Anda di halaman 1dari 26

CONFLICT WORK

Konflik Kerja

Levi Yana | 2261201061 | BS-2-22


Conflict Work

Kehadiran konflik dalam suatu organisasi menjadi


hal penting untuk diperhatikan. Hal ini
menyebabkan manajemen perlu melakukan
penanganan yang tepat, bahkan sebelum konflik itu
benar-benar terjadi

Konflik berasal dari kata kerja latin "configere" yang


berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik
diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua
orang atau lebih (bisa juga kelompok) di mana
salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain
dengan membuatnya tidak berdaya.
Konflik
menurut
para
ahli
De Dreu (Amir, 2017:126) mendefinisikan bahwa konflik merupakan proses di mana satu pihak
menganggap bahwa kepentingannya ditentang atau dianggap negatif ole pihak lain. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa konflik bisa terjadi ketika ada satu pihak yang mengganggu rencana orang lain.
atau, bisa juga terjadi ketika ada cara tertentu yang tidak disukai.

Robbins (1996:428), mendefinisikan bahwa: "conflict is a process in which an effort is purposely made by A
to offset the efforts of B by some form of blocking that will result in frustrating B in attaining his or her goals or
furthering his or her interest."

Mangkunegara (2008:21) menjelaskan bahwa konflik adalah suatu pertentangan yang terjadi
antara apa yang diharapkan oleh seseorang terhadap dirinya, orang lain, organisasi dengan
kenyataan yang diharapkannya.
Berdasarkan definisi para ahli , maka dapat disimpulkan bahwa,
Konflik adalah pertentangan yang terjadi akibat adanya suatu perbedaan pandangan antara
maksud dan harapan oleh para pihak yang memiliki kepentingan.

Terjadinya konflik disebabkan adanya interaksi dua pihak atau lebih yang saling
berkepentingan dan kemudian muncul perbedaan persepsi para pihak dalam menyikapi suatu
permasalahan. Masing-masing pihak mempertahankan persepsinya (ego) dan cenderung
menyerang persepsi pihak lainnya. Selain itu potensi terjadinya konflik dikarenakan adanya
rasa ketidakpuasan yang dialami ole salah satu pihak terhadap pihak lainnya.

Konflik merupakan hal wajar yang pasti terjadi dalam suatu organisasi, kecuali organisasi
sudah hilang bersamaan dengan individu atau kelompok di dalamnya.
Alur Proses Konflik
Jenis
Jenis
Konflik
Berdasarkan Fungsi nya
Konflik berdasarkan fungsinya, hal ini dikemukakan oleh Robbins,
yang membagi konflik menjadi dua macam, yaitu:
1. Konflik Fungsional, merupakan konflik yang mendukung
pencapaian tujuan kelompok dan memperbaiki kinerja
kelompok.
2. Konflik ini meningkatkan kinerja kelompok, walaupun
berdampak pada ketidakpuasan individu tertentu.
3. Konflik Disfungsional, yang merupakan konflik yang
merintangi pencapaian tujuan kelompok. Artinya konflik ini
hanya memuaskan satu individu saja dan mengorbankan
kinerja kelompoknya.
Berdasarkan pihak yang terlibat
Konflik ini dikemukakan oleh Stoner dan Freeman yang membagi konflik ke dalam 6
macam, :
1. Konflik dalam diri individu, konflik ini terjadi ketika seseorang harus memilih tujuan
yang saling bertentangan atau karena tuntutan tugas yang melampaui batas
kemampuannya.
2. Konflik antarindividu, yaitu karena adanya perbedaan kepribadian antara individu
yang satu dengan yang lain.
3. Konflik antara individu dan kelompok, yaitu konflik yang terjadi karena individu
gagal atau tidak mampu beradaptasi dengan norma-norma kelompok di tempt
dirina bekeria.
4. Konflik antarkelompok dalam organisasi yang sama, yaitu konflik yang terjadi
karena adanya perbedaan tujuan dari masing-masing kelompok dan setiap
kelompok berupaya untuk mencapainya.
5. Konflik antarorganisasi, konflik ini terjadi jika tindakan yang dilakukan ole suatu
organisasi berdampak negatif terhadap organisasi lainnya.
6. Konflik antarindividu dalam organisasi yang berbeda, yaitu konflik yang terjadi
atas suatu sika dan perbuatan individu (anggota) suatu organisasi yang berdampak
negatif bagi anggota organisasi yang lain.
Berdasarkan posisi seseorang dalam
struktur organisasi
Jenis konflik ini dikemukakan oleh Winardi yang membagi konflik ini ke
dalam 4 macam, antara lain:
1. Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara anggota organisasi
yang memiliki kedudukan yang berbeda seperti konflik yang terjadi
antara pimpinan dan stafnya.
2. Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjadi antara mereka yang
memiliki kedudukan yang sejajar atau setingkat dalam organisasi,
misalnya seperti konflik antar karyawan atau antar departemen yang
setingkat.
3. Konflik garis-stat, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan lini, yang
biasanya memegang posisi komando, dan pejabat staf yang biasanya
berfungsi sebagai penasihat dalam organisasi.
4. Konflik peran, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang mengemban
lebih dari satu peran yang saling bertentangan.
Paradoks
Konflik
.
Konflik memiliki konotasi negatif sebagai 1. Konflik destruktif, yaitu konflik yang
suatu hal yang dapat menghambat tujuan bersifat merusak, merugikan, dan harus
organisasi. dihindari. Konflik ini merupakan dampak
dari burukya komunikasi, hilangnya
Pada kenyataannya, konflik dapat dikelola kepercayaan, hingga kegagalan pimpinan
menjadi suatu strategi yang bermanfaat dalam mengelola anggotanya sebagai
dalam aset organisasi.
meningkatkan efisiensi dan efektivitas 2. Konflik konstruktif, yaitu konflik yang
kinerja, meningkatkan daya saing, dapat mendorong individu atau kelompok
manajemen mutu terpadu, dan lain untuk meningkatkan daya saing, resiliensi,
sebagainya. Namun semua tidak terlepas motivasi, dan peningkatan kinerja dalam
dari dukungan pimpinan yang berorientasi memberikan kontribusi positif baik untuk
ke arah perbaikan dan peningkatan kualitas. dirinya sendiri maupun organisasinya.
Konflik konstruktif searah dengan
Berangkat dari penjelasan di atas, maka pandangan interaksional yang
konflik dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu menekankan agar konflik terjadi sebagai
konflik destruktif dan konflik konstruktif stimulus pencapaian tujuan dengan daya
upaya yang lebih baik dari sebelumnya.
sumber dan
dampak konflik
sumber daya
Hal yang lazim terjadi adalah terbatasnya sumber daya yang
tersedia. Sumber daya yang dimaksud dapat berupa sarana dan
prasarana kerja, anggaran, jumlah personil dalam satu
departemen, dan lain sebagainya. Sebagai contoh : konflik yang
terjadi adalah karena masalah batasan jumlah personil dan
anggaran kerja yang diperkenankan di masing-masing
departemen, padahal beban kerja dan keterampilan personil
yang dimiliki saat ini dinilai kurang memadai. Hal-hal tersebut
berpotensi mengakibatkan kinerja menjadi terhambat,
sedangkan semua bagian dituntut untuk menghasilkan capaian
target yang telah ditentukan.
Komunikasi
Berbagai masalah komunikasi yang terjadi telah dijelaskan pada
bab dan sub-bab sebelumnya. kesalahan pengiriman atau
penerimaan pesan dapat berujung pada perbedaan persepsi
yang akhirnya memicu konflik.
Ketidak piawaian dalam berkomunikasi juga dapat membuat
para pihak mengartikan lain dari informasi atau pesan yang
disampaikan. Selain itu gaya bicara dalam berkomunikasi juga
cenderung dapat menimbulkan konflik.
Ketergantungan pekerjaan
(interdependence)
Saling ketergantungan dalam menyikapi pekerjaan merupakan
awal kondisi kerja yang tidak sehat. Ketika masing-masing
individu atau kelompok mengandalkan kinerja satu sama lain,
dapat menyebabkan terhambatnya suatu pekerjaan yang
harusya sudah dikerjakan. Tentu efektivitas kerja menjadi
menurun karena tidak adanya sikap proaktif untuk segera
menyelesaikan pekerjaan. Potensi konflik yang terjadi adalah
seperti saling melempar kesalahan karena pekerjaan tidak
terselesaikan dengan baik.
Struktur dan diferensiasi
departemen
Perbedaan tugas dan wewenang pada setiap departemen, berpotensi
memunculkan perbedaan perspektif dalam penanganan suatu
masalah.
Struktur juga berarti tingkatan jabatan, artinya hubungan vertikal bisa
menjadi pemicu teriadinya konflik. Ketika mungkin para staff memiliki
ide untuk kemajuan proyek perusahaan, namun gagasannya kurang
mendapat tanggapan oleh pimpinan. Bisa karena perbedaan nilai,
pengalaman, senioritas, bahkan kepada pemahaman suatu sistem
seperti perangkat dan penggunaan aplikasi teknologi.
Variabel Pribadi
Konflik ini terjadi akibat dari faktor karakteristik individu atau kelompok.
Karakter tersebut dapat bersumber dari pemahaman nilai-nilai,
budaya, hingga lingkungan yang membentuk kepribadiannya.
Adapun karakter tersebut seperti sifat perfeksionis, otoriter, merasa diri
paling hebat dan gemar merendahkan orang lain, penuntut, dan lain
sebagainya, yang di mana sikap tersebut dianggap benar ole
pribadinya namun bertentangan dengan perspektif dan keyakinan
orang lain.
Ketidakjelasan Peran
(Ambiguous role)
Salah satu tujuan adanya job description adalah agar setiap individu
(karyawan) dapat menjalankan tugas dan kewajibannya masing-masing
sesuai dengan apa yang menjadi posisinya. Namun seringkali adanya tugas
tambahan yang diberikan di luar job description mengaburkan tugas
pokoknya. Sehingga ketidakjelasan peran akan semakin terlihat dengan
pelemparan tugas dan wewenang yang tidak sesai. Bukan tidak mungkin,
sumber konflik pada poin c di atas (interdependence) dipicu karena
ketidakjelasan peran pelaksanaan tugas pokok dan fungi dari para
karyawan.
pengambilan keputusan
sepihak
Salah satu hal yang menjengkelkan bagi sebagian kelompok anggota
atau karyawan di perusahaan adalah dengan dikeluarkannya
keputusan sepihak mengenai tata laksana pekerjaan, kebijakan, atau
peraturan lainnya tapa adanya diskusi atau rapat terlebih dahulu. Hal
ini biasa terjadi pada organisasi dengan sistem manajemen
sentralisasi atau terpusat. Namun selain keputusan sepihak yang
dibuat ole unsur pimpinan, kejadian tersebut juga dapat terjadi pada
sesama rekan kerja atau tim yang seharusya bekerja bersama-sama.
STRATEGI
ORGANISASI (PERUSAHAAN)
MENGELOLA KONFLIK

1. Pemecahan masalah (Problem solving)


Meskipun strategi ini memiliki kelemahan pada lamanya waktu penelesaian, namun setidanya
strategi ini berorientasi kepada keuntungan masing-masing pihak. Artinya dalam strategi in para
pihak bersama-sama mengidentifikasi masalah dan mencari solusinya atas dasar pertimbangan
berbagai alternatif yang telah disepakati. Strategi ini identik dengan ketentuan win-win solution.

2. Pemaksaan ( Forcing)
Strategi ini kerap digunakan ketika terbatasnya waktu pengambilan keputusan. Strategi ini
membutuhkan legalitas kekuasaan dan wewenang tertentu. Selain itu dominasi juga diperkuat
oleh argumen yang tidak terbantahkan. Strategi ini identik dengan ketentuan win-lose
orientation sehingga menimbulkan kejengkelan tersendiri bagi pihak yang sebenarnya tidak
sepakat dari hail keputusan yang telah dibuat. Sehingga untuk menghindari konflik yang
berkepanjangan, pihak tersebut harus berbesar hati menerima keputusan yang dimaksud.
1. Pemecahan masalah (Problem solving)
Meskipun strategi ini memiliki kelemahan pada lamanya waktu penelesaian, namun setidanya
strategi ini berorientasi kepada keuntungan masing-masing pihak. Artinya dalam strategi in para
pihak bersama-sama mengidentifikasi masalah dan mencari solusinya atas dasar pertimbangan
berbagai alternatif yang telah disepakati. Strategi ini identik dengan ketentuan win-win solution.

2. Pemaksaan ( Forcing)
Strategi ini kerap digunakan ketika terbatasnya waktu pengambilan keputusan. Strategi ini
membutuhkan legalitas kekuasaan dan wewenang tertentu. Selain itu dominasi juga diperkuat
oleh argumen yang tidak terbantahkan. Strategi ini identik dengan ketentuan win-lose
orientation sehingga menimbulkan kejengkelan tersendiri bagi pihak yang sebenarnya tidak
sepakat dari hail keputusan yang telah dibuat. Sehingga untuk menghindari konflik yang
berkepanjangan, pihak tersebut harus berbesar hati menerima keputusan yang dimaksud.
5. Bersepakat (Compromised)
Strategi ini mengacu pada orientasi seimbang baik
kepentingan sendiri maupun pihak lain. Model ini
dinilai demokratis karena menampung aspirasi kedua
belah pihak. Di dalamnya terdapat rumusan janji tau
kesepakatan untuk mencari titik temu permasalahan
dan tujuan bersama, sehingga tidak ada pihak yang
merasa dirugikan.
daftar pustaka
Hartini, Muhammad Ramaditya, dkk. 2021. Bandung. Widina Bhakti
Persada Bandung

Anda mungkin juga menyukai