya berfungsi sebagai penasehat dalam
organisasi.
- Konflik peran, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang mengemban lebih dari satu peran
yang saling bertentangan.
e) Dampak Konflik
Dampak konflik yang terjadi dalam organisasi meliputi dua dampak yaitu dampak positif
dan dampak negatif.
1. Dampak Positif Konflik
- Mendorong untuk kembali mengkoreksi diri. Dengan adanya konflik yang terjadi, mungkin
akan membuat kesempatan bagi salah satu ataupun kedua belah pihak untuk saling merenungi
kembali, berpikir ulang tentang kenapa bisa terjadi perselisihan ataupun konflik diantara
mereka.
- Meningkatkan Prestasi. Dengan adanya konflik, bisa saja membuat orang yang termajinalkan
oleh konflik menjadi merasa mempunyai kekuatan extra sendiri untuk membuktikan bahwa ia
mampu dan sukses dan tidak pantas untuk dihina.
- Mengembangkan alternatif yang baik. Bisa saja dengan adanya konflik yang terjadi diantara
orang per orang, membuat seseorang berpikir dia harus mulai mencari alternatif yang lebih
baik dengan misalnya bekerja sama dengan orang lain mungkin.

2. Dampak Negatif Konflik


- Menghambat kerjasama. Sejatinya konflik langsung atau tidak langsung akan berdampak
buruk terhadap kerjasama yang sedang dijalin oleh kedua belah pihak ataupun kerjasama
yang akan direncanakan diadakan antara kedua belah pihak.
- Apriori. Selalu berapriori terhadap lawan. Terkadang kita tidak meneliti benar tidaknya
permasalahan, jika melihat sumber dari persoalan adalah dari lawan konflik kita.
- Saling menjatuhkan. Ini salah satu akibat paling nyata dari konflik yang terjadi diantara
sesama orang di dalam suatu organisasi, akan selalu muncul tindakaan ataupun upaya untuk
saling menjatuhkan satu sama lain dan membuat kesan lawan masing-masing rendah dan
penuh dengan masalah.
f) Penyelesaian Konflik
Menurut Gibson (1990) mengemukakan beberapa teknik/metode dalam menyelesaikan
konflik antar kelompok, ketika konflik itu telah mencapai tingkat yang mengganggu organisasi
suatu perusahaan, yaitu :
1. Pemecahan Masalah : Pemecahan masalah disebut juga metode konfrontasi, karena berusaha
mengurangi konflik melalui pertemuan tatap muka dari kelompok-kelompok yang
bertentangan. Kelompok yang saling bertentangan memperdebatkan masalahnya dengan
mengumpulkan informasi yang relevan sampai tercapai suatu keputusan.
2. Tujuan Tingkat Tinggi : Meliputi pengembangan serangkaian tujuan dan sasaran umum.
Kelompok-kelompok yang berkonflik diajak untuk bekerjasama mencapai tujuan dan sasaran
yang lebih tinggi. Tujuan tingkat tinggi tidak dapat dicapai oleh satu kelompok sendirian
sehingga setiap kelompok yang terlibat konflik akan menggantikan semua tujuannya.
3. Perluasan Sumber : Keterbatasan sumber menjadi salah satu penyebab konflik. Apa saja yang
diperoleh kelompok satu merupakan pengorbanan dari kelompok yang lain. Sumber yang
langka bisa berupa posisi khusus, uang, ruangan, dan sebagainya. Teknik ini diterapkan
dengan memperluas sumber-sumber tersebut, sehingga setiap orang atau kelompok merasa
terpenuhi.
4. Menghindari Konflik : Cara ini tentunya menjadi alternatif termudah, namun tidak
menghasilkan manfaat dalam jangka panjang. Akibatnya, konflik itu tidak dipecahkan secara
efektif atau tidak dapat disingkirkan.
5. Melicinkan Konflik : Cara ini menekankan pada kepentingan umum dari kelompok-kelompok
yang bertentangan dan menghilangkan perbedaaan di antara mereka. Alasannya bahwa
dengan menekankan kesamaan pandangan mengenai beberapa masalah tertentu, maka akan
mudah mengarahkan kepada tujuan bersama.
6. Kompromi : Dalam metode ini tidak ada kelompok yang menang atau kalah secara menonjol,
karena keputusan yang dicapai mungkin tidak ideal bagi setiap kelompok. Kompromi dapat
digunakan sangat efektif apabila pencarian tujuan (misalnya uang) dapat dibagi-bagi. Jika hal
ini tidak mungkin, maka satu kelompok harus berkorban.
7. Perintah dari Yang Berwenang : Penggunaan wewenang formal merupakan metode tertua dan
paling sering digunakan untuk memecahkan konflik antar kelompok. Bawahan biasanya
mentaati keputusan atasannya, apakah mereka menyetujui atau tidak. Metode ini berhasil
untuk jangka pendek, tetapi seperti halnya dengan metode menghindari konflik, melicinkan
konflik, dan kompromi, metode ini tidak memusatkan perhatian kepada sebab konflik, namun
hanya pada akibatnya.
8. Merubah Variabel Manusiawi : Metode ini dengan merubah prilaku para anggota kelompok
yang terlibat. Walupun hal ini cukup sulit, agak lambat dan sering kali mahal, namun
akibatnya sangat berarti dalam jangka panjang, karena metode ini memusatkan perhatian
pada sebab konflik.
9. Merubah Variabel Struktural : Metode ini adalah dengan merubah struktur formal organisasi.
Metode ini bisa berupa tindakan memindahkan, mengganti, memutasi anggota kelompok, atau
menciptakan posisi tertentu untuk bekerja.
10. Mengidentifikasi Musuh Bersama : Kelompok-kelompok yang berkonflik dibawa untuk
mengidentifikasi dan melawan musuh bersama, sehingga untuk sementara memecahkan
perbedaan mereka, misalnya mengidentifikasi dan melawan pesaing yang lebih hebat.
B. KONSEP MENGENAI PERUNDINGAN ( NEGOSIASI )
a) Pengertian Perundingan
Berikut merupakan definisi perundingan menurut para ahli antara lain :
- Menurut Robbins ( 2008) menyimpulkan negosiasi adalah sebuah proses di mana dua
pihak atau lebih melakukan pertukaran barang atau jasa dan berupaya untuk menyepakati
nilai tukarnya.
- Negosiasi menurut Ivancevich (2007) sebuah proses di mana dua pihak atau lebih yang
berbeda pendapat berusaha mencapai kesepakatan.

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa negosiasi adalah suatu upaya yang
dilakukan antara pihak-pihak yang berkonflik dengan maksud untuk mencari jalan keluar untuk
menyelesaikan pertentangan yang sesuai kesepakatan bersama.

b) Proses Perundingan

1. Persiapan dan Perencanaan : Sebelum bernegosiasi perlu mengetahui apa tujuan dari anda
bernegosiasi dan memprediksi rentangan hasil yang mungkin diperoleh dari “paling baik”
hingga “paling minimum bisa diterima”.
2. Definisi Aturan-aturan Dasar : Begitu selesai melakukan perencanaan dan menyusun strategi,
selanjutnya mulai menentukan aturan-aturan dan prosedur dasar dengan pihak lain untuk
negosiasi itu sendiri. Siapa yang akan melakukan perundingan? Di mana perundingan akan
dilangsungkan? Kendala waktu apa, jika ada , yang mungkin akan muncul? Pada persoalan-
persoalan apa saja negosiasi dibatasi? Adakah prosedur khusus yang harus diikuti jika
menemui jalan buntu? Dalam fase ini, para pihak juga akan bertukar proposal atau tuntutan
awal mereka.
3. Klarifikasi dan Justifikasi : Ketika posisis awal sudah saling dipertukarkan, baik pihak
pertama maupun kedua akan memaparkan, menguatkan, mengklarifikasi, mempertahankan,
dan menjustifikasi tuntutan awal.
4. Tawar Menawar dan Pemecahan Masalah : Pada tahap ini akan terjadi tawar menawar antara
dua pihak untuk mencapai sebuah solusi dimana solusi tersebut akan berguna untuk
memecahan masalah.
5. Penutupan dan Implementasi : Tahap akhir dalam negosiasi adalah memformalkan
kesepakatan yang telah dibuat serta menyusun prosedur yang diperlukan untuk implementasi
dan pengawasan pelaksanaan.

c) Perundingan Menggunakan Pihak Ketiga

Negosiasi tidak selalu langsung terjadi antara dua pihak yang mengalami
ketidaksepakatan. Terkadang pihak ketiga dipanggil untuk terlibat dalam negosiasi antara pihak-
pihak yang telah mengalami jalan buntu. Terdapat berbagai macam intervensi pihak ketiga. Salah
satu tipologi menyebutkan setidaknya terdapat empat macam intervensi pihak ketiga yang
mendasar yaitu :

1. Mediasi adalah situasi di mana pihak ketiga yang netral menggunakan penalaran, pemberian
usulan, dan persuasi dalam kapasitasnya sebagai fasilitator. Para mediator ini memfasilitasi
penyelesaian masalah dengan mempengaruhi bagaimana pihak-pihak yang terlibat dalam
negosiasi berinteraksi. Para mediator tidak memiliki otoritas yang mengikat, pihak-pihak
yang terlibat bebas mengacuhkan usaha mediasi ataupun rekomendasi yang dibuat oleh
pihak ketiga.
2. Arbitrase adalah situasi di mana pihak ketiga memiliki wewenang memaksa terjadinya
kesepakatan. Menurut Robbins (2008) kelebihan arbitrase dibanding mediasi adalah bahwa
arbitrase selalu menghasilkan penyelesaian.
3. Konsiliasi adalah seseorang yang dipercaya oleh kedua pihak dan bertugas menjembatani
proses komunikasi pihak-pihak yang bersitegang. Seorang konsiliator tidak memiliki
kekuasaan formal untuk mempengaruhi hasil akhir negosiasi seperti seorang mediator.
4. Konsultasi adalah situasi di mana pihak ketiga, yang terlatih dalam isu konflik dan memiliki
keterampilan penyelesaian konflik, berupaya memfasilitasi pemecahan permasalahan dengan
lebih memusatkan hubungan antar pihak ketimbang isu-isu yang substantif.
C. HUBUNGAN ANTAR KELOMPOK DALAM ORGANISASI

Mengenal, mengerti dan memahami hubungan antar individu dalam kelompok dan
hubungan antar kelompok sangat penting dan besar sekali artinya dalam kepemimpinan sebab
pemimpin akan dapat mengambil keputusan secara bijak, rasional dan adil. Mengabaikan
kepentingan kelompok akan berakibat fatal bagi masa depan organisasi. Hubungan antar
kelompok harus dibina sedemikian rupa sehingga dapat dijalin secara harmonis. Harmonisnya
hubungan antar kelompok akan dapat menciptakan kinerja kelompok dan kinerja organisasi
secara optimal.

a) Faktor yang Mempengaruhi Hubungan antar Kelompok


Kinerja kelompok yang berhasil merupakan fungsi dari sejumlah faktor yang
berpengaruh. Konsep yang memayungi berbagai faktor ini adalah konsep koordinasi. Umumnya
berpengaruh terhadap hubungan antar kelompok.
1. Ketergantungan
Pertanyaan yang perlu dijawab adalah apakah kelompok tersebut dalam melaksanakan
tugasnya memerlukan koordinasi ? jawaban dari pertanyaan ini terletak kepada penetapan derajat
ketergantungan yang ada diantara kelompok yang terkait. Apakah kelompok tersebut satu sama
lain saling membutuhkan atau tidak. Jika ada maka ketergantungan yang ada akan terdiri dari
ketergantungan tunggal, ketergantungan berantai dan ketergantungan timbal balik.
Ketergantungan tunggal adalah semua kelompok yang terkait mempunyai ketergantungan yang
sama yang mutlak tidak dapat dipisahkan, ketergantungan berantai adalah ketergantungan
kelompok yang sangat dipengaruhi oleh kinerja kelompok yang lain, sedangkan ketergantungan
timbal balik adalah ketergantungan yang berada pada posisi berlawanan.
2. Ketidakpastian Tugas
Semakin besar ketidakpastian suatu tugas maka akan semakin besar pula respon yang
harus dibuat/dibentuk dan semakin rendah derajat ketidakpastian suatu tugas maka tugas akan
dapat distandarisasi. Kunci utama ketidakpastian tugas adalah bahwa suatu tugas untuk
diterapkan memerlukan informasi lebih banyak. Oleh karena itu jika suatu tugas mempunyai
ketidakpastian yang tinggi maka ketergantungan kepada informasi yang lengkap jelas dan valid
sangat dibutuhkan dan masing-maisng kelompok akan sama saling membutuhkan satu sama lain
atau menghadapi resiko kegagalan yang semakin besar.
3. Orientasi Waktu dan Tujuan
Dua kelompok atau lebih akan saling bergantung satu sama lain sangat ditentukan oleh
waktu dan tujuan spesifik yang melekat pada dirinya. Jika tujuan spesifik saling terkait satu sama
lain dan waktu yang disediakan saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain, maka derajad
ketergantungan kelompok akan smakin besar.

b) Metode Pengelolaan Hubungan antar Kelompok


1. Peraturan dan Prosedur
Metode yang paling murah dan paling sederhana di dalam mengelola hubungan antar
kelompok adalah menetapkan aturan dan prosesdur interaksi antar kelompok. Di dalam
organisasi yang besar, akan dibentuk suatu departemen yang khusus memantau dan
mengevaluasi hubungan antar kelompk dan jika interaksi hubungan antar keompok tersebut ada
gejala yang tidak sesuai dengan harapan maka kelompok yang terkait akan dipanggil untuk
didengar serta diselesaikan melalui forum musyawarah. Peraturan dan prosedur baku akan
memperkecil hubungan antar kelompok yang dipandang tidak perlu.
2. Hirarki
Jika metode yang pertama dipandang kurang tepat maka hirarki kekuasaan yang ada di
dalam organisasi menjadi alternatif kedua di dalam mengelola hubungan antar kelompok.
Dengan demikian maka koordinasi akan diambil alih oleh pejabat yang lebih tinggi yang berada
didalam organisasi itu. Pejabat yang lebih tinggi umumnya dapat dipandang sebagai pejabat yang
ektif untuk membina hubungan antar kelompok sebab pejabat yang tinggi ini secara posisional
mempunyai kekuasaan yang lebih besar dan dihapakan dapat mempengaruhi hubungan antar
kelompok.
3. Perencanaan
Alternatif (pilihan) berikutnya di dalam mengelola hubungan antar kelompok adalah
melalui perencanaan. Jika setiap kelompok mempunyai tujuan spesifik yang hendak dicapai
maka setiap kelompok telah mengetahui hak dan kewajiban yang melekat pada kelompoknya dan
setiap kelomok ini akan mengetahui pada saat yang bagaimana hubungan kelompok lain perlu
dilakukan. Perencanaan yang memadai dan baik cenderung memperbaiki koordinasi dan di
samping itu perencanaan cenderung dapat pula alat koordinasi yang efektif dan efisien.
4. Peran Perantara
Peran perantara sering mengarah kepada individu yang diberi tugas khusus untuk
memudahkan komunikasi antar kelompok kerja yang saling terkait. Perantara yang diberi tugas
khusus ini tentunya adalah orang yang dipandang cakap dan mempunyai pandangan yang luas
tentang bidang organisasi dan manajemen. Di dalam organisasi yang besar sering kali
memanfaatkan sarjana yang mempunyai kompetensi dibidangnya dengan beberapa pengalaman
praktis dan taktis yang menunjang kompetensinya. Kelemahan utama peran perantara ini adalah
adanya keterbatasan pribadi untuk menangani informasi yang mengalir diantara kelompok yang
saling berinteraksi, khususnya jika kelompok berinteraksi itu besar dan interaski sangat sering
dilakukan.
5. Pelaksana Tugas
Para pelaksana tugas dapat dijadikan wakil dari sejumlah kelompok. Para pelalaksana
tugas sering melaksanakan tugas yang sesuai dengan bidangnya dan sering kali melakukan
hubungan dengan yang lain. Para pelaksana tugas ini harus dibina sedemikian rupa guna
memberi pengertian dan pemahaman mengenai hubungan antar kelompok tentang apa yang
seharusnya dilakukan di dalam membina hubungan dengan kelompok lain.
6. Tim
Jika tugas sudah semakin banyak dan rumit maka persoalan yang muncul dari
pelaksanaan tugas akan semakin banyak dan rumit pula dan dalam keadaan demikian maka alat
koordinasi yang ada sudah dianggap kurang memadai dan tidak tepat. Pilihan berikutnya adalah
menyerahkan kerumitan hubungan antar kelompok ini kepada suatu tim. Tim inilah yang akan
memantau dan mengevaluasi pola hubungan antar kelompok. Angota tim berasal dari masing-
masing fungsi yang ada di dalam organisasi dan ketika tugasnya telah selesai maka anggota tim
ini akan kembali lagi kepada induknya. Tim pemantau ini dikarenakan mempunyai keanggotaan
yang berkomposisi masing-masing fungsi maka dipandang mewakili masing-masing fungsinya
sehingga hasil pantauan dan evaluasinya dipandang cukup representatif.
7. Departemen/Badan Terpadu
Jika hubungan antar kelompok menjadi terlalu sulit dan rumit untuk dikoordinasikan
melalui rencana, tugas, tim dan sebagainya maka organisasi sebaiknya membentuk
departemen/badan terpadu. Departemen/badan ini bersiat permanen dengan anggota yang secara
formal diberi tugas untuk memadukan dua kelompok atau lebih. Departemen yang dibentuk ini
akan digunakan jika organisasi sudah sangat besar dan mempunyai tujuan-tujuan yang sering
berlainan arah, mempunyai berbagai persoalan yang tak rutin yang sangat rumit dan mempunyai
keputusan antar kelompok yang mempunyai dampak terhadap seluruh operasi organisasi.
Departemen/badan ini dapat dijadikan alat yang dapat diandalkan untuk menangani konflik antar
kelompok.
DAFTAR PUSTAKA

 Robbin, Stephen P., Judge, Timoty A (2015), Perilaku Organisasi, Edisi 16 Penerbit
Salemba Empat
 James L. Gibson, etc., Organisasi dan Manajemen : Prilaku, Struktur dan Proses,
Erlangga, Jakarta, 1990
 Stephen P.Robbins. Organizational Behavior, (Prentice Hall, 1996)
 Winardi. Manajemen Konflik, (Mandar Maju, 1994)

Anda mungkin juga menyukai